Dengan langkah cepat, Alyn masuk ke kamarnya. Mengemas sedikit baju-bajunya yang sudah lusuh dan usang, harta yang ia miliki sangat sedikit. Felix sangat perhitungan, ia hanya memberi uang bulanan pada ibunya, jadi Alyn tak pernah menerima uang untuk belanja dengan layak.
Dia bilang memalukan? Tapi dia sendiri tak memberinya nafkah dengan benar. Dengan dendam yang membara di hati, Alyn melangkah keluar dari rumah itu, meninggalkan Felix dan Bu Cintya yang masih mengomel karena darah yang menggenang di lantai rumah lebih mereka perhatikan daripada kondisi Alyn. Alyn berjalan tertatih, darah mengalir di kakinya. Setiap langkah terasa berat, tetapi tekadnya lebih kuat dari rasa sakit yang ia rasakan. Alyn menghentikan sepeda motor yang lewat dihapannya. "Tolong, saya ... Saya takut terjadi apa-apa dengan anak saya," sahut Alyn sambil menitikkan air mata. Suaranya bergetar, penuh rasa takut dan putus asa. "Ayo, saya antar ke rumah sakit!" jawab pria itu cepat, penuh empati. Alyn pun dibonceng, diantar ke rumah sakit segera. Dengan setiap detik yang berlalu, harapan untuk menyelamatkan anaknya menggantung di ujung doa-doa yang ia panjatkan dalam hati yang hancur. Perjalanan itu terasa begitu panjang, penuh dengan rasa sakit fisik dan emosi yang mencekam. Alyn tiba di rumah sakit dengan darah yang masih mengalir di kakinya. Dengan bantuan pria yang dengan sigap menolongnya itu, ia dibawa masuk ke ruang UGD. Setiap langkah terasa berat, namun dukungan dari pria yang bernama Rio itu memberikan sedikit harapan di tengah kepedihan yang luar biasa. "Dokter! Tolong, ini darurat!" seru Rio, pria yang menolongnya saat mereka tiba di ruang UGD. Perawat yang berjaga segera datang dengan tandu, mengarahkan Alyn untuk berbaring. Alyn, yang sekarang lemah dan hampir kehilangan kesadarannya, masih mencoba untuk menjaga kesadarannya. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis yang tak terbendung. Tim medis segera mengambil alih. Dokter memeriksa kondisi Alyn dengan cepat namun teliti. "Kita harus segera melakukan tindakan. Ini kasus keguguran pada usia kehamilan yang cukup tua. Siapkan semua peralatan yang dibutuhkan!" instruksinya tegas. Perawat segera memasang infus untuk menjaga cairan tubuh Alyn tetap stabil. Mereka juga memonitor detak jantung janin dengan alat yang canggih, namun hasilnya mengecewakan. Janin sudah tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. "Maaf, Bu. Kami harus melakukan prosedur untuk menghentikan pendarahan dan membersihkan rahim Anda," ujar dokter dengan nada serius namun penuh empati. Alyn mengangguk lemah, air mata mengalir deras di pipinya. Rasa sakit fisik dan emosional berpadu dalam satu kesatuan yang mengerikan. Tim medis mempersiapkan Alyn untuk prosedur dilatasi dan kuretase (D&C), yang dilakukan untuk membersihkan rahim dari sisa-sisa jaringan janin. Perawat menyiapkan anestesi lokal untuk mengurangi rasa sakit, sementara dokter melakukan prosedur dengan hati-hati, memastikan tidak ada komplikasi lebih lanjut. Proses itu terasa seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan bagi Alyn. Suara-suara instruksi medis, alat-alat yang berbunyi, dan rasa sakit yang datang silih berganti. Namun di tengah semua itu, Alyn merasakan kekuatan yang aneh, kekuatan untuk bertahan dan melewati semua ini. Beberapa jam kemudian, prosedur selesai. Alyn dibawa ke ruang pemulihan, di mana perawat dengan lembut menenangkannya, memberikan dukungan moral dan fisik. "Anda sudah melewati masa kritis. Istirahatlah, Bu. Anda butuh waktu untuk pulih," ujar perawat sambil merapikan selimut di tubuh Alyn yang lelah. "Terima kasih, Sus. Oh iya, administrasinya bagaimana, Sus? Saya gak punya uang..." ujar Alyn, suaranya bergetar penuh kepasrahan. Alyn lalu mencopot cincin kawin dari jarinya dan mengeluarkan KTP-nya. "Ini, saya cuma punya cincin ini untuk biaya rumah sakitnya. Besok saya pulang aja supaya biayanya tidak bertambah," rintih Alyn. Menyebut kata 'pulang', Alyn merasakan perih yang mendalam. Sebenarnya, ia tak bisa pulang ke rumahnya. Ayahnya begitu menentang pernikahannya dengan Felix dan mengusirnya dari rumah. Ayahnya hanya memberikan kesaksian melalui panggilan telepon suara saat pernikahan itu. Ia bahkan tak mau menunjukkan dirinya, meski hanya melalui panggilan video. Sekarang, Alyn bingung. Tak punya uang sepeser pun untuk bertahan hidup. Rasa sakit kehilangan janinnya, ditambah dengan ketidakpastian masa depannya, membuat hati dan pikirannya kalut. "Baik, Bu. Nanti saya kembali dengan KTP ibu. Saya proses dulu administrasinya," ujar suster itu, memecah lamunan Alyn, lalu pamit. Alyn menatap langit-langit ruangan, air mata mengalir tanpa henti. Ia merasakan keputusasaan yang begitu mendalam. Ditinggalkan oleh suami, ditolak oleh keluarga, dan kini kehilangan janin yang ia harapkan akan menjadi cahaya dalam hidupnya. Di tengah kesedihannya, Alyn teringat kenangan masa kecilnya. Wajah ayahnya yang dulu penuh kasih, kini berubah menjadi bayangan yang menghardik dan menolak. Ia merasakan beban berat di dadanya, seolah seluruh dunia telah meninggalkannya. Beberapa saat kemudian, suster datang lagi sambil membawa KTP dan cincin Alyn. Alyn yang melihatnya terkejut duluan. "Loh, kenapa cincinnya dibawa lagi? Apa nggak bisa diterima?" tanyanya dengan khawatir. "Mmm ... Bukan begitu, Nyonya Alyn, mohon maaf, saya tidak tahu," sahut sang suster menjadi lebih sopan, melihat kekhawatiran di wajah Alyn. "Ke-kenapa ya?" Alyn terheran-heran, bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Suster itu mengembalikan KTP dan cincin ke tangan Alyn. "Anda tak perlu membayar dengan cincin atau apa pun, Nyonya Alyn. Sebab keluarga Anggara Group telah mendapatkan benefit dan compliment di rumah sakit ini." Alyn merasa terjaga dari kegundahan hatinya ketika suster datang dengan penjelasan yang mengejutkan. "Keluarga Anggara?" gumamnya pelan, mencoba meredakan sedikit kepanikan yang mengganggu dirinya. Suster itu tersenyum lembut. "Nikmati istirahat Anda, Nyonya. Makan siang akan segera diantar," katanya sambil beranjak pergi. Ayahnya, Tuan Anggara, adalah seorang pengusaha sukses dengan berbagai bisnis di bidang properti, perbankan, dan teknologi. Sejak kecil, Alyn hidup dalam kemewahan, dengan segala kebutuhan dan keinginannya terpenuhi. Namun, semua itu berubah sejak Alyn mengenal Felix. Meskipun hidupnya jauh dari kemewahan yang pernah dia nikmati, Alyn merasa lebih kuat karena berada di samping Felix saat itu. Tetapi sekarang, setiap detik terasa seperti penderitaan baginya. Dalam keadaan seperti ini, ponselnya berdering dari saku dasternya. Alyn terhenyak saat melihat nama yang muncul di layar. “A-ayah?” ucapnya dengan nada tak percaya. Tangannya bergetar saat ia mengangkat telepon itu.Senja perlahan menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan hangat di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membelai rambut Alyn yang tergerai. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pasir putih yang halus, sementara ombak bergulung pelan di kejauhan, seolah menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka berdua bisa dengar.Rio menghentikan langkahnya. Alyn yang menyadari bahwa Rio tak lagi berjalan di sampingnya berbalik.“Ada apa, Rio?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tanya.Rio menatap Alyn dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap detik yang mereka habiskan bersama di tempat itu akan abadi dalam ingatannya. Wajahnya tegang, namun di matanya ada kehangatan yang tak biasa.“Alyn,” katanya perlahan, suaranya terdengar lebih rendah dan dalam dari biasanya. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan.”Alyn merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, tatapan Rio kali ini berbeda. Ada se
Suara gesekan pintu sel yang berat bergema di ruangan yang suram. Seorang penjaga melangkah maju, membuka pintu sel perlahan."Ericka Hartono, Anda dibebaskan," katanya dengan nada datar, seolah pembebasan ini hanyalah rutinitas lain baginya.Ericka, yang duduk termenung di sudut ruangan, mendongak dengan ekspresi terkejut. Matanya yang sebelumnya kosong kini menyala dengan campuran perasaan kebingungan, kelegaan, dan sedikit ketakutan. Setelah segala yang terjadi, dia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang begitu cepat.Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut, lalu melangkah keluar dari sel dengan ragu-ragu. Udara dingin dari luar menyambutnya, membawa serta kenyataan baru yang sulit ia terima. Saat dia berjalan keluar dari penjara, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Siapa yang membebaskannya?Di luar, sinar matahari menyilaukan matanya, kontras dengan gelapnya sel yang selama ini menjadi tempatnya. Ericka melangkah ke dunia luar dengan langkah berat, ti
Hakim menatap kedua terdakwa, Bu Ratna dan Bryan, dengan tatapan dingin. Setelah mendengar semua kesaksian dan bukti yang diajukan selama persidangan, suasana di ruang sidang terasa tegang, seolah menunggu vonis yang tak terelakkan. "Setelah mempertimbangkan semua fakta yang disampaikan di persidangan ini," kata hakim dengan suara tegas, "pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Ratna Anggara, terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Ny. Anggara beberapa tahun yang lalu, serta upaya menghilangkan nyawa Alyn baru-baru ini." Suara berbisik terdengar dari para pengunjung sidang, tetapi hakim tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah karena merencanakan serangkaian manipulasi dan tindakan kriminal lainnya untuk mempertahankan posisinya dan kekuasaan di Anggara Group." Hakim beralih pada Bryan yang kini tampak pucat. "Bryan Wijaya, Anda juga terbukti bersalah atas berbagai kejahatan, termasuk fitnah terhadap Rio Putra Wijaya, mela
Saat Jinu dipanggil ke depan sebagai saksi, suasana ruang sidang semakin tegang. Jinu, dengan sikap tenang namun tegas, berdiri di depan para hakim. Dia mengangkat sumpah dengan penuh kesadaran bahwa apa yang akan dia katakan akan menjadi kunci dalam kasus ini."Nama saya Jinu," ia memulai, "dan selama ini, saya adalah tangan kanan Bryan. Saya diutus untuk memata-matai keluarga Ericka, serta menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana Bryan dan Bu Ratna."Desas-desus di antara hadirin mulai terdengar. Mata Felix tampak terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keluarga Wijaya saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka juga telah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar.Pengacara yang mewakili Alyn berdiri dan mulai bertanya. "Bisa Anda jelaskan lebih lanjut, apa yang Anda maksud dengan memata-matai keluarga Ericka?"Jinu menghela napas sebelum melanjutkan. "Bryan dan Bu Ratna merencanakan segalanya. Mereka memanipulasi hubungan
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan dengan suasana yang jauh lebih tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh orang-orang yang telah mengikuti perkembangan kasus ini, termasuk anggota keluarga Wijaya yang hadir dengan wajah serius. Felix duduk di barisan depan bersama keluarganya, matanya tajam menatap ke depan, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas, meminta ketenangan di ruang sidang yang mulai riuh setelah bukti baru disampaikan. “Pengacara, apakah Anda memiliki saksi yang bisa mendukung bukti yang baru saja diajukan?” tanyanya dengan nada serius. Pengacara Alyn berdiri dengan tenang. "Yang Mulia, kami memang memiliki saksi yang relevan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. Kami ingin memanggil Dokter MJ ke hadapan persidangan." Ruang sidang hening sesaat ketika pintu terbuka dan Dokter MJ masuk. Dia berjalan menuju mimbar saksi, menundukkan kepala sebentar sebelum duduk di kursi yang disediakan. Semua mat
Ruangan sidang dipenuhi keheningan yang tegang. Para hadirin duduk di barisan bangku kayu, menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan, hakim duduk dengan sikap tenang, meski ketegangan terasa mengental di udara.Di sisi lain ruang, Alyn berdiri dengan tegas di meja penggugat, diapit oleh Rio dan Jinu. Di seberang, Bryan tampak duduk dengan wajah penuh ketegangan, ditemani oleh Bu Ratna yang berusaha menjaga wibawanya meski suasana terasa semakin tak terkendali.Sidang ini bukan sekadar pertempuran hukum biasa. Ini adalah puncak dari segala tipu daya, pengkhianatan, dan rahasia yang selama bertahun-tahun tersembunyi. Alyn tahu bahwa semua yang terjadi selama ini bermuara pada hari ini. Hari di mana kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya.Pengacara Alyn maju ke depan, membawa sebuah amplop putih yang disegel dengan rapi. "Yang Mulia," katanya dengan suara lantang. "Kami telah melakukan tes DNA dan hasilnya jelas. Bryan bukan anak kandu