Kedua mata Bima terpana menatap liukan pinggul Vania. Goyangannya membuat Bima terasa seperti mengawang. Ditambah desahan menggoda wanita itu yang menusuk gendang telinganya. Debaran jantung Bima pun berdetak hebat.
Begitu bibir Vania mengecup lehernya, Bima tidak tahan lagi untuk mengerang keras.
Lantas, kedua matanya membuka lebar. Kini dia dihadapkan pada langit-langit kamarnya yang gelap. Bima menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.
“Sial! Kenapa aku jadi memikirkan Vania,” keluhnya dalam hati. Sesi bercinta mereka semalam memang susah untuk dihempaskan dari pikiran Bima.
Lalu Bima berpaling ke sisinya. Dilihatnya Mira yang terlelap. Dia menyadari istrinya itu mengenakan baju tidur bertali dari bahan satin yang memperlihatkan lekuk tubuh Mira yang besar. Namun, dia tidak bernafsu menyentuh istrinya itu. Dia hanya ingin Vania.
Bima mengusap wajahnya keras-keras. Lantas, dia membenamkan kepalanya di balik bantal berharap kantuk kembali menyerang sehingga pikiran soal Vania lenyap dari benaknya.
*
Saat pagi menjelang, Bima terbangun dengan kepala yang berat. Diliriknya jam dinding yang menggantung di kamarnya.
“Ya ampun, sudah pukul setengah delapan pagi!” pekik Bima sambil bergegas turun dari ranjang.
Dia menyeret langkahnya dengan buru-buru ke meja makan.
“Mir, kamu gimana sih, enggak bangunin aku?!” Bima menarik kursi meja makan dengan kesal.
Mira langsung membelalakan matanya, pertanda suaminya itu harus menjaga intonasi suaranya karena ada Kiran di meja makan.
“Mas, jangan keras-keras kalau bicara,” Mira menyuapkan bubur ke mulut Kiran.
Bima menyugar rambutnya dengan jengkel lalu mengambil setangkap roti dan menjejalkannya ke mulut. Setelah itu, Bima langsung beranjak lagi.
“Lho, Mas. Kamu enggak mau aku buatkan kopi dulu?” tanya Mira heran.
“Aku sudah telat,” balas Bima sedikit ketus.
“Biasanya kamu berangkat jam sembilan, Mas.”
“Hari ini aku ada meeting jam setengah sembilan. Gara-gara kamu aku jadi terburu-buru begini,” gerutu Bima sambil berlalu.
“Kenapa sih Papa marah-marah, Ma?” tanya Kiran dengan polosnya.
Mira menyunggingkan senyumnya. “Papa telat berangkat kantor. Nah, sekarang supaya Kiran enggak telat seperti Papa, cepat habiskan sarapannya ya? Setelah itu kita mandi dan berangkat sekolah.”
Kiran manggut-manggut sambil menelan buburnya.
*
Pada jam makan siang, Bima menyendiri di ruang kantornya. Masih ada beberapa dokumen meeting yang harus dia periksa. Sementara itu, pikirannya terkadang melambung pada saat dia bercinta dengan Vania.
“Astaga, wanita itu benar-benar membuatku gila,” gumamnya sambil memijt-mijit pelipisnya.
Tiba-tiba ponsel Bima berbunyi. Ada satu pesan yang muncul di layarnya. Saat Bima melirik, dia tercekat karena ternyata Vania mengirimkannya pesan.
Setelah menarik napas panjang, Bima membuka pesan itu. Tidak bisa dipungkiri, jantungnya berdebar kencang. Dia penasaran pesan apa yang dikirim wanita itu.
‘Bim, aku minta maaf. Kurasa hubungan ini memang harus berakhir,” tulis Vania.
Bima menelan ludahnya. Secepat kilat dia membalas pesan itu. ‘Sudah seharusnya seperti itu.’
“Ah, bodoh! Seharusnya aku enggak menulis pesan seperti itu!” geramnya.
‘Asal kamu tahu, aku mencintaimu, Bim. Tapi aku harus merelakanmu. Aku akan menghapus nomormu. Dan anggap saja kejadian itu enggak pernah terjadi.’
Bima memejamkan matanya sesaat. Ada rasa tidak rela membiarkan Vania pergi begitu saja. Dia masih ingin merasakan tubuh indah wanita itu.
‘Tunggu, sepertinya kita harus bicara,’ balas Bima.
‘Enggak ada yang harus dibicarakan lagi. Selamat tinggal.’
BRAK! Bima memukul pinggiran meja dengan keras. “Sial. Seharusnya aku enggak membiarkannya pergi.”
Lantas, Bima langsung menekan nomor wanita itu.
“Apa lagi, Bim?” tanya Vania dari seberang sana. “Jelas-jelas kamu enggak menginginkanku.”
“Va-Vania, bukan begitu maksudku. A-aku…aku hanya takut kita ketahuan,” ucap Bima sambil tergagap.
“Kamu pengecut.”
“Bagaimana kalau malam ini kita bertemu di hotel?”
“Untuk apa? Aku sibuk, Bim. Aku enggak bisa melayani pria yang enggak punya pendirian seperti kamu,” balas Vania dengan ketus.
“Maafkan aku, Vania. Tapi terus terang sejak malam itu, aku enggak bisa menghapus bayanganmu dari benakku. Kamu sudah membuatku gila.”
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruangan Bima.
“Van, kita ketemuan ya malam ini? Please… aku akan kirim detail alamat hotelnya,” pinta Bima sambil merendahkan nada suaranya. Lalu, Bima menyahut ke arah pintu. “Ya, masuk.”
“Baiklah,” balas Vania setelah menghela napas pendek.
Asisten Bima pun masuk dan menyerahkan beberapa dokumen pekerjaan yang harus dia teliti lagi.
Sementara itu, Vania bersandar santai di kursi kerjanya. Matanya menerawang menembus langit biru siang ini.
Dari lantai 30 kantornya, Vania bisa melihat gedung-gedung pencakar langit yang megah. Lantas dia tersenyum simpul setelah menutup sambungan telepon dari Bima.
“Hah, sudah kukira. Saat aku pura-pura mundur pasti lelaki itu kalang kabut,” gumamnya.
Kemudian Vania beranjak dari kursinya. Dia menuju pada lemari kaca hitam di sampingnya yang menampilkan pantulan siluet dirinya yang sempurna.
Rok span hitam selutut yang dikenakannya membuat bokong Vania terlihat jelas ditambah dengan kemeja putih yang menonjolkan setiap lekuk tubuhnya. Tidak bisa dipungkiri, saat dia berjalan di selasar kantor menuju ruangannya, setiap mata pasti melirik padanya.
Vania memainkan rambut helaian rambutnya. “Mati-matian aku mencari uang untuk operasi sana-sini, supaya aku bisa berubah cantik. Sekarang waktunya aku mendapatkanmu, Bima.”
Ponsel Vania berbunyi nyaring. Ternyata bosnya sudah menunggunya di parkiran karena mereka akan makan siang bersama. Wanita itu lantas memoles bibirnya dengan lipstik merah dan bergegas keluar ruangan.
*
Di atas pangkuan Bima, Vania meremas rambut pria itu. Ditatapnya lekat-lekat kedua mata Bima yang berwarna abu gelap.
“Astaga, dia sungguh tampan,” puji Vania dalam hati. “Jadi, kamu mau melanjutkan hubungan ini?” Tanyanya pada Bima.
Bima mengangguk pelan. Tubuh Vania yang mendekap ke arahnya membuat darah Bima seakan mengalir cepat. Wangi menggoda yang menguar dari tubuh wanita itu membuatnya terangsang.
“Sudah kubilang aku enggak bisa melupakanmu,” Bima berujar lirih. “Tapi kita benar-benar harus merahasiakan semua ini.”
Vania menyunggingkan senyumnya. “Tentu saja. Kamu enggak usah khawatir soal itu. Aku juga enggak ingin dicap sebagai pelakor. Tiga bulan lagi aku akan pindah ke apartemen. Jadi, kita bisa bebas bertemu di sana.”
“Sewa apartemen kamu biar aku yang bayar,” ucap Bima walaupun dalam hati dia ketar-ketir memikirkan biayanya.
“Enggak usah. Aku bisa kok bayar sendiri. Lagian aku bukan sugar baby-mu, Sayang. Ingat, sekarang aku adalah kekasih gelapmu,” bibir tebal Vania mengecup pelan leher Bima.
Dalam hati, Bima bernapas lega. Dia seakan mendapatkan jackpot dalam hidupnya. Bisa merasakan tubuh Vania tanpa harus membiayai kehidupan wanita itu.
Lantas, tangan Bima mulai menyusup ke dalam kemeja putih Vania. “Sayang, malam ini aku enggak bisa menginap ya.”
Dengan lihai Bima membuka pengait bra wanita itu.
“Oke, aku paham. Tapi aku mau kamu puaskan aku sampai lemas ya?” Goda Vania.
“Kalau soal itu, kamu enggak usah meragukan kemampuanku lagi.”
Secepat kilat Bima memutar tubuh Vania ke atas kasur dan mulai meraba pinggulnya. Vania pun terlena dengan kenikmatan yang diberikan Bima.
Dan malam itu menjadi malam di mana mereka resmi menjalin hubungan gelap di belakang Mira.
Di pinggir jalan yang nampak sibuk, Bima nampak kaget dengan ucapan yang keluar dari mulut Aryo.Kedua mata Bima menatap tajam wajah Aryo. Dengan penuh percaya diri, Aryo kini merangkul bahu Mira.Sontak Mira terperanjat, namun sebisa mungkin wanita itu berusaha menutupi keterkejutannya.“Jangan bercanda kamu, bocah tengil,” ucap Bima sambil mendongakkan dagunya.“Aku sedang tidak bercanda,” Aryo menukas tajam. “Aku ini pacar barunya Mira,” Aryo kembali menegaskan.Bima berdecak, melempar senyum mengejek ke arah Mira dan Aryo. “Astaga, Mira. Katakan padaku kalau semua ini hanya lelucon kan? Enggak mungkin kamu menjalin hubungan dengan bocah ingusan seperti dia.”Mira seakan terjebak di tengah situasi yang tidak mengenakan ini. Dia terlihat kebingungan dan pipinya nampak merona merah dengan pengakuan Aryo itu. Dada wanita itu terus berdebar keras, apalagi Aryo menggenggam tangannya semakin erat.“Dia…dia memang pacar baruku, Bima,” suara yang keluar dari bibir Mira terdengar begitu ser
Dua bulan berlalu. Perkuliahan yang dijalani Mira memang terasa berat namun menyenangkan. Berinteraksi dengan anak-anak muda zaman sekarang ternyata memberi Mira semangat baru.Terutama kedekatannya dengan Aryo.Tidak bisa dipungkiri, hubungan mereka semakin dekat, apalagi Mira sedang membantu Aryo menyebar kuesioner skripsinya. Terkadang Aryo juga membantu Mira menyelesaikan beberapa paper kuliahnya.Kini mereka berjalan di selasar gedung, menuju parkiran. “Mir, gimana kalau akhir pekan ini kita jalan-jalan?” ucap Aryo.Kening Mira langsung mengernyit. “Jalan-jalan?”“Iya, sekalian refreshing. Kurasa aku butuh udara segar dan melupakan sejenak skripsiku. Gimana kalau kita nonton? Ada film bagus lho.”“Sorry, tapi akhir pekan adalah waktuku bersama Kiran.”Aryo manggut-manggut sambil menyembunyikan ekspresi kecewanya. “Ah, gimana kalau kita ajak Kiran juga?”Mira tertawa pelan. “Kiran masih kecil. Dia belum bisa diajak nonton bioskop. Yang ada nanti malah merepotkan.”“Yah…kita jalan
“Aku sudah bercerai,” tandas Mira saat dirinya dan Aryo berada di kantin kampus.“Apa?” Aryo hampir saja tersedak minuman soda yang baru dia seruput.“Yah, aku ini seorang janda,” Mira mengedikkan bahunya sambil menyingkirkan mangkuk bakso yang sudah kosong itu. Lantas, dia meneliti buku-buku yang baru saja dipinjamnya di perpus.“Aku salut,” sela Aryo begitu melihat Mira membereskan buku-bukunya. “Kamu masih ingin melanjutkan pendidikanmu walaupun sudah enggak muda lagi. Kurasa itu semangat yang harus anak-anak muda punya saat ini.”Mira menyunggingkan senyum tipis. “Yah, karena hanya dengan pendidikan aku bisa mandiri, sekaligus jadi contoh untuk anakku satu-satunya.”“Anakmu lucu. Berapa umurnya? Namanya Kiran kan?”“Tahun ini dia menginjak usia lima tahun.”Aryo manggut-manggut. “Berarti kamu menikah di pertengahan umur dua puluhan ya?”“Aku menikah muda. Yah, pokoknya ceritanya panjang-lah,” Mira menepiskan tangannya. Dia tidak ingin mengumbar permasalahan hidupnya pada pria bron
Bima menelan ludahnya dalam-dalam. Mati-matian dia berusaha menahan keterkejutannya, menangkap sosok mantan istrinya yang begitu berbeda. Mira menatap Bima dan Vania secara bergantian. “Aku…aku baik-baik saja…” balas Bima dengan tergagap. “Sudah lama kamu enggak menjenguk Kiran,” sindir Mira lagi. “Oh, itu…itu karena aku sibuk menyambut kedatangan anak pertama kami,” ucap Bima. Dia masih terpana dengan wajah Mira yang kembali cantik seperti dulu. “Ya, kami sudah menikah,” Vania dengan bangga menunjukkan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. “Well, selamat. Semoga kalian bahagia,” Mira menyunggingkan senyum kecut sambil berlalu. “Mira, tunggu!” Sela Bima cepat. Sontak kening Vania mengernyit tidak suka. “Apa?” Mira memutar tubuhnya, kembali menatap wajah mantan suaminya itu. “Kurasa…minggu depan aku mau menjenguk Kiran.” “Lho, minggu depan kita harus ke dokter!” Pekik Vania kesal, menyenggol lengan Bima. “Bisa diatur, Sayang,” tukas Bima pada istrinya yang cemburu
Peluh keringat membasahi sekujur tubuh Mira. Langkahnya nampak tertatih, namun sekuat tenaga perempuan itu terus memaksa dirinya untuk bergerak, mengikuti lajur treadmill yang kini dalam mode menanjak.“Ayo, Mir. Kamu bisa!” Bella menyemangati sahabatnya itu. “Lima menit lagi selesai.”“Ya, aku pasti bisa,” gumam Mira dengan napas tersengal–walaupun sebenarnya dia ingin pingsan.“Cukup,” suara pelatih pribadi Mira itu terdengar dari balik punggungnya. “Sekarang kamu bisa istirahat dua menit, lalu kita lanjut latihan angkat beban.”“Coach, saya rasa latihannya cukup sampai di sini saja,” balas Mira. Dadanya naik turun karena kekurangan oksigen. Sementara Bella menjulurkan botol minum ke arah Mira. Jujur, Bella takut kalau tiba-tiba Mira pingsan.“Hey, itu baru pemanasan,” balas pelatih berbadan kekar itu. “Ta-tapi saya enggak kuat, Coach. Rasanya saya pengin pingsan,” Mira terbata sambil mengusap keringat di dahinya. Dia tidak menyangka latihan perdananya ini terasa seperti latihan mi
Pagi itu, langit biru nampak membentang dengan cerah di atas sana. Udara yang masih segar membuat Bima jadi sedikit rileks.Mobil yang dilajukannya membelah jalan yang tidak terlalu padat. Di samping Bima, terlihat Rika yang sedang membenarkan riasannya berkali-kali. Sementara Lela duduk di jok belakang. Sesekali wanita setengah baya itu membenarkan posisi sanggulnya. Di samping Lela, menumpuk barang-barang seserahan yang akan diberikan ke Vania.“Aduh, Mas Bima! Yang bener dong nyetirnya,” keluh Rika saat polesan lipstiknya jadi berantakan begitu Bima tidak sengaja menghantam polisi tidur begitu saja.“Lagian kenapa dari tadi kamu dandan melulu sih?” Komentar Bima sambil memperhatikan jalan.“Aku kan harus tampil menawan di depan calon besan kita, Mas. Apalagi Mbak Vania datang dari keluarga terpandang. Jadi, aku enggak boleh tampil malu-maluin,” balas Rika masih menatap kaca kecil yang dibawanya.“Apa kamu sebelumnya sudah pernah ketemu dengan keluarganya Vania?” Tanya Lela penasar