"Ayaaah ...!" Raihan tiba-tiba saja keluar dari kamarnya dan berlari ke ruang tamu. Putraku itu ternyata juga mendengar suara yang sangat tidak asing bagi kami. Sementara kakiku terasa lemas seakan tak bertulang. Benarkah tadi itu suara Mas Yuda? "Bunda ... Ayah pulang!" pekik Yumaina seraya menjatuhkan rangkaian bunga ditangannya. Putriku itu pun berlari ke ruang tamu. Tubuhku gemetar. Mulutku terkunci. Ternyata sejak mendengar ucapan ijab kabul dan kata sah dari para saksi, aku sontak berdiri karena terkejut dengan suara yang sangat aku kenali. Bu Ratri datang menghampiriku. "Kita ke depan, Bu!" ujarnya seraya mengangguk sopan dan salah satu tangannya mempersilakan aku untuk berjalan lebih dulu.Aku yang masih shock hanya terdiam dengan berbagai pemikiran di kepalaku. Apakah benar tadi itu Mas Yuda? Bukankah kondisinya sangat lemah saat aku tinggalkan dua bulan yang lalu? Apakah dia sudah sembuh? Lalu dengan siapa dia ke sini? Astaga ... Elkan! Kemana pria itu? Apakah dia
Sejak acara kami selesai tadi siang, Mas Yuda tertidur pulas dipelukanku. Kondisinya masih lemah. Sepertinya dia kelelahan. Mulai saat ini aku harus bisa menahan egoku. Rasa kecewa yang pernah hadir perlahan akan sirna oleh rasa cinta yang begitu besar diantara kami. Perlahan aku bangkit dan melepaskan tangannya yang masih melingkar di pinggangku. Setelah menyelimuti tubuhnya, aku perlahan keluar kamar. "Mak, apa Rein masih ada di luar?" tanyaku saat bertemu Mak Isah di ruang makan "Sepertinya masih, Neng." "Anak-anak mana, Mak?" "Tadi Anak-anak di ajak Bu Ratri ke kamarnya. Sepertinya setelah makan tadi pada ngantuk terus ketiduran," jelas Mak Isah lagi. Aku mengangguk, kemudian melangkah keluar mencari keberadaan Rein. Ternyata Rein ada di teras sedang serius dengan laptop di hadapannya, sehingga dia tidak menyadari kedatanganku. "Banyak kerjaan, Rein?" "Hey, Salma. Sudah lama kamu di sini? Maaf aku sampai nggak sadar ada kamu." Rein kemudian mematikan laptopnya. "Lanjut a
"Hei, jangan lari kamu!" Seorang gadis dengan rambut panjang terurai berlari kencang menghindari kejaran seorang pria botak dengan tubuh tiga kali lipat lebih besar darinya. Pria botak itu baru saja hendak berbuat tidak senonoh padanya di cafe tempat dia bekerja. Seruni, nama gadis itu, kini terseok-seok mencari tempat bersembunyi di antara kegelapan. Namun rumah penduduk di desa bambo yang terpencil itu semua sudah tertutup rapat sejak pukul tujuh tadi. Seruni terus melangkah sambil sesekali menoleh ke belakang, khawatir pria yang mengejarnya tadi dapat menemukannya. Mata seruni melebar ketika melihat sebuah rumah di ujung desa dengan pintunya yang masih terbuka. Sebuah mobil mewah terparkir sempurna di halamannya yang tidak terlalu luas. Seruni yakin pria botak tadi masih mengejarnya, diam-diam dia masuk ke dalam rumah itu, lalu menutup pintunya. Matanya menyisir tiap sudut rumah sederhana namun terdapat beberapa barang elektronik mewah di dalamnya. Sepengetahuan Seruni rumah in
"Seruni hidup sebatang kara di desa ini. Sejak orang tuanya meninggal, dia mencari nafkah sendiri." Penjelasan Pak Kades sontak membuat Elkan termenung. "Seruni itu kerjanya menjual diri di cafe remang-remang itu!" "Dia pasti menjual dirinya juga pada orang kota ini." "Dasar perempuan penggoda! Nikahkan saja segera! Bisa-bisa suami-suami kita juga akan jadi korban nantinya." Suara para wanita kembali terdengar riuh. Dada Seruni naik turun menahan emosi mendengar tuduhan yang ditujukan padanya. Mati-matian ia menjaga kehormatannya selama ini. Bekerja di cafe remang-remang ,begitu orang-orang menyebutnya, adalah satu-satunya tempat yang menerimanya bekerja semenjak orang tuanya meninggal, ketika dia masih belajar di Sekolah Menengah Atas. Namun apapun usahanya untuk menjelaskan, mereka tidak akan pernah percaya. Apalagi saat ini dia dituduh berzina dengan pria yang baru pertama kali dia lihat. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan warga. Saya harap Tuan Elkan dan Ser
Elkan melirik Seruni yang telah berganti pakaian dengan kaos dan celana panjang jeans. Polesan riasan di wajahnya sudah terhapus sebagian. Kini rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Dengan tampilan seperti itu, Seruni memang pantas memanggilnya Om. Elkan mengulum senyumnya. Tak menyangka bahwa ia telah memiliki istri yang usianya jauh di bawahnya. "Untung saja cantik," bathin Elkan, mengingat kejadian pahit yang baru saja dia alami. Sesekali diliriknya sang istri yang terlihat masih kaku. Melihat sikap Seruni, Elkan tak yakin dengan ucapan para warga yang mengatakan bahwa Seruni bekerja dengan menjual diri. Dari sikap dan pembawaannya yang pendiam, sama sekali tidak manggambarkan hal itu. "Kamu sudah makan?" tanya Elkan saat merasakan perutnya meminta diisi. Seruni menggeleng samar tanpa menoleh padanya. Elkan tak punya apapun yang bisa di makan di rumahnya. "Kamu bisa masak?" Lagi-lagi seruni hanya mengangguk tanpa bersuara dan tanpa menoleh padanya. Hal itu membuat Elkan ge
"Seruni, seruni ...,kamu masih lama?" Sejak tadi Elkan mondar-mandir di depan kamarmya. Ia ingin mengambil pakaian santainya yang ada di lemari. Namun sejak tadi Seruni tak kunjung keluar. Elkan mencoba mengetuk pintu kamar. "Seruni, seruni ..!" Lagi-lagi tak ada sahutan dari dalam. Elkan telah memanggilnya berkali-kali namun tetap tak ada suara dari dalam sana. Elkan panik. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya ia memutuskan untuk membuka saja pintu kamar yang memang tak ada kuncinya itu. Namun sesaat gerakan tangan Elkan terhenti. "Bagaimana jika saat aku buka, dia sedang .... Arrgh..." Elkan bingung. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Elkan memutuskan untuk memutar handel pintu kamarnya, lalu membuka pintu itu perlahan. Elkan tercengang melihat pemandangan di depan matanya. Seruni dengan memakai mukena lusuhmya sedang menengadahkan kedua tangannya dengan berurai air mata. Isak tangisnya terdengar samar. Hati Elkan tersentuh. Perlahan dia tutup kembali pintu kamarn
"Kamu kenapa masih ada di sini? Bikin kotor kampung ini saja!" "Iya, perempuan kayak kamu itu sebenarnya nggak pantas menikah dengan orang kota yang ganteng itu. Kamu pasti menggodanya habis-habisan dengan tubuh kotormu itu." Tiga orang wanita paruh baya tiba-tiba saja berhenti di depan rumah Elkan. Dua diantaranya bertubuh gemuk dengan daster tanpa lengan. Sementara yang satunya memakai stelan celana kulot selutut dengan tubuhnya yang sangat kurus. Mata Seruni memanas mendengar ucapan para wanita itu. Namun dia hanya diam saja. Gadis itu terus saja menyapu halaman dengan hati yang tercabik-cabik. "Hey, Seruni, Apa orang kota itu tidak tau siapa kamu sebenarnya?" "Apa kita beritahu saja orang kota itu kalau Seruni ini bukan perempuan baik-baik. Ibunya saja pelacur, penggoda suami orang." "CUKUP ...!! Kalian boleh menghinaku sepuasnya. Tapi jangan pernah menghina ibuku!" Air mata Seruni tumpah sudah. Dadanya kian terasa sesak. Bayangan kejadian setahun yang lalu kembali melintas
"Kamu kenapa lagi?" Elkan menyibak rambut Seruni yang menutupi sebagian wajahnya. Tubuhnya yang tinggi terpaksa berjongkok di hadapan Seruni demi bisa memandang wajah cantik istrinya. Wajah Seruni memerah yang lagi-lagi mendapat perlakuan manis dari suaminya itu. Apalagi dia kini tau siapa Elkan sebenarnya. Ternyata Seruni beberapa kali pernah melihat foto Elkan di media sosial. Ia pun pernah memuji ketampanan pengacara beberapa artis papan atas itu. Namun kini ia tak menyangka, pria tampan itu sekarang menjadi suaminya. "Hei .." Elkan mengangkat dagu Seruni dengan dua jarinya, agar Seruni tak terus menunduk. Netra mereka bertemu. Menciptakan degup jantung yang terdengar kian cepat. Wajah Elkan mendekat. Seruni sontak memejamkan mata. Hembusan nafas Elkan menyapu wajahnya yang menghangat. Seruni tersentak saat merasakan sesuatu menempel di kedua matanya secara bergantian. "Jangan menangis lagi. Apa kamu menderita setelah menikah denganku?" Seruni hanya menggeleng. Ia masih meng