'Will, pada akhirnya kau menjatuhkan harga dirimu, demi kimberley.' Ucap Will pada diri sendiri.
Kemudian ia mengambil ponselnya dan menekan nomor yang tertera di kertas itu. Will menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Beberapa detik kemudian, panggilan itu tersambung.
Hanna yang tengah menyantap barbeque-nya terusik dengan dering ponselnya. Ia menyipitkan mata bulat itu ketika melihat nomor tidak di kenal menghubunginya. Dengan malas ia menjawab panggilan itu.
”Ya, halo. Hanna di sini.” Suara Hanna terdengar kurang jelas sebab mulutnya masih penuh dengan barbeque.
[ Hai gadis gila. Apa kau mengingat aku? ]
Sesaat mulut Hanna berhenti mengunyah. Ia tengah mengingat suara si penelepon itu. Ketika ia menyadari suara itu milik Will Greyson, Hanna membelalakkan mata dan tersedak. George segera berdiri dan menyodorkan air mineral. Hanna mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepada George untuk tetap di kursinya.
”Ternyata si mesum sok hebat. Mengapa Kau menghubungiku? Eh, bagaimana kau mendapatkan nomorku?”
[ Yah, aku mendapatkannya dari selebaran milikmu. Ku lihat kau membutuhkan pekerjaan, bukan? ]
Hanna setengah tertawa, ”Lalu, apa pedulimu? Itu bukan urusanmu.”
[ Aku akan memberikan pekerjaan kepadamu. ]
Hanna mengangkat sebelah ujung bibirnya meremehkan ucapan Will.
”Pekerjaan? Kau yakin ingin memberikan aku pekerjaan atau hanya ingin membalas aku? Sorry ya, tuan angkuh dan sok hebat, aku tidak tertarik tuh.”
[ Aku serius. Bila kau menerima tawaranku, temui aku besok pagi di kafe Craby Monday. Jadi, masih ada waktu untukmu untuk memikirkannya. ]
”Aku…” Belum selesai Hanna menjawab, Will sudah memutus panggilan itu.
Raut wajah Hanna terlihat kesal. Ia masih kurang percaya dengan tawaran Will. Tapi, disisi lain ia juga membutuhkan pekerjaan. Hanna sering merasa kasihan kepada Ibunya, diusianya yang sudah cukup tua, masih bekerja menghidupi kebutuhan mereka. George yang sedari tadi menyimak percakapan Hanna, memulai pembicaraan.
”Siapa yang menghubungimu barusan? Kau terlihat gusar.”
”Ah, itu si pria mesum yang kubicarakan tadi. Ia menawarkan pekerjaan. Aku hanya dilema saja. Apa ia sungguh-sungguh atau hanya mempermainkan ku?” Hanna mengambil gelas berisi air dan menghabiskan isinya.
”Kau terima saja tawarannya. Mungkin ia tulus mengatakannya.”
Hanna diam sejenak menyimak ucapan George. Ia masih mempertimbangkan tawaran Will Greyson. Ia hanya khawatir, kalau-kalau si pria menyebalkan itu hanya mengerjainya.
”Ah, perutku terasa penuh sekali. Terima kasih ya, George untuk dinner malam ini. Aku jadi merindukan ranjangku yang empuk. Kita pulang yuk, mataku sudah mulai lelah.”
Setelah George membayar bill, George mengantar Hanna pulang. Selama di perjalanan Hanna terus saja bercerita. George sesekali tertawa mendengar candaan Hanna. Mungkin bagi Hanna George hanyalah pria yang kesekian kalinya, tapi dalam hati George gadis itu yang pertama.
”Terima kasih atas tumpangannya George juga makan malamnya.” Ujar Hanna sembari melepaskan seatbelt yang mengungkungnya.
”kau jangan sungkan. Aku senang melakukannya. Hanna, aku..” George mendekat.
”Ya, ada apa George?”
George meletakkan kedua tangannya di wajah Hanna dan menariknya lebih dekat dengannya. Sedetik kemudian George mencumbu bibir manis Hanna. Hanna terperanjat, namun ia menikmati adegan itu. Tanpa diduga, Nyonya Mery yang baru pulang bekerja melihat anak gadisnya itu berciuman dengan seorang pria. Sontak Nyonya Mery berdiri di depan pintu mobil dan mengintip dari kaca.
Tatapannya beradu dengan mata George. Jelas saja itu membuat George terkejut dan wajahnya pucat pasi seperti sehabis melihat hantu.
”Ada apa George? Kenapa kau terlihat ketakutan?” Tanya Hanna, ia menyadari George yang salah tingkah.
George tersenyum kecut sambil garuk-garuk kepala. ”Eh…itu ibu mertua ada di belakangmu.” George menunjuk ke belakang Hanna.
Hanna membulatkan matanya dan mengikuti arah telunjuk George. Betapa kagetnya ia mendapati ibunya tengah berdiri di depan kaca sambil berkacak pinggang.
”Hanna. Buka pintunya.” Teriak Nyonya Mery sambil mengetuk-ngetuk kaca mobil.
Hanna segera membenamkan wajahnya ke telapak tangannya. Ia begitu malu juga takut dengan kemarahan ibunya.
”George, bawa aku kabur dari sini. Dia akan menyiksa aku sampai mati.” Pinta Hanna, sesekali ia melihat ke belakang, ibunya masih berdiri di situ dan tentu saja berteriak.
”Hanna, keluar sekarang juga!”
George menggeleng, ”Tidak Hanna. Aku tidak punya nyali. Sebaiknya kita keluar saja. Ibu mertua semakin marah.”
Hanna tidak punya pilihan apapun selain turun dan menghadapi kemurkaan ibunya. George berdiri di sana membungkuk memberi hormat kepada nyonya Mery. Sorot matanya membara perlahan meredam.
”Aish, dua anak muda yang sedang mabuk cinta ini tidak tahu malu. Jika kalian ingin melakukan itu, menikah dulu.” Geram nyonya Mery.
Hanna membelalakkan matanya, ”Ibu, jangan menjadikan ini sebagai alasan agar aku menikah.” Sanggah Hanna, kemudian ia melipat tangannya di depan dada dan mengalihkan pandangan ke jalan.
Nyonya Mery merasa geram dengan sikap putrinya itu, sontak ia menarik daun telinga Hanna.
”Aww..sakit. Lepaskan Bu, aku malu di lihat George.” Ia meringis, wajahnya memerah menahan malu kala George memperhatikan mereka.
”Dasar gadis nakal. Kau bukan remaja lagi usiamu sudah matang untuk menikah. Jangan bermain-main lagi.” Nyonya Mery semakin menarik telinga putrinya itu, hingga berubah merah.
”Ibu mertua, tenangkan dulu amarah ibu. Kasihan Hanna, Bu.” George menyela pertengkaran ibu dan anak itu.
Tatapan Nyonya Mery seperti tatapan seorang Adolf Hitler yang membuat George harus menundukkan mukanya. Ia tidak tahan dengan sorot mata yang seakan menusuk jantung itu.
”Baiklah.” Nyonya Mery tersenyum, suasana hatinya langsung berubah begitu George memanggilnya ibu mertua. ”Aduh, calon mantuku yang tampan kapan kau akan menikahi putriku?” Nyonya Mery memegang lengan kurus George dan bersandar dengan nyaman di sana.
Hanna tidak percaya dengan yang apa yang dilihatnya, ia tersenyum mencibir. Ia tidak menyangka ibunya langsung melembut hanya dengan sebutan 'ibu mertua'.
”Hmm, itu tergantung Hanna, Bu. Kapan pun aku bersedia. Bagaimana menurutmu?” George menatap Hanna yang berdiri di hadapannya.
Hanna setengah tertawa mendengar itu, ”Ya, mari kita menikah.”
George dan Nyonya Mery seketika tersenyum secara bersamaan mendengar jawaban Hanna. Tapi, sedetik kemudian berubah menjadi kecut.
”Dalam mimpimu.” Sambung Hanna kemudian.
Hanna mengangkat tangannya ke atas dan meregangkan otot-ototnya yang terasa lelah. ”Hoammm... Aku sudah ngantuk. Aku masuk dulu ya.” Hanna melangkahkan kakinya, pada langkah kedua ia berbalik. ”Kalian boleh melanjutkan pertemuan mertua dan menantu.”
Bibir nyonya Mery bergerak-gerak menahan emosi yang sedari tadi ia redam.
”Nak George, kau boleh pulang. Sudah larut. Terima kasih sudah mengantar Hanna. Ah, kau harus banyak bersabar menghadapi gadis nakal itu.”
George hanya tersenyum dan kemudian ia pamit undur diri.
*****
Semalam Hanna tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya dipenuhi dengan tawaran pekerjaan Will. Kadang keningnya mengkerut dan kadang juga alisnya terangkat. Tak perlu dijelaskan, ia pasti sedang mengalami kesulitan dalam mengatasi pikiran anehnya itu. Ia melirik jam yang berdiri tegak di atas meja riasnya, sudah pukul 10 pagi. Terdengar suara gemeretak ketika jarinya mengetuk meja. 'Apa salahnya mencoba. Mungkin ia serius.' Ia berbicara dengan dirinya sendiri. Saat Hanna keluar dari peraduannya, ia mendapati ibunya tidak ada di rumah. Nyonya Mery sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. Lalu ia mengambil tas selempang pink-nya dari sofa depan. Setelah menyandang tasnya itu, Hanna pergi keluar. Kunci rumah itu, ia sembunyikan di bawah pot bunga yang berada di dekat pintu. Sebab kuncinya hanya ada satu, jadi kalau ibunya pulang bisa masuk ke rumah tanpa harus menunggu Hanna. Ia berjalan keluar gang, sesampainya di jalan besar Hanna menunggu bus
”What????” Hanna membelalakkan matanya.Hampir semenit mereka berdua hening. Bola mata Hanna membara. Ucapan Will membuat tekanan darah Hanna naik, hingga sedikit terasa menegang di punuknya. Saat ini Hanna ingin sekali meloncati meja itu dan menghajar Will."Apa tadi kau menghabiskan sarapanmu?" Tanya Hanna dengan wajah kesal.Will mengernyitkan dahinya, "Hmm, tidak. Aku hanya minum jus wortel dan tomat saja. Mengapa?"Sudut bibir Hanna naik sebelah, "Pantas saja otakmu tidak bekerja dengan baik. Terapi sentuhan katamu?" Hanna memalingkan wajahnya ke luar kaca, "Cih! Dasar pria mesum gila. Hampir saja aku mempercayai omonganmu. Aku memang membutuhkan pekerjaan tapi tidak jika itu harus memberi kau sentuhan. Maaf aku tidak mau. Kau cari saja wanita lain. Di luar sana banyak tuh yang menjajakan di pinggir jalan, kau ambil saja mereka. Aku masih memiliki harga diri." Hanna menolak mentah-mentah tawaran Will. Raut wajahnya terlihat serius d
Saat Will sedang mengintai, seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya. Detik itu juga Will hampir berteriak karena kaget. Rupanya itu adalah Sean yang hendak berkunjung ke rumah Hanna.”Hei! Jika orang lain yang melihatmu, pasti mereka mengira kau adalah pencuri yang sedang mengintai calon korbanmu.” Sean mengikuti arah pandangan Will.Sean membelalakkan matanya dengan mulut terbuka lebar. Gadis yang dicintainya ada di depan sana dan Will sedang mengintainya. Sontak itu membuat Sean menjadi berang.”Dasar mesum. Kau sedang mengintip kekasihku.” Sean menarik kerah baju Will yang membuat Will menengadah.Begitu melihat rupa Will yang tersembunyi di bawah topinya, Sean menjadi salah tingkah. Ia mengenali Will Greyson. Tentu saja, siapa sih yang tidak mengenal seorang Will. Penyanyi yang hilir mudik di semua siaran televisi juga konsernya yang selalu sukses. Sebenarnya Sean salah satu penikmat lagu Will. Hanya Hanna saja yang kurang
”Spontanitas? Jadi maksudmu kau risih bila aku memelukmu?””Tidak. Bukan itu maksudku.””Lalu apa? Kau tahu itu melukai perasaanku. Kau mendorongku seolah-olah aku ini semacam kotoran saja.” Kimberley membuang pandangannya ke sudut ruangan.Will menghela napas, ia merasa bersalah telah mendorong gadis manja itu. Ia tahu betul, jika Kimberley tidak mau menatap wajahnya artinya gadis itu sangat membencinya. Tidak ada pilihan lain bagi Will. Meminta maaf pun, toh gadis itu tidak akan menolerir penyesalan Will.'Mungkin ini sudah saatnya aku memberitahu tentang phobiaku.' Will bergumam.Will berjalan mendekati tempat duduk Kimberley dan duduk di sampingnya.”Kim, sebenarnya..” Will terdiam sejenak, ia masih ragu untuk mengungkapkan penyakitnya. ”Kau tahu kan, sejak kecil aku beg
Begitu mendengar itu, Hanna hampir menyembur Sean dengan soda yang baru saja ia minum.”What??””Kau bercanda! No way! Sekalipun ia pria terakhir di bumi ini, aku tidak akan berkencan dengannya. Mengapa kau bertanya tentang itu?” Hanna balik mengintrogasi Sean.Sean merasa kikuk, ”tidak ada. Aku Hanya sembarang ngomong saja.” Sean cengar-cengir kepada Hanna.Hanna mengangkat tinjunya dan menggertak Sean, bibirnya komat-kamit.”Jika kau menyebut nama si brengsek itu lagi aku akan meninju wajah mulusmu ini.” Ancam Hanna, matanya melotot memandang Sean.”Ok, aku tidak akan.” Sahut Sean mantap.”Ini sudah malam, kau pulanglah. Aku mau istirahat.” Hanna lekas berdiri dan membuka pintu untuk Sean, memberi isyarat dengan mata agar Sean keluar.Seolah mengerti dengan kod
'Aku akan mengalahkanmu, rubah gila. Kau lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan. Haha..' Will tertawa lepas di dalam kamarnya.Suasana hatinya sedang baik. Will kemudian memainkan grand pianonya, alunan nada yang harmonis terdengar mengisi seluruh bangunan megah itu. Setiap jemari lentiknya menekan tuts dengan lembut. Menghasilkan resonansi nada yang luar biasa indah dan menyentuh hati bagi yang mendengar.Puas bermain piano, Will mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Kemudian menekan tombol panggilan. Dia scroll dari atas ke bawah mencari nomor Hanna, begitu mendapatkannya ia tersenyum licik. Tidak lama Will menunggu panggilan itu dijawab. Hanya butuh beberapa detik saja.[ ”Apa kau sudah memikirkan tawaranku kemarin?””Kau? Berani-beraninya kau menghubungi aku lagi! Sudah kukatakan aku tidak tertarik dengan tawaran gilamu itu.” Sahut Hanna dari s
”Upss,” Hanna keceplosan mengatakan tentang pernikahan. Sekarang ia malah kebingungan menjawab semua pertanyaan ibunya itu.”Hmm, ibu aku……””Kau apa?” Selidik Nyonya Mery.'Aku harus bilang apa sama ibu. Jika kukatakan Si brengsek itu mengajak aku menikah, ibu pasti akan dengan senang hati memberikan aku kepada si angkuh itu.’ Gumam Hanna dalam hati.Pergumulan terjadi dalam batin dan benaknya. Ia pandang ibunya, Nyonya Mery pun balik memandangnya dengan tatapan penasaran.”Beritahu ibu, apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa Tuan Greyson memecat ibu? Dan apa hubungannya denganmu juga pernikahan?”Hanna tampak ragu untuk mengatakannya.”Ibu, sebenarnya si brengsek yang kukatakan kemarin adalah Will Greyson. Aku baru kenal dengannya dan kata
”So, bisa kau beritahu aku, apa yang kau katakan pada gadis itu?” tanya George penasaran.Will melirik, ”mengapa kau begitu peduli dengan yang aku katakan kepadanya?””Ya, aku hanya ingin mengevaluasi saja. Apakah itu permintaan yang baik atau tidak? Sehingga membuat gadis itu menolakmu. Karena setahuku sih, kau orang yang menyebalkan. Aku khawatir kau mengatakan sesuatu yang menyinggungnya.” Ujar George.Will terkekeh mendengar ucapan psikiater sekaligus temannya itu. Dulu Will sering berkonsultasi dengan George saat ia sedang dalam keadaan tidak baik. Hampir tiap-tiap pekan ia mengunjungi George. Lama-kelamaan mereka menjadi teman. Mengingat jarak usia mereka tidak terlalu jauh, mereka cepat akrab. Sejak saat itu, bilamana Will sedang dalam masalah ia akan membagi masalahnya kepada George terlebih dahulu dibandingkan Kimberley. Jelas saja, George akan memberikanny