Home / Rumah Tangga / Kaya sih, tapi Pelit! / Keluarga Aneh dan Langka

Share

Keluarga Aneh dan Langka

last update Last Updated: 2023-06-22 13:34:06

Aku memisahkan diri dan tidur dikamar tamu, memikirkan setiap detail perkataan Mas Aksa, kenapa dia bisa melakukannya dengan begitu lancar tanpa merasa bersalah ataupun risih, dengan gamblang membalas perbuatan dan melawan semua kata-kataku, padahal apa yang kutulis hanya menggertak saja agar ia tidak terlalu perhitungan.

Apa mungkin dia benar-benar memiliki suatu penyakit? aku harus mencari tahu, sepertinya aku menikahi lelaki yang tidak biasa, caranya menghemat keuangan kami begitu aneh. Namun, selain pelit, bawel dan bermulut pedas, Mas Aksa belum pernah menyakitiku secara fisik, setidaknya masih ada kebaikannya yang harus aku ingat.

‘Tok …, tok …, tok ….’

Suara pintu kamarku diketuk pelan dari luar.

Siapa yang mengetuknya malam-malam begini, sedangkan kami hanya tinggal berdua?

Aku membukanya dan kulihat Mas Aksa sudah berdiri sembari memeluk bantal di dada.

“Ada apa?” tanyaku heran.

Tanpa menjawab Mas Aksa nyeloyor masuk dan tidur di kasur. Menelungkap tubuhnya seperti ikan sapu.

“Ini jadwalnya kan?” ucapnya terdengar samar.

‘Jadwal?’ aku mengerutkan alis, apa yang dimaksud Mas Aksa adalah jadwal ronda kami tiap seminggu sekali? ah iya, ini malam Jumat.

‘Apakah dia sudah gila? cercaannya masih jelas terdengar di telinga, dan sekarang dia memintanya tanpa rasa malu?’

“Aku sedang tidak mau Mas, keluarlah!” tolakku kasar.

“Kepalaku sudah sakit Hilya, apalagi ulahmu dari kemarin membuatku pusing,” ucapnya.

Aku berpikir sejenak, mungkinkah karena sudah lama tidak dilayani Mas Aksa jadi lebih kejam? biasanya dia akan sangat ramah setelah melakukannya, mungkin bisa aku gunakan waktu itu untuk menggali pikirannya.

Tapi ah, kelakukannya sudah sangat keterlaluan!

“Kamu sudah menyakitiku Mas,” jelasku lagi masih memegangi daun pintu.

“Kamu lebih menyakitiku dengan pulang diantar mantanmu itu, bukankah kamu masih mencintainya?” balasnya.

“Itu semua karena kamu juga Mas, kamu memperlakukanku seperti musuh, menelantarkanku dengan tega!” jawabku dengan nada tinggi.

“Aku hanya membantu mempermudah janji yang telah kamu ucapkan Hilya!” jelasnya lagi.

Ini aku yang b*d*h apa Mas Aksa yang terlewat b*d*h dan tidak memahami sifat perempuan? aku berkata seperti itu hanya untuk meluapkan emosi dari kekesalanku saja.

“Tidak!” lantangku. Tapi Mas Aksa bangun dan menarik jemariku.

“Kalau kamu tidak menikmatinya aku akan membayarmu dua ratus ribu seperti dalam tarif mu,” ujarnya lagi.

Dua ratus ribu sih lumayan, akhirnya dia terjerat juga dengan persyaratanku.

“Pegang janjimu Mas!” ucapku sedikit mengerucutkan bibir.

“Kapan aku tidak pernah memegang janjiku? janjimu saja kubantu untuk diwujudkan,” ujarnya lagi. Benar-benar pria yang aneh.

Kami memulainya tanpa kata, hanya napas yang berburu saling bersahutan, aku mencoba menahannya agar tidak terbuai. Tapi, ah sial! selain medit, bawel, dan berkata kasar, dia pun pandai membiusku di atas ranjang. Dan kami pun mengakhirinya dengan kepuasaan.

“Aku tidak harus membayarmu kan?” bisiknya masih dengan suara terengah-engah.

Berbohong pun tak bisa kulakukan, dari suara tadi jelas suaraku yang paling heboh.

“Hm!” jawabku kesal.

Beberapa detik kemudian, suara dengkuran halus terdengar dari mulutnya, et dah! aku belum sempat bertanya apa-apa.

“Mas!”

“Hm!” ah, rupanya dia masih sedikit sadar.

“Apakah kamu punya penyakit?” tanyaku cepat sebelum dia lepas ke alam akhirat, eh!

Aku menunggu dengan sabar, menunggu mulutnya bergetar perlahan, nampaknya dia akan menjawab. Namun, setelah lama kutunggu bibirnya malah mengeluarkan dengkuran yang keras.

‘Yasalam! tidur sajalah! sepertinya aku harus ikut di mandiin di curug penganten, biar nggak telalu lemot,’ tepuk jidat sendiri.

__________

Saat terbangun kulihat Mas Aksa sudah tidak ada di tempat tidur, cepat sekali ia bangun padahal ini masih jam 04 subuh.

Mataku menyapu rumah kami, melihat kemana ia pergi setelah bangun sepagi ini, biasanya bangunya jam 05.00 atau 05.30 itu pun setelah di paksa bangun untuk shalat.

Terdengar suara dentingan piring dari arah dapur, kulihat Mas Aksa menyuci piring.

Astagfirullah, bagaimana mungkin dia sungguh-sungguh dengan ucapannya, mesin cuci pun sedang berputar, lantai sudah terasa kesat, tandanya sudah di pel. Kalau dia melakukan ini semua itu berarti aku harus mulai membayar sewa rumah, air dan listrik?

Aku kelimpungan, dan duduk di meja makan, menuangkan air ke dalam gelas.

Mas Aksa menoleh sebentar dan berkata, “Oh ya air minum, aku belum mengatakannya, kamu pun harus membayar tiap melakukan isi ulang.”

‘Bhuk!’

Air yang kuminum sontak tersembur kembali.

Ini benar-benar gila! aku melangkah gontai dan mengambil handuk, “Satu lagi, sabunmu beli sendiri, agar tidak memakai apa yang aku beli!” teriaknya nyaring ketika kaki hendak melangkah ke kamar mandi.

“Bagaimana aku bisa bertahan dengan kehidupan tidak masuk akal seperti ini?”

Aku berjongkok, menatap gemiricik air yang menetes cepat dari keran.

“Kamu mau menitip makanan apa mau beli sendiri?” tanyanya ketika aku masih bersandar lemah di dinding ruangan shalat, lengkap dengan mukena yang belum ingin kulepas. Rasanya ingin kuadakukan keadaan tidak masuk akal ini pada Tuhan, tapi dari mana aku harus memulainya? dari kesalahanku menyembunyikan uang satu juta itu, lalu memberikannya tanpa seiijin suami? atau dari jauh-jauh hari saat aku merasa di dzolimi olehnya, padahal akulah yang kurang bersyukur dan maruk. Seingatku uang yang ditemukan sebelum-sebelumnya bisa membuatku jajan setiap hari, dan hatiku terasa nyaman-nyaman saja saat menuruti semua keinginannya.

Namun hari ini, di saat aku mencoba melawannya, petaka malah datang bertubi-tubi.

Lelaki itu masih berdiri di sana, menunggu jawabanku.

“Bagaimana?” tanyanya lagi melebarkan mata.

“Aku akan beli sendiri,” jawabku lemas.

Mas Aksa sudah kembali dengan kantong hitamnya seperti biasa, ia menggelar makannya di atas meja, tanpa menawariku yang masih telungkup di atas sajadah.

“Aku akan berangkat,” tiba-tiba suaranya membangunkanku. Aku beranjak mendekatinya dan mengantar ia keluar.

“Nanti sore aku akan memasak sendiri, biarkan saja bahan-bahan itu di sana,” ucapnya sembari menyodorkan tangan.

Aku menghela napas, seperti tubuh tanpa ruh, aku mengambil tangan itu dan menciumnya.

“Aku akan bekerja,” pintaku ragu.

Dia menatap raut wajahku, menelaah kantung mata yang sembab, “Tentu saja kamu harus bekerja, karena aku tidak mau kamu telat membayar semuanya setiap bulan, tapi cari pekerjaan yang baik dan tidak membuatku khawatir,” ujarnya seraya berbalik, “satu lagi, jangan pulang lebih dari jam 04.00 sore,” tambahnya. Lalu, ia masuk ke dalam mobil.

Aku melongo denga ucapannya, tak ada lagi kata yang pantas dilontarkan dalam situasi seperti ini selain, ‘Kami keluarga yang aneh dan langka.’

**

Tarik napas...ayoooo, kita bisa jaga emosi🤣

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Zalfa Meisya
males bc klo cerita begini
goodnovel comment avatar
Zalfa Meisya
jadi perempuan ko bego..hadeuh
goodnovel comment avatar
Tukang nulis
padahal mah minggat aja
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga puluh Lima

    Aku mengerucutkan bibir, menatap kesal pada Mas Aksa. Kenapa juga Ibu dan Ulfa hanya tersenyum mesem seperti itu, dan tidak membelaku?"Baiklah kalau begitu, aku tidak akan keluar dari Rumah Sakit ini!" kelakarku sembari membelakangi mereka."Kenapa?" tanya Mas Aksa polos."Orang bodoh pun pasti melakukan hal yang sama Mas! di rumah nggak dikasih makan di sini makan tiga kali sehari. Pasti pilih tinggal di sinilah.""Itu kalau Mas masih bayar biaya pengobatannya, kalau enggak kamu pasti disuruh keluar dari sini."Bola mataku berputar, benar juga, kalau sudah tidak dibayar boro-boro makan, tinggal pun pasti tidak diperbolehkan."Kalau begitu kenapa Mas tidak membiarkan aku mati saja kemarin!" sungutku."Kalau kamu mati, lalu siapa yang akan menjadi Ibu dari anak-anakku?"Aku mengerutkan dahi, "Anak?" "Heum!""Tanggal berapa sekarang Mas?" Tiba-tiba aku mengingat sesuatu yang terlupakan."Sebelas.""Apa?" Aku langsung terbangun."Ada apa Hilya, kamu masih sakit," tegur Mas Aksa langsun

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga Puluh Empat

    Aksa~“Hilya kamu kenapa?” Hatiku syok melihatnya terkulai."Hilya, bangunlah! jangan buat Mas Khawatir!" pekikku sembari terus berlari menuju mobil. Cukup lama aku berlari karena mobil di sembunyikan jauh dari lokasi.Hilya tak menjawab, wajahnya terlihat pucat pasi, saat sorot lampu jalan memperlihatkan lekuk wajahnya.Aku segera membuka kunci mobil, mendudukannya di kursi. Sebelum menutup pintu, mata terbelalak, darah memenuhi pakaian.Mataku melotot, hatiku tersentak, dari mana darah ini? perlahan aku menyibakkan baju, tidak ada luka di sana. Lalu, aku melihat wajah Hilya yang semakin pucat.'Mungkinkah?' Aku tak kuasa menahan gejolak hati yang tiba-tiba berderu lebih cepat. Debaran jantung pun berpacu lebih keras.Aku meraba tubuh Hilya, bagian mana dari tubuhnya yang terluka? Mata melihat darah menetes cepat dari lengannya, seketika tubuhku mundur dengan sendirinya. Bayangan wajah Mbak Ayu berkelebat mengembalikan kenangan buruk itu."Tidak! Aku tidak bisa!" Kaki terus mundur me

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga Puluh Tiga

    “Kalian sudah akrab rupanya?” kelakarnya, sembari mendongakkan wajah.Wajahnya yang ditutupi topi, terlihat jelas sekarang.Lelaki itu? bagaimana mungkin ia begitu tega melakukan hal seperti ini pada Ibunya sendiri?“Apa kamu sudah tidak waras Mas?” tanyaku dengan tatapan heran.“Hm! apakah kamu berpikir aku yang sakit sekarang, dan bukan perempuan di sampingmu itu?” Mas Rian malah balik bertanya. “Seorang anak yang waras tidak akan memperlakukan Ibunya sendiri seperti ini Mas!” tegasku.“Hahahaha,” ia tertawa nyaring. Lalu, melangkah cepat ke ruangan wanita itu. Mas Rian mendongakkan dagu Ibunya dan menyanggahnya dengan tangan.“Apakah wanita seperti ini yang kamu sebut Ibu?” ucapnya tanpa melepaskan tatapan dari dua bola mata Ibunya yang ia tengakkan.“Apa kesalahannya hingga kamu berani seperti Itu pada Ibu mu sendiri Mas?” Aku mendekati pagar besi, hendak menolongnya dengan mencoba meraih tubuh itu. Tapi, karena jaraknya cukup jauh, aku bahkan tidak bisa memegangnya secuil pun.

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga Puluh Dua

    Jam merangkak naik, matahari sudah mulai terasa hangat saat menembus kaca. pagi ini setelah Ibu mengetahui pekerjaan Ulfa, ia masuk ke kamar anak bungsunya dan kulihat mereka tergugu menangis. Saling memaafkan adalah jalan satu-satunya untuk merangkai kehidupan yang baru. Ibu sudah kembali bersemangat melanjutkan pekerjaanya di dapur membuat makanan untuk acara pengajian nanti malam bersama warga yang datang. Hanya membuat makanan rumahan yang bisa dibawa pulang warga sebagai sedekah untuk Ayah yang sudah berpulang.Bahan-bahan yang telah di beli Mas Aksa tadi pagi mulai kami olah menjadi beberapa makanan tradisional. Ulfa pun sudah ikut bergabung dan berbaur, meski situasi masih nampak canggung, lamat-lamat mencair juga.“Biar Ulfa yang menggunting daun pisang itu Bu,” pinta Ulfa mengambil alih pekerjaan Ibu. Wanita separuh baya itu memberikan gunting ke tangan Ulfa dan beralih pada pekerjaan lain. Sepertinya ia hendak memasak daging ayam untuk makan kami pagi ini.Mas Aksa tidak

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga Puluh Satu

    Pikiranku tidak bisa lepas dari sosok seseorang yang berdiri dan melihat kami dari kejauhan, aku mencium sebuah ancaman, ketidak nyamanan dari pandangan itu. Sedangkan Mas Aksa, Ibu dan Ulfa tidak mengetahui hal ini. Jika kuceritakan sekarang, semuanya akan bertambah buruk, suasana hati mereka bisa saja semakin sedih dan kalut.‘Semoga ini hanya perasaanku saja,’ batinku, membuang napas untuk menghilangkan rasa gugup.Mas Aksa mengemudi mobil pelan, Ibu dan Ulfa saling merangkul di belakang, sedangkan aku merasakan kegelisahan dari hal yang lain. Bagaimanapun aku mencoba untuk tenang, kemarahan Mas Rian di dalam perpustakaan itu tidak bisa diabaikan.“Dia?” teriakku refleks menunjuk seseorang dibalik semak-semak.“Siapa?” tanya Mas Aksa. Ibu dan Ulfa pun ikut menengok.“Bukan siapa-siapa, aku salah orang,” jawabku cepat.Jelas itu adalah lelaki yang kulihat tadi di pemakaman, ternyata ia masih di sekitar sini dan belum pergi, siapa yang dia tunggu?Jalan kepemakaman ini sempit dan sed

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga Puluh

    Kami sampai di sebuah bangunan dua lantai dengan bentuk luar nampak seperti sebuah Klinik, dari alamat yang kutemukan inilah tempat salah satu Psikiater yang mendapat nilai baik di aplikasi, tempatnya pun tidak terlalu jauh dari rumah.“Mas turun, Yuk,” ajakku padanya. Ia hanya menatap sendu, polos layaknya anak kecil.Aku menuntunnya memasuki meja resepsionis, mengisi data dan menunggu jadwal berkonsultasi.Mas Aksa meringkuk, memegangi perutnya di atas bangku.“Kenapa Mas?” Matanya mengiba mendengar pertanyaanku.“Mas lapar ya?” Ia hanya mengangguk lemah.“Sebentar ya, Hilya beli dulu. Mas jangan kemana-mana," pesanku sebelum pergi.Bergegas aku mencari kantin di sekitar sini, membeli roti, beberapa cemilan dan air minum. Saat kembali ke dalam, bangku sudah kosong, Mas Aksa tidak terlihat ada di sekitar sana.“Kemana dia?” aku mulai panik, berlari mencari ke semua ruangan yang kemungkinan dimasuki.“Mbak lihat seorang pria berkaos putih tidak?" tanyaku pada seseorang yang tidak jauh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status