Share

3 - Sahabat Lama

Di akhir pekan berikutnya, Mira dan Bima menitipkan Kiran di rumah Lela sementara mereka pergi ke supermarket untuk belanja bulanan.

“Seharusnya, Kiran ikut kita saja,” keluh Bima di balik kemudi.

“Mau bagaimana lagi, Ibu bilang dia kangen sama Kiran,” balas Mira sambil memperhatikan jalanan yang padat. “Memangnya kamu enggak suka ya pergi berduaan sama aku aja?”

Bima berdecak pelan. “Hah, sudahlah. Jangan mulai drama lagi.”

Mira menyandarkan kepala di kepala jok. Sesaat dia memandangi wajah suaminya yang nampak muram. 

“Bukan maksudku untuk memulai drama, Mas. Tapi kita memang sudah lama enggak pernah pergi kencan,” tukas Mira pelan.

Kedua alis Bima bertautan. “Kencan? Kayak Abg saja.”

“Tapi kencan itu bagus lho untuk mempererat hubungan kita. Aku rasa kamu mulai enggak perhatian sama aku,” Mira kini tertunduk.

“Tuh kan, kamu mulai lagi. Aku itu sibuk kerja untuk menghidupi keluarga kita, Mir. Seharusnya kamu paham itu. Dulu, waktu awal-awal nikah kedua orangtuamu itu meremehkan aku yang masih pengangguran. Sekarang, aku sudah menjabat sebagai manajer, kamu malah protes! Kalau begini, aku jadi serba salah,” sungut Bima panjang lebar.

Mendengar kata-kata itu, Mira hanya terdiam. Sampai akhirnya mobil mereka memasuki pelataran parkir supermarket.

Mira mendorong troli belanjaan, menelusuri rak-rak makanan sendirian. Sementara itu, Bima menghilang entah kemana. 

Tidak jauh dari tempat Mira berdiri, dia melihat sepasang suami istri yang bercengkrama mesra. Entah kenapa perasaan iri langsung menyergap hati Mira.

Seketika dia teringat masa awal pernikahannya dengan Bima yang begitu indah. Walaupun mereka harus mengontrak dan hidup pas-pasan kala itu, tapi Mira bisa merasakan kehangatan cinta Bima yang dicurahkan padanya.

Saat Mira menghela napas panjang, tiba-tiba ada sebuah tangan yang menepuk pundak kirinya.

Mira memalingkan wajahnya dan betapa terkesiap dirinya begitu mendapati senyum yang mengembang dari sahabat lamanya.

“Va-Vania?” tukas Mira, mengerjap-ngerjapkan matanya.

“Iya, ini aku Vania,” wanita itu mengangguk penuh antusias. Kedua tangan Vania langsung mengembang lebar dan memeluk sahabatnya itu erat-erat.

“Ya ampun, Van. Kamu benar-benar cantik!” Mira memperhatikan penampilan Vania dari ujung kepala hingga kaki tepat setelah mereka melepaskan pelukan.

Sahabat lamanya itu mengenakan kaus putih yang ketat sehingga menonjolkan lekukan tubuh indahnya. Dia juga mengenakan jins biru muda robek-robek dengan tas selempang bermerek yang menyilang di tubuhnya.

“Kamu seperti anak muda umur tujuh belas tahun!” puji Mira dengan tulus.

“Ah, kamu bisa aja, Mir.” Vania tersenyum malu. “Kamu juga tampak keibuan kok.”

Mira menggelengkan kepalanya. “Kamu enggak perlu muji aku seperti itu.”

“Aku serius. Kamu tambah manis dan memancarkan aura keibuan,” timpal Vania sambil memandangi sahabat lamanya itu. “Hah, udah lama banget ya kita enggak ketemu.”

Mira mengangguk sambil mendorong troli belanjanya. “Terakhir ketemu waktu aku menikah dengan Bima. Kamu kan jadi bridesmaid-ku.”

Vania berdecak pelan sambil berjalan di samping Mira. “Yah, sepuluh tahun yang lalu. Dan dulu aku masih kerempeng dan kucel. Oh ya, gimana kabar Kiran?”

“Dia tumbuh sehat, Van. Tapi tempo hari dia sempat demam dan terjatuh dari sepeda. Bibirnya sampai berdarah dan kepala memar,” Mira menukas sedih.

“Astaga, yang benar? Sekarang gimana keadaannya?”

Mira mengambil sabun cuci piring dari rak. “Untungnya sekarang keadaannya sudah baik-baik aja. Aku sebagai ibu merasa bersalah karena enggak bisa jaga Kiran dengan baik.”

Vania mengelus pelan pundak sahabat SMP-nya itu. “Tapi yang penting, Kiran sekarang sudah baik-baik aja kan?”

Mira hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan Vania. “Kamu benar. Tapi mertua dan suamiku selalu menyalahkan aku kalau terjadi apa-apa dengan Kiran. Padahal tanpa disalahkan pun aku sudah merasa bersalah kalau terjadi sesuatu yang buruk pada anakku.”

Bibir Vania hanya mengatup rapat. Dia bingung harus berkata apa.

“Mir, apa pernikahanmu baik-baik aja?” tanyanya seketika walaupun Vania merasa pertanyaan itu kurang etis. “Kalau kamu punya masalah, kamu bisa ceritakan padaku.”

Mira menggeleng cepat seraya menatap Vania. Dia berusaha tersenyum santai. “Enggak kok, pernikahanku baik-baik aja. Hanya yah…selalu ada kerikil kecil dalam kehidupan rumah tangga.”

Mereka kini berada di bagian makanan dan minuman. Mira mengambil sebungkus kopi hitam untuk Bima juga sekotak teh rasa melati kesukaannya.

“Eh, kamu belanja bulanan sendirian kan? Gimana kalau habis belanja, aku traktir kamu makan siang?” tanya Vania pada akhirnya.

“Aku bareng sama Mas Bima kok. Tapi dia enggak tahu pergi kemana,” tandas Mira sambil mengedikkan bahu.

Mendengar hal itu, Vania nampak gugup. “Oh, begitu. Kalau gitu, aku duluan deh.”

“Lho, kenapa buru-buru? Padahal aku masih pengin ngobrol sama kamu.”

“A-aku…aku ada–”

“Mas Bima!” ucap Mira begitu mendapati suaminya yang sedang memperhatikan rak yang berjejer minuman ringan.

Mendengar nama Bima yang terucap dari mulut Mira, jantung Vania jadi berdebar kencang. Seketika dia menyesal telah menyapa sahabat lamanya itu.

Bima memutar tubuhnya. Pria itu sontak terkesiap saat menangkap sosok Vania yang berdiri di samping istrinya. Sesaat mulut Bima terasa begitu kering. Saat itu juga dia ingin menghilang.

“Mas, kamu masih ingat sama Vania?” Tanya Mira dengan santai.

“Oh, Va-Vania?” Suara Bima kini terdengar begitu parau. Dentuman jantungnya berdetak keras. Dia berusaha memalingkan wajahnya dari Vania.

“Iya, dia sahabat SMP-ku yang pernah jadi bridesmaid-ku juga. Masa kamu lupa sih?”

“Oh, itu…ya aku ingat sekarang. Vania. Iya, Vania. Hei, Vania. Apa kabar?” Bima tersenyum canggung.

Vania membalas singkat senyuman dari Bima.

“Oh ya, aku setuju sama ide kamu tadi, Van.” Mira memalingkan pandangannya pada sahabatnya itu.

Kening Vania langsung mengernyit. “Ideku yang mana?”

“Itu lho kalau kita makan siang bareng setelah ini,” tukas Mira.

“Kurasa Ibu pasti kewalahan menjaga Kiran sendirian di rumah,” sela Bima cepat.

Mira mengibaskan tangannya santai. “Tenang aja, Mas. Kan ada adikmu yang ikut menjaga Kiran. Lagian, Ibu bilang dia enggak keberatan kok menjaga Kiran. Gimana?”

Bima maupun Vania hanya terdiam.

“Ayolah, sudah lama kita enggak ngobrol bareng,” ucap Mira sambil menggenggam tangan Vania. “Kamu tenang aja, aku yang traktir deh.”

“Bukan begitu–”

“Baiklah, kamu boleh makan siang dengan temanmu itu,” ucap Bima yang dibarengi dengan tatapan melotot dari Vania.

Mira langsung tersenyum lebar. “Makasih, Mas!”

“Biar aku yang traktir makan siang kalian,” Bima kembali berujar.

“Kamu enggak ikut makan, Mas?” Mira menatap suaminya itu dengan heran.

Bima menggeleng cepat. “Aku enggak ingin mengganggu kebersamaan kalian. Lagian, aku mau melihat-lihat alat pancing yang ada di lantai dua.”

Lantas Bima menyodorkan kartu kreditnya pada istrinya.

“Bersenang-senanglah. Nanti kalau kamu sudah selesai, kirimi aku pesan, oke?” tukas Bima sebelum akhirnya dia berlalu dari kedua wanita itu.

Mira mengembuskan napasnya pelan. “Maafkan suamiku ya. Dia memang suka bersikap dingin begitu dengan orang yang enggak terlalu dikenal.”

Vania tersenyum tipis. “Enggak masalah. Aku mengerti kok. Lagian, lebih nyaman kalau kita makan berdua aja kan?”

“Iya, benar juga. Kalau ada Mas Bima, kita enggak bisa bebas bergosip.”

Lalu Mira cepat-cepat menyelesaikan daftar belanjaannya. Dia sudah tidak sabar menghabiskan waktu dengan sahabat lamanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status