Elkan Yuda masih terdiam dengan mata menatap kosong pada langit-langit kamar UGD yang berwarna putih. Napasnya berat naik turun. "El ..., baca email!" "Sudah, Yud." Tenggorokanku tercekat. Sebenarnya tak ingin membicarakan tentang surat wasiat itu saat ini. Banyak hal yang ingin aku diskusikan..Tapi sepertinya tak mungkin. "T-tolong segera buat surat wasiat it-tu ...!" "Tidak usah kamu pikirkan, Yud. Kamu harus sehat dulu," pungkasku pelan. "Tidak ..., waktuku sudah tidak banyak. Tolong El, Aku mohon ...!" Suara Yuda melemah.. "Baik. Aku akan buatkan segera. Malam ini akan aku serahkan padamu. Sekarang istirahatlah!" "Mas Yuda ...!" Tiba-tiba Salma membuka tirai dan langsung memeluk Yuda. "Kamu kenapa, Mas? Kamu sakit apa, Sayang?" Dengan raut wajah sangat khawatir, Salma membelai wajah Yuda dan lalu menciumnya. Aku spontan menunduk. Hatiku tak karuan melihat pemandangan tepat di hadapanku.. "Jangan nangis, Sayang. Aku nggak apa-apa. Cuma kecapean," lirih Yuda dengan su
Hatiku nyeri melihat Mas Yuda kembali terbaring di rumah sakit Ketakutan akan kehilangan orang yang aku cintai kembali membuatku sesak. "Mas, dulu Aku pernah hampir kehilanganmu. Kini aku tak mau benar-benar kehilanganmu. Aku ingin kita hidup menua berdua. Melihat Raihan dan Yumaina beranjak remaja. Aku merasa belakangan ini kamu mulai mengingat semuanya. Kamu sempat cemburu ketika Kak Lina membicarakan Bang Adam padaku. Kamu menggodaku karena pernah menolak rumah 10 milyar pemberianmu. Aku bahagia, Mas. Ingatanmu mulai kembali pulih walaupun secara perlahan." Aku terus berbicara seakan Mas Yuda mendengar dari balik kaca ini. "Salma, Biarkan Yuda istirahat. Ayo aku antar pulang!" Aku menggeleng menolak ajakan Elkan."Salma, ada dokter Sabrina yang merawat Yuda. Kamu tenang aja." Sontak aku menoleh pada Elkan dan menatap kesal pada pria itu. "Kamu gimana, sih. Istrinya Mas Yuda itu kan Aku. Bukan Sabrina!" ketusku. "Astaga Salmaa, Sabrina itu dokter. Dia lebih paham dalam me
Pagi-pagi sekali aku sudah terjaga. Aku meringis saat menoleh ke sisi sampingku yang kosong. Hanya ada bantal dan selimut Mas Yuda. Sungguh aku sangat merindukannya. Malam-malam belakangan ini kami jarang berpelukan sampai pagi, karena Mas Yuda yang aku pikir sangat kelelahan. Namun ternyata dia sedang berjuang melawan rasa sakit. Istri macam apa aku ini. Tak tau kalau suaminya sakit. Malah mencurigainya dengan dugaan yang tak pantas. Sungguh aku menyesal. "Bundaaaa, Ayah mana?" Raihan menghampiriku di meja makan ketika sedang menyiapkan bekal untuknya. Apa yang harus aku katakan pada Raihan. Perlahan aku menunduk mensejajarkan diri dengannya. "Raihan .... Ayah Yuda ... sakit. Jadi harus dirawat di rumah sakit dalam beberapa hari," jelasku hati-hati dan tetap berusaha bersikap tenang. "Ayah sakit? Raihan mau nengok Ayah pulang sekolah nanti, boleh, Bun?' Aku menarik napas. Rasanya tak tega jika Raihan melihat Ayahnya terbaring dengan beberapa alat yang tersambung pada tubuhnya.
Yuda Mataku mengerjap saat terjaga. Rasa pusing yang mendera tak kunjung hilang. Seketika mataku tertuju pada sepasang tangan dengan jemari yang lentik sedang menggenggam lengan kananku. "Siapa wanita ini?" gumamku dengan kesadaran yang belum penuh. Wanita berambut panjang yang tidur menelungkupkan kepalanya di sampingku. "Sabrina ...!" gumamku lagi. Dia tidak pulang. Apakah dia tidur di sini semalaman dengan posisi seperti itu? Kenapa Wanita ini memperlakukan aku dengan sangat berlebihan? Aku tak mau Salma melihat ini. Dia pasti akan marah dan kecewa. Tapi ... bukankah ini justru akan mempermudah rencanaku? Sabrina menggeliat. Sepertinya dia sudah bangun. "Yuda ..., kamu sudah bangun?" Aku mengangguk. "Kenapa kamu nggak pulang? Anakmu pasti nunggu kamu di rumah." "Nggak usah khawatir. Sejak kecil Tristan sudah biasa aku tinggal-tinggal kayak gini. Bahkan aku pernah meninggalkannya beberapa tahun untuk melanjutkan kuliahku di luar negeri." Aku tak lagi bicara apa-apa. Se
"Tebar pesona aja terooosss!" "Aku nggak ada tebar pesona. Ibu-ibu itu tiba-tiba saja menghampiriku dan minta foto. Masa aku tolak. Kasian dong mereka udah usaha." Dengan gaya sombongnya Elkan membela diri sambil senyum-senyum. Bikin aku mual. Saat ini kami sudah berada di perjalanan menuju rumah sakit. Kalau saja tadi aku tidak pura-pura batuk, Elkan tidak akan menyadari kehadiranku dan mereka akan terus foto-foto sampai siang. "Dih, fansnya ibu-ibu aja segitu bangganya." "Tadi itu ibu-ibu muda, loh. Memang mereka tipe aku," sahut Elkan dengan percaya diri. "Haaa?" "Terlihat lebih mateng dan pengalaman aja ..." Kali ini dia bicara sambil terkekeh melihat wajahku. "Udah buruan ke rumah sakit!" Entah kenapa aku semakin kesal dengan tingkah Elkan yang selalu percaya diri di depan para wanita. Sementara pikiranku terus tertuju pada ucapan Tristan tadi. Apa benar Sabrina menemani Mas Yuda semalaman? Kemarin bahkan mereka yang memintaku pulang. Apa mereka sengaja agar bisa berdua
"Salma ... sini dekat Mas!" Suamiku itu kembali memanggilku dengan suaranya yang lemah. Sepertinya Mas Yuda sedang menahan rasa sakit ketika berusaha menoleh padaku. Sabrina melihat kehadiranku sontak berdiri dan melangkah mundur, sedikit menjauh dari Mas Yuda. "Kamu terlihat lebih baik, Mas." Aku menghampiri Mas Yuda, melewati Sabrina yang masih memegang mangkuk bubur. "Sabrina, terimakasih, ya. Kamu udah merawat Yuda." Sabrina membalas senyumku tanpa menjawab. Kemudian dia meletakkan mangkuk bubur yang isinya sudah tinggal sisa-sisa yang menempel pada permukaan mangkuk, di atas nampan. "Aku ke ruanganku dulu. Permisi." "Silahkan." Sabrina mengangguk samar pada Elkan, kemudian melangkah keluar. Aku tak menyadari, ternyata sejak tadi tatapan Mas Yuda tak lepas darilku. "Salma ..." "Maass ...." Kami saling menyapa bersamaan. Kemudian senyum penuh rindu terbit di wajahku. Mas Yuda pun tersenyum seraya membelai lenganku.. "Ehm, aku keluar dulu, cari sarapan." Elkan membalikk
Sebelum melanjutkan langkahku menuju ruangan Sabrina, aku menyempatkan diri menghubungi dan meminta Mak Isah untuk menjemput Raihan dengan pak supir. Jangan sampai Raihan menunggu terlalu lama di sekolah. Sesuai petunjuk dari perawat tadi, akhirnya aku tiba di depan ruang yang bertuliskan dr.Sabrina (Dokter Onkologi). Perlahan kuketuk pintu. "Masuk!" Sabrina berdiri menyambutku saat aku membuka pintu. Wanita cantik itu tersenyum dan mengangguk ramah. "Duduklah, Salma!" Sabrina kembali duduk setelah aku menjatuhkan badanku pada kursi yang berada di hadapannya.. "Ada yang ingin kamu bicarakan padaku? Tentang Yuda?' "Ya betul." "Bicaralah!" Sebenarnya aku tak mau berlama-lama berhadapan dengan Sabrina. Entahlah, aku kurang menyukai wanita ini sejak melihat kedekatannya dengan Mas Yuda. Sabrina sepertinya sedang mempersiapkan diri untuk bicara denganku. Tampak berkali-kali wanita itu menghela napas dan gelisah. "Begini, Salma. Beberapa dokter menganjurkan agar Yuda berobat ke
Pov Elkan Malam ini Yuda memintaku datang ke rumah sakit. Sejak kemarin sahabatku itu sudah dipindahkan ke kamar rawat VIP. Walau menurut dokter Sabrina tumor yang dideritanya semakin parah, namun kondisi tubuh Yuda sedikit lebih baik. Mungkin dia lebih tenang karena tidak lagi menyembunyikan penyakitnya ini dari Salma. Aku berhenti di depan kamar 109. Nomor kamar yang diberitahu Yuda lewat pesan ponselnya tadi. Perlahan aku membuka pintu. Mataku melebar melihat siapa yang berada di dalam. Kenapa perempuan itu selalu berada disamping Yuda? Pantas saja Salma cemburu. "Selamat malam, Dok. Sedang memeriksa Yuda?" tanyaku basa basi. Padahal jelas-jelas Sabrina sedang tidak memakai jas putihnya. Malahan saat ini pakaiannya cukup santai. Dokter cantik itu hanya mengenakan kaos lengan pendek , celana jeans dan outher tak berlengan. "Tidak. Kebetulam Aku lagi off. Oh ya, silakan saja kalau ada yang mau dibicarakan." Aku mengangguk seraya tersenyum. "Yud, Aku tinggal dulu. Nanti aku ba