"Di mana calonmu, Safa?"
Safa sudah terisak penuh khawatir. Tangannya tak lepas dari ponsel yang digenggamnya sedari tadi dengan tatapan yang terus menunggu kabar dari sang kekasih.
"Safa belum tahu, Yah, nomornya tidak bisa dihubungi,” lirih Safa dengan tangis. Perasaannya penuh tanda tanya dan resah tiada tara.
Marlan pun ikut merasakan hal yang sama, tetapi sudah hampir dua jam menunggu dan calon Safa belum juga datang. Padahal, jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh dan seharusnya dia sudah sampai sejak tadi sesuai jadwal yang telah disepakati.
"Bagaimana ini, Pak? Berapa lama lagi saya harus menunggu?" tanya sang penghulu.
Mendengar hal itu, Safa langsung menjawab lantang agar sang penghulu mau menunggu sebentar lagi. Ia memohon dan meyakinkan padanya jika calon suaminya pasti akan hadir. Otak Safa masih berpikir positif, mungkin saja terjebak macet dan ponselnya mati.
Melihat Safa yang antusias, Marlan ikut meyakinkan sang penghulu. Ia meminta kebijakan waktunya untuk diperpanjang lagi.
"Baiklah saya tunggu, tetapi jika dalam waktu tiga puluh menit calon pengantin pria belum hadir juga, maaf dengan terpaksa saya harus pergi karena saya harus menikahkan di tempat lain."
Air mata Safa langsung berderai deras. Ia meninggalkan tempat dan kembali menghubungi nomor kekasihnya, tetapi sayang jawabannya tetap sama. Namun, Safa tak menyerah hingga ia mencoba berulang kali sampai akhirnya menyerah dan berteriak histeris sembari melemparkan ponsel itu ke sembarang arah.
"Di mana kamu, Mas? Kenapa kamu tidak bisa dihubungi di saat hari bahagia kita tiba." Suara Safa parau dengan buliran bening yang terus keluar dari pelupuk matanya.
Tubuhnya tak berdaya dan lemas hingga kini sudah terduduk di dasar lantai. Ia tersedu mengingat dirinya sudah tampak anggun dengan baju pengantin impian berserta riasan tipis di wajah juga mahkota yang menambah kecantikannya. Namun, melihat kekasihnya yang tidak hadir membuat semua tidak ada artinya lagi.
Sementara tanpa diketahui sang putri, Marlan menghampiri seorang pria yang dikenalinya. Ia berbincang padanya dan mengutarakan tujuannya untuk menggantikan calon pengantin pria yang tidak hadir.
“Saya percaya sama kamu. Kamu pria baik dan mohon menikahlah dengan Safa sekarang. Saya tidak mungkin membatalkan acara ini begitu saja.” Marlan penuh mohon dan yakin jika pria itu dapat mengayomi Safa nantinya.
"Tapi, Pak-"
"Saya mohon. Saya tidak ingin semua orang memandang buruk Safa nantinya jika pernikahan ini gagal." Marlan tak ada cara lain selain menggantikan calon kekasih Safa untuk pernikahannya. "Lagipula kamu mencintai Safa bukan?"
Pria itu tertegun saat mendengar pernyataan Ayah Safa yang memang benar adanya, tetapi berat rasanya untuk mengiyakan tawaran tersebut. Bahkan, ia juga sadar jika Safa pasti sangat membencinya.
“Bagaimana, Nak? Kamu bersedia, ya?” Marlan masih menunggu respon dari pria yang duduk di hadapannya.
"Tapi ... apa Safa akan menerima saya nantinya, Pak?" Rasa takut itu pun keluar dari mulut pria kalem tersebut. Ia takut Safa justru akan marah nantinya.
Seketika Marlan menepuk bahu pria itu lembut seraya tersenyum. "In syaa Allah, berjalannya waktu saya yakin Safa akan menerimanya karena ia sangat menghargai hukum agama. Saya yakin jika kalian memang berjodoh."
Pria itu mematung mendengarkan kalimat yang rasanya tidak adil bagi Safa. Namun, ia akan menerima semua resiko jika suatu saat Safa meminta pergi darinya. Ia paham karena cinta tidak harus memiliki.
"Sekarang bersiaplah! Lima menit lagi akad akan dimulai." Tanpa menunggu jawaban, ia yakin jika pria itu mau menerimanya.
Marlan pun pergi meninggalkan dan berjalan menuju kamar Safa. Mengetuk pintu perlahan, terdengar isakan yang menggema di telinga. Tak ada jawaban, Marlan masuk ke dalam untuk melihat kondisi Safa. Dadanya sembilu menatap sang putri yang memprihatinkan.
"Safa, kamu bersiap, ya. Akadnya akan dimulai," kata Marlan dengan suara bergetar.
"Apa Mas Faqih sudah datang, Yah?" Safa menoleh saat mendengar kabar yang seharusnya terjadi sedari tadi.
Marlan sangat tidak tega mengatakan yang sebenarnya, tetapi lebih tidak tega jika pernikahan tidak berjalan. Semua pasti akan mencemooh Safa dan membuat mental Safa semakin terpuruk.
"Tidak, Nak. Kekasihmu tidak datang, tetapi Ayah akan menikahkan kamu dengan pria lain. Maafkan Ayah, Ayah terpaksa karena Ayah tidak mau kamu dipandang buruk karena kamu gagal menikah."
Safa membulatkan matanya lebar. "Apa, Yah? Menikah dengan pria lain?" Tenggorokannya terkecat disertai hati yang menyayat. Bagaimana bisa Ayah memberi jalan keluar dengan memberi jalan pengganti calon pria.
Ia menggeleng tak setuju. "Enggak, Yah. Safa tidak mau. Safa hanya ingin Mas Faqih dan jika memang Mas Faqih tidak datang, lebih baik pernikahan ini gagal. Tidak perlu digantikan."
Air mata kembali menetes satu persatu dari pelupuk matanya. Ia tidak bisa menerima pria lain begitu saja lagipula pria siapa yang dimaksud ayahnya itu. Ayah juga mengapa tidak berdiskusi dulu dengannya. Padahal yang menjalankan penrnikahan adalah dirinya bukan ayah.
"Tidak semudah itu, Nak. Para tamu sudah berdatangan dan Ayah tidak mungkin membatalkan pernikahanmu begitu saja." Suara Marlan lirih penuh mohon. Netranya memandang Safa sendu tak bermaksud mengorbankan kebahagiaannya.
"Tapi, Yah, Safa hanya mencintai Mas Faqih," ujar Safa tertunduk lesu. Entah mengapa semua menjadi rumit dan harus dihadapkan dengan seperti ini.
Marlan pun menggenggam erat lengan sang putri. Ia paham akan perasaan Safa, tetapi tidak ada cara lain selain mengganti calon pengantin pria agar pernikahan tetap berjalan.
"Maafkan Ayah, Nak, tetapi ini sudah keputusan Ayah dan Ayah tidak mau nama keluarga kita buruk karena pernikahan yang gagal. Ayah harap kamu bisa menerimanya. Ayah tunggu kamu di bawah." Marlan meninggalkan Safa dengan perasaan yang berkecamuk.
Ada perasaan bersalah sedikit memaksa Safa untuk menikah dengan orang lain, tetapi Marlan tidak ada pilihan lain. Lagipula tidak ada yang mengenal Faqih sebagai calon Safa sesunggguhnya.
Berjalannya waktu, Marlan pun menjabat tangan pria muda di hadapannya dengan wajah haru dan dengan rahang tegas, pria di hadapannya berhasil mengucapkan ijab dalam satu kali tarikan napas. Bahkan suara riuhan kata "sah" pun bersorak riang di sekeliling. Seketika air mata mengalir mengingat putrinya telah berhasil ia nikahkan.
"Saya titipkan Safa padamu, Nak!" Marlan tak kuasa menahan tangis hingga mendekap tubuh sang pria yang berhasil menikahi putrinya. "Jaga Safa dengan baik, ya. Jika kamu sudah tidak mampu lagi, maka kembalikan Safa pada saya."
Sementara Safa terus terisak di dalam kamar. Hatinya berdenyut nyeri saat mendengar jelas kalimat yang telah terucap. Ijab kabul yang seharusnya dirasakan penuh bahagia bersama lelaki pilihannya, tetapi sirna begitu saja. Ijab terucap dari pria yang tidak Safa ketahui seakan rasa amarah dan kesal bergemuruh menjadi satu.
"Maaf, Neng, ayo kita ke bawah."
Safa menoleh, tubuhnya berdiri kaku berharap kekasihnya datang, tetapi percuma karena saat ini dirinya sudah menjadi milik orang lain. Kini, Safa melangkah menuju acara.
Sudut matanya pun basah dan menahan kuat agar dirinya tak menangis di hadapan para tamu undangan. Sepertinya kali ini ia harus berperan sebaik mungkin agar kabar yang sesungguhnya tidak terdengar oleh telinga mereka.
"Safa, berilah salam pada suamimu, Nak!" kata Marlan mengingatkan sang putri.
Hatinya menjerit, ingin sekali kabur dari tempat yang tidak diinginkan, tetapi seolah semua telah direncanakan sedemikian rupa sehingga dirinya tak mampu berbuat apa-apa.
Wajah Safa yang tertunduk pun perlahan mendongak menatap sosok suami yang secara tidak langsung dijodohkan oleh ayahnya. Padahal, ia telah memilih pujaan hatinya sendiri.
Matanya hampir tak berkedip menyaksikan pria yang berdiri di hadapan. Air liurnya tertahan berbarengan dengan rasa sesak yang menyeruak. Bahkan tubuhnya begitu gugup seakan semua hanyalah mimpi, tidak habis pikir bagaimana bisa ayah meminta pada pria itu.
“Az-ril!”
Tangannya mengepal kuat dan tidak menyangka takdir mempermainkan dirinya begitu hebat. Hati Safa semakin tak terima jika yang menjadi suaminya sekarang adalah Azril."Mengapa harus kamu yang menjadi suamiku?” batin Safa menjerit, tubuhnya tidak tergerak sedikit pun. Bahkan ia mengabaikan perkataan Marlan hingga sentuhan lembut terasa di bahunya membuat Safa tersadar.“Dia sudah menjadi suamimu, Nak, beri hormat padanya!” Marlan kembali mengingatkan.Safa menghela napas panjang dan terpaksa meraih tangan Azril seraya mengecup punggung tangannya dengan takzim. Rasanya ingin mencengkeram keras tangan itu, tetapi dirinya tak mampu dan memilih melepaskan tangannya.“Maafkan saya Safa, saya tidak bermaksud menyakitimu." Azril mendekat dan berbicara pelan tepat di depan wajah Safa sebelum menyentuh keningnya.Safa tidak peduli dan segera menjauhkan tubuhnya dari
“Anu, Yah, tadi Safa kebelet jadi lari ke kamar mandi sini karena di kamar mandi Safa ada Azril.” Ia menjawab ragu seraya dalam hatinya meminta maaf karena berbohong.Marlan memicingkan matanya heran. Sedikit masuk akal apa yang dikatakan putrinya, tetapi pandangannya tak lepas dari isi ruangan yang terlihat berantakan.“Lalu kamarnya kenapa-”Belum selesai bicara, Bi Inah sudah memotong kalimatnya terlebih dahulu. Ia tahu jika tuannya menaruh curiga, tetapi sebisa mungkin ia harus membereskannya.“Ah, iya maaf, Tuan. Ini kesalahan saya karena tadi pagi lupa menutup jendela kamar jadi tikus masuk dan menimbulkan kerusuhan. Nanti akan saya rapikan, Tuan.” Bi Inah pun terpaksa berbohong untuk membatu nona mudanya yang sedang gugup sekarang.Marlan menghela napas. “Hmm, lain kali jangan teledor, ya, Bi. Setelah ini tolong dibereskan lagi dan Safa segera kembali ke kamarmu.”Safa masih mematung dan mengangguk dengan terpaksa. Padahal, ia baru berniat untuk tidur di sini, tetapi sudah tert
Safa melenggang pergi tanpa memedulikan Azril yang mematung. Air matanya masih ingin tumpah, tetapi berusaha untuk tidak dikeluarkan dan tiba-tiba Safa dikagetkan oleh Marlan yang sudah berdiri di hadapan.“Loh, kamu mau pergi?” tanyanya pada sang putri. “Azril mana?”Safa tertegun dengan tubuhnya yang kaku. Matanya sedikit terpejam, berharap ayah tidak mendengar keributan di kamarnya tadi.“A-ada di kamar, Yah!” jawab Safa gugup.Marlan menggeleng menatap Safa yang sepertinya tidak baik. Ia paham jika Safa belum terima dengan pernikahannya, tetapi Safa harus sadar jika kekasihnya sudah pergi meninggalkan. Melihat ketegangan di wajah sang putri, Marlan tersenyum dan menuntun Safa ke meja makan.Kebetulan makanan sudah siap dan sudah waktunya sarapan. Namun, ia tidak suka melihat wajah putrinya yang tidak ceria.“Masih pagi itu harus senyum. Tidak baik wajah ditekuk kaya gitu. Kamu lagi ada masalah?” Marlan sudah menarik kursi untuk Safa duduk.Dugaan seorang ayah memang selalu tepat s
Marlan pun menceritakan pertemuannya dengan Azril. Saat itu berkenalan dan menjadi dekat dengannya. Terlebih, pria itu memiliki pandangan yang berbeda terhadap Safa sehingga sebagai seorang ayah paham betul apa yang Azril rasakan.Safa sendiri yang mendengar bagai tertusuk duri, sama sekali tidak mengetahui jika Ayah memantau sejauh itu. Bahkan, rasanya ayah lebih banyak mengetahui tentang Azril.“Belajarlah menerima Azril dan lupakan Faqih, Nak. Jika Faqih mencintaimu, dia tidak akan membuatmu kecewa.” Marlan mengusap lembut kepala Safa dan memberinya pengertian.Safa menggeleng tak percaya. Ia yakin jika Faqih tidak seburuk yang ayahnya katakan, hati kecilnya yakin jika Faqih merupakan pria baik dan tidak kehadirannya kemarin pasti terjadi sesuatu dengannya.“Raihlah surgamu bersama Azril, Safa. Sekarang dia suamimu dan tidak perlu lagi kamu memikirkan Faqih,” tegas Marlan agar Safa membuka hati.Hati Safa meringis, dadanya begitu sesak dan tidak ingin berdebat dengan ayah. Emosinya
Sekuat tenaga Azril memberi alasan yang tepat agar orang tuanya mengerti. Ia tidak mengatakan pernikahan yang sesungguhnya. Azril tidak ingin membuat orang tuanya sedih.“Tidak baik bertamu di malam hari, Mih. Nanti saja Azril atur pertemuannya, ya!”“Kamu sedang tidak mencegah Amih dan Bapa, ‘kan, Ril?” Kini Amri mengomentari sikap putranya yang seolah sedang menahannya.Azril gelagap dan meneguk salivanya kuat, tetapi dengan cepat langsung memberi kalimat yang membuat orang tuanya yakin.“Enggak, Pa, justru Azril sangat senang, tetapi sekarang belum waktunya.” Azril menegaskan, walau dalam hatinya memang belum siap mempertemukan orang tuanya dengan Safa.Wanita paruh baya itu mengangguk pasrah. “Baiklah, Amih hanya mendoakan yang terbaik untukmu.”Azril tersenyum manis, tidak tega melihat antusias ibunya yang harus ia kecewakan. Namun, ia berjanji akan membawa Safa secepatnya di hadapan Amih. Seketika Azril pun pamit untuk kembali pulang.“Hati-hati, salamkan Amih pada istrimu, ya!”
“Kalo tidak salah Tuan Muda pernah menyebutnya Safa. Iya Nona Safa.”Safa semakin lemas dan ingin meruntuhkan tubuhnya begitu saja. Nama itu merupakan dirinya sendiri, tetapi mengapa Faqih tidak hadir di hari pernikahan.“Lalu, apa Bapak tahu di mana keberadaan Faqih sekarang?” Safa terisak nyeri dalam dadanya. Ia semakin penasaran dan ingin mengetahui lebih jauh.“Maaf, Non, saya tidak tahu karena saya pun baru bekerja di sini,” kata pria paruh baya tersebut. “Kalo boleh tahu Nona ini siapa?”Safa tidak tahan lagi hingga ia pergi tanpa menjawab pertanyaannya. Entah apa yang terjadi pada kekasihnya sekarang. Ia berlari sekuat tenaga dengan tangis yang terus mengalir di pipi.“Argh, Mas Faqih. Di mana kamu, Mas?” lirih Safa berhenti di tepi jalan. Ia tidak peduli dengan para kendaraan yang memerhatikannya.Pikiran Safa berjalan melalang buana. Rasanya tidak mungkin jika Faqih berbohong. Jika dia menikah bersama wanita lain, mengapa tidak ada satu pun yang tahu di mana keberadaannya.Sa
Pria muda itu tengah memandang wajah Safa dengan cemas. Beruntungnya ia tidak terlambat sehingga dapat menangkap tubuh Safa yang tumbang. Kini, wanita itu sudah terbaring lemah di atas ranjang.“Jangan menyiksa diri, Fa! Sedih boleh, tetapi tidak perlu dzolim sama diri sendiri. Tubuh juga perlu perhatian,” kata Azril terus mengoceh.“Kenapa kamu belum makan?” Azril mendesak Safa yang tak menjawab. Tatapannya tak lepas dari Safa. “Sekarang, makanlah! Biar aku suapin.”Safa menahan. Ia berusaha bangkit dan menolak tawaran Azril. “Biar aku sendiri, aw!”Ringisan itu terdengar membuat Azril menghela napas. “Lebih baik kamu nurut, biar aku suapi.”Mau tidak mau, Safa pun mengalah. Tubuhnya tidak bisa diajak bekerjasama. Suapan demi suapan, pria itu begitu telaten menyuapi hingga matanya bertemu membuat Safa mengalihkan pandangan.Ia sedikit tertegun dengan perhatian yang kembali terulang beberapa tahun silam bahkan dia terlihat lebih dari yang Safa kira. Namun, segera ia tepis untuk tidak
Safa pun langsung terbelalak. Air liurnya tertahan dan menepis tangan kekar itu untuk segera menyingkir di atas dahinya.“Aku sudah lebih baik,” kata Safa menahan rasa degupan jantungnya yang naik turun.“Syukurlah, tetapi kamu tumben sekali meminta izin,” Azril memandang bingung, aneh sekali dengan sikapnya. “Hmm, apa kamu sedang mengigau?”“Aku mengatakan dalam keadaan sadar,” ujar Safa asal, lalu beranjak menjauh. Tidak ingin terus berhadapan dengannya. “Lagipula kamu sendiri yang mengatakan untuk memberitahu jika aku ingin pergi.”Azril menghela napas. Memang benar apa yang dikatakan Safa, tetapi rasanya aneh sekali. Apa mungkin itu efek dari sakit kemarin? Entahlah, ia tak ingin banyak bertanya.Pria itu merogoh saku, lalu mengambil sesuatu dan diberikan kepada Safa. “Ini untukmu!”Safa mengernyit bingung saat Azril meletakkan lembaran merah yang berada di atas telapak tangannya.“Apa maksudnya? Kamu tidak bisa menyogokku dengan sejumlah uang, Ril!” Safa tidak terima dengan balas