Share

Status Mbak Ratna

Aku berpikir semalaman dan memutuskan untuk menanyakan perihal uang itu pada Mbak Ratna, mungkin saja ia bisa mengembalikannya, karena yang kutahu Mbak Ratna tidak pernah kekurangan uang.

Bagimanapun uang itu masih di cari Mas Aksa, aku bisa menyimpannya di suatu tempat agar bisa ditemukan Mas Aksa kalau Mbak Ratna mau mengembalikannya.

[Assalamualaikum Mbak] Kukirim pesan padanya pagi-pagi buta. Mumpung Mas Aksa belum bangun, rasa bersalah padanya membuatku tidak bisa tidur tenang semalam, bahkan berkali-kali aku bermimpi uang itu sudah dikembalikan.

Lima belas menit aku menunggu, Mbak Ratna akhirnya membalas.

[Ya, ada apa?]

[Kemarin aku kirim uang satu juta Mbak, ada?] tanyaku basa-basi.

[Ada.] Balasnya. Dingin sekali sikapnya, apakah dia tidak bisa mengucapkan kata terimakasih karena sudah dibantu?

[Oh ya syukurlah Mbak.]

Lama lagi dia tidak membalas dan hanya di baca saja. Haduh! kenapa Mbak Ratna benar-benar tidak bertanya apapun?

[Uang itu milik Mas Aksa Mbak,] kataku lagi mengirim pesan lanjutan.

[Terus?]

[Aku belum bilang padanya kalau dipinjamkan pada Mbak Ratna.]

[Apa, dipinjamkan? bukannya itu uang yang dikasih ibu untukku Hilya?] balasnya.

Ah! aku menghela napas lagi. Kalau sudah begini mana mungkin dikembalikan Mbak Ratna, dan tidak mungkin aku menagihnya pada ibu, apa yang akan dikatakannya nanti?

Mas Aksa terbangun dan ia segera berjalan ke arah mesin cuci.

Mungkinkah dia mengingat sesuatu? Aku tergesa menghampiri.

“Cari apa Mas?” tanyaku refleks saat melihatnya.

“Kamu lihat celana Mas yang berwarna coklat nggak kemarin?” tanyanya.

“Mh! nanti Hilya carikan Mas, sekarang Mas shalat subuh saja dulu, ini sudah hampir jam 06.00,” usulku.

“Ya sudah, carikan celana itu!” perintahnya.

“Ia Mas,” jawabku lagi.

Celana coklat yang sudah kucuci tadi pagi dan sudah tertata rapi di lemari segera kubawa dan kumasukkan kembali ke tempat cucian, dikusutkan sedikit dan dicampurkan dengan pakaian kotor lainnya agar ada aroma-aroma tidak sedap.

Mas Aksa melenggang masuk ke dalam ruangan shalat yang berada tidak jauh dari tempat makan.

“Yang ini bukan Mas?” tanyaku sembari mengangkat celananya.

“Iya, benar yang itu, bawa sini!” pintanya.

Aku menghampirinya dan memberikan celana itu.

Mas Aksa terlihat memeriksa semua saku yang ada di celana, namun seketika dahinya berkerut ketika ia tidak menemukan baranng yang dicarinya.

“Tidak ada!” ucapnya kesal, menyodorkan celana itu kembali padaku.

‘Jelas saja tidak ada, aku sudah mengambilnya Mas,’ ucapku lancar dalam hati, tapi sedikit pun tidak punya keberanian untuk mengatakan yang sesungguhnya.

Mas Aksa masuk ke dalam ruangan dan kulihat ia mulai mengangkat tangan untuk melakukan takbir pertama.

Kuharap Mas Aksa cepat lupa dan tidak perlu lagi menanyakan apapun padaku. Hari ini aku masih menjaga jarak dengannya untuk menghindari pertanyaan yang tiba-tiba ia lontarkan.

Sebelum berangkat kerja Mas Aksa biasa pergi keluar untuk membeli sarapan dan belanja untuk aku masak nanti sore saat ia datang. Sedang aku sudah mulai bebenah rumah dan melakukan pekerjaanku agar rumah tetap terlihat rapi, karena selain pelit, mudah tersinggung, Mas Aksa pun sangat bawel jika keadaan rumah kotor.

Suara ponsel terdengar dari dalam kamar ketika aku sedang mengelap kompor. Nyaring suaranya tidak berhenti meski aku membiarkannya. Terpaksa aku menunda pekerjaan, mencuci tangan dan berjalan ke kamar.

[Iya Bu?] jawabku setelah tahu yang memanggil adalah nomor ibu.

[Kamu apa-apaan sih Hil, pake nanyain uang itu ke Ratna?] sungut Ibu membuatku sedikit kaget.

Ternyata Mbak Ratna mengatakan hal ini pada Ibu.

[Kalau kamu mau minta ganti uang itu minta sama ibu, nanti ibu jual ayam dikandang!] ucapnya lagi dengan kesal.

[Kamu mau berbakti sama orang tua kapan, Hilya? uang satu juta saja kamu tanyakan. Anak perempuan Bi Marni meski sudah menikah setiap bulan selalu mengirim uang pada Ibunya 5 juta perbulan. Kamu kapan seperti itu?]

[Anak Bi Marni kan bekerja Bu, aku nggak.] Belaku pelan.

[Ya kamu juga kerja dong!]

[Mas Aksa tidak menginjinkan, Bu.]

[Ya kalau begitu, uang Aksa juga uangmu Hilya, kalau hanya meminta uang satu juta untuk kamu berikan pada ibu, seharusnya tidak apa-apa!]

[Iya Bu, Ibu tidak perlu menggantinya, biar Hilya yang memintakannya sama Mas Aksa.] jawabku pelan.

[Awas ya, kalau kamu masih mengungkit-ngungkit uang itu lagi!] ucapku ibu kasar sebelum ia menutup panggilannya.

Aduh ya Tuhan, ibu tidak tahu kalau aku sangat menderita di sini, padahal Mas Aksa adalah lelaki pilihannya, aku sampai rela melepaskan Mas Aziel demi memenuhi permintaan ibu untuk menikahi Mas Aksa yang sudah hidup mapan, namu ternyata jadi bencana untukku.

Mas Aksa sudah datang sembari membawa plastik hitam ke dapur, aku segera menyimpan ponsel dan mengikutinya berjalan ke belakang. Ia mengeluarkan satu buah tempe, daging ayam mentah, dan dua butih telur balado.

Aku segera mengambil semua itu, menyimpan bahan mentah dan menyiapkan piring serta nasi.

Mas Aksa menumpahkan satu telur beserta bumbunya ke dalam piring miliknya, sedangkan aku mengambil sisa telur yang sudah kering tanpa bumbu. Begini kebiasaan kami setiap pagi, aku hanya menerima bagian sisa, tetapi kuakali dengan banyak makan nasi demi menahan perut sampai petang menjelang. Sedangkan, siang harinya aku tidak bisa makan apa-apa selain minum air putih, beruntung kalau aku menemukan uang di saku celana Mas Aksa ketika hendak mencuci, uang itu bisa kupakai untuk membeli cemilan atau jajan yang bisa membuat perut kenyang. Tapi, sudah seminggu ini aku bahkan tidak punya uang seribu rupiah pun. Pas sekalinya menemukan uang besar malah jadi bencana. Halah nasibku!

Tepat pukul 07.30 Mas Aksa pamit untuk berangkat ke toko, aku mengantarnya ke depan dan mengecup punggung tangannya.

*

Hari ini pekerjaan rumah sudah selesai lebih awal, pukul 10.00 pagi aku sudah selonjoran di ruangan tv sembari menunggu jemuran pakaian kering untuk disetrika.

Aku melihat satu persatu status teman-teman kontak di ponselku, untuk bisa bertukar kabar atau hanya sekedar mencari tahu tentang apa yang mereka lakukan hari ini.

Jaringanku berputar saat Mbak Ratna mengirimkan foto di statusnya, aku menunggu beberapa saat untuk melihat apa yang diunggahnya hari ini.

Mataku terbelalak saat melihat screenshot percakapan kami tadi pagi, dengan caption, ‘Begini kalau orang pelit ,sekalinya ngasih, malah minta diganti, aneh!’

Deg!

Bukan masalah status itu yang membuat tubuhku bergetar, tapi Mas Aksa pasti punya kontak Mbak Ratna, bagaimana kalau ia membacanya? kali ini aku benar-benar tidak akan bisa berkelit.

Bersambung ....

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status