Arga memegang kedua bahu mamanya untuk menguatkan. Dia tahu Eva pasti sedih mendengar Wei benar-benar telah menikahi wanita lain selain adiknya."Tante, mengapa Wei menikah diam-diam? Kapan mereka akan mengadakan pesta pernikahan?" tanya Arga kepada Nina."Kami masih belum bisa mengadakan pesta pernikahan, Ara dan Wei memutuskan untuk menundanya sampai mereka benar-benar siap," jawab Nina apa adanya."Apakah itu karena Wei masih mengingat putriku?" tanya Eva penuh harapan.Dia tidak meminta banyak. Setidaknya walau Wei menikah dengan wanita lain, Wei tetap mengingat Ara di dalam hatinya."Tentu saja anakku masih mengingat Ara, bagaimana mungkin dia akan melupakannya begitu saja, kecuali dia sedang hilang ingatan seperti sekarang ini," kata Nina meyakinkan.Arga hanya mencibir di dalam hatinya. Mengingat? Mana mungkin Wei masih mengingat adik perempuannya ketika dia sudah memiliki wanita lain di sisinya. Jangankan mengingat, bahkan rasa bersalah kepada Ara pun, Agra yakin Wei sudah tid
Jika ada menantu perempuannya dia bukanlah yang utama di mata istrinya dan akan selalu tersingkir dari sisi istrinya tanpa boleh merasa keberatan.Dia hanya bisa mengikuti mereka dari belakang.Setelah semuanya keluar ...."Apakah kamu masih ingin pura-pura pingsan?" tanya dokter sambil tersenyum menatap Wei dan memasukkan kedua tangannya kedalam saku jas medisnya.Wei membuka matanya dan terbatuk-batuk canggung mendengar kata-kata dokter yang merawatnya."Apakah kamu sudah bisa mengingat segalanya?" tanya dokter sambil duduk di tepi tempat tidur Wei."Belum, itu sebabnya aku malas bertemu mereka, terutama pria tua itu yang kerjanya hanya marah-marah terus," kata Wei blak-blakan sambil mengerutkan bibirnya merasa kesal mengingat bagaimana sikap Wuzini kepadanya.Dokter hanya tersenyum geli mendengar kata-kata Wei yang menyebut Wuzini, orang yang paling dihormati di rumah sakit ini sebagai laki-laki tua.Padahal Wuzini masih terbilang tampan dan awet muda, sehingga orang tidak akan per
Ara balas menatap Wei dengan perasaan yang campur aduk."Kesini," kata Wei sambil melambai ke arah Ara.Ara melangkah mendekati Wei, ragu. Apa yang diinginkannya?Wei memegang dan menarik tangan Ara hingga istrinya itu terduduk di tepi tempat tidurnya."Jika apa yang mamaku katakan itu benar, aku pasti telah menyakitimu dengan kata-kataku selama ini," kata Wei sambil menghela napas panjang menatap wanita yang katanya adalah istri sahnya ini.Nina dan Wuzini saling pandang, mereka sepakat untuk keluar dari ruangan itu dan memberikan ruang bagi Wei dan Ara untuk berbicara.Ara hanya menundukkan kepalanya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Walau dia tahu Wei saat ini sedang hilang ingatan dan tidak sadar siapa dirinya, tapi memang benar, setiap kata-kata Wei selama ini telah melukai hatinya, bahkan dia hampir pergi meninggalkannya karena merasa tidak kuat."Maukah kamu memaafkan aku," tanya Wei tulus."Maukah kamu tidak mengulanginya lagi, Wei?" tanya Ara dengan mata berkaca-kaca."Aku
"Menarik, bisakah kamu membawanya ketika kamu ke sini lagi?" tanya Wei sambil tersenyum menatap Ara.Entah mengapa Wei mulai merasa nyaman berada di dekat wanita muda yang kata kedua orang tuanya adalah istrinya sendiri ini."Tentu," sahut Ara antusias.Keduanya bertukar senyum.Wei diam-diam mengagumi wajah cantik Ara. Tidak seperti Juwita yang wajahnya dipenuhi polesan makeup, sepertinya istrinya ini bukan wanita yang suka dandan.Tapi Wei justru lebih suka wanita yang bersih seperti Ara karena Wei pikir wajah Ara jauh terlihat lebih murni dan segar dari pada Juwita."Ehm ... apakah kalian sudah selesai bicara?" tanya Nina dan Wuzini yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan."Istrimu belum makan, biarkan dia makan siang dulu," kata Wuzini kepada Wei."Makanlah," kata Wei sambil menepuk punggung tangan Ara pelan.***Hari-hari berikutnya Ara rajin menemani Wei di rumah sakit dan membawa barang-barang yang Ara pikir bisa mengembalikan ingatan Wei.Dengan sabar Ara dan kedua orang tua Wei
Wuzini menepuk dahinya pusing, tadinya dia berencana menunggu Joy untuk membantunya menyelesaikan masalah ini karena ini bukan masalah yang mudah."Ma, aku mau keluar juga," kata Ara sambil keluar dari mobil mengejar Wei dan Wuzini."Ara!" panggil Nina cemas."Mengapa kamu ikut keluar?" tanya Wuzini ketika melihat Ara datang mendekat."Ara ingin menemani Wei, Pa.""Kamu ... ya sudahlah, ayo!" kata Wuzini sambil berbalik dan kembali mengejar Wei."Ini dia orangnya! Ini dia orangnya!" teriak salah satu orang yang berkumpul di depan rumah Wei ketika melihat Wei.Semua berbalik dan melihat ke arah Wei. Wei, Wuzini dan Ara menghampiri kumpulan masa tanpa rasa takut."Apa yang kalian cari di sini?" tanya Wei mengerutkan kening menatap semua orang."Kami minta keadilan untuk saudara kami!""Ya! Kami minta keadilan untuk saudara kami yang kecelakaan kerja!""Kalian siapanya?" tanya Wei ingin tahu."Kami keluarganya!" "Siapa orang tuanya? Ayo ikut ke dalam yang lain tunggu di sini saja!" kata
"Kalian benar-benar biadab! Bilang saja kalian tidak ingin bertanggung jawab atas kecelakaan anakku, dari pada kalian malah memfitnahnya korupsi!" kata Haris berdiri dari duduknya, memelototi Wuzini marah dan tidak terima."Kenyataannya anakmu memang korupsi dan bahkan anakku pun telah menjadi korban," kata Wuzini acuh tak acuh."Kalian benar-benar licik! Kalian sengaja menyiramkan air kotor kepada anakku!" kata Haris gemetaran karena marah."Sabar, Pak Haris, seharusnya yang marah adalah kami, anak anda tidak saja mengakibatkan kerugian secara materi kepada pihak kami tapi juga telah membuat suami saya ikut mengalami kecelakaan dan dirawat di rumah sakit," kata Ara yang semula hanya mendengarkan mulai ikut berbicara."Kalian bohong! Nyatanya dia baik-baik saja. Jangan kalian kira karena memiliki uang banyak maka kalian bisa menindas orang kecil sepertiku!" kata Haris keras kepala."Dia memang kelihatan baik-baik saja, tapi apakah Bapak tahu kalau suamiku ini sampai hilang ingatan kar
"Aku tidak! Tante, jangan sembarangan menuduh, aku bisa saja menuntut. Semua yang kamu katakan tidak lebih hanya dugaanmu saja, tidak ada bukti!" kata Juwita sambil berdiri dan mengibaskan kotoran yang menempel di bajunya karena telah dijatuhkan ke tanah.Nina menatap Juwita ragu. Apakah benar dirinya telah salah menuduh? Tapi mengapa orang-orang itu kembali bersemangat? Tadi dia hanya melihat aksi Juwita dari kejauhan. Nina benar-benar tidak tahu apa yang dikatakan Juwita kepada salah satu keluarga karyawan anaknya itu."Lepaskan dia!" kata Nina sambil berbalik."Tante, apakah kamu pikir, kamu bisa bersikap seperti ini kepadaku? Kamu telah menyuruh orangmu menarik dan melemparkan aku ke gang kotor. Bukankah ini melanggar hukum?" tanya Juwita sambil tersenyum jahat menatap punggung Nina. Nina kembali berbalik dan mendekati Juwita dengan sikap mengancam.Sekalipun dia wanita, aura Nina sebenarnya tidak kalah menakutkan dari suaminya ketika dia sedang marah."Apakah kamu mengancam aku
Di dalam kamar, Wei langsung merebahkan diri di atas kasur. Dia terkejut melihat Ara membawa selimut dan tidur di atas sofa."Mengapa kamu tidur di sana? Bukankah kita suami istri?" tanya Wei heran."Aku ...."Ara bingung, tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan suaminya saat ini."Bukankah katamu kita juga telah melakukannya? Apakah kamu berbohong kepadaku?" tanya Wei tidak bisa menyembunyikan kecurigaannya."Tidak, aku tidak bohong," kata Ara cepat."Lalu mengapa kamu tidur di sana? Mengapa tidak tidur di sini?" tanya Wei cemberut."Aku hanya merasa canggung," kata Ara beralasan."Karena aku hilang ingatan?" Ara hanya menganggukkan kepalanya. Dia berharap Wei mau membiarkan dirinya tidur di sofa agar mereka bisa tidur terpisah seperti beberapa hari sebelum kecelakaan yang menimpa Wei terjadi."Apakah kamu malu kepadaku?" tanya Wei sambil menatap Ara dan tersenyum lebar." ... " Ara terdiam."Jangan malu, aku tetap Wei yang dulu, hanya ingatanku saja yang hilang, tapi dia tet