Share

Senjata Makan Tuan

Aku memeras ujung kerudung yang berat karena air hujan, tubuh sedikit terasa dingin, apalagi di dalam mobil menggunakan AC.

“Maaf ya, kamu jadi kedinginan, kalau AC nya dimatikan kacanya berkabut,” ucap Aziel ragu.

Aku menggeleng, tentu tidak elok kalau aku yang hanya menumpang ini banyak maunya, “Tidak apa-apa, aku baik-baik saja,” jawabku lirih. Padahal kaki terasa begitu dingin.

“Kamu mau kemana hujan-hujan begini, Hil?” tanyanya lagi, tanpa menoleh. Hujan semakin deras, Aziel harus lebih berhati-hati dalam mengemudi.

“Mau ke pasar,” jawabku singkat.

“Suamimu?” tanyanya lagi ragu.

“Hm! ada,” jawabku sedikit risih dengan pertanyaan itu.

Aziel hanya terlihat mengangguk pelan, matanya masih fokus pada jalanan, ia tidak memperpanjang percakapan kami tentang Mas Aksa. Hanya fokus pada jalan di depan sampai mobil akhirnya sampai di pasar, tapi deretan toko sudah banyak yang tutup, mungkin karena turun hujan, hingga mereka tutup lebih awal.

“Kamu mau turun di mana?” tanyanya Aziel sembari menoleh.

Aku masih celingukan berharap toko perhiasan itu masih buka.

“Kamu mencari apa sih, Hil?” Aziel sudah nampak curiga karena aku mengacuhkan pertanyaannya dan terus melihat sekeliling.

“Aku mencari toko perhiasan yang masih buka Ziel, tapi sepertinya sudah pada tutup,” keluhku.

“Kan masih ada hari besok kalau mau beli perhiasan," jawabnya santai.

Aku menghela napas, dia kira aku orang gila, bela-belain berjalan di hujan hanya untuk membeli perhiasan di sore hari begini?

“Bukan untuk membeli tapi untuk menjualnya,” jawabku lirih. Harapanku pupus sudah, sepertinya hari ini harus puasa sampai besok pagi.

“Coba aku lihat kamu jual seberapa banyak?” tanyanya lagi lebih fokus padaku.

Aku mengeluarkan gelang yang kusimpan di sebuah dompet kecil dan menunjukannya.

“Hanya ini ko," ucapku pelan.

“Bukannya itu gelang mahar yang diberikan suamimu, Hil?”

Aku mengerutkan alis, dari mana Aziel tahu kalau ini adalah gelang maharku?

“Aku ada di sana saat kamu menikah, dan melihat jelas gelang itu saat dipakai di tangan kirimu,” tambahnya tanpa menunggu jawabanku, sepertinya Aziel sudah membaca ekspresi pertanyaan dari wajahku.

“Aku sedang butuh uang," jawabku lirih, kembali manandang air hujan yang turun di kaca mobil.

“Bukannya suamimu penguasaha sukses, Hil. Setiap hari kulihat tokonya ramai, apa mungkin?” ucapan Aziel terjeda.

Aku kembali menoleh dan menatap wajahnya yang menginginkan kejujuran, tapi tentu saja tidak mungkin aku menceritakan segalanya, Aziel adalah mantan kekasihku, kami sudah 5 tahun bersama, namun harus terpisah karena ibu menganggap saat itu Aziel belum mapan.

“Tidak, ini urusanku, Mas Aksa bahkan tidak mengetahuinya,” sanggahku berbohong. Aku tidak ingin masalah ini semakin pelik dengan menyebarnya aib rumah tangga kami.

“Berapa gram itu?” tanyanya lagi tanpa membahas ucapanku.

“Sepuluh gram,” ucapku pelan.

“Tunggu di sini sebentar ya,” jelasnya. Lalu, ia keluar menembus hujan mengenakan payung.

Aziel masuk ke dalam mesin ATM, meski aku tidak memiliki tabungan di bank, tapi aku tahu itu adalah mesin tempat mengambil uang yang menggunakan kartu.

Hanya beberapa menit saja, Aziel sudah masuk kembali ke dalam mobil, jas yang dikenakannya terlihat basah di setiap ujung, sedangkan sakunya mengembung.

Aziel mengeluarkan uang dari saku yang mengembung itu, lalu memberikannya padaku, “Aku beli gelangmu seharga sepuluh juta,” ucapnya sembari mengambil gelang yang masih kupegang. Sedangkan uangnya ia simpan di tanganku.

“Tapi ini kebanyakan Ziel, harga perhiasanku tidak sebesar ini?” jawabku ragu.

“Aku bukan toko emas, aku temanmu, sengaja aku lebihkan, terimalah!” ucapnya lagi.

Aku menelan ludah, menatap lelaki dihadapanku sekarang, orang lain saja masih peduli padaku, tapi kenapa suamiku, Ibu, dan kakakku sendiri begitu kejam?

“Terimakasih, Ziel,” ucapku terharu, kantung mata sudah terasa menghangat. Tidak! aku tidak bisa menangis di hadapannya.

“Sama-sama. Aku antar kamu pulang ya,” pintanya, sembari memutar balik kemudi.

Kalau ditempuh oleh kendaraan, perjalan dari pasar sampai ke rumah hanya memakan waktu lima belas menit saja, jaraknya pun tidak terlalu jauh.

Aku turun di depan rumah, Aziel membuka pintu lebih dulu dan mengantarku sampai teras. Ia mengantarkanku dengan payungnya.

“Haruskah aku mampir untuk bertemu dengan suamimu?” usulnya.

Aku menggeleng cepat, “Tidak perlu, Mas Aksa sedang kurang enak badan,” kilahku lagi. Kalau aku berbohong Mas Aksa tidak ada di rumah, tidak mungkin, karena mobilnya ada.

“Ya sudah, aku pamit ya. Titip salam untuk suamimu.”

Aku mengangguk dan menyunggikan senyum, merengkuhkan tubuh sebagai tanda ucapan terimakasih.

Langit sudah hampir gelap gulita, baru saja kudengar adzan Magrib berkumandang. Aku mendorong pintu, tak kuhiraukan Mas Aksa yang tidak kulihat. Tubuhku sedikit menggigil, kusimpan tas diatas meja, dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum masuk angin.

Sekalian di kamar mandi aku mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat Magrib, dari sejadah yang masih terhampar, Mas Aksa mungkin sudah melaksanakn shalat, tapi aku belum melihatnya sedari tadi.

“Ini yang dimaksud kamu sudah tidak membutuhkan uangku?” sindir Mas Aksa di ruang tamu, sembari menghitung semua uang yang kusimpan di dalam dompet.

Tanpa menjawab sindirannya, aku segera merebut uang itu dari tangannya, mas Aksa duduk di kursi sembari menumpangkan satu kakinya. Sedangkan, aku segera menghitung uang satu juta, dan memasukkan sisanya.

“Nih!” gertakku di atas meja, menyimpan uang itu sembari mendelik kasar padanya.

“Kamu tidak menjual perhiasannya kan, tapi menjual harga dirimu pada laki-laki itu!” sungutnya.

Aku menatap lelaki di hadapanku dengan ekspresi tidak percaya kalau ucapan itu bisa keluar dari mulutnya, “Apa maksudmu, Mas?”

“Aku sudah melihatnya Hilya, bukannya laki-laki yang mengantarkanmu itu adalah mantan pacarmu?”

Rupanya sedari tadi Mas Aksa bersembunyi dan memperhatikanku?

“Terserah bagaimana pandanganmu, yang jelas sekarang aku tahu siapa suamiku,” jawabku tegas sembari meninggalkannya, menyimpan uangku di tempat aman, dan pergi keluar unuk membeli makan.

Aku membeli banyak lauk dan memakannya dengan puas, Mas Aksa hanya memperhatikan gerak-gerikku dari ruangan tv, dia terlihat diam, padahal kuyakin hatinya sedang gundah.

Selesai makan, kondisi tubuhku kembali pulih, kini aku lebih siap untuk menghadapi laki-laki berkepala batu es itu. Aku menuliskan semua pekerjaanku di rumah dan menyodorkannya di atas meja.

“Apa ini?” tanyanya malas.

“Itu pekerjaanku setiap hari di rumah yang harus Mas bayar!"

Mas Aksa memicingkan matanya, ia mencoba membaca setia kalian yang kutuliskan.

“Merapihkan seisi rumah plus masak seratus ribu/perhari?” ucapnya pelan seraya memicingkan mata padaku. Aku mengangguk dan memasang badan tegas.

“Mencuci baju-setrika 10 ribu/kg?” lanjutnya lagi.

“Hm!” jawabku lagi.

“Melayani diranjang, dua ratus ribu/malam?” ia mendongakkan kepala.

“Ya!”

“Permintaan lain, tarif di sesuaikan?”

“Betul sekali, sesuai beratnya dan rumitnya permintaan,” jelasku lantang.

“Kamu mau menghitung ini menjadi rupiah?” desisnya pelan.

“Ya, Mas sendiri yang memulai perhitungan padaku, jadi aku pun akan menghitung semuanya,” paparku tegas.

Mas Aksa berdiri dan menyeimbangi tubuhku yang mendongak di hadapannya. Ia mulai mendekatkan wajahnya tepat di hadapan mataku.

“Sewa rumah 1,5 juta perbulan, PDAM lima ratus ribu perbulan, pembayaran listrik tiga ratus ribu perbulan, merapihkan rumah dan memasak aku sendiri yang akan melakukannya, mencuci baju-setrika aku sendiri yang melakukannya, melayani setiap malam itu tidak termasuk hitungan, karena kamu pun menikmatinya dan aku tidak akan memiliki permintaan lain,” cerocohnya mengalahkan petasan sunatan, “sekarang pikirkan bagaimana kamu membayar semuanya!” tambahnya lagi dengan penuh penekanan.

Aku melongo, mataku terbelalak dengan ucapannya. Lalu ia meninggalkanku dengan hentakkan kakinya di atas lantai.

Aku melihat tubuhnya dari belakang, menyorotnya dengan tajam, ini seperti senjata makan tuan, mimpi mendapatkan uang darinya malah jadi hutang yang harus kubayar tiap bulan.

‘Apa mungkin Mas Aksa mengidap suatu penyakit, hingga ia begitu perhitungan?’ selidiku dalam hati, benar-benar tak percaya dengan ucapannya barusan.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status