Share

Dihukum

Mata Mas Aksa masih melotot tajam padaku, ia menunggu penjelasan atas kesalahan bicara yang kulakukan tadi.

"Baiklah," ucapku pasrah, "aku menemukan uang di saku celana coklat satu juta, tadinya aku mau menunggu Mas sampai lupa, tapi ternyata ibu menelpon meminta bantuan, dan diminta untuk dikirimkan pada Mbak Ratna,” ucapku lemas. Aku ini b*d*h atau kurang pintar sih, lemot amat otaknya! Geramku pada diri sendiri.

“Ilham kan pengusaha sukses, kakakmu juga bekerja, kenapa Ibu meminta uangmu untuk diberikan padanya?” Matanya melotot tak percaya dengan pengakuanku.

“Aku tidak tahu Mas, ibu yang meminta, makanya aku menurutinya," belaku.

“Harusnya kamu tanya benar-benar, lagian itu uangku, kamu sudah berani mengambilnya tanpa seijin pemiliknya!”

“Minta ijin pun percuma, Mas tidak akan memberikannya.”

“Ya, jelas tidak! mereka itu orang berpunya, dibantu pun tidak akan berterima kasih.” Rahang Mas Aksa mengeras, “terus bagaimana tanggung jawabmu?” tanyanya lagi.

“Mas minta ganti uangnya?” tanyaku ragu.

“Tentu saja, itu uangku, kamu mengambilnya tanpa ijin.”

“Bukannya itu pun uangku Mas?” Masih kucoba untuk membela diri agar mas kawinku selamat.

“Kapan aku memberikannya?” Mas Aksa malah balik bertanya.

“Bukannya uang yang dihasilkan suami yang telah beristri itu adalah milik bersama?” belaku lagi dengan sedikit penekanan.

“Aku sudah memenuhi tanggung jawabku padamu, menafkahi lahir bathin, menempatkanmu di rumah yang nyaman, membelikan pakaian satu tahun sekali, dan setiap apa yang kumakan kamu pun memakannya. Nafkah bathin pun tidak pernah telat kuberi,” ucapnya. Pede sekali Mas Aksa mengucapkan itu semua, ia benar-benar tidak tahu di mana letak kesalahannya sendiri?

Ah, sungguh percuma berdepat dengannya, dia tidak akan mau kalah, yang ada ujung-ujungnya dia mengataiku istri durhaka, mulut Mas Aksa sudah seperti petasan hajatan, sudah kubilang melawannya hanya akan membuatku lebih sengsara.

Aku berjalan meninggalkannya, mencari kotak perhiasan yang kudapat satu tahun lalu, mengambil gelang yang ada di dalamnya, saking sayangnya aku pada benda ini, sampai dipakai pun jarang karena takut cepat kusam.

“Jual saja ini, sisa uangnya kembalikan lagi padaku. Aku janji tidak akan meminta uangmu lagi! Bukan! Aku memang tidak pernah meminta uangmu selama ini. Aku berjanji tidak akan menggantungkan hidupku lagi padamu!" ucapku menahan mata yang mulai berkaca-kaca karena luapan emosi. Sebenarnya terbuat dari apa hatinya, kenapa dia begitu kikir dan perhitungan?

Mas Aksa hanya diam memandangi gelang emas yang kuletakan di tangannya.

Aku membuka pintu dan kulihat Ulfa sudah bersiap dengan tas nya, “Aku akan pulang, maaf karena harus menyaksikan semua kehebohan ini,” ucapnya lirih, lalu memberiku secarik kertas, ia memperagakan tangannya di telinga. Ya, aku tahu maksudnya agar menghubungi dia. Aku sedikit mengangguk dan melambaikan tangan.

Aku pergi ke dapur dan memasak makanan yang dibeli Mas Aksa tadi pagi, menyiapkannya di meja dan berniat untuk membersihkan diri terlebih dahulu.

Saat keluar dari kamar mandi kudengar Mas Aksa sepertinya sudah mulai makan, ‘Dingin sekali hidupnya,’ gelengku tak paham dengan arah pemikirannya.

Setelah berpakaian sederhana namun rapi, kulihat Mas Aksa sedang mengselonjorkan kaki di kursi. Aku meliriknya selintas, ternyata marahnya tidak seseram yang sudah kupikirkan. Apakah dia sudah dapat ilham karena ketulusanku sampai mengorbankan mas kawin demi mengganti uangnya?

'Syukurlah kalau ada kemajuan untuk berubah,' gumamku dalam hati, sembari berjalan ke meja makan. Tapi, pikiranku itu tiba-tiba terbakar hangus saat aku membuka tudung saji penutup makanan, semua makanan habis tak bersisa. Apa mungkin di makan kucing lagi tempe sama ayam yang barusan kumasak? aku celingukan mencari kemana kira-kira kucing itu membawa jatah makanku pergi, kali saja ada sisanya, ‘Aku bisa ko makan bekas kucing,’ piluku dalam hati.

Setelah mencari keberbagai sudut tidak menemukan kucing itu, aku memutuskan untuk bertanya pada Mas Aksa, mungkin saja ia melihat kemana kucing itu pergi sebelum semuanya habis.

“Mas kamu lihat kucing nggak?” tanyaku menahan kesal.

“Tidak,” jawabnya ketus.

“Laukku di makan kucing kayanya, Mas,” ucapku lagi.

“Aku yang menghabiskannya,” tukasnya, tak mengalihkan mata dari depan tv.

“Ko bisa Mas, itukan jatahku?” tanyaku dengan penuh kekesalan.

“Bukannya kamu sudah berjanji tidak akan meminta uang dan menggantungkan hidupmu lagi padaku?” jawabnya santai.

Astagfirullahal’adzim!

“Aku benar-benar b*d*h!” kukutuk saja diriku sendiri.

Bagaimana aku lupa sama sifatnya yang seperti ini. Berapa lama dia akan menelangsarakanku?

“Mana gelangku?” sungutku lagi.

“Di atas nakas,” jawabnya.

“Bisa mati aku, kalau makan saja tidak kamu sisakan Mas!” cercaku dengan kantung mata yang memanas.

“Anggap saja sebagai hukumanmu karena mengambil uang tanpa seiijinku,” sungutnya.

“Aku kan sudah berniat menggantinya Mas!” pungkasku.

“Kalau kamu tidak keceplosan, sudah pasti kamu tidak akan mengakuinya 'kan?” Lelaki itu selalu merasa benar.

Sudahlah! aku lelah terus berdebat. Kuambil langkah emosi ke kamar, mengambil gelang di atas nakas dan pergi keluar. Dimana aku bisa menemukan toko emas sesore ini? Tes! tes! tes! air mataku berjatuhan.

Kaki ini melangkah bebas, pasar cukup jauh dari sini, hanya di tempat itu banyak pertokoan, Mas Aksa pernah satu kali membawaku ke toko pakaiannya yang terletak di tengah-tengah pertokoan dan pasar. Sedangkan, aku tidak punya uang untuk membayar ongkos angkutan kota.

Aku pergi dengan hati yang hancur, rasanya sangat sakit diperlakukan seperti ini, apalagi kondisi lapar membuat emosiku meletup-letup, mengumpat namanya di sepanjang jalan.

Langit sore terlihat sangat gelap, sepertinya akan turun hujan, kulihat dari kejauhan kilatan petir menembus awan gelap, disusul suara guntur yang masih terdengar pelan, sepertinya benar-benar akan turun hujan.

Tes!tes!tes!

Benar saja hujan turun, aku tidak bisa menunggu untuk berteduh, toko bisa saja tutup kalau aku kemalaman. Aku masih berjalan lebih cepat mumpung hujan masih kecil, tapi ternyata air yang turun semakin sering, dan hujan semakin besar.

Tiiid!

Aku sampai menepi karena kaget dengan suara klakson mobil yang sepertinya tepat di belakangku. Mobil itu berhenti dan menurunkan sedikit kacanya.

“Hilya, masuklah!”

Seorang lelaki menengok dari kursi pengemudi, ‘Aziel?’

Aku mematung dan bingung, antara menerima penawarannya dan tidak, Aziel keluar membawa payung dan memintaku agar masuk terlebih dahulu. Meski ragu, aku pun ikut masuk, ‘Hanya sampai pasar saja, mungkin tidak apa-apa?’ tanyaku dalam hati yang masih merasakan desiran cinta saat melihat wajahnya. Lelaki yang ditolak ibu karena tidak memiliki pekerjaan tetap. Kenapa sekarang sudah punya mobil?

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status