Share

Aku lapar

Author: Mini
last update Huling Na-update: 2025-05-21 07:30:11

Cukup lama keheningan menggantung di antara mereka. Arsela mulai merasa risih ditatap terus oleh Arya. Ia mendesah pelan, lalu bertanya tanpa menoleh, “Apa?”

“Aku lapar,” jawab Arya singkat.

Arsela mengernyit. “Terus?” sahutnya spontan, nada suaranya datar.

“Ini rumahmu, Arsela. Bukan rumahku,” kata Arya santai, seolah-olah itu sudah cukup sebagai penjelasan.

Arsela masih belum menangkap maksudnya. “Terus?”

“Buatkan aku makanan,” lanjut Arya tanpa basa-basi.

Arsela menoleh cepat, menatap Arya tajam. “Di bawah banyak makanan. Tinggal makan. Kenapa harus dilayani? Jangan menyusahkan aku! Kamu pikir aku ini pelayanmu?”

Nada sinis terdengar jelas dalam suaranya. Rasa hormat Arsela kepada Arya tampaknya luntur seketika. Panggilan “kamu” yang keluar begitu saja darinya pun seakan menunjukkan bahwa ia tak peduli Arya lebih tua darinya.

“Kamu memang bukan pelayanku,” jawab Arya tenang, “tapi kamu istriku. Wajib hukumnya seorang istri melayani suaminya.”

Nada Arya terdengar lebih tegas, bahkan panggilannya pun kini berubah dari “saya” menjadi “aku”—sebuah penegasan atas hubungan yang baru terikat secara sah beberapa jam lalu.

Arsela menggeram kesal, menutup laptopnya dengan kasar. Ia berdiri dan berjalan menuju pintu. “Kamu mau makan atau nggak?” tanyanya, menoleh sebentar karena Arya belum juga bergerak.

Tanpa berkata, Arya bangkit dan mengikuti langkah Arsela menuju dapur. Setibanya di sana, Arsela menunjukkan berbagai hidangan yang masih tersedia. Namun, bukannya memilih, Arya hanya menatapnya.

Dengan kesal, Arsela akhirnya mengambil sebungkus mi instan dan mulai memasaknya. Beberapa menit kemudian, ia meletakkan semangkuk mi panas di hadapan Arya.

“Aku cuma bisa masak ini. Kalau nggak suka, ya jangan dimakan,” ucapnya ketus, lalu hendak pergi.

“Mau ke mana? Temani aku makan,” pinta Arya tanpa memaksa, tapi cukup membuat langkah Arsela terhenti.

Dengan malas, Arsela duduk kembali di hadapan Arya. Dalam diam, ia mengumpat dalam hati. Kesal? Tentu saja. Tapi berdebat pun percuma.

Malam pertama yang seharusnya indah bagi pasangan baru, justru berakhir dengan makan mi instan bersama. Ya, meski tidak benar-benar bersamaan. Mereka duduk dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri, tapi entah bagaimana—kedekatan mulai terasa, meski samar.

"Jangan ganggu aku lagi. Aku harus menyelesaikan tugas yang harus kukumpulkan besok. Terserah kamu mau ngapain, aku nggak peduli," ucap Arsela saat mereka sudah berada di kamar.

Menunggu Arya makan terasa membuang waktu. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan tidak ada tanda-tanda mereka akan segera tidur.

Arya pun memilih untuk tidak mengganggu. Ia menyibukkan diri dengan laptopnya. Keduanya tenggelam dalam kesibukan masing-masing, hingga pagi menjelang.

---

Pagi-pagi sekali, Arsela sudah rapi dan siap berangkat ke kampus. Namun, ada satu hal yang membuatnya kesal pagi ini—buku yang biasa ia bawa ke kampus entah hilang ke mana.

"Kamu mau ke mana?" tanya Arya, melihat istrinya yang mondar-mandir.

"Kampus lah, masa ke pasar?" jawab Arsela ketus tanpa menoleh. Ia sibuk mencari bukunya, hingga frustrasi dan meremas rambutnya sendiri.

"Kamu nggak ambil cuti?"

"Buat apa? Sudahlah, kamu diam saja!" gerutu Arsela. "Aduh, di mana sih buku itu?" katanya sambil menggigit bibir bawah, mencoba mengingat-ingat letaknya. Setahunya, ia tak pernah memindahkan buku itu.

"Bukumu warna apa?" tanya Arya, cukup peka untuk ikut membantu.

"Binder, sampulnya hijau muda," jawab Arsela, tetap membongkar isi kamar. Sementara itu, Arya keluar dari kamar, membuat Arsela makin kesal.

"Buat apa coba tanya-tanya kalau nggak niat bantu?" gumamnya jengkel.

Suara pintu kembali terbuka, tapi Arsela tidak menggubris. Ia masih sibuk mengingat-ingat.

"Apa ini buku yang kamu maksud?" tanya Arya, muncul kembali dengan binder di tangan.

Arsela langsung menoleh. Matanya berbinar senang.

"Iya, itu! Kamu nemu di mana?" tanyanya, cepat-cepat menghampiri dan membuka binder tersebut.

"Di luar. Makanya, naruh barang tuh yang benar. Biar nggak panik sendiri kalau nyari."

"Aku selalu naruh barangku di tempatnya. Udahlah, aku males debat. Nggak ada gunanya ngomong sama kamu," ucap Arsela dingin. Ia memasukkan buku itu ke dalam tas dengan kasar.

"Arsela, tunggu!"

"Apa lagi sih, Pak? Mau ceramah lagi? Mau bilang aku ceroboh?"

"Kamu lupa laptopmu."

"Sial," gumam Arsela. Dengan langkah panjang, ia mengambil laptop dari meja dekat ranjang. Saat hendak keluar lagi, Arya kembali menahannya. Arsela menatap tajam.

"Aku antar."

Tanpa menunggu jawaban, Arya lebih dulu melangkah keluar kamar.

....

Di meja makan sudah ada Mama, Papa, dan Yogi. Mereka menunggu kehadiran Arya dan Arsela yang tak kunjung muncul sejak tadi.

"Mama saja yang panggil, Nak," ucap Mama pada Yogi, beranjak dari tempat duduknya.

Baru saja keluar dari ruang makan, Mama melihat Arsela menuruni tangga dengan tas dan pakaian yang sudah rapi.

"Mau ke mana, Nak? Kamu nggak libur?" tanya Mama.

"Nggak, Ma. Ela nggak libur. Ini mau ke kampus, ada kelas pagi banget," jawab Arsela sambil tersenyum kecil. "Ela berangkat dulu ya, Ma," katanya sembari hendak menyalami tangan sang ibu.

"Nggak dulu, Nak. Sarapan dulu. Ajak suamimu juga. Mama kira kalian berdua ambil cuti, ternyata cuma nak arya aja ya, ternyata nggak, ya."

Arsela tertegun mendengar Arya ternyata mengambil cuti untuk pernikahan mendadak ini. Tapi ia berusaha tetap tenang.

"Nggak, Ma. Lagian aku dan Pak Arya beda. Dia dosen, aku mahasiswa. Jadi nggak bisa disamain."

"Iya juga, sih. Ya sudah, cepat panggil suamimu. Kita sarapan bersama. Papa dan Yogi sudah menunggu."

Arsela menghela napas. Mau tak mau, ia harus ikut sarapan pagi ini.

Ia keluar menuju mobil, di mana Arya sudah menunggu. Begitu kaca mobil diturunkan, Arya bertanya, "Ada apa?"

"Mama nyuruh kita sarapan dulu. Baru boleh berangkat," jawab Arsela singkat.

Arya mengangguk, langsung turun dari mobil dan kembali masuk ke dalam rumah.

Tatapan Yogi sempat bertemu dengan Arsela, tapi Arsela buru-buru mengalihkan pandangannya. Kejadian semalam membuat hubungan mereka terasa canggung. Sejak insiden itu, mereka belum saling berbicara.

Mirisnya, di hari pernikahan kemarin, Yogi bahkan tak mengucapkan selamat padanya. Tapi Arsela pun tak berharap ada ucapan selamat dari siapa pun untuk pernikahan yang tak ia inginkan.

"Harusnya kamu ambil cuti juga, Ela, seperti Nak Arya," kata Papa begitu Arsela dan Arya bergabung di meja makan.

"Ela nggak bisa ambil cuti mendadak, Pa. Ujian juga tinggal sebentar lagi. Kalau ambil cuti sekarang, itu bukan waktu yang tepat," jawab Arsela, berusaha masuk akal.

"Ambilkan dulu suamimu, baru ambilkan untuk dirimu," tegur Mama saat melihat Arsela mengambil nasi untuk dirinya sendiri.

Tanpa perlu penjelasan dua kali, Arsela mengangguk dan mulai mengambilkan nasi untuk Arya.

"Segini cukup?" tanyanya.

Arya menjawab dengan anggukan kecil. Apa pun yang Arsela hidangkan, ia terima.

" Kamu sekarang sudah resmi menjadi seorang istri, papa sudah memberi kan semua tanggu jawab papa pada Arya, kamu harus patuh, harus mendengarkan dia dan menghormatinya. Seperti kamu menghormati papa selama ini "

" Iya pa." Jawab Arsela singkat. Walaupun di dalam hatinya, menjawab lebih panjang.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kebaikanku, permainanmu.   16

    Tawa mereka belum juga reda saat langkah mereka hampir melewati ruang dosen. Secara tak sengaja, mereka melihat Bu Weni keluar dari ruangan dengan wajah yang berbeda dari biasanya—lebih dingin, lebih kaku. “Eh, itu Bu Weni,” bisik Flo pelan. Refleks mereka menunduk, pura-pura sibuk dengan langkah masing-masing. Bu Weni lewat begitu saja, tanpa senyum ramah seperti biasanya. Bahkan tidak menyapa, padahal biasanya beliau paling cerewet menyapa mahasiswa, apalagi yang cewek-cewek. Kali ini? Datar. Dingin. Seolah ada tembok besar yang dipasang di wajahnya. “Wah, vibes-nya beda ya,” gumam Intan pelan, setelah Bu Weni cukup jauh. “Dingin banget. Padahal biasanya kalau lihat kita langsung senyum-senyum,” timpal Dwi. “Pasti karena gosip itu, deh,” ucap Flo yakin. “Gue yakin Bu Weni tuh ada rasa sama Pak Arya.” Arsela hanya diam. Ada rasa tak nyaman, apalagi mengingat semua yang terjadi belakangan ini terasa makin rumit. Bukan cuma statusnya yang harus disembunyikan, tapi juga reaksi-rea

  • Kebaikanku, permainanmu.   15

    Paginya, Arsela terbangun dan masih berada dalam pelukan Arya. Perlahan, ia melepaskan tangan Arya yang melingkar di tubuhnya. Matanya menatap lekat wajah sang suami. “Alis tebal, hidung mancung... membuat dia terlihat gagah. Aku ingin menolakmu semalam, tapi entah kenapa... saat berada di pelukanmu, hati kecilku merasa nyaman,” ucap Arsela lirih, masih memandangi wajah Arya yang tertidur. Setelah itu, ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Suara pintu kamar mandi yang tertutup membuat Arya perlahan membuka matanya dan tersenyum sambil menatap pintu itu. “Astaga, jantung... untung dia nggak merasakannya,” gumam Arya sambil menyentuh dadanya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Memang usia mereka terpaut jauh, tapi entah kenapa, bagi Arya, Arsela sangat menarik—lebih menarik dari wanita dewasa mana pun yang pernah ia temui. Arya percaya, takdir dan jodoh sudah ada yang mengatur. Pagi ini, karena Arya mengajar di kelas Arsela, mereka pun berangkat bersama ke kampus. T

  • Kebaikanku, permainanmu.   14

    Keduanya sarapan dalam keheningan. Arya tidak mengizinkan Arsela menyentuh piring kotor sebelum ia berangkat kerja. Dan pagi ini, seakan kurang repot, Arya malah menambah beban: menyuruh Arsela ini-itu sebelum pamit. "Aku nggak mau! Kalau kamu mau pergi kerja, ya pergi aja! Jangan bikin repot!" seru Arsela setengah kesal. Bagaimana tidak, Arya minta pamitan dengan pelukan perpisahan dan ciuman di kening. Sederhana, memang. Tapi bagi Arsela, itu sulit. Masih untung ia sudah cukup legowo menerima pernikahan ini, mau belajar beradaptasi. Tapi lihatlah—si tukang paksa itu, selalu menuntut lebih. "Apa? Mau nyium?" tantang Arsela saat melihat Arya mendekat. Pagi ini, kepercayaan dirinya seolah bangkit, tak gentar sedikit pun. "Ya udah, sini." Arya menarik pinggang Arsela dengan satu tangan, lalu menatap bibir mungil istrinya. "Ini bibir, kalau udah ngoceh, seperti ibu beranak sepuluh," godanya. "Lepas! Aku gak mau. Dasar mesum!" ucap Arsela tegas, meski tahu dirinya tak akan menang dal

  • Kebaikanku, permainanmu.   12

    Selesai makan malam, Arsela tidak ingin dibantu membersihkan piring kotor. Ia menyuruh Arya menjauh. Ya, Arya pun tak memaksa.“Kalau mau dibantu, bilang ya,” ucap Arya.“Nyuci piring aku bisa, nggak akan minta bantuan kamu,” jawab Arsela. Arya pun berlalu, membiarkan istrinya bergelut dengan piring kotor itu.Setelah itu, mereka kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing. Arsela melanjutkan tugas kuliahnya, sementara Arya fokus dengan pekerjaannya. Tapi, bukan di kamar—Arya memilih duduk di ruang tamu.“Akhirnya selesai juga,” ucap Arsela, merebahkan tubuhnya di sofa. Arya sempat melirik, tapi kembali fokus.“Kalau mau tidur, tidur aja dulu. Nggak perlu nungguin aku,” ucap Arya sambil tetap menatap layar laptopnya.Arsela tidak langsung menjawab. Ia terdiam cukup lama.“Pak Arya?” panggil Arsela, membuat sang empunya nama menoleh, lalu meletakkan laptop di meja dan memiringkan tubuh menghadap istrinya.Arya menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan. “Sebelum kita lanjut

  • Kebaikanku, permainanmu.   11

    Arsela hanya mengaduk-aduk nasi goreng buatan suaminya. Bukan tidak enak, tapi ucapan Bu Ningsih tadi membuat dirinya berpikir, takut pernikahannya dengan Arya terbongkar dalam waktu dekat."Arsela, kamu kenapa? Masakan mama kamu tidak enak? Atau ada yang sedang mengganggu pikiranmu?" tanya Dwi. Tapi, jika nasi goreng itu tidak enak, Dwi yakin itu tidak benar. Dari baunya saja sudah membuat Dwi tergoda."Bukan gitu, Dwi. Hanya saja ada yang mengganggu pikiranku," ucap Arsela, memasukkan sesendok nasi goreng itu ke mulutnya."Arsela... mmm, boleh minta nasi goreng kamu nggak?" tanya Dwi, tidak bisa menahan godaan dari wanginya. Persetan dengan malu, yang penting ia bisa mencicip nasi goreng Arsela yang berani menggoda mulutnya."Eh, boleh. Ini." Arsela sedikit mendorong bekalnya agar lebih dekat dengan Dwi.Mata Dwi bersinar tatkala nasi goreng tersebut menari di lidahnya. Sekali dua kali suapan rasanya Dwi tidak puas, tapi dia masih tahu diri bahwa nasi goreng buatan mamanya Arsela it

  • Kebaikanku, permainanmu.   Dia kerja keras

    Berada di kamar yang sama seharusnya membuat Arsela merasa tidak nyaman—apalagi bersama pria yang dulu hanya ia pandang sebagai sosok terhormat di kampus. Tapi kini, pria itu bukan hanya dosennya. Dia adalah suaminya. Suami sah yang menyandang status baru di hidup Arsela.Kalau boleh jujur, awalnya Arsela canggung berbagi ruang dengan Arya. Tapi karena Arya tidak melakukan hal-hal yang membuatnya risih, perlahan rasa tak nyaman itu menghilang. Ia mulai terbiasa.Ya, walaupun pria itu pernah mengambil ciuman pertamanya—mirisnya, tanpa izin pula. Jika dulu kamar adalah wilayah kekuasaannya, sekarang tidak lagi. Kini ia berada di kamar Arya.Sejak tadi, mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Arsela tenggelam dalam tugas kuliahnya, sementara Arya fokus dengan pekerjaannya. Dari tempat tidur, Arsela melirik ke arah meja kerja, memperhatikan sosok Arya yang serius mengetik, sesekali membetulkan letak kacamatanya.“Dia pekerja keras,” gumam Arsela dalam hati, mengagumi dalam diam.Arya men

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status