Pov Yudatara"M-mas ...kok itu adaa ..." Dengan takut-takut Salma menunjuk Elkan. .,Salma tak meneruskan kata-katanya. Wajahnya nampak cemas ketika tiba-tiba Elkan membalikkan tubuhnya dan mencoba menghampirinya. "Salma ..., kamu nggak apa-apa, kan? Kamu baik-baik aja,kan?' Apa yang sakit?" Salma perlahan merapatkan tubuhnya padaku. Wajahnya sangat cemas. "Kenapa, Sayang?" Aku meraih pinggangnya. Salma menggeleng. Lalu menutup mulutnya. "Hoeek ...!" Istriku melepaskan tanganku kemudian melangkah cepat menuju toilet yang berada di dekat ruang kerjaku. Aku terus mengikutinya. Memiijit-mijit tengkuk dan pundaknya. Salma terus muntah, tapi tidak ada yang keluar dari perutnya. "Aku hanya mual, Mas. Tidak usah ke dokter." "Jangan membantah, Salma! Aku tidak ingin kamu sakit. Ayo! Aku gendong ke mobil!' "Eeeh ... eh ...., nggak usah! Aku jalan aja. Ayo ke dokter," Salma menjerit ketika hendak kugendong. Kamipun masuk ke dalam mobil. Salma duduk di sebelahku. Sementara Elkan dud
"Salma awaaass ...!' Aku merasa seseorang meraih tubuhku dan menariknya ke tepi jalan. Tubuhku saat ini terjatuh diatas trotoar. Namun sama sekali tidak sakit karena ternyata ada sesuatu yang menahan tubuhku hingga tak bersentuhan dengan aspal. Seketika itu juga aku mendengar suara sesuatu yang terhempas dengan kencang tak jauh dari tempatku. Aku tersentak saat menyadari tubuhku menindih sesuatu. Sontak aku bangkit kala wajahku dan Elkan nyaris tak berjarak. Ternyata Elkan lebih dulu terjatuh saat berusaha meraih tubuhku. Hingga aku terhempas tepat di atas tubuhnya.. Seketika aku teringat dengan suamiku. Setelah berusaha bangkit, mataku menyisir sekeliling mencari keberadaan Mas Yuda. "Mas Yudaaa ...!" Aku kembali menjerit melihat Mas Yuda telah tersungkur tak berdaya di tengah jalan. Orang-orang mulai berdatangan. Beberapa petugas medis berlari menghampiri Mas Yuda. Sementara tubuhku kembali luruh ke aspal. Merasa tak sanggup untuk berdiri. "Ayo Aku bantu!" Sontak aku menole
"Dok, bagaimana dengan suami saya?" "Sabar ya, Bu. Paramedis sedang menangani suami Ibu. Doakan saja agar semua baik-baik saja." "Terimakasih, Dok." Entah kenapa hati ini sangat cemas. Firasat buruk muncul begitu saja. Namun aku tak boleh berpikir buruk. "Bagaimana dengan pasien di sebelah saya ini, Dok?" "Oh, ya. Syukurlah Bapak Elkan baik-baik saja. Dia hanya terbentur sedikit di bagian kepala." "Tapi kenapa dia sampai pingsan, Dok?" "Elkan tadi pingsan pasti karena melihat darahnya sendiri. Dia memang nggak kuat kalau lihat darah," sahut dokter Mariska seraya mengulum senyum. "Loh, rupanya dokter kenal baik dengan Elkan?" "Iya, Bu Salma. Baiklah, Saya tinggal dulu. Jika tidak ada keluhan, setelah observasi beberapa jam, Ibu boleh pulang." Aku hanya bisa mengangguk. Yang ada dalam pikiran aku saat ini hanyalah Mas Yuda. "Salma ..., kamu nggak apa-apa, kan?" Sontak aku menoleh ke samping. Ternyata Elkan telah siuman. "Aku nggak apa-apa. Kamu tuh sampai pingsan." "Apaa?
"Apa benar yang dikatakan oleh Mira, Salma?" Ayah mengulang kembali pertanyaannya. Aku menggeleng. "Memang benar aku pernah bertemu dengan Elkan. Walau Yuda tidak ada, tapi suamiku tahu pertemuanku dengan Elkan. Karena memang ada urusan." "Halah! Nggak mungkin Yuda membiarkanmu pergi dengan laki-laki lain. Ingat, Salma, Aku tau persis tentang Yuda. Aku paham dengan sifatnya." Mira menampik penjelasanku dengan sangat yakin. Tiba-tiba Aku kembali merass mual dan pusing. Lalu merebahkan lagi tubuhku pada brankar ini. "Ayah, Tolong percaya padaku. Saat ini aku hanya ingin fokus pada keselamatan Mas Yuda Aku mohon ...!" Bulir bening kembali luruh dari kedua sudut mataku. Mengingat Mas Yuda yang belum sadarkan diri. Aku tahu Elkan berkali-kali melirikku dengan cemas. Beruntung laki-laki itu tahu situasi. Dia hanya diam sejak tadi. Ayah dan Kak Rio hanya diam. Semoga saja mereka tidak mempercayai kata-kata Mira. Wanita itu tersenyum puas setelah mencoba memfitnahku. "Keluarga Bap
"Iya, Ayah mau punya cucu," jawabku masih dengan senyuman dan air mata. "Jangan senang dulu, Yah! Jangan-jangan itu bukan anaknya Yuda." tuduh Mira padaku. "Astagfirullah ...! Kamu tega sekali Mira," lirihku dengan suara bergetar. Rasanya pedih sekali di tuduh seperti ini.Dadaku kembali terasa sesak. "Mira, tutup mulutmu! Dasar penghasut!" geram Elkan , melotot pada Mira. "Hahaha .... loh, kenapa kamu yang marah? Atau jangan-jangan kamu merasa sebagai tertuduh di sini?" Mira tersenyum puas. "Sudah, sudah! Kita tunggu Yuda sadar untuk membuktikannya! Sebaiknya kita berdoa untuk kelancaran operasinya," pungkas Ayah. Kenapa Ayah bicara seperti itu? Apa Ayah juga meragukanku? Ya Allah ..., kuatkanlah hambamu ini. Suasana selanjutnya menjadi tidak nyaman. Ayah tak sehangat biasanya padaku. Kak Rio, Ayah dan Mira meninggalkanku di UGD untuk menunggu Mas Yuda di depan ruang operasi. Sementara Elkan masih menemaniku di sini. "Suster, Saya boleh pinjam kursi roda? Saya mau menungg
Perlahan aku coba membuka mata. Aroma obat-obatan khas rumah sakit masih tercium jelas olehku. Kali ini aku melihat selang infus sudah terpasang pada tangan kiriku. Saat ini aku berada di ruang berdinding warna putih bersih dengan hiasan walpaper motif bunga di bagian tengahnya "Salma ...." Aku menoleh pada suara yang tak asing bagiku. Pria itu masih di sini menemaniku. Dia benar-benar menepati janjinya untuk selalu menjagaku. Raut wajahnya nampak lelah. Elkan terlihat pucat. Saat ini penampilannya tidak lagi memukau seperti biasa. Pria ini terlihat berantakan dengan rambutnya yang kusut. "El ..., kamu kenapa masih di sini?" tanyaku dengan suara lemah. "Mana mungkin aku meninggalkanmu ketika sedang pingsan?" sahutnya seraya lebih mendekat pada ranjangku. "Apakah ... Ayah dan Kak Rio benar-benar tidak peduli lagi padaku?" suaraku bergetar, menahan rasa sesak yang kembali memenuhi dadaku. "Sudahlah. Jangan kamu pikirkan itu. Ada hal lebih penting yang harus kamu pikirkan!" Aku
"El, ponselku mana?" "Tas dan ponselmu ada di laci ini," sahutnya sambil mengambilkan untukku. "Terima kasih." "Sebaiknya kamu pulang saja, El. Aku akan minta Kak Lina mencarikan orang yang bisa menemaniku. " "Apaa? Lina salah satu kakak iparmu itu?" Aku mengangguk. "Apa kamu masih percaya pada mereka? Setelah apa yang mereka lakukan padamu selama ini?" "Aku lelah, El. Aku yakin mereka sudah berubah. Mereka sudah mendapatkan ganjarannya." Wajah Elkan tiba-tiba menggelap. Pasti dia ingat dengan uang satu milyarnya. Namun aku salut, Elkan tidak menuntut keluarga iparku itu ke jalur hukum. Padalah dia adalah seorang pengacara. "Terserah padamu, Salma. Aku akan pulang jika sudah ada yang menggantikanku di sini," ucapnya seraya menghempaskan tubuhnya pada sofa yang terdapat di sudut ruangan ini. Selanjutnya tidak ada percakapan diantara kami. Elkan nampak mulai memejamkan mata. Sementara aku masih mencoba menghubungi Kak Lina dan Mak Isah. -------- "Bu Salma, badannya kita
Kak Rio dan Mira melarangku menemui Mas Yuda. Sejak kemarin aku hanya mendapat informasi dari para perawat di sini. Syukurlah para perawat di sini baik dan mengerti dengan kesulitanku. Namun demikian, Aku harus tetap mencari cara agar bisa mememui Mas Yuda. Bagaimanapun juga, suamiku itu butuh dukunganku. Mungkin jika aku berada di dekatnya, alam bawah sadarnya akan merasakan kehadiranku. Apalagi saat ini ada buah cinta kami di dalam perutku. Semoga dengan demikian, Mas Yuda bisa cepat sadar. Setelah berpikir panjang, aku mempunyai satu cara. Aku akan minta tolong pada dokter Mariska. Kelihatannya dokter itu baik. Semoga saja dia bisa membantuku. Tiba-tiba pintu ruang rawatku diketuk. Tidak mungkin Kak Lina balik lagi. Karena kakak iparku itu baru saja pulang untuk mengambil beberapa pakaiannya. Karena aku memintanya untuk menginap di sini selama aku dirawat. "Selamat siang, Salma." "Selamat Siang. Astaga, Rein. Syukurlah kamu bisa datang." Bagaikan kedatangan dewa penolong, aku