Di akhir pekan berikutnya, Mira dan Bima menitipkan Kiran di rumah Lela sementara mereka pergi ke supermarket untuk belanja bulanan.
“Seharusnya, Kiran ikut kita saja,” keluh Bima di balik kemudi.
“Mau bagaimana lagi, Ibu bilang dia kangen sama Kiran,” balas Mira sambil memperhatikan jalanan yang padat. “Memangnya kamu enggak suka ya pergi berduaan sama aku aja?”
Bima berdecak pelan. “Hah, sudahlah. Jangan mulai drama lagi.”
Mira menyandarkan kepala di kepala jok. Sesaat dia memandangi wajah suaminya yang nampak muram.
“Bukan maksudku untuk memulai drama, Mas. Tapi kita memang sudah lama enggak pernah pergi kencan,” tukas Mira pelan.
Kedua alis Bima bertautan. “Kencan? Kayak Abg saja.”
“Tapi kencan itu bagus lho untuk mempererat hubungan kita. Aku rasa kamu mulai enggak perhatian sama aku,” Mira kini tertunduk.
“Tuh kan, kamu mulai lagi. Aku itu sibuk kerja untuk menghidupi keluarga kita, Mir. Seharusnya kamu paham itu. Dulu, waktu awal-awal nikah kedua orangtuamu itu meremehkan aku yang masih pengangguran. Sekarang, aku sudah menjabat sebagai manajer, kamu malah protes! Kalau begini, aku jadi serba salah,” sungut Bima panjang lebar.
Mendengar kata-kata itu, Mira hanya terdiam. Sampai akhirnya mobil mereka memasuki pelataran parkir supermarket.
Mira mendorong troli belanjaan, menelusuri rak-rak makanan sendirian. Sementara itu, Bima menghilang entah kemana.
Tidak jauh dari tempat Mira berdiri, dia melihat sepasang suami istri yang bercengkrama mesra. Entah kenapa perasaan iri langsung menyergap hati Mira.
Seketika dia teringat masa awal pernikahannya dengan Bima yang begitu indah. Walaupun mereka harus mengontrak dan hidup pas-pasan kala itu, tapi Mira bisa merasakan kehangatan cinta Bima yang dicurahkan padanya.
Saat Mira menghela napas panjang, tiba-tiba ada sebuah tangan yang menepuk pundak kirinya.
Mira memalingkan wajahnya dan betapa terkesiap dirinya begitu mendapati senyum yang mengembang dari sahabat lamanya.
“Va-Vania?” tukas Mira, mengerjap-ngerjapkan matanya.
“Iya, ini aku Vania,” wanita itu mengangguk penuh antusias. Kedua tangan Vania langsung mengembang lebar dan memeluk sahabatnya itu erat-erat.
“Ya ampun, Van. Kamu benar-benar cantik!” Mira memperhatikan penampilan Vania dari ujung kepala hingga kaki tepat setelah mereka melepaskan pelukan.
Sahabat lamanya itu mengenakan kaus putih yang ketat sehingga menonjolkan lekukan tubuh indahnya. Dia juga mengenakan jins biru muda robek-robek dengan tas selempang bermerek yang menyilang di tubuhnya.
“Kamu seperti anak muda umur tujuh belas tahun!” puji Mira dengan tulus.
“Ah, kamu bisa aja, Mir.” Vania tersenyum malu. “Kamu juga tampak keibuan kok.”
Mira menggelengkan kepalanya. “Kamu enggak perlu muji aku seperti itu.”
“Aku serius. Kamu tambah manis dan memancarkan aura keibuan,” timpal Vania sambil memandangi sahabat lamanya itu. “Hah, udah lama banget ya kita enggak ketemu.”
Mira mengangguk sambil mendorong troli belanjanya. “Terakhir ketemu waktu aku menikah dengan Bima. Kamu kan jadi bridesmaid-ku.”
Vania berdecak pelan sambil berjalan di samping Mira. “Yah, sepuluh tahun yang lalu. Dan dulu aku masih kerempeng dan kucel. Oh ya, gimana kabar Kiran?”
“Dia tumbuh sehat, Van. Tapi tempo hari dia sempat demam dan terjatuh dari sepeda. Bibirnya sampai berdarah dan kepala memar,” Mira menukas sedih.
“Astaga, yang benar? Sekarang gimana keadaannya?”
Mira mengambil sabun cuci piring dari rak. “Untungnya sekarang keadaannya sudah baik-baik aja. Aku sebagai ibu merasa bersalah karena enggak bisa jaga Kiran dengan baik.”
Vania mengelus pelan pundak sahabat SMP-nya itu. “Tapi yang penting, Kiran sekarang sudah baik-baik aja kan?”
Mira hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan Vania. “Kamu benar. Tapi mertua dan suamiku selalu menyalahkan aku kalau terjadi apa-apa dengan Kiran. Padahal tanpa disalahkan pun aku sudah merasa bersalah kalau terjadi sesuatu yang buruk pada anakku.”
Bibir Vania hanya mengatup rapat. Dia bingung harus berkata apa.
“Mir, apa pernikahanmu baik-baik aja?” tanyanya seketika walaupun Vania merasa pertanyaan itu kurang etis. “Kalau kamu punya masalah, kamu bisa ceritakan padaku.”
Mira menggeleng cepat seraya menatap Vania. Dia berusaha tersenyum santai. “Enggak kok, pernikahanku baik-baik aja. Hanya yah…selalu ada kerikil kecil dalam kehidupan rumah tangga.”
Mereka kini berada di bagian makanan dan minuman. Mira mengambil sebungkus kopi hitam untuk Bima juga sekotak teh rasa melati kesukaannya.
“Eh, kamu belanja bulanan sendirian kan? Gimana kalau habis belanja, aku traktir kamu makan siang?” tanya Vania pada akhirnya.
“Aku bareng sama Mas Bima kok. Tapi dia enggak tahu pergi kemana,” tandas Mira sambil mengedikkan bahu.
Mendengar hal itu, Vania nampak gugup. “Oh, begitu. Kalau gitu, aku duluan deh.”
“Lho, kenapa buru-buru? Padahal aku masih pengin ngobrol sama kamu.”
“A-aku…aku ada–”
“Mas Bima!” ucap Mira begitu mendapati suaminya yang sedang memperhatikan rak yang berjejer minuman ringan.
Mendengar nama Bima yang terucap dari mulut Mira, jantung Vania jadi berdebar kencang. Seketika dia menyesal telah menyapa sahabat lamanya itu.
Bima memutar tubuhnya. Pria itu sontak terkesiap saat menangkap sosok Vania yang berdiri di samping istrinya. Sesaat mulut Bima terasa begitu kering. Saat itu juga dia ingin menghilang.
“Mas, kamu masih ingat sama Vania?” Tanya Mira dengan santai.
“Oh, Va-Vania?” Suara Bima kini terdengar begitu parau. Dentuman jantungnya berdetak keras. Dia berusaha memalingkan wajahnya dari Vania.
“Iya, dia sahabat SMP-ku yang pernah jadi bridesmaid-ku juga. Masa kamu lupa sih?”
“Oh, itu…ya aku ingat sekarang. Vania. Iya, Vania. Hei, Vania. Apa kabar?” Bima tersenyum canggung.
Vania membalas singkat senyuman dari Bima.
“Oh ya, aku setuju sama ide kamu tadi, Van.” Mira memalingkan pandangannya pada sahabatnya itu.
Kening Vania langsung mengernyit. “Ideku yang mana?”
“Itu lho kalau kita makan siang bareng setelah ini,” tukas Mira.
“Kurasa Ibu pasti kewalahan menjaga Kiran sendirian di rumah,” sela Bima cepat.
Mira mengibaskan tangannya santai. “Tenang aja, Mas. Kan ada adikmu yang ikut menjaga Kiran. Lagian, Ibu bilang dia enggak keberatan kok menjaga Kiran. Gimana?”
Bima maupun Vania hanya terdiam.
“Ayolah, sudah lama kita enggak ngobrol bareng,” ucap Mira sambil menggenggam tangan Vania. “Kamu tenang aja, aku yang traktir deh.”
“Bukan begitu–”
“Baiklah, kamu boleh makan siang dengan temanmu itu,” ucap Bima yang dibarengi dengan tatapan melotot dari Vania.
Mira langsung tersenyum lebar. “Makasih, Mas!”
“Biar aku yang traktir makan siang kalian,” Bima kembali berujar.
“Kamu enggak ikut makan, Mas?” Mira menatap suaminya itu dengan heran.
Bima menggeleng cepat. “Aku enggak ingin mengganggu kebersamaan kalian. Lagian, aku mau melihat-lihat alat pancing yang ada di lantai dua.”
Lantas Bima menyodorkan kartu kreditnya pada istrinya.
“Bersenang-senanglah. Nanti kalau kamu sudah selesai, kirimi aku pesan, oke?” tukas Bima sebelum akhirnya dia berlalu dari kedua wanita itu.
Mira mengembuskan napasnya pelan. “Maafkan suamiku ya. Dia memang suka bersikap dingin begitu dengan orang yang enggak terlalu dikenal.”
Vania tersenyum tipis. “Enggak masalah. Aku mengerti kok. Lagian, lebih nyaman kalau kita makan berdua aja kan?”
“Iya, benar juga. Kalau ada Mas Bima, kita enggak bisa bebas bergosip.”
Lalu Mira cepat-cepat menyelesaikan daftar belanjaannya. Dia sudah tidak sabar menghabiskan waktu dengan sahabat lamanya.
“Jadi, sekarang kamu kerja di mana?” tanya Mira setelah menyeruput minuman bersoda di hadapannya. “Aku kerja di daerah Sudirman sebagai konsultan keuangan,” terang Vania. Dia memperhatikan Mira yang mulai melahap ayam goreng. “Wah, keren banget, Van!” timpal Mira sambil sedikit kepedasan. “Tapi pekerjaanku bikin stres, Mir. Hampir setiap hari aku lembur,” Vania menghela napas panjang. “Aku malah iri sama kamu. Soalnya cita-citaku dulu menjadi wanita karir,” tukas Mira lagi. “Kehidupanmu pasti menyenangkan.” Mendengar hal itu Vania hanya bisa mendesah pelan. “Aku malah pengin menikah dan jadi ibu rumah tangga kayak kamu.” Kedua mata Mira langsung melotot lebar. “Haduh, lebih baik kamu nikmati masa-masa lajangmu deh. Kalau sudah menikah dan punya anak, kamu bakal merindukan kebebasanmu sekarang ini.” “Masa? Tapi aku memang ingin menikah, Mir. Sayangnya, enggak ada pria yang mau melamarku,” Vania mengaduk-aduk minumannya. “Ah, masa cewek secantik kamu enggak ada yang naksir sih?
Tiga bulan lalu Bima membenarkan posisi dasinya sambil berusaha mengatur napasnya yang tidak karuan. Jantungnya berdebar kencang dan telapak tangannya basah. Ini semua dikarenakan dia harus menemui klien penting di sebuah restoran yang ada di lantai 46. Berkali-kali Bima berdeham seraya mensugesti dirinya agar tenang. Di tengah ketegangan yang melanda dirinya, tiba-tiba saja pintu lift membuka perlahan. Sudut matanya langsung menangkap sesosok wanita yang kini berdiri di sampingnya. Aroma parfum wanita itu menyerbak ke setiap sudut lift. Kehadiran wanita itu membuat ketegangan Bima sedikit teralihkan. Karena hanya ada mereka berdua di dalam lift, pikiran kotor menyergap benak lelaki itu. Apalagi penampilan wanita itu sangat sensual. Rok hitam di atas lutut yang dikenakan wanita itu memperlihatkan kakinya yang jenjang. Kemeja putihnya juga menerawang sehingga bra hitam wanita itu terlihat jelas. Bima menelan ludahnya dalam-dalam. Pria itu lantas tersontak saat wanita yang dipand
“Arg, Sayang!” Vania mengerang seraya mencengkram ujung bantal keras-keras. Semburan kenikmatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Wajahnya memerah dan napasnya tersengal-sengal. Di atasnya, Vania mendapati tubuh kekar Bima yang menjulang. “Aku mau keluar,” Bima berucap sambil terus menghentakkan tubuhnya. Lantas Vania merangkul leher pria itu. “Keluarin, Sayang. Di dalam juga enggak apa-apa.” “Kamu serius?” Vania mengangguk pelan. Tidak lama setelah itu, Vania bisa merasakan semburan hangat di bawah sana. Sesaat kemudian Bima menghempaskan tubuhnya di samping sahabat lama istrinya itu. Vania memalingkan wajahnya, menatap Bima yang kelelahan. Telapak tangannya meraba rahang pria itu dengan lembut. “Bima, kamu luar biasa,” Vania menyunggingkan senyumannya. Wanita itu lalu beringsut pelan dan mengecup bibir tebal Bima. Bima hanya membalasnya dengan senyuman tipis. “Sudah lama aku enggak bergairah seperti ini.” Sementara itu, jendela kamar hotel mereka diterjang rintik hujan yang
Kedua mata Bima terpana menatap liukan pinggul Vania. Goyangannya membuat Bima terasa seperti mengawang. Ditambah desahan menggoda wanita itu yang menusuk gendang telinganya. Debaran jantung Bima pun berdetak hebat.Begitu bibir Vania mengecup lehernya, Bima tidak tahan lagi untuk mengerang keras.Lantas, kedua matanya membuka lebar. Kini dia dihadapkan pada langit-langit kamarnya yang gelap. Bima menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.“Sial! Kenapa aku jadi memikirkan Vania,” keluhnya dalam hati. Sesi bercinta mereka semalam memang susah untuk dihempaskan dari pikiran Bima.Lalu Bima berpaling ke sisinya. Dilihatnya Mira yang terlelap. Dia menyadari istrinya itu mengenakan baju tidur bertali dari bahan satin yang memperlihatkan lekuk tubuh Mira yang besar. Namun, dia tidak bernafsu menyentuh istrinya itu. Dia hanya ingin Vania.Bima mengusap wajahnya keras-keras. Lantas, dia membenamkan kepalanya di balik bantal berharap kantuk kembali menyerang sehing
Kembali ke masa sekarangDi sepanjang perjalanan pulang, saran Vania agar Bima menyentuh istrinya itu terus menggantung di kepalanya.“Haruskah sekali-kali aku menyentuh Mira?” pikir Bima dalam hati dengan gundah.Begitu sampai di rumah, Bima mendapati istrinya yang sibuk bermain dengan Kiran. Daster yang lusuh membalut tubuh besar Mira dan nampak rambutnya mencuat kesana-kemari.“Papa!” Kiran langsung bangkit dan memeluk Bima yang berada di ambang pintu.Bima kemudian memasang senyum lebarnya untuk putri kesayangannya itu.“Anakku yang cantik,” Bima langsung menciumi Kiran dengan penuh kasih. “Mir, biar aku yang menemani Kiran main. Kamu mandi sana dan dandan yang cantik.”Kening Mira langsung mengernyit. “Apa maksudmu, Mas?”“Aku tahu pasti kamu belum mandi dari tadi sore kan? Jangan-jangan kamu juga belum makan malam,” tukasnya sambil menurunkan Kiran di karpet ruang tengah dan mulai menemaninya menyusun balok lego.“Aku sudah makan kok. Sebaiknya, kamu saja yang mandi dan makan ma
Pagi ini, direktur PT. Bangun Karya–perusahaan tempat Bima bekerja–mengumumkan sebuah projek besar.“Projek rumah sakit ini akan menjadi rumah sakit terbesar di asia tenggara,” imbuh direktur dengan mata berbinar. “Dan kamu, Bima, sebagai manajer keuangan, kamu akan bertanggung jawab penuh terhadap pengalokasian anggaran tender.”Bima menahan napas dalam-dalam dan mengangguk pelan.“Kita harus bisa memenangkan tender ini,” ucap direktur dengan tegas yang dibarengi dengan anggukan dari anak buahnya yang duduk melingkar di ruang meeting.Setelah rapat selesai, Bima kembali ke ruangannya. Jantungnya berdegup keras. Dia belum pernah menangani proyek sebesar ini. Apalagi ini termasuk proyek prestisius. Otaknya mulai berpik
Mira menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Gaun hitam selutut membalut tubuhnya yang besar. Untungnya dia membeli gaun itu dengan ukuran ekstra sehingga lemak di tubuhnya itu lumayan tersamarkan.Sore tadi Mira menyempatkan diri ke salon. Dia merias wajahnya agar terlihat cantik. Rambut sebahunya pun di blow sehingga sedikit bervolume.Mira menyunggingkan senyumannya di depan cermin. Entah kenapa jantungnya berpacu kencang. Dia membayangkan dirinya berada di tengah-tengah acara kantor suaminya itu.Seketika perkataan Bima tempo lalu mengiang di telinganya. Hal itu sontak membuat kepercayaan dirinya kembali pudar.Mira lantas menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya mengepal erat.“Aku cantik kok. Dan aku ban
Bima melajukan mobilnya menembus malam. Di luar tetesan hujan mulai membasahi jalan. Sementara itu, Mira bersedekap sambil merengut kesal.“Apa kamu mau muncul di rumah Ibu dengan tampang seperti itu?” Tanya Bima tanpa menoleh pada Mira.Mira mendengus. “Kamu enggak ngerti perasaanku, Mas.”“Mengerti bagaimana? Kamu kesal karena aku enggak memberi tahu kamu soal Vania, hah? Sudah kubilang aku terlalu sibuk saat itu.”“Tapi seharusnya kamu kasih tahu aku,” balas Mira cepat.“Untuk apa? Kalau kamu tahu apa hal itu, apa akan memperlancar pekerjaanku? Enggak kan? Lagian, sekarang semua sudah lewat. Aku memenangkan tender dan Vania juga enggak bekerja dengan perusahaanku lagi.&