Share

Bab 4. Sudah Merelakan

Bukankah dulu Wei jatuh cinta kepadanya?

‘Mengapa sekarang sikapnya sama sekali tidak menunjukkan kalau dia pernah jatuh cinta padaku?’ batin Rina bingung.

Jika dia tahu Wei akan seperti ini, Rina pasti akan berpikir dua kali ketika menolak cinta Wei.

Dulu Rina pikir Wei akan semakin penasaran jika ditolak oleh seorang wanita.

Bukankah di novel-novel roman diceritakan kalau para pria kaya itu sangat menghargai wanita yang sulit untuk didapatkan?

Setelah keluar dari butik, Rina dan Wei mampir ke salon terlebih dahulu sebelum datang ke restoran mewah tempat acara pertemuan dilangsungkan.

Sepasang suami istri berkebangsaan China sudah menunggu dan tersenyum ketika Wei dan Rina datang menghampiri mereka.

“Maaf menunggu lama,” kata Wei sopan.

“Tidak apa, silakan duduk,” kata si pria sambil tersenyum ramah.

“Oh iya, kenalkan ini sekretarisku, namanya Rina ... Rina, ini Daniel dan itu istrinya Stacy,” kata Wei setelah duduk di kursinya.

“Selamat malam, Tuan, Nyonya,” sapa Rina sambil tersenyum lembut.

“Kamu cantik sekali, kalian benar-benar cocok duduk berdampingan seperti ini,” kata Stacy memuji sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Rina.

“Terimakasih, Nyonya,” kata Rina dengan wajah memerah dan tersipu malu.

“Aku sudah menikah,” kata Wei tiba-tiba mengejutkan semua orang yang ada di meja tersebut.

“Oh, maafkan aku ...,” kata Stacy merasa bersalah. “Lalu di mana istrimu? Mengapa kamu tidak mengajaknya ke sini?” tanya Stacy ingin tahu.

“Aku datang ke sini langsung dari kantor.”

“Mengapa kamu tidak menjemputnya?” tanya Daniel penasaran.

“Tidak sempat,” sahut Wei singkat.

“Ah ... sayang sekali, padahal aku ingin berkenalan dengan Nyonya Wei,” kata Stacy sambil menghela napas panjang.

“Lain kali aku akan mengundang kalian ke rumah dan bertemu dengannya,” kata Wei santai.

Percakapan di meja makan berputar hanya tentang Ara -istri Wei- yang tampak sedikit eksklusif bagi pasangan Daniel dan Stacy.

Sebab, Wei sama sekali tidak pernah membawa Ara ke acara pesta dan pertemuan di mana para pengusaha biasa membawa serta istri mereka.

Rina hanya tersenyum canggung mendengarkan percakapan mereka.

Ketika Wei dan Daniel berbicara soal urusan bisnis, barulah Rina bisa menarik napas lega.

Stacy mengajak Rina duduk di meja lain ketika Wei dan Daniel mulai serius membicarakan soal bisnis mereka.

“Apakah kamu sudah lama bekerja dengannya?” tanya Stacy sambil menyesap minumannya.

“Aku sudah bekerja dengannya sejak aku lulus kuliah,” jawab Rina apa adanya.

“Langsung menjadi sekretaris seperti ini?”

“Ya.”

“Sangat hebat, dia pasti sangat menghargaimu ... biasanya seorang pengusaha hanya akan menerima sekretaris yang sudah memiliki pengalaman dan jam terbang tinggi.”

“Mungkin aku hanya sedang beruntung,” kata Rina sambil tersenyum dan menyesap minumannya.

“Tidak, aku rasa itu bukan sebuah keberuntungan. Ada berapa banyak teman kuliah kalian yang bekerja di perusahaan yang sama?”

“Seingatku tidak ada ....”

“Jadi hanya kamu yang bekerja di perusahaannya?”

“Ya.”

“Kamu harus berhati-hati, jangan mau dijadikan selingkuhan olehnya, jangan rendahkan dirimu sendiri ... kamu sangat cantik, kamu berhak untuk mendapatkan pria yang baik. Bukan hanya menjadi simpanan seperti kebanyakan wanita bodoh itu.”

Rina tercengang dan tidak dapat berkata-kata ketika mendengar apa yang Stacy ucapkan.

Dia mulai meragukan kelihaiannya sendiri dalam menyembunyikan perasaannya.

Apakah perasaan cintanya kepada Wei terlihat begitu jelas?

“Terima kasih atas nasihatnya, Nyonya,” kata Rina canggung.

“Jangan tersinggung, aku melakukan ini untuk kebaikanmu. Aku merasa sangat disayangkan sekali jika gadis secantik kamu hanya dijadikan simpanan pria beristri sepertinya,” kata Stacy sambil memegang tangan Rina dengan tatapan meminta maaf.

Rina hanya terdiam, tidak tahu harus berkata apa untuk merespon perkataan Stacy kepadanya.

Namun, diam-diam Rina merasa geram dan bertanya-tanya

Apakah wanita di hadapannya ini kurang kerjaan?

Bisa-bisanya dia menusukkan hidungnya pada urusan orang lain tanpa diminta.

Keesokan harinya ....

Ara hanya menatap kosong foto Wei bersama sekretarisnya yang kembali beredar di media sosial.

Mungkin karena semalam dia sudah terlalu banyak menangis, maka saat ini tidak ada lagi air mata yang keluar dari matanya.

Hanya hatinya saja yang terasa kosong hingga dia tidak lagi bisa merasakan apa yang sebenarnya saat ini dia rasakan ketika melihat foto Wei yang begitu dekat dengan sekretarisnya.

“Aku tidak akan membohongi diriku lagi, jika itu hanya pertemuan bisnis, mengapa rekan bisnisnya bisa membawa istri sementara Wei malah memilih membawa sekretarisnya ... apa juga maksudnya mendandani sekretarisnya seperti ini?” gumam Ara sambil tersenyum pahit.

Setelah lama berpikir akhirnya Ara memutuskan untuk menulis dan menandatangani surat cerainya.

Ara ingin membebaskan Wei dari pernikahan yang tidak disukainya ini.

Ara juga tidak lupa untuk membersihkan semua hal-hal yang berkaitan dengan dirinya di rumah ini termasuk foto-fotonya, dengan harapan Wei bisa lebih nyaman ketika berada di rumah ini hingga dia tidak perlu lagi tinggal dan tidur di kantornya.

'Apakah foto pernikahan itu juga harus aku singkirkan?’ batin Ara bertanya kepada dirinya sendiri saat menatap foto besar dirinya dan Wei dalam pakaian pengantin yang saat ini tergantung di dinding kamar.

Hatinya merasa sayang dan tidak rela tapi tidak ada yang bisa dilakukannya untuk mempertahankan foto tersebut.

Ara tidak mau Wei terus menolak pulang ke rumahnya sendiri hanya karena barang-barang yang berkaitan dengan dirinya masih tertinggal di rumahnya.

“Nyonya, semua sudah dibersihkan,” kata kepala pelayan dengan hormat.

Dia sebenarnya tidak mengerti mengapa nyonyanya menyuruh untuk membersihkan semua hal-hal yang terkait dengan dirinya sendiri.

Melihat koper yang terlihat penuh di tangan sang nyonya dan pakaian yang kosong di lemarinya, kepala pelayan jadi mulai bertanya-tanya di dalam hati tanpa berani mengungkapkannya secara langsung.

Apa sebenarnya yang ingin nyonyanya lakukan? Kemana semua pakaian itu akan dibawa?

Mengapa nyonyanya juga meminta untuk membereskan semua surat-surat dan paspor miliknya?

“Terima kasih,” kata Ara penuh penghargaan.

Jika tanpa bantuan kepala pelayan, mungkin semuanya tidak akan secepat ini bisa dia bereskan.

“Tidak ... sudah menjadi tugasku untuk membantu Nyonya,” kata kepala pelayan sopan.

“Ke depannya kamu tidak perlu membantuku lagi,” kata Ara sambil tersenyum kecut.

“Apa maksud Nyonya?” tanya kepala pelayan bingung.

Apakah nyonya akan memecat dirinya?

“Aku akan pergi jauh ... tolong jaga suamiku baik-baik, jangan sampai dia lupa makan ketika sedang sibuk bekerja.”

“Baik, Nyonya, tapi ... kemana Nyonya akan pergi?” tanya kepala pelayan heran.

“Aku ingin jalan-jalan.”

“Oh ....”

Kepala pelayan paham, mungkin nyonyanya memang memerlukan waktu untuk bersantai dan berlibur sejenak, melupakan semua kesedihan yang telah dihadapinya selama ini.

Ara tahu kepala pelayan salah mengerti akan maksud kepergiannya, tapi dia tidak peduli.

Semalam dia telah memesan tiket untuk penerbangan ke Prancis dan tadi pagi dia juga telah memesan taksi secara online untuk mengantarnya ke bandara.

Dia meletakkan surat cerai yang telah ditandatanganinya di atas meja kerja suaminya. Ada juga cincin kawin yang selama ini dia kenakan di atasnya.

Ara hanya ingin Wei tahu kalau dirinya sudah benar-benar rela untuk melepasnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status