Dua bulan berlalu. Perkuliahan yang dijalani Mira memang terasa berat namun menyenangkan. Berinteraksi dengan anak-anak muda zaman sekarang ternyata memberi Mira semangat baru.Terutama kedekatannya dengan Aryo.Tidak bisa dipungkiri, hubungan mereka semakin dekat, apalagi Mira sedang membantu Aryo menyebar kuesioner skripsinya. Terkadang Aryo juga membantu Mira menyelesaikan beberapa paper kuliahnya.Kini mereka berjalan di selasar gedung, menuju parkiran. “Mir, gimana kalau akhir pekan ini kita jalan-jalan?” ucap Aryo.Kening Mira langsung mengernyit. “Jalan-jalan?”“Iya, sekalian refreshing. Kurasa aku butuh udara segar dan melupakan sejenak skripsiku. Gimana kalau kita nonton? Ada film bagus lho.”“Sorry, tapi akhir pekan adalah waktuku bersama Kiran.”Aryo manggut-manggut sambil menyembunyikan ekspresi kecewanya. “Ah, gimana kalau kita ajak Kiran juga?”Mira tertawa pelan. “Kiran masih kecil. Dia belum bisa diajak nonton bioskop. Yang ada nanti malah merepotkan.”“Yah…kita jalan
Di pinggir jalan yang nampak sibuk, Bima nampak kaget dengan ucapan yang keluar dari mulut Aryo.Kedua mata Bima menatap tajam wajah Aryo. Dengan penuh percaya diri, Aryo kini merangkul bahu Mira.Sontak Mira terperanjat, namun sebisa mungkin wanita itu berusaha menutupi keterkejutannya.“Jangan bercanda kamu, bocah tengil,” ucap Bima sambil mendongakkan dagunya.“Aku sedang tidak bercanda,” Aryo menukas tajam. “Aku ini pacar barunya Mira,” Aryo kembali menegaskan.Bima berdecak, melempar senyum mengejek ke arah Mira dan Aryo. “Astaga, Mira. Katakan padaku kalau semua ini hanya lelucon kan? Enggak mungkin kamu menjalin hubungan dengan bocah ingusan seperti dia.”Mira seakan terjebak di tengah situasi yang tidak mengenakan ini. Dia terlihat kebingungan dan pipinya nampak merona merah dengan pengakuan Aryo itu. Dada wanita itu terus berdebar keras, apalagi Aryo menggenggam tangannya semakin erat.“Dia…dia memang pacar baruku, Bima,” suara yang keluar dari bibir Mira terdengar begitu ser
Ting. Satu notifikasi email muncul di layar HP Mira. Keningnya langsung mengernyit begitu mendapati keterangan booking hotel atas nama suaminya, Bima Maharaja. “Mas Bima nginap di hotel?” Mira berujar dalam hati. “Atau jangan-jangan dia mau mengajak aku sama Kiran menginap di sana? Tapi apa dia enggak baca pesanku yang bilang kalau Kiran tiba-tiba demam?” “Ma…” suara Kiran terdengar parau. Seketika Mira bangkit dari kursi meja rias dan menghampiri putri semata wayangnya itu. Dia menatap Kiran dengan sendu sambil mengusap keningnya. “Iya, Sayang?” “Mama tidur sama Kiran ya? Kiran takut tidur sendirian,” tukas anak berumur empat tahun itu. Mira menyunggingkan senyumnya. Telapak tangannya bisa merasakan panas dari kening Kiran. “Mama pasti temani Kiran kok. Setelah Papa pulang, kita ke dokter ya?” Mira menarik selimut Kiran sampai menutupi dadanya. Kiran mengangguk pelan. Setelah itu, Mira beringsut pelan di samping Kiran. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang sambil memperha
“Papa, lihat ini!” Kiran mengitari ruang tengah dengan sepeda roda tiganya, sembari satu tangannya melambai ke udara.Bima menengadahkan kepalanya dari layar ponsel. “Hati-hati, Kiran. Nanti kamu jatuh.”Lantas Bima kembali fokus ke ponselnya lagi. ‘Sayang, aku kangen kamu…’ tulis pesan itu. Bima tersenyum tipis membaca pesan dari Vania.‘Aku juga, Sayang.’ balas Bima sambil mengetik dengan cepat.Tidak lama kemudian, Vania mengirimkan foto seksinya yang hanya berbalut pakaian dalam. Dia berpose menggoda di depan cermin.Sontak Bima terkaget. Bagian bawahnya menegang keras.‘Astaga, kamu seksi banget!’ jantung Bima berdebar kencang saat mengetik.Vania hanya membalasnya dengan emotikon senyum. Seolah tidak puas menggoda Bima dengan satu foto, Vania kini mengirimkan fotonya tanpa busana.Bima langsung tercekat saat melihat foto itu.‘Sialan kamu, Sayang! Punyaku jadi mengeras!’ ketik Bima.‘Punyaku juga basah, Sayang. Aku sedang membayangkanmu menyentuh tubuhku.’ goda Vania lagi.‘Jan
Di akhir pekan berikutnya, Mira dan Bima menitipkan Kiran di rumah Lela sementara mereka pergi ke supermarket untuk belanja bulanan. “Seharusnya, Kiran ikut kita saja,” keluh Bima di balik kemudi. “Mau bagaimana lagi, Ibu bilang dia kangen sama Kiran,” balas Mira sambil memperhatikan jalanan yang padat. “Memangnya kamu enggak suka ya pergi berduaan sama aku aja?” Bima berdecak pelan. “Hah, sudahlah. Jangan mulai drama lagi.” Mira menyandarkan kepala di kepala jok. Sesaat dia memandangi wajah suaminya yang nampak muram. “Bukan maksudku untuk memulai drama, Mas. Tapi kita memang sudah lama enggak pernah pergi kencan,” tukas Mira pelan. Kedua alis Bima bertautan. “Kencan? Kayak Abg saja.” “Tapi kencan itu bagus lho untuk mempererat hubungan kita. Aku rasa kamu mulai enggak perhatian sama aku,” Mira kini tertunduk. “Tuh kan, kamu mulai lagi. Aku itu sibuk kerja untuk menghidupi keluarga kita, Mir. Seharusnya kamu paham itu. Dulu, waktu awal-awal nikah kedua orangtuamu itu meremehk
“Jadi, sekarang kamu kerja di mana?” tanya Mira setelah menyeruput minuman bersoda di hadapannya. “Aku kerja di daerah Sudirman sebagai konsultan keuangan,” terang Vania. Dia memperhatikan Mira yang mulai melahap ayam goreng. “Wah, keren banget, Van!” timpal Mira sambil sedikit kepedasan. “Tapi pekerjaanku bikin stres, Mir. Hampir setiap hari aku lembur,” Vania menghela napas panjang. “Aku malah iri sama kamu. Soalnya cita-citaku dulu menjadi wanita karir,” tukas Mira lagi. “Kehidupanmu pasti menyenangkan.” Mendengar hal itu Vania hanya bisa mendesah pelan. “Aku malah pengin menikah dan jadi ibu rumah tangga kayak kamu.” Kedua mata Mira langsung melotot lebar. “Haduh, lebih baik kamu nikmati masa-masa lajangmu deh. Kalau sudah menikah dan punya anak, kamu bakal merindukan kebebasanmu sekarang ini.” “Masa? Tapi aku memang ingin menikah, Mir. Sayangnya, enggak ada pria yang mau melamarku,” Vania mengaduk-aduk minumannya. “Ah, masa cewek secantik kamu enggak ada yang naksir sih?
Tiga bulan lalu Bima membenarkan posisi dasinya sambil berusaha mengatur napasnya yang tidak karuan. Jantungnya berdebar kencang dan telapak tangannya basah. Ini semua dikarenakan dia harus menemui klien penting di sebuah restoran yang ada di lantai 46. Berkali-kali Bima berdeham seraya mensugesti dirinya agar tenang. Di tengah ketegangan yang melanda dirinya, tiba-tiba saja pintu lift membuka perlahan. Sudut matanya langsung menangkap sesosok wanita yang kini berdiri di sampingnya. Aroma parfum wanita itu menyerbak ke setiap sudut lift. Kehadiran wanita itu membuat ketegangan Bima sedikit teralihkan. Karena hanya ada mereka berdua di dalam lift, pikiran kotor menyergap benak lelaki itu. Apalagi penampilan wanita itu sangat sensual. Rok hitam di atas lutut yang dikenakan wanita itu memperlihatkan kakinya yang jenjang. Kemeja putihnya juga menerawang sehingga bra hitam wanita itu terlihat jelas. Bima menelan ludahnya dalam-dalam. Pria itu lantas tersontak saat wanita yang dipand
“Arg, Sayang!” Vania mengerang seraya mencengkram ujung bantal keras-keras. Semburan kenikmatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Wajahnya memerah dan napasnya tersengal-sengal. Di atasnya, Vania mendapati tubuh kekar Bima yang menjulang. “Aku mau keluar,” Bima berucap sambil terus menghentakkan tubuhnya. Lantas Vania merangkul leher pria itu. “Keluarin, Sayang. Di dalam juga enggak apa-apa.” “Kamu serius?” Vania mengangguk pelan. Tidak lama setelah itu, Vania bisa merasakan semburan hangat di bawah sana. Sesaat kemudian Bima menghempaskan tubuhnya di samping sahabat lama istrinya itu. Vania memalingkan wajahnya, menatap Bima yang kelelahan. Telapak tangannya meraba rahang pria itu dengan lembut. “Bima, kamu luar biasa,” Vania menyunggingkan senyumannya. Wanita itu lalu beringsut pelan dan mengecup bibir tebal Bima. Bima hanya membalasnya dengan senyuman tipis. “Sudah lama aku enggak bergairah seperti ini.” Sementara itu, jendela kamar hotel mereka diterjang rintik hujan yang