Sejak dari rumah hingga tiba di kampus, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Arsela maupun Arya. Keduanya tenggelam dalam diam. Meski begitu, Arya beberapa kali sempat mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelah.
Ada satu hal yang mulai disadari Arya: Arsela sama sekali tidak tergila-gila padanya. Ia bahkan terlihat cuek dan tidak peduli. Jauh berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa lain yang walaupun tidak terang-terangan mendekatinya, Arya tahu mereka berusaha mencari perhatian. Di pikirannya, Arya menduga mungkin semua ini karena masalah yang belum terselesaikan di antara mereka. Mungkin itu yang membuat Arsela bersikap dingin. Saat mereka sudah sampai di parkiran kampus, Arya belum juga membuka kunci pintu di sisi Arsela. Hal itu membuat Arsela menoleh padanya dengan tatapan bingung. “Aku ingin bicara, Arsela,” ucap Arya serius. Arsela memutar bola matanya, jelas kesal. “Pak, yang bener aja, dong. Tadi kita punya banyak waktu buat bicara, tapi kamu malah diam aja. Sekarang udah sampai, dan lima menit lagi aku masuk kelas, kamu baru bilang mau bicara? What’s wrong with you?” Nada bicara Arsela tinggi. Wajar kalau ia kesal. Dari rumah ke kampus butuh waktu sekitar tiga puluh menit, dan Arya tidak bicara sama sekali. Sekarang, saat waktu begitu sempit, Arya malah baru membuka pembicaraan. Gila, pikir Arsela, pria di depannya ini benar-benar tidak masuk akal. “Aku nggak punya waktu. Kalau kamu memang mau bicara, nanti aja di rumah. Sekarang tolong buka pintunya,” kata Arsela, berusaha menahan emosi. Rasa kesalnya yang tadi hampir hilang, kini kembali menggunung. “Oke. Kita bicara di rumah. Aku yang jemput,” balas Arya tenang. Ia memilih untuk mengalah. Arsela ada benarnya—mereka memang punya waktu tadi, tapi ia sia-siakan. Begitu pintu dibuka, Arsela segera keluar tanpa berpamitan. Ia membanting pintu mobil dengan keras, lalu berlari masuk ke dalam gedung kampus untuk mencari kelasnya. " Untung ini mobil milik keluarganya" kata Arya melihat pintu yang baru saja Arsela banting. ... Seperti yang dikatakan Arya tadi pagi, sore ini ia benar-benar datang menjemput Arsela. Ia sudah menunggu cukup lama di parkiran kampus, tapi tak juga terlihat bayangan istrinya mendekat. Tiba-tiba, kaca mobilnya diketuk oleh seseorang. Seorang wanita. Ternyata Bu Weni—dosen muda yang dikenal cantik dan karismatik di kalangan mahasiswa. Arya yang saat itu tengah sibuk menghubungi Arsela menoleh. “Iya, ada apa, Bu?” tanyanya sedikit canggung, segera menurunkan kaca jendela. “Tidak ada apa-apa, Pak Arya. Bukannya Bapak sedang cuti? Kok datang ke kampus?” tanya Bu Weni heran. “Saya ada perlu sebentar, Bu. Ada mahasiswa yang butuh tanda tangan saya, jadi sekalian mampir,” jawab Arya sopan. “Oh, begitu ya. Kenapa nggak tunggu di ruangan saja, Pak?” “Saya cuma sebentar, Bu,” balas Arya sambil kembali menatap ponselnya. “Kalau begitu, saya pamit dulu ya, Pak,” kata Bu Weni tersenyum. Arya hanya membalas dengan anggukan dan senyum tipis. Namun pandangannya langsung terpaku pada pesan masuk di ponselnya. Ia membacanya pelan-pelan, tidak percaya dengan kalimat istri barunya. > “Tunggu dulu, ada Bu Weni.” > “Dilihat-lihat, kamu lebih cocok sama Bu Weni. Kenapa nggak nikah aja sama Bu Weni? Dia cantik, pintar. Eh, malah pilih saya jadi istrimu, Pak.” Arya menggeleng pelan sambil menggumam, “Anak ini, astaga...” Tapi kemudian ia tersenyum kecil. “Tapi dia berbeda dari yang lain,” batinnya. Tak lama kemudian, batang hidung Arsela pun muncul. Tanpa bicara, ia langsung masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Arya. “Pak, Bu Weni cantik ya?” tanyanya datar. “Iya, karena dia perempuan,” jawab Arya santai. ah, saya capek. Mau istirahat,” ucap Arsela, lalu menyandarkan tubuhnya ke jok dengan mata terpejam. Seharian berada di kampus membuat tubuhnya benar-benar lelah. Bahkan makan siang pun ia lewatkan karena padatnya jadwal hari ini. “Kamu sudah makan?” tanya Arya dengan nada perhatian. “Hmm,” gumam Arsela malas, tanpa membuka mata. “Jawab yang jelas, Arsela. Kalau belum makan, kita bisa mampir ke restoran dulu. Sekalian kita bisa bicara,” kata Arya. “Iya, lakukan sesukamu,” balas Arsela datar, lalu membalikkan tubuhnya menjauh. Entah mengapa, gadis ini selalu terkesan tak sopan padanya, berbeda dengan mahasiswa lain yang biasanya hormat dan hati-hati saat bicara. Tapi anehnya, justru sikap Arsela itulah yang membuat Arya merasa nyaman. Ada sesuatu dalam diri Arsela yang tak bisa ia jelaskan, semacam ketulusan yang keras kepala. Sesampainya di restoran, mereka masuk tanpa banyak bicara. Wajah Arsela masih terlihat letih. Ia langsung menuju toilet untuk membasuh wajah, berusaha menyegarkan diri sebelum duduk bersama Arya. “Mau bicara apa?” tanya Arsela to the point, setelah mereka duduk berhadapan. Arya tidak langsung menjawab. Ia menatap wajah Arsela lama, seolah ingin memastikan bahwa ini saat yang tepat. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya bicara. “Kamu sudah tahu status kita sekarang, kan?” katanya pelan. Arsela hanya mengangguk pelan. “Walaupun usia kita berbeda jauh, aku akan berusaha mengerti kamu. Setelah kita tinggal di rumah kita nanti, aku ingin kita mencoba menjalani pernikahan ini dengan sungguh-sungguh.” Kalimat itu membuat Arsela tersenyum sinis, lalu menatap keluar jendela. “Itu nggak akan semudah yang kamu pikirkan, Pak,” ucapnya. Kemudian matanya kembali menatap Arya. “Sulit bagiku menjalani sesuatu yang sejak awal nggak aku inginkan.” Memang seperti itulah Arsela. Sejak dulu ia selalu kesulitan beradaptasi dengan hal-hal yang dipaksakan. Ketika ia ingin masuk jurusan kedokteran, keluarganya melarang, dan akhirnya ia terpaksa memilih jurusan bisnis. Awal kuliah, ia sangat kesulitan mengikuti pelajaran. Bahkan pernah mendapat nilai D di mata kuliah wajib. Tapi berkat kerja keras dan tekanan dari keluarganya, ia belajar mencintai jalan yang terpaksa ia ambil. Ia kini dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas dan kreatif. Namun urusan hati? Itu lain cerita. Sekali hatinya menetap, tak mudah untuk berpindah. “Kita bisa mencobanya sama-sama, Arsela,” kata Arya pelan, mencoba meyakinkan. “Bukan kita. Hanya kamu saja,” jawab Arsela, tegas. “Kalau kamu nggak berbohong, semua ini nggak akan terjadi.” Arya terdiam. Napasnya memburu. Tangan kanannya mengepal di atas paha, berusaha menahan emosi. “Kamu lebih tua dariku. Harusnya kamu lebih bijak. Mungkin aku terkesan nggak punya etika, tapi setidaknya, coba pahami kondisiku. Kita ini orang asing yang disatukan oleh keputusan konyol.” Arya masih diam, menahan semuanya sendiri. Entah kenapa, setiap kali berada di depan Arsela, ia merasa sulit untuk meluapkan amarah. Padahal, jika orang lain mendengar percakapan mereka saat ini, mungkin Arya akan dianggap sebagai laki-laki bodoh yang membiarkan dirinya dilemahkan oleh seorang gadis muda. Pesanan mereka datang, memotong pembicaraan yang sempat memanas. Setelah itu, keduanya memilih diam. Tak ada lagi kata-kata yang keluar, hanya keheningan yang menemani mereka menikmati hidangan di atas meja. Di tengah sunyi itu, Arya mencuri pandang ke arah Arsela yang tengah menyuap makanannya dengan pelan. Gadis ini selalu tampak menarik di mataku. Apa aku benar-benar mulai menaruh hati padanya? batinnya, bingung dengan perasaannya sendiri setiap kali berada di dekat Arsela.Tawa mereka belum juga reda saat langkah mereka hampir melewati ruang dosen. Secara tak sengaja, mereka melihat Bu Weni keluar dari ruangan dengan wajah yang berbeda dari biasanya—lebih dingin, lebih kaku. “Eh, itu Bu Weni,” bisik Flo pelan. Refleks mereka menunduk, pura-pura sibuk dengan langkah masing-masing. Bu Weni lewat begitu saja, tanpa senyum ramah seperti biasanya. Bahkan tidak menyapa, padahal biasanya beliau paling cerewet menyapa mahasiswa, apalagi yang cewek-cewek. Kali ini? Datar. Dingin. Seolah ada tembok besar yang dipasang di wajahnya. “Wah, vibes-nya beda ya,” gumam Intan pelan, setelah Bu Weni cukup jauh. “Dingin banget. Padahal biasanya kalau lihat kita langsung senyum-senyum,” timpal Dwi. “Pasti karena gosip itu, deh,” ucap Flo yakin. “Gue yakin Bu Weni tuh ada rasa sama Pak Arya.” Arsela hanya diam. Ada rasa tak nyaman, apalagi mengingat semua yang terjadi belakangan ini terasa makin rumit. Bukan cuma statusnya yang harus disembunyikan, tapi juga reaksi-rea
Paginya, Arsela terbangun dan masih berada dalam pelukan Arya. Perlahan, ia melepaskan tangan Arya yang melingkar di tubuhnya. Matanya menatap lekat wajah sang suami. “Alis tebal, hidung mancung... membuat dia terlihat gagah. Aku ingin menolakmu semalam, tapi entah kenapa... saat berada di pelukanmu, hati kecilku merasa nyaman,” ucap Arsela lirih, masih memandangi wajah Arya yang tertidur. Setelah itu, ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Suara pintu kamar mandi yang tertutup membuat Arya perlahan membuka matanya dan tersenyum sambil menatap pintu itu. “Astaga, jantung... untung dia nggak merasakannya,” gumam Arya sambil menyentuh dadanya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Memang usia mereka terpaut jauh, tapi entah kenapa, bagi Arya, Arsela sangat menarik—lebih menarik dari wanita dewasa mana pun yang pernah ia temui. Arya percaya, takdir dan jodoh sudah ada yang mengatur. Pagi ini, karena Arya mengajar di kelas Arsela, mereka pun berangkat bersama ke kampus. T
Keduanya sarapan dalam keheningan. Arya tidak mengizinkan Arsela menyentuh piring kotor sebelum ia berangkat kerja. Dan pagi ini, seakan kurang repot, Arya malah menambah beban: menyuruh Arsela ini-itu sebelum pamit. "Aku nggak mau! Kalau kamu mau pergi kerja, ya pergi aja! Jangan bikin repot!" seru Arsela setengah kesal. Bagaimana tidak, Arya minta pamitan dengan pelukan perpisahan dan ciuman di kening. Sederhana, memang. Tapi bagi Arsela, itu sulit. Masih untung ia sudah cukup legowo menerima pernikahan ini, mau belajar beradaptasi. Tapi lihatlah—si tukang paksa itu, selalu menuntut lebih. "Apa? Mau nyium?" tantang Arsela saat melihat Arya mendekat. Pagi ini, kepercayaan dirinya seolah bangkit, tak gentar sedikit pun. "Ya udah, sini." Arya menarik pinggang Arsela dengan satu tangan, lalu menatap bibir mungil istrinya. "Ini bibir, kalau udah ngoceh, seperti ibu beranak sepuluh," godanya. "Lepas! Aku gak mau. Dasar mesum!" ucap Arsela tegas, meski tahu dirinya tak akan menang dal
Selesai makan malam, Arsela tidak ingin dibantu membersihkan piring kotor. Ia menyuruh Arya menjauh. Ya, Arya pun tak memaksa.“Kalau mau dibantu, bilang ya,” ucap Arya.“Nyuci piring aku bisa, nggak akan minta bantuan kamu,” jawab Arsela. Arya pun berlalu, membiarkan istrinya bergelut dengan piring kotor itu.Setelah itu, mereka kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing. Arsela melanjutkan tugas kuliahnya, sementara Arya fokus dengan pekerjaannya. Tapi, bukan di kamar—Arya memilih duduk di ruang tamu.“Akhirnya selesai juga,” ucap Arsela, merebahkan tubuhnya di sofa. Arya sempat melirik, tapi kembali fokus.“Kalau mau tidur, tidur aja dulu. Nggak perlu nungguin aku,” ucap Arya sambil tetap menatap layar laptopnya.Arsela tidak langsung menjawab. Ia terdiam cukup lama.“Pak Arya?” panggil Arsela, membuat sang empunya nama menoleh, lalu meletakkan laptop di meja dan memiringkan tubuh menghadap istrinya.Arya menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan. “Sebelum kita lanjut
Arsela hanya mengaduk-aduk nasi goreng buatan suaminya. Bukan tidak enak, tapi ucapan Bu Ningsih tadi membuat dirinya berpikir, takut pernikahannya dengan Arya terbongkar dalam waktu dekat."Arsela, kamu kenapa? Masakan mama kamu tidak enak? Atau ada yang sedang mengganggu pikiranmu?" tanya Dwi. Tapi, jika nasi goreng itu tidak enak, Dwi yakin itu tidak benar. Dari baunya saja sudah membuat Dwi tergoda."Bukan gitu, Dwi. Hanya saja ada yang mengganggu pikiranku," ucap Arsela, memasukkan sesendok nasi goreng itu ke mulutnya."Arsela... mmm, boleh minta nasi goreng kamu nggak?" tanya Dwi, tidak bisa menahan godaan dari wanginya. Persetan dengan malu, yang penting ia bisa mencicip nasi goreng Arsela yang berani menggoda mulutnya."Eh, boleh. Ini." Arsela sedikit mendorong bekalnya agar lebih dekat dengan Dwi.Mata Dwi bersinar tatkala nasi goreng tersebut menari di lidahnya. Sekali dua kali suapan rasanya Dwi tidak puas, tapi dia masih tahu diri bahwa nasi goreng buatan mamanya Arsela it
Berada di kamar yang sama seharusnya membuat Arsela merasa tidak nyaman—apalagi bersama pria yang dulu hanya ia pandang sebagai sosok terhormat di kampus. Tapi kini, pria itu bukan hanya dosennya. Dia adalah suaminya. Suami sah yang menyandang status baru di hidup Arsela.Kalau boleh jujur, awalnya Arsela canggung berbagi ruang dengan Arya. Tapi karena Arya tidak melakukan hal-hal yang membuatnya risih, perlahan rasa tak nyaman itu menghilang. Ia mulai terbiasa.Ya, walaupun pria itu pernah mengambil ciuman pertamanya—mirisnya, tanpa izin pula. Jika dulu kamar adalah wilayah kekuasaannya, sekarang tidak lagi. Kini ia berada di kamar Arya.Sejak tadi, mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Arsela tenggelam dalam tugas kuliahnya, sementara Arya fokus dengan pekerjaannya. Dari tempat tidur, Arsela melirik ke arah meja kerja, memperhatikan sosok Arya yang serius mengetik, sesekali membetulkan letak kacamatanya.“Dia pekerja keras,” gumam Arsela dalam hati, mengagumi dalam diam.Arya men