Share

4 - Kegundahan Vania

“Jadi, sekarang kamu kerja di mana?” tanya Mira setelah menyeruput minuman bersoda di hadapannya.

“Aku kerja di daerah Sudirman sebagai konsultan keuangan,” terang Vania. Dia memperhatikan Mira yang mulai melahap ayam goreng. 

“Wah, keren banget, Van!” timpal Mira sambil sedikit kepedasan.

“Tapi pekerjaanku bikin stres, Mir. Hampir setiap hari aku lembur,” Vania menghela napas panjang.

“Aku malah iri sama kamu. Soalnya cita-citaku dulu menjadi wanita karir,” tukas Mira lagi. “Kehidupanmu pasti menyenangkan.”

Mendengar hal itu Vania hanya bisa mendesah pelan. “Aku malah pengin menikah dan jadi ibu rumah tangga kayak kamu.”

Kedua mata Mira langsung melotot lebar. “Haduh, lebih baik kamu nikmati masa-masa lajangmu deh. Kalau sudah menikah dan punya anak, kamu bakal merindukan kebebasanmu sekarang ini.”

“Masa? Tapi aku memang ingin menikah, Mir. Sayangnya, enggak ada pria yang mau melamarku,” Vania mengaduk-aduk minumannya.

“Ah, masa cewek secantik kamu enggak ada yang naksir sih? Apa mungkin kamu terlalu pilih-pilih? Eh, tapi mencari pasangan itu memang harus pilih-pilih sih,” ucap Mira.

“Ada sih cowok yang kutaksir, tapi sayangnya suami orang,” Vania mengedikkan bahunya.

“Astaga, Van! Amit-amit deh naksir suami orang,” Mira geleng-geleng kepala. “Sebaiknya kamu jauhi pria itu. Kamu pasti bisa dapat pria yang jauh lebih baik.”

“Tapi aku cinta sama pria itu, Mir.”

Mira menggerak-gerakkan jari telunjuk di hadapan sahabatnya itu. “Perselingkuhan itu jurang kehancuran, Van. Kamu akan menghancurkan kehidupan rumah tangga orang dan hidupmu sendiri.”

Vania hanya tertegun mendengarnya. “Kalau kami saling mencintai gimana?”

Mira berdecak pelan. “Sebaiknya kamu dengarkan saranku, Van.”

“Sudahlah, lebih baik kita lupakan saja masalah percintaanku yang pelik ini,” Vania lantas

mengibaskan tangannya. “Nah, sekarang cerita dong tentang kehidupanmu. Kayaknya kamu bahagia banget ya menikah dengan Bima?”

Senyum tipis mengembang di wajah Mira. “Begitulah. Mas Bima bekerja keras untuk menghidupi keluarga kami. Dan aku bangga akan hal itu.”

Vania manggut-manggut sambil berdecak pelan. “Benar, meraih promosi sebagai manajer itu pasti bukan perkara mudah.

Mira langsung mengernyitkan dahinya. “Dari mana kamu tahu kalo Mas Bima dapat promosi sebagai manajer?”

“Ah…itu…itu hanya tebakanku saja,” Vania menjawab sambil tergagap. Bibirnya gemetar dan telapak tangannya terasa basah.

“Sial, seharusnya aku menjaga mulutku!” pekik Vania dalam hati.

Mira kembali menyeruput minumannya tanpa menaruh curiga pada sahabat lamanya itu. “Yah, tebakan kamu benar. Mas Bima memang mendapat promosi sebagai manajer sejak setahun yang lalu.”

“Tapi kenapa kamu malah terlihat sedih?” Vania memiringkan kepala dengan heran.

Mira menarik napas putus asa. “Entahlah. Sejak promosi jabatannya itu, Mas Bima jadi berubah.”

“Berubah seperti apa?”

“Dia jadi jarang pulang ke rumah dan kurang perhatian pada Kiran juga diriku. Sepertinya dia malu denganku,” Kedua mata Mira kini terlihat sayu. 

“Malu denganmu? Tapi kamu kan istrinya, Mir?”

“Kurasa penampilanku setelah melahirkan Kiran adalah masalahnya. Dia selalu mengeluhkan tubuhku yang semakin besar. Dia juga bilang kalau aku kurang merawat diri. Mas Bima bahkan pernah berkata dia malu membawaku ke acara kantornya.”

“Astaga, aku enggak percaya suamimu berkata seperti itu,” ucap Vania sambil geleng-geleng kepala. Dalam hati, dia memang kaget dengan penampilan Mira yang kini berubah seratus delapan puluh derajat.

“Kenapa kamu enggak diet aja? Atau sedot lemak sekalian. Kamu juga bisa minta uang untuk perawatan kan? Kurasa gaji sebagai manajer cukup besar,” lanjut Vania.

“Pengeluaran kami lumayan banyak, Van. Apalagi, rumah kami masih ngontrak. Aku dan Mas Bima sedang menabung untuk beli rumah. Sementara itu, dana pendidikan Kiran juga masih jauh dari target. Lagian, mukaku kusam begini gara-gara aku enggak cocok dengan KB-nya.”

Vania meraih tangan kiri sahabatnya itu. “Sabar ya, Mir. Kalau kamu butuh bantuanku, kamu bilang saja, oke?”

Mira menyunggingkan bibirnya. “Sebenarnya aku baik-baik aja kok. Apa pun yang terjadi, aku bersyukur dengan keadaanku sekarang. Aku punya suami yang pekerja keras dan anak yang sehat.”

“Benar, Mir. Setiap orang pasti punya masalahnya masing-masing,” jawab Vania. Seketika perasaan bersalah hinggap pada diri wanita itu saat melihat penampilan Mira yang nampak menyimpan beban.

“Tapi sebenarnya, Van. Aku menaruh curiga dengan Mas Bima,” ucap Mira kemudian.

Vania menelan ludahnya dalam-dalam. “Ma-maksudmu?”

“Aku takut kalau selama ini Mas Bima jajan di luar,” Mira menyingkirkan piringnya yang kosong.

“Sebaiknya kamu jangan overthinking seperti itu, Mir. Itu hanya akan menyiksa dirimu sendiri.”

Rambut sebahu Mira bergerak pelan. “Aku juga mau berpikir positif soal suamiku, tapi sejak kelahiran Kiran Mas Bima jarang menyentuhku.”

“Be-benarkah?” Vania menggamit kedua telapak tangannya dengan keras.

“Dan aku pernah mendapat notifikasi email bookingan hotel atas namanya,” terang Mira.

Vania berusaha tertawa santai. “Mungkin dia mau mengajak kalian berlibur.”

“Bukan, aku yakin itu. Pokoknya waktu itu dia mengelak dan bilang kalau asistennya enggak sengaja memesankan hotel dengan email pribadinya karena Mas Bima lembur di hari itu.”

Vania menyampirkan beberapa helaian rambutnya ke balik telinga. “Sudahlah, Mir. Kamu jangan membebani pikiranmu dengan hal yang enggak penting seperti itu. Toh kamu enggak punya bukti kalau suamimu selingkuh.”

“Aku juga berusaha menghempaskan pikiran buruk yang terus menghampiri benakku, tapi semakin aku berusaha untuk berpikir positif, pikiran kalau Mas Bima selingkuh semakin kuat.”

“Kurasa kamu harus banyak me-time deh,” saran Vania.

“Aku juga maunya begitu. Tapi kadang aku enggak enak menitipkan Kiran sama ibu mertuaku. Hari ini tiba-tiba beliau bilang kangen sama Kiran dan mau menjaganya, makanya aku bisa pergi berdua sama Mas Bima.”

“Kalau begitu biar suamimu yang sekali-kali jaga Kiran.”

Mira menggeleng. “Terakhir aku membiarkan Mas Bima menjaga Kiran, dia malah membiarkan Kiran bermain sendirian dan akhirnya jatuh dari sepedanya sampai bibirnya berdarah. Kamu tahu, saat itu Mas Bima malah asyik menyalurkan hasratnya di kamar tamu dengan video mesum.”

Vania yang saat itu sedang menyeruput minumannya jadi tersedak.

“Ya ampun, Van. Kamu enggak apa-apa?” tanya Mira cemas.

Muka Vania memerah saat dia mulai bisa mengendalikan dirinya. “Aku enggak apa-apa kok. Kurasa aku terlalu haus,” dia tertawa kecil. “Tapi mungkin kamu salah lihat.”

“Aku enggak bodoh, Van. Aku tahu perbuatannya, tapi dia tetap saja mengelak.” Mira mengedikkan bahunya.

Tiba-tiba ponsel Mira bergetar. Ada satu pesan masuk yang muncul di layarnya.

“Mas Bima bertanya apa kita sudah selesai makan siang,” ucap Mira sambil menekuri pesan itu. “Ini artinya aku harus segera pulang.”

“Pokoknya kalau butuh teman cerita, hubungi aku oke?”

Mira mengangguk. “Makasih ya, Van. Kamu rela mendengar keluh kesahku.”

Kedua bibir Vania menyungging pelan. “Itulah namanya sahabat, Mir. Lain kali kita makan bareng lagi yuk. Kamu ajak Kiran sekalian.”

“Ide bagus,” tukas Mira.

Setelah itu, mereka segera bergegas pergi dari sana.

*

“Ah…Sayang…ugh…” Kepala Bima tersandar di jok belakang. Kedua matanya terpejam sambil menikmati mulut Vania yang mengulum kejantanannya.

Kepala Vania semakin bergerak cepat di bawah sana, memberi sensasi yang luar bisa bagi tubuh Bima.

Seketika Bima langsung menarik kepala wanita itu dan melepaskan cairan miliknya di atas handuk yang sudah dipersiapkan.

Vania tersenyum melihatnya sambil mengusap mulutnya.

Setelah itu Vania naik ke atas pangkuan Bima. Di dalam mobil yang sesak, mereka kembali bercumbu dengan panas. Lidah Bima dengan liar bermain di rongga mulut wanita itu.

Vania pun melepaskan ciumannya karena mulai kehabisan napas.

“Kamu benar-benar liar, Sayang,” tukas Vania dengan nada menggoda. Kedua tangannya melingkar di leher Bima.

“Kamu yang liar. Tapi aku suka itu,” goda Bima, mengedipkan satu matanya.

Vania tersenyum mendengarnya. “Maaf ya, karena aku lagi datang bulan.”

“Enggak apa-apa, Sayang. Servismu tadi memuaskan. Sudah lama aku menahannya. Kini aku merasa begitu plong dan stresku hilang. Itu semua berkat kamu,” Bima menyentuh ujung hidung Vania dengan telunjuknya.

“Yang, kita harus hati-hati,” ucap Vania kemudian.

Kedua alis Bima bertautan. “Kenapa kamu tiba-tiba bilang begitu?”

“Tempo lalu, waktu aku makan siang dengan Mira, dia bilang kalau dia mencurigaimu selingkuh. Gara-gara tiket bookingan itu.”

Bima menghela napasnya. “Kamu tenang saja, dia bukan tipe wanita yang suka menyelidiki sesuatu dengan mendalam. Kamu tahu, dia enggak pernah ngecek HP-ku. Kalau dia minta pun, enggak akan aku kasih. Lagian, kenapa waktu itu kamu muncul tiba-tiba di supermarket sih?”

“Aku enggak tahu kalau dia pergi denganmu,” Vania memberi alasan.

“Waktu melihatmu berdiri di samping Mira, aku seperti melihat hantu tahu!”

Vania tertawa mendengarnya. “Maafkan aku ya karena sudah buat kamu ketakutan.”

Bima kembali mencium bibir ranum Vania. “Aku maafkan kok, tapi setelah datang bulan, kita check in yuk? Nanti aku cari alasan supaya bisa pergi dari rumah.”

“Oke. Aku juga udah kangen banget sama kamu,” Vania berujar manja. “Eh Yang, jujur ya, aku pangling saat melihat penampilan Mira sekarang ini. Dulu dia kan cantik dan langsing banget. Kulitnya putih pula. Kamu memang jahat ya enggak pernah ngasih duit lebih ke dia.”

Bima berdecak. “Hah, percuma. Dia itu malas merawat penampilan. Sejak Kiran lahir, dia hanya fokus mengurus anak kami. Awalnya aku enggak masalah, tapi lama-lama aku bosan juga. Hubungan kami pun jadi hambar.”

“Tapi dia melakukan itu kan demi Kiran. Dia bilang lebih baik uang untuk perawatan dirinya dipakai untuk dana pendidikan anak kalian.”

Bima mengedikkan bahunya. “Yah, memang seharusnya begitu. Sudahlah, jangan membahas soal dia lagi.”

“Tapi Yang, aku takut kalau kita ketahuan,” ucap Vania. “Gimana kalau sekali-kali kamu

berhubungan intim dengannya?”

Bima nampak berpikir sejenak. “Aku malas menyentuhnya.”

“Yah, supaya dia enggak curiga, Sayang.”

Tiba-tiba ponsel Bima berbunyi. Dia berdecak kesal begitu nama istrinya itu muncul di layar.

“Angkat aja, Yang. Supaya dia enggak curiga,” tukas Vania.

“Enggak usah. Nanti aku bilang saja lagi nyetir.” Lalu Bima mengembuskan napas berat. “Sepertinya kita harus berpisah.”

Vania beranjak dari pangkuan Bima dan membenarkan pakaiannya kerjanya. “I love you, Yang. Aku masuk dulu ya. Makasih udah nganter aku ke kosan.”

Dengan cepat Vania mengecup pipinya Bima.

“I love you too,” balas Bima sambil melempar ciuman jarak jauh. “Aku yang makasih karena kamu sudah memuaskanku malam ini.”

Mendengar hal itu, Vania tersenyum senang. Lantas, Bima melihat punggung wanita selingkuhannya itu menjauh dari pandangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status