Share

7. Tawaran yang meragukan

'Will, pada akhirnya kau menjatuhkan harga dirimu, demi kimberley.' Ucap Will pada diri sendiri.

Kemudian ia mengambil ponselnya dan menekan nomor yang tertera di kertas itu. Will menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Beberapa detik kemudian, panggilan itu tersambung.

Hanna yang tengah menyantap barbeque-nya terusik dengan dering ponselnya. Ia menyipitkan mata bulat itu ketika melihat nomor tidak di kenal menghubunginya. Dengan malas ia menjawab panggilan itu.

”Ya, halo. Hanna di sini.” Suara Hanna terdengar kurang jelas sebab mulutnya masih penuh dengan barbeque.

[ Hai gadis gila. Apa kau mengingat aku? ] 

Sesaat mulut Hanna berhenti mengunyah. Ia tengah mengingat suara si penelepon itu. Ketika ia menyadari suara itu milik Will Greyson, Hanna membelalakkan mata dan tersedak. George segera berdiri dan menyodorkan air mineral. Hanna mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepada George untuk tetap di kursinya.

”Ternyata si mesum sok hebat. Mengapa Kau menghubungiku? Eh, bagaimana kau mendapatkan nomorku?”

[ Yah, aku mendapatkannya dari selebaran milikmu. Ku lihat kau membutuhkan pekerjaan, bukan? ]

Hanna setengah tertawa, ”Lalu, apa pedulimu? Itu bukan urusanmu.”

[ Aku akan memberikan pekerjaan kepadamu. ]

Hanna mengangkat sebelah ujung bibirnya meremehkan ucapan Will.

”Pekerjaan? Kau yakin ingin memberikan aku pekerjaan atau hanya ingin membalas aku? Sorry ya, tuan angkuh dan sok hebat, aku tidak tertarik tuh.”

[ Aku serius. Bila kau menerima tawaranku, temui aku besok pagi di kafe Craby Monday. Jadi, masih ada waktu untukmu untuk memikirkannya. ]

”Aku…” Belum selesai Hanna menjawab, Will sudah memutus panggilan itu.

Raut wajah Hanna terlihat kesal. Ia masih kurang percaya dengan tawaran Will. Tapi, disisi lain ia juga membutuhkan pekerjaan. Hanna sering merasa kasihan kepada Ibunya, diusianya yang sudah cukup tua, masih bekerja menghidupi kebutuhan mereka. George yang sedari tadi menyimak percakapan Hanna, memulai pembicaraan.

”Siapa yang menghubungimu barusan? Kau terlihat gusar.”

”Ah, itu si pria mesum yang kubicarakan tadi. Ia menawarkan pekerjaan. Aku hanya dilema saja. Apa ia sungguh-sungguh atau hanya mempermainkan ku?” Hanna mengambil gelas berisi air dan menghabiskan isinya. 

”Kau terima saja tawarannya. Mungkin ia tulus mengatakannya.”

Hanna diam sejenak menyimak ucapan George. Ia masih mempertimbangkan tawaran Will Greyson. Ia hanya khawatir, kalau-kalau si pria menyebalkan itu hanya mengerjainya. 

”Ah, perutku terasa penuh sekali. Terima kasih ya, George untuk dinner malam ini. Aku jadi merindukan ranjangku yang empuk. Kita pulang yuk, mataku sudah mulai lelah.” 

Setelah George membayar bill, George mengantar Hanna pulang. Selama di perjalanan Hanna terus saja bercerita. George sesekali tertawa mendengar candaan Hanna. Mungkin bagi Hanna George hanyalah pria yang kesekian kalinya, tapi dalam hati George gadis itu yang pertama. 

”Terima kasih atas tumpangannya George juga makan malamnya.” Ujar Hanna sembari melepaskan seatbelt yang mengungkungnya. 

”kau jangan sungkan. Aku senang melakukannya. Hanna, aku..” George mendekat.

”Ya, ada apa George?”

George meletakkan kedua tangannya di wajah Hanna dan menariknya lebih dekat dengannya. Sedetik kemudian George mencumbu bibir manis Hanna. Hanna terperanjat, namun ia menikmati adegan itu. Tanpa diduga, Nyonya Mery yang baru pulang bekerja melihat anak gadisnya itu berciuman dengan seorang pria. Sontak Nyonya Mery berdiri di depan pintu mobil dan mengintip dari kaca.

Tatapannya beradu dengan mata George. Jelas saja itu membuat George terkejut dan wajahnya pucat pasi seperti sehabis melihat hantu. 

”Ada apa George? Kenapa kau terlihat ketakutan?” Tanya Hanna, ia menyadari George yang salah tingkah.

George tersenyum kecut sambil garuk-garuk kepala. ”Eh…itu ibu mertua ada di belakangmu.” George menunjuk ke belakang Hanna.

Hanna membulatkan matanya dan mengikuti arah telunjuk George. Betapa kagetnya ia mendapati ibunya tengah berdiri di depan kaca sambil berkacak pinggang.

”Hanna. Buka pintunya.” Teriak Nyonya Mery sambil mengetuk-ngetuk kaca mobil. 

Hanna segera membenamkan wajahnya ke telapak tangannya. Ia begitu malu juga takut dengan kemarahan ibunya.

”George, bawa aku kabur dari sini. Dia akan menyiksa aku sampai mati.”  Pinta Hanna, sesekali ia melihat ke belakang, ibunya masih berdiri di situ dan tentu saja berteriak.

”Hanna, keluar sekarang juga!”

George menggeleng, ”Tidak Hanna. Aku tidak punya nyali. Sebaiknya kita keluar saja. Ibu mertua semakin marah.”

Hanna tidak punya pilihan apapun selain turun dan menghadapi kemurkaan ibunya. George berdiri di sana membungkuk memberi hormat kepada nyonya Mery. Sorot matanya membara perlahan meredam. 

”Aish, dua anak muda yang sedang mabuk cinta ini tidak tahu malu. Jika kalian ingin melakukan itu, menikah dulu.” Geram nyonya Mery.

Hanna membelalakkan matanya, ”Ibu, jangan menjadikan ini sebagai alasan agar aku menikah.”  Sanggah Hanna, kemudian ia melipat tangannya di depan dada dan mengalihkan pandangan ke jalan.

Nyonya Mery merasa geram dengan sikap putrinya itu, sontak ia menarik daun telinga Hanna. 

”Aww..sakit. Lepaskan Bu, aku malu di lihat George.” Ia meringis, wajahnya memerah menahan malu kala George memperhatikan mereka.

”Dasar gadis nakal. Kau bukan remaja lagi usiamu sudah matang untuk menikah. Jangan bermain-main lagi.” Nyonya Mery semakin menarik telinga putrinya itu, hingga berubah merah.

”Ibu mertua, tenangkan dulu amarah ibu. Kasihan Hanna, Bu.” George menyela pertengkaran ibu dan anak itu.

Tatapan Nyonya Mery seperti tatapan seorang Adolf Hitler yang membuat George harus menundukkan mukanya. Ia tidak tahan dengan sorot mata yang seakan menusuk jantung itu. 

”Baiklah.” Nyonya Mery tersenyum, suasana hatinya langsung berubah begitu George memanggilnya ibu mertua. ”Aduh, calon mantuku yang tampan kapan kau akan menikahi putriku?” Nyonya Mery memegang lengan kurus George dan bersandar dengan nyaman di sana.

Hanna tidak percaya dengan yang apa yang dilihatnya, ia tersenyum mencibir. Ia tidak menyangka ibunya langsung melembut hanya dengan sebutan 'ibu mertua'.

”Hmm, itu tergantung Hanna, Bu. Kapan pun aku bersedia. Bagaimana menurutmu?” George menatap Hanna yang berdiri di hadapannya.

Hanna setengah tertawa mendengar itu, ”Ya, mari kita menikah.” 

George dan Nyonya Mery seketika tersenyum secara bersamaan mendengar jawaban Hanna. Tapi, sedetik kemudian berubah menjadi kecut.

”Dalam mimpimu.” Sambung Hanna kemudian.

Hanna mengangkat tangannya ke atas dan meregangkan otot-ototnya yang terasa lelah. ”Hoammm... Aku sudah ngantuk. Aku masuk dulu ya.” Hanna melangkahkan kakinya, pada langkah kedua ia berbalik. ”Kalian boleh melanjutkan pertemuan mertua dan menantu.”

Bibir nyonya Mery bergerak-gerak menahan emosi yang sedari tadi ia redam. 

”Nak George, kau boleh pulang. Sudah larut. Terima kasih sudah mengantar Hanna. Ah, kau harus banyak bersabar menghadapi gadis nakal itu.” 

George hanya tersenyum dan kemudian ia pamit undur diri. 

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status