“Papa, lihat ini!” Kiran mengitari ruang tengah dengan sepeda roda tiganya, sembari satu tangannya melambai ke udara.
Bima menengadahkan kepalanya dari layar ponsel. “Hati-hati, Kiran. Nanti kamu jatuh.”
Lantas Bima kembali fokus ke ponselnya lagi.
‘Sayang, aku kangen kamu…’ tulis pesan itu. Bima tersenyum tipis membaca pesan dari Vania.
‘Aku juga, Sayang.’ balas Bima sambil mengetik dengan cepat.
Tidak lama kemudian, Vania mengirimkan foto seksinya yang hanya berbalut pakaian dalam. Dia berpose menggoda di depan cermin.
Sontak Bima terkaget. Bagian bawahnya menegang keras.
‘Astaga, kamu seksi banget!’ jantung Bima berdebar kencang saat mengetik.
Vania hanya membalasnya dengan emotikon senyum. Seolah tidak puas menggoda Bima dengan satu foto, Vania kini mengirimkan fotonya tanpa busana.
Bima langsung tercekat saat melihat foto itu.
‘Sialan kamu, Sayang! Punyaku jadi mengeras!’ ketik Bima.
‘Punyaku juga basah, Sayang. Aku sedang membayangkanmu menyentuh tubuhku.’ goda Vania lagi.
‘Jangan menggodaku lagi. Aku sedang bersama Kiran.’ walaupun sebenarnya Bima masih ingin Vania mengirimkan foto-foto seksinya.
‘Oh, aku enggak peduli.’ tulis Vania dengan bercanda.
‘Kamu memang nakal. Tapi aku suka :)’
‘Jadi, Kiran sudah sembuh?’ tanya Vania.
‘Iya, demamnya turun tanpa harus dibawa ke RS.’
‘Syukurlah.’
‘Sekarang anaknya sedang main sepeda di ruang tengah. Dia jadi tambah aktif :(‘
‘Kenapa sedih? Kamu seharusnya senang punya anak lucu yang aktif.’
‘Aku kewalahan menjaganya.’ balas Bima lagi.
‘Memangnya kemana Mira?’
Bima mendongakkan kepalanya ke halaman belakang. ‘Dia sedang mengurus pekerjaan rumah.’
‘Kalau begitu, aku akan kirimkan video untukmu. Siap-siap ya. Jangan lupa pakai headset.’
‘Astaga, kamu enggak bercanda kan?’
‘Enggak. Aku jamin kamu pasti muncrat. Hahahaha…’ goda Vania.
‘Ah, sialan. Cepat kirimkan.’
Bima pun bergegas mencari headsetnya di kamar.
*
Sementara itu, Mira mengibaskan pakaian untuk yang kesekian kalinya sebelum dia menggantungkannya di jemuran.
Peluh keringat membasahi pelipis Mira. Hari ini cuaca cukup terik sebelum hari-hari yang lalu matahari seakan sembunyi di balik awan gelap. Makanya, Mira langsung mencuci pakaian supaya cepat kering.
Dia lalu melemparkan pandangan ke keranjang cuciannya yang kosong. Namun, itu bukan berarti pekerjaannya selesai. Dia masih harus membereskan teras belakang, masak untuk makan siang dan membersihkan kamar mandi.
Saat Mira memapah keranjang cuciannya tiba-tiba dia mendengar jeritan Kiran dari ruang tengah yang sangat nyaring.
Sontak Mira terkejut. Dia menjatuhkan keranjang cucian yang dibawanya dan bergegas menuju sumber teriakan Kiran.
“Kiran!” pekik Mira sambil membelalakan kedua matanya.
Sepeda Kiran terjungkal karena menabrak ujung meja. Darah mengalir dari bibir Kiran dan dahinya nampak membiru. Kedua mata Kiran terpejam sambil menangis dan berteriak kesakitan memanggil Mira.
“Astaga, Kiran.” Mira begitu panik melihat keadaan anaknya itu. Matanya langsung basah dan jantungnya berdegup kencang. “Tenang ya, Nak. Kita langsung ke rumah sakit.”
Mira memeluk Kiran dengan erat. Lantas kedua matanya mencari keberadaan Bima.
“Kemana dia?” pekik Mira dengan kesal dalam hati.
Mira pun melangkah cepat ke kamar mereka, namun dia tidak menemukan sosok suaminya. Dia mengecek ke kamar mandi tapi Bima juga tidak ada di sana.
Kiran masih menjerit kesakitan. Mira pun semakin panik sembari mencari keberadaan suaminya.
*
“Ah…” erang Bima dengan nikmat. Di balik selimut, tangannya bergerak-gerak membelai kejantanannya.
Dihadapan ponsel Bima, Vania memainkan jemarinya di daerah kewanitaannya, berusaha menggoda pria itu untuk mencapai klimaksnya.
“Enak, Sayang?” tanya Vania dengan mendesah.
“Liukkan badanmu, Sayang. Aku pengin lihat,” ujar Bima sambil terengah. Tangannya kirinya bergetar saat memegang ponsel begitu Vania mulai menuruti kemauannya.
Dia bisa melihat tubuh seksi Vania yang tanpa busana mendesah manja sambil bergoyang dengan erotis. Vania menyibakkan rambut panjangnya lalu meremas dadanya sambil mendesah panjang.
Tingkah Bima semakin menjadi. Debaran jantungnya meningkat dan punggungnya mulai meliuk ke belakang.
“Oh, Sayang. Sebentar lagi aku keluar,” Tangan Bima bergerak semakin cepat. “Aku ingin mendengar desahanmu lebih kencang lagi, Sayang.”
Desahan Vania pun semakin liar. Sementara itu, Bima tidak menyadari ada derap kaki tergesa yang menaiki anak tangga.
Napas Mira terputus-putus saat sampai ke lantai dua. Dia lalu membuka pintu kamar tamu yang ada di ujung lorong.
“Mas!” pekik Mira yang mendapati Bima sedang mengerang kencang. Tubuh bagian bawah suaminya itu dibalut selimut tebal namun Mira bisa melihat ada yang menyembul dari balik sana.
“Astaga!” Bima langsung melempar ponselnya ke samping ranjang sehingga headset yang menyumpal kupingnya juga ikut terlepas. “Apa-apaan kamu! Masuk tanpa ketuk pintu?! Keluar!”
Mira mengernyitkan keningnya dari ambang pintu. Dia melihat keringat yang membasahi kening suaminya itu. Pikiran buruk pun langsung menghampiri benaknya.
“Kamu lagi ngapain, Mas?” Mira menyipitkan kedua matanya.
Kejantanan milik Bima sontak melemas. Amarah langsung naik ke ubun-ubun pria itu. Dia menatap istrinya dengan geram.
“Bukan urusanmu! Dasar istri kurang ajar! Keluar dari sini!” bentaknya.
Mira menggelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang. “Mas, Kiran jatuh dari sepedanya. Bibirnya berdarah dan dahinya bengkak. Kamu enggak denger apa tangisan dia di bawah?”
“Apa?” kedua bola mata Bima membesar.
“Kita harus segera membawanya ke rumah sakit,” tukas Mira lagi.
“Ya sudah, sebaiknya kamu ke bawah! Temani dia!” titah Bima dengan keras. “Aku akan segera menyusulmu.”
Mira mendengus keras sambil memutar tubuhnya. Dia bergegas menghampiri Kiran yang masih sesegukan di ruang tengah. Seraya menenangkan anaknya itu, pikiran Mira terus tertuju pada kelakukan suaminya tadi.
*
“Kamu ini gimana sih?” semprot Lela, ibu mertua Mira. Tampang wanita paruh baya itu merenggut marah.
“Maafkan aku, Bu.” balas Mira sambil tertunduk di depan lorong rumah sakit. Sementara itu, Kiran sudah ditangani oleh dokter dan sekarang tertidur tenang di gendongan Bima.
“Dasar enggak becus! Kalau Kiran terluka parah gimana?” Lela mengedikkan bahunya dengan kesal.
“Dokter bilang luka di bibir dan dahi Kiran akan sembuh beberapa hari ke depan. Dia juga enggak terkena gegar otak kok,” bela Mira, menatap Kiran.
“Kamu ini kalau dikasih tahu orangtua malah ngelawan.” desis Lela lagi.
“Bukan melawan, Bu. Tapi memang kenyataannya begitu. Ibu enggak perlu panik berlebihan seperti ini. Kiran baik-baik saja kok.” Mira berusaha berujar dengan sopan walaupun hatinya panas karena dituduh tidak becus mengurus anaknya sendiri.
“Lagi pula, kenapa kamu bisa meleng begitu sih, membiarkan Kiran main sepeda di dalam rumah sendirian? Ibu benar-benar enggak habis pikir,” semprot Lela sambil geleng-geleng kepala keheranan.
Mira menarik napasnya dalam-dalam. Sejak awal pernikahannya dengan Bima, ibu mertuanya
ini memang tidak pernah menyukai dirinya.
“Sebenarnya yang menjaga Kiran saat itu adalah Bima, Bu. Bukan aku. Saat itu aku baru selesai menjemur pakaian,” tandas Mira.
Hati Bima pun langsung ketar-ketir mendengar hal itu. Dia sengaja memalingkan tubuhnya sambil menjauh dari istri dan ibunya itu.
Lela tertegun lalu berdecak keras. “Hah, tetap saja semua itu salahmu! Aturan kamu enggak membiarkan Bima menjaga Kiran sendirian. Kamu tahu kan kalau Bima itu ceroboh?”
“Huh, semuanya saja salahku.” keluh Mira dalam hati.
“Bima,” Lela kini memalingkan pandangannya pada putra bungsunya itu. “Bisa-bisanya kamu membiarkan Kiran bermain sendirian. Saat itu, kamu lagi ngapain sih?!”
Mira menyunggingkan senyum tipisnya. Dia penasaran Bima akan mengelak seperti apa.
“Sudahlah, Bu. Jangan ungkit-ungkit masalah ini lagi,” keluh Bima.
“Bukannya Ibu mau mengungkit, tapi Ibu heran kenapa kamu bisa membiarkan Kiran main sendirian,” balas Lela dengan nada tinggi. Mendengar suaminya dicecar oleh ibunya sendiri, Mira merasa senang.
Bima menghela napas putus asa. “Sebenarnya, tiba-tiba ada panggilan telepon mendadak dari kantor.”
“Tapi ini kan hari Minggu, Mas?” tanya Mira cepat. Bima lantas membelalakan matanya pada istrinya itu. “Masa kantormu menghubungimu di hari libur begini?”
“Sialan!” pekik Bima dalam hati. “Dia pasti senang aku terpojok seperti ini,” batin Bima lagi.
“Iya, masa kantormu sampai sebegitunya sih? Hari minggu kan harinya keluarga,” tandas Lela yang dibarengi anggukan Mira. Baru kali ini dia merasa sepaham dengan ibu mertuanya itu.
Bima berdecak kesal. “Aku sedang menangani proyek penting, Bu.”
“Hah, dia memang pandai berkilah,” desis Mira dalam hati.
Lela pun mengibaskan tangannya. “Ya sudah. Pokoknya lain kali, kalian harus berhati-hati. Jangan biarkan Kiran main sendirian. Ingat itu!”
Kedua mata Lela memandangi Mira dan Bima bergantian. Mereka pun hanya bisa mengangguk pasrah.
Di pinggir jalan yang nampak sibuk, Bima nampak kaget dengan ucapan yang keluar dari mulut Aryo.Kedua mata Bima menatap tajam wajah Aryo. Dengan penuh percaya diri, Aryo kini merangkul bahu Mira.Sontak Mira terperanjat, namun sebisa mungkin wanita itu berusaha menutupi keterkejutannya.“Jangan bercanda kamu, bocah tengil,” ucap Bima sambil mendongakkan dagunya.“Aku sedang tidak bercanda,” Aryo menukas tajam. “Aku ini pacar barunya Mira,” Aryo kembali menegaskan.Bima berdecak, melempar senyum mengejek ke arah Mira dan Aryo. “Astaga, Mira. Katakan padaku kalau semua ini hanya lelucon kan? Enggak mungkin kamu menjalin hubungan dengan bocah ingusan seperti dia.”Mira seakan terjebak di tengah situasi yang tidak mengenakan ini. Dia terlihat kebingungan dan pipinya nampak merona merah dengan pengakuan Aryo itu. Dada wanita itu terus berdebar keras, apalagi Aryo menggenggam tangannya semakin erat.“Dia…dia memang pacar baruku, Bima,” suara yang keluar dari bibir Mira terdengar begitu ser
Dua bulan berlalu. Perkuliahan yang dijalani Mira memang terasa berat namun menyenangkan. Berinteraksi dengan anak-anak muda zaman sekarang ternyata memberi Mira semangat baru.Terutama kedekatannya dengan Aryo.Tidak bisa dipungkiri, hubungan mereka semakin dekat, apalagi Mira sedang membantu Aryo menyebar kuesioner skripsinya. Terkadang Aryo juga membantu Mira menyelesaikan beberapa paper kuliahnya.Kini mereka berjalan di selasar gedung, menuju parkiran. “Mir, gimana kalau akhir pekan ini kita jalan-jalan?” ucap Aryo.Kening Mira langsung mengernyit. “Jalan-jalan?”“Iya, sekalian refreshing. Kurasa aku butuh udara segar dan melupakan sejenak skripsiku. Gimana kalau kita nonton? Ada film bagus lho.”“Sorry, tapi akhir pekan adalah waktuku bersama Kiran.”Aryo manggut-manggut sambil menyembunyikan ekspresi kecewanya. “Ah, gimana kalau kita ajak Kiran juga?”Mira tertawa pelan. “Kiran masih kecil. Dia belum bisa diajak nonton bioskop. Yang ada nanti malah merepotkan.”“Yah…kita jalan
“Aku sudah bercerai,” tandas Mira saat dirinya dan Aryo berada di kantin kampus.“Apa?” Aryo hampir saja tersedak minuman soda yang baru dia seruput.“Yah, aku ini seorang janda,” Mira mengedikkan bahunya sambil menyingkirkan mangkuk bakso yang sudah kosong itu. Lantas, dia meneliti buku-buku yang baru saja dipinjamnya di perpus.“Aku salut,” sela Aryo begitu melihat Mira membereskan buku-bukunya. “Kamu masih ingin melanjutkan pendidikanmu walaupun sudah enggak muda lagi. Kurasa itu semangat yang harus anak-anak muda punya saat ini.”Mira menyunggingkan senyum tipis. “Yah, karena hanya dengan pendidikan aku bisa mandiri, sekaligus jadi contoh untuk anakku satu-satunya.”“Anakmu lucu. Berapa umurnya? Namanya Kiran kan?”“Tahun ini dia menginjak usia lima tahun.”Aryo manggut-manggut. “Berarti kamu menikah di pertengahan umur dua puluhan ya?”“Aku menikah muda. Yah, pokoknya ceritanya panjang-lah,” Mira menepiskan tangannya. Dia tidak ingin mengumbar permasalahan hidupnya pada pria bron
Bima menelan ludahnya dalam-dalam. Mati-matian dia berusaha menahan keterkejutannya, menangkap sosok mantan istrinya yang begitu berbeda. Mira menatap Bima dan Vania secara bergantian. “Aku…aku baik-baik saja…” balas Bima dengan tergagap. “Sudah lama kamu enggak menjenguk Kiran,” sindir Mira lagi. “Oh, itu…itu karena aku sibuk menyambut kedatangan anak pertama kami,” ucap Bima. Dia masih terpana dengan wajah Mira yang kembali cantik seperti dulu. “Ya, kami sudah menikah,” Vania dengan bangga menunjukkan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. “Well, selamat. Semoga kalian bahagia,” Mira menyunggingkan senyum kecut sambil berlalu. “Mira, tunggu!” Sela Bima cepat. Sontak kening Vania mengernyit tidak suka. “Apa?” Mira memutar tubuhnya, kembali menatap wajah mantan suaminya itu. “Kurasa…minggu depan aku mau menjenguk Kiran.” “Lho, minggu depan kita harus ke dokter!” Pekik Vania kesal, menyenggol lengan Bima. “Bisa diatur, Sayang,” tukas Bima pada istrinya yang cemburu
Peluh keringat membasahi sekujur tubuh Mira. Langkahnya nampak tertatih, namun sekuat tenaga perempuan itu terus memaksa dirinya untuk bergerak, mengikuti lajur treadmill yang kini dalam mode menanjak.“Ayo, Mir. Kamu bisa!” Bella menyemangati sahabatnya itu. “Lima menit lagi selesai.”“Ya, aku pasti bisa,” gumam Mira dengan napas tersengal–walaupun sebenarnya dia ingin pingsan.“Cukup,” suara pelatih pribadi Mira itu terdengar dari balik punggungnya. “Sekarang kamu bisa istirahat dua menit, lalu kita lanjut latihan angkat beban.”“Coach, saya rasa latihannya cukup sampai di sini saja,” balas Mira. Dadanya naik turun karena kekurangan oksigen. Sementara Bella menjulurkan botol minum ke arah Mira. Jujur, Bella takut kalau tiba-tiba Mira pingsan.“Hey, itu baru pemanasan,” balas pelatih berbadan kekar itu. “Ta-tapi saya enggak kuat, Coach. Rasanya saya pengin pingsan,” Mira terbata sambil mengusap keringat di dahinya. Dia tidak menyangka latihan perdananya ini terasa seperti latihan mi
Pagi itu, langit biru nampak membentang dengan cerah di atas sana. Udara yang masih segar membuat Bima jadi sedikit rileks.Mobil yang dilajukannya membelah jalan yang tidak terlalu padat. Di samping Bima, terlihat Rika yang sedang membenarkan riasannya berkali-kali. Sementara Lela duduk di jok belakang. Sesekali wanita setengah baya itu membenarkan posisi sanggulnya. Di samping Lela, menumpuk barang-barang seserahan yang akan diberikan ke Vania.“Aduh, Mas Bima! Yang bener dong nyetirnya,” keluh Rika saat polesan lipstiknya jadi berantakan begitu Bima tidak sengaja menghantam polisi tidur begitu saja.“Lagian kenapa dari tadi kamu dandan melulu sih?” Komentar Bima sambil memperhatikan jalan.“Aku kan harus tampil menawan di depan calon besan kita, Mas. Apalagi Mbak Vania datang dari keluarga terpandang. Jadi, aku enggak boleh tampil malu-maluin,” balas Rika masih menatap kaca kecil yang dibawanya.“Apa kamu sebelumnya sudah pernah ketemu dengan keluarganya Vania?” Tanya Lela penasar