Mas Aksa menarik pintu kamar dan menutupnya, aku bersembunyi di balik dinding, ia berjalan menuju pintu keluar. Aku menengoknya sebentar, tangannya berhenti saat ia hendak menekan gagang pintu. Seketika aku langsung menarik kembali kepalaku untuk berdiri tegak di balik dinding. Mungkinkah dia tahu kalau aku mengintipnya? kalau benar, aku bisa dikurungnya lagi. Berharap-harap cemas, aku terus membaca mantra supaya tidak terlihat. “Hilya, Mas berangkat,” ucapnya.Hah, syukurlah! ternyata dia hanya mengatakan itu. Aku diam dan tidak menjawab, tentu saja, kalau bersuara sudah pasti ketahuan. Hati sudah tidak sabar ingin melihat apa yang ada di belakang lemari pakaian itu. Aku berjalan perlahan ke pintu, memastikan mobil Mas Aksa sudah tidak ada di garasi. ‘Saatanya beraksi!’ pekikku girang.Meski masih kesusahan melangkah tapi sudah bisa ditapakkan, bengkaknya pun sudah mengempis, jadi aku bisa berjalan lebih cepat, tidak semenderita kemarin yang mirip suster ngesot, mengeret kaki keman
Tangan Mas Aksa meramang ke hadapanku, aku sudah pasrah dan hilang kata-kata, nampaknya ia akan mencekikku sekarang.‘Kak …, kak …, kak ….’ suara burung yang saling bersahutan seolah terdengar seperti gelak tawa setan, menertawakan kebodohanku yang akan mati sia-sia.“Ampun Mas, Hilya janji nggak akan buat Mas Aksa kesel lagi, Hilya mau jadi istri penurut saja,” ucapku terisak, memejamkan mata.Cukup lama tidak kudengar suara atau gerakkan apapun dari Mas Aksa, hanya semilir angin yang semakin dingin berhembus meremangkan bulu kuduk.“Singkirkan tanganmu dari sana,” setelah aku pasrah dengan nasib, suara Mas Aksa terdengar melembut. Saat membuka mata dia masih menatapku, dan matanya memberi kode agar aku bergeser.“Apa?” tanyaku ragu.“Kamu pindah! aku mau bersihan makan Mbak Ayu,” ujarnya.Mbak Ayu?Aku sedikit melirik, melihat tanganku yang berada di tengah-tengah sebuah makam besar. Saat kubaca namanya di papan nisan 'Ayudia Pratiwi.'Mas Aksa maju lebih depan, sedang aku bergeser
Sebenarnya ini belum terlalu malam, baru saja pukul sembilan, tapi mataku sudah ngantuk dan terasa berat. Mas Aksa masih di dalam kamar Ibu sedangkan Ulfa juga belum pulang.Kelopak mata terus saja berayun, meski kutahan sekuat tenaga tetap saja tak bisa. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi, kusandarkan kepala ke dinding kursi dan perlahan kelopak mata menutup dengan sendirinya.“Mas!” suara itu terdengar jelas namun seperti mimpi.“Ada apa Ulfa?” suara Mas Aksa terdengar samar, aku menngerjapkan mata, kulihat dua orang di depanku terlihat berbayang.Ulfa terlihat ngos-ngosan, mengatur napas untuk mulai berbicara.“Kayanya ada yang ngikutin aku Mas,” ucapnya terbata. Aku segera membuang kantuk, menggeleng kepala berkali-kali, melihat Mas Aksa yang berlari cepat ke lawang pintu untuk mencari tahu apakah ada orang di luar.“Ada apa Ulfa?” tanyaku khawatir.“Awalnya aku merasa ada yang manggil nama mbak Ayu, tapi kulihat tidak ada siapa-siapa. Aku mempercepat sepeda motor tapi rasanya a
Makan semangkuk bubur membuat tubuhku kembali bertenaga meski masih sedikit bergetar saat digerakkan, aku sudah kuat melakukan shalat Subuh. Dari lawang pintu kulihat Ibu sudah berdiri hendak ke kamar mandi di bantu Ulfa.Aku segera menghampiri dan menyalaminya.“Terimakasih sudah datang, Nak,” ucap Ibu dengan senyum sayu.Aku mengangguk dan mencoba memapahnya. Namun, Ibu berhenti saat melihat kaki yang kugusur pelan, “Biar Ulfa saja, sepertinya kamu pun sedang sakit,” tolaknya.Aku menurut dan melepaskan genggaman tangan. Mas Aksa tidak terlihat, mungkin ia sedang keluar rumah. Sembari menunggu Mas Aksa, aku mengambil sapu dan membersihkannya, sudah hampir seminggu tidak memegang alat ini, rasanya rindu menjadi seorang istri.Hampir setengah jalan menyapu, Mas Aksa datang dengan barang belanjaan, ia berhenti dan menatapku sejenak.“Aku tidak perlu membayarmu kan?” tanyanya polos.Ya ampun, sebegitu jelekkah reputasiku sekarang? atau jangan-jangan dia sedang mengingatkanku tentang bub
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, mata Mas Aksa masih fokus pada jalanan, sedikit pun ia tidak bersuara apalagi menoleh padaku. Sungguh takut dengan kemarahannya yang seperti ini, aku lebih memilih dicerewetinya sepanjang hari.Mas Aksa membanting pintu mobil saat ia turun, berjalan cepat membuka kunci rumah. Sedang aku masih berdiam di dalamnya, berpikir ulang untuk ikut turun, menunggu sampai emosinya mereda.Tanpa kusadari Mas Aksa ternyata sudah ada di balik pintu mobil, menggedornya dengan keras karena aku menguncinya dari dalam.“Turun!” teriaknya.Penuh rasa takut, aku membuka pintu mobil perlahan, Mas Aksa cepat membukanya lebar, lalu tanpa basa-basi membopong tubuhku masuk ke dalam rumah.Ia menjatuhkannya di atas kasur, aku ketakutan dan meringkuk di dekatan sandaran ranjang. Melihatku yang ketakutakan Mas Aksa meremas rambutnya dan meraung-raung kencang. Aku hanya bisa menelan ludah menyaksikan itu.“Bagaimana kamu bahkan tidak bisa membela dirimu sendiri Hilya!” bentak
Situasi semakin canggung, aku merasa begitu tidak nyaman berada di tengah-tengan mereka semua, banyak hal yang menjadi kekhawatiran. Namun, berbeda dengan Mas Aksa, ia nampak masih menikmati suasana canggung ini. Tangannya perlahan mengambil makanan yang sudah terhidang, menikmatinya sembari melemparkan senyuman, menanggapi beberapa pembicaraan.“Nak Aziel sekarang kerja di mana?” tanya Ibu dengan mata berbinar, ia menyapa dengan suara yang paling lembut yang pernah kudengar. Begitulah Ibu, nada suaranya saja bisa dibeli dengan uang.“Saya bekerja di perusahaan kecil yang bergerak dalam bidang pemotretan,” jawab Aziel sembari melirik ke arahku.“Wah, benarkan?” saat ini suara Mbak Ratna terdengar antusias, dunia itu pasti sangat menyenangkan untuknya. Kami memang saudara dengan spesies berbeda, jangankan dari sifat, dari penampilan pun kami jauh berbeda, seperti air dan minyak yang tidak bisa disatukan. Mbak Ratna dengan rambut terurai dan dress selutut yang terlihat feminim, sedangk
Hari ini serasa mimpi buruk yang masih berlansung, belum cukup dengan kekagetanku melihat Mas Ilham keluar dari villa itu, sesaat setelahnya keluar seorang perempuan dewasa yang dibalut dengan pakaian mewah dan tas branded di tangan, nampaknya ia sedang melakukan panggilan dengan seseorang. Tubuhnya berhenti tidak jauh dari tempat kami terduduk.[Sayang, aku sudah kirim uangnya ya.][Jangan lama-lama liburannnya, aku akan merindukanmu.][Thank’s untuk hari ini.]Dadaku terus bergemuruh mendengar setiap kata yang diucapkannya, mungkinkah Mas Ilham menjual dirinya pada perempuan itu? untuk apa? usahanya selama ini bagus, kalau hanya untuk menghidupi dua orang saja harusnya cukup, karena Mbak Ratna pun masih belum diberi keturunan meski sudah memasuki usia pernikahannya yang ke tiga tahun.“Hilya,” ucap Mas Aksa mengelusik, membuyarkan lamunanku.“Iya Mas, udah baikan?” tanyaku sembari mendongakkan wajah.Mas Aksa menatapku lekat, lalu tersenyum.‘Hah’ hatiku langsung mencelos, senyum it
Sepanjang perjalanan, senyum hangat Mas Aksa seakan menguap entah kemana. Sekarang ia sudah kembali seperti gunung batu es di tengah-tengah gurun, tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya, atau hanya sekedar menegur, menawari makan, minum atau yang lainnya. Kami sudah melakukan perjalanan hampir dua jam, langit sudah nampak gelap memasuki waktu Magrib. Perutku yang hanya diisi mie cup siang tadi sudah keroncongan kembali, entah aku yang begitu mudah lapar, atau ia pun merasakannya. Tapi, jika dilihat betapa santainya ia dalam perjalanan ini, aku ragu kalau Mas Aksa merasakan kegundahan yang sama.Mas Aksa berhenti di sebuah Masjid yang cukup besar dan bergegas turun agar bisa melakukan shalat Magrib berjamaah. Sedangkan aku yang kebetulan sedang datang bulan, hanya menunggunya di dalam mobil.Ponsel yang berada di dalam tas sejak di Villa tadi, terus berbunyi nyaring. Kulihat ada panggilan dari Ibu. Merasa ia hanya akan melampiaskan kemarahannya karena kejadian tadi sore, aku