Share

6 - One Night Stand

“Arg, Sayang!” Vania mengerang seraya mencengkram ujung bantal keras-keras. Semburan kenikmatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Wajahnya memerah dan napasnya tersengal-sengal.

Di atasnya, Vania mendapati tubuh kekar Bima yang menjulang.

“Aku mau keluar,” Bima berucap sambil terus menghentakkan tubuhnya.

Lantas Vania merangkul leher pria itu. “Keluarin, Sayang. Di dalam juga enggak apa-apa.”

“Kamu serius?”

Vania mengangguk pelan. Tidak lama setelah itu, Vania bisa merasakan semburan hangat di bawah sana. Sesaat kemudian Bima menghempaskan tubuhnya di samping sahabat lama istrinya itu.

Vania memalingkan wajahnya, menatap Bima yang kelelahan. Telapak tangannya meraba rahang pria itu dengan lembut.

“Bima, kamu luar biasa,” Vania menyunggingkan senyumannya. Wanita itu lalu beringsut pelan dan mengecup bibir tebal Bima.

Bima hanya membalasnya dengan senyuman tipis. “Sudah lama aku enggak bergairah seperti ini.”

Sementara itu, jendela kamar hotel mereka diterjang rintik hujan yang bertubi-tubi. Petir menggelegar dan suara angin berembus kencang.

Ponsel Bima pun bergetar berkali-kali. Namun dia menghiraukannya. Malam ini dia ingin menikmati tubuh Vania sampai puas.

*

Paginya, Bima memalingkan pandangannya ke luar jendela kamar. Dia mendapati beberapa pohon tumbang yang menutupi jalan di depan hotel mereka. Genangan air pun masih terlihat agak dalam. Namun beberapa kendaraan bisa melewatinya.

“Semalam benar-benar terjadi badai,” Bima menyeruput kopinya.

“Aku malah enggak sadar kalau terjadi badai,” Vania menyilangkan kedua kakinya di hadapan Bima sehingga ujung jubah hotel yang dikenakannya itu menyingkap kakinya yang mulus.

Bima berdecak pelan. “Kurasa permainan kita semalam terlalu panas.”

“Tiga ronde, Bima. Apa kamu juga seperti itu kalau sama Mira?”

Seketika tenggorokan Bima tercekat mendengar nama istrinya itu. Bayangan wajah Mira kini memenuhi benaknya. 

Vania memiringkan wajahnya dengan heran saat mendapati Bima yang nampak terdiam. “Kenapa, Bim?”

Bima menaruh cangkir kopinya di atas meja. Lantas dia menghela napas panjang. “Van, kurasa apa yang kita lakukan ini salah.”

“Aku tahu, Bim. Tapi kita menikmatinya kan?” Vania berujar lirih. 

Lantas Bima menatap wajah Vania yang nampak polos tanpa riasan sama sekali. Wajahnya tirus dengan kulit yang begitu mulus.

“Aku benar-benar minta maaf. Kamu wanita yang sungguh menarik. Tapi sepertinya, kita enggak boleh melakukan hal ini lagi. Kurasa gara-gara kita mabuk semalam, jadi kita kebablasan.”

Vania menggigit bibir merahnya. “Maksud kamu, kita enggak akan bertemu lagi?”

Bima mengangguk mantap. “Biarkan kejadian semalam menjadi rahasia terbesar kita.”

“Tapi, Bima…” Vania memandang pria itu dengan sendu. “Sebenarnya aku…aku…”

Bima mengernyitkan dahinya. “Sebenarnya apa, Vania?”

“Sudah sejak lama aku menyukaimu, Bim,” ucap Vania pada akhirnya. “Aku tahu ini salah, tapi aku mencintaimu, Bima.”

“Vania, kurasa kamu sudah gila. Aku ini suami dari sahabat lamamu,” Bima berkata sambil geleng-geleng kepala.

“Tapi aku enggak bisa mengelak perasaan ini. Dari dulu aku ingin memelukmu, merasakan sentuhan bibirmu, Bima.” Vania beranjak dan merangkul pria itu dari belakang. 

Sontak, Bima melepaskan rangkulan itu. “Vania, yang kita lakukan semalam itu adalah kesalahan. Ingat itu. Dan enggak ada alasan bagi kita untuk melanjutkan hubungan ini.”

“Jadi, kamu bercinta denganku hanya karena kamu mabuk?” Tanya Vania tidak terima.

“A-aku…aku menikmatinya. Tapi, aku enggak mau mengorbankan keluarga kecilku!”

“Bima, enggak ada yang bilang kamu harus mengorbankan keluargamu,” Vania mengusap pipi Bima pelan.

“Apa maksudmu?” Bima menyipitkan matanya lalu dia melempar pandangannya ke arah dada Vania yang menyembul dari balik jubah hotelnya. Wangi wanita itu begitu menggoda, memacu adrenalinnya untuk meremasnya kembali.

Ujung hidung Vania semakin mendekat ke wajah Bima.

“Aku rela menjadi wanita simpananmu, Bima. Kita bisa bercinta kapan saja,” bisik Vania sambil menggoda.

Bima langsung memalingkan pandangan dari dada Vania. “Kamu sudah gila.”

“Ya, aku memang sudah gila,” balas Vania yang langsung berubah ketus. “Tapi kamulah yang membuatku gila, Bim.”

Bima mendorong pelan tubuh wanita itu agar menjauh darinya. “Kamu enggak boleh mengkhianati sahabatmu sendiri, Van.”

“Mira bukan lagi sahabatku, Bim. Sejak dia jadian dengan kamu, aku sudah menganggapnya sebagai musuh.”

“Aku enggak paham.” Bima menautkan kedua alisnya.

“Aku duluan yang menyukaimu, Bima,” terang Vania.

“Tapi kita enggak pernah bertemu sebelumnya, kecuali di pernikahanku. Kamu tahu kan Mira enggak suka mengenalkanku pada teman-temannya. Lagian, aku duluan yang menembak Mira.”

Vania mengembuskan napas panjang. “Aku tahu, kalian teman satu SMA. Tapi aku pernah satu bimbingan belajar denganmu. Aku selalu memperhatikanmu, Bim. Tapi aku sadar kalau dulu aku enggak secantik Mira. Saat Mira bilang kamu menembaknya, duniaku seakan hancur. Kamu cinta pertamaku, Bima.”

Vania kembali menerjang tubuh Bima dan memeluknya.

“Astaga, Vania. Itu sudah lebih dari sepuluh tahun lalu! Kurasa kamu terlalu berlebihan.” Bima melepas pelukan wanita itu yang kini terisak. “Lihat, dirimu sekarang. Kamu cantik dan sukses. Kamu bisa mendapatkan pria mana pun.”

“Tapi aku maunya kamu. Belasan tahun aku menahan perasaan ini, Bim. Aku berubah juga demi kamu, supaya kamu suatu hari nanti akan melirikku. Dan kini impianku menjadi nyata. Tapi kamu malah…

Bima menarik napasnya dalam-dalam. Dia memperhatikan wanita yang kini menangis di hadapannya. “Aku enggak pernah tahu kalau kamu sangat menyukaiku.”

Vania menghapus air matanya. “Bima, aku rela menjadi simpananmu. Kita rahasiakan semua ini dari Mira.”

“Bagaimana kalau sampai Mira tahu, Van?”

“Dia enggak akan tahu.”

“Aku enggak bisa melakukan ini. A-aku mencintai keluargaku.” Ucap Bima lirih.

“Tapi kamu tetap mau tidur sama aku, Bim! Ingat, kamu bahkan memanggilku Sayang semalam!” pekik Vania.

“Itu semua karena pengaruh alkohol, Van. Aku khilaf. Makanya aku minta maaf sekali lagi. Aku memang brengsek.” 

Lantas Bima memutar tubuhnya. Dia ingin bergegas keluar dari sini.

“Bima, kamu tega…”

“Maafkan aku, Vania.” Bima pun menghilang dari balik pintu.

*

“Astaga, Mas. Aku cemas banget,” tukas Mira begitu mendapati Bima muncul dari balik pintu rumah mereka. “Aku menghubungi rumah Ibu, tapi beliau bilang kamu enggak pulang ke sana. Semalaman aku teleponin, tapi enggak kamu angkat.”

“Sorry, Mir. Aku enggak bilang sama kamu kalau aku menginap di hotel. Soalnya jalanan ke rumah ibu juga terendam banjir. Dan HP-ku low batt, aku lupa men-charge-nya.”

Mira mengekor di belakang suaminya itu. “Kamu mau mandi air panas?”

“Ya, tolong buatkan ya,” ucap Bima seraya memasuki kamar tidur mereka.

Saat Bima sedang berganti pakaian, Mira muncul dari balik pintu. “Mas, kamu mau sarapan dulu? Kebetulan aku bikin nasi goreng.”

Bima melempar kemejanya ke atas ranjang. “Aku sudah sarapan di hotel. Mana Kiran? Jangan bilang dia ke pre-school.”

“Kiran masih tidur, Mas. Hari ini pre-school-nya libur karena jalanan ke sana tergenang banjir.”

“Mir,” sahut Bima begitu Mira akan balik badan keluar kamar.

“Kenapa, Mas?” Mira memandangi Bima heran. Cuaca yang mendung di luar membuat suasana kamar tidur mereka remang-remang walaupun gorden jendela sudah disibak terbuka.

Bima yang bertelanjang dada menghampiri istrinya itu. Dipandanginya Mira beberapa saat. Raut wajah Mira nampak lelah, rambutnya mencuat walau sudah diikat. Tubuhnya yang dulu langsing bak model kini berubah 180 derajat. Namun wajah Mira yang manis itu masih terlihat jelas. 

Seketika Bima merengkuh wajah Mira dan menciumnya. Sontak, Mira terperanjat. Rasanya sudah berabad-abad Bima tidak pernah menciumnya.

Lumatan bibir Bima membuat Mira bergairah. Lututnya terasa lemas. Walaupun sebenarnya dia sedikit lelah karena habis mencuci pakaian, tapi dia tidak mau melewatkan kesempatan ini.

Sejak Kiran lahir empat tahun lalu, Bima jarang sekali menyentuhnya. Paling sebulan sekali. Enam bulan belakangan ini malah bertambah parah. Suaminya itu tidak pernah berhubungan dengannya ditambah sikapnya yang semakin dingin.

Saat Mira akan merangkul leher Bima, tiba-tiba Bima melepaskan ciumannya begitu saja.

“Ma-Mas…” Mira nampak terheran sekaligus kecewa.

“Kurasa ini bukan saat yang tepat,” Bima beranjak menjauh. “Aku takut Kiran bangun.”

“Tapi Kiran kan tidur di kamarnya sendiri,” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Sebenarnya, aku kangen sekali sama kamu, Mas.”

Mira bisa merasakan desahan panjang suaminya itu. “Mir, sebaiknya kita lakukan malam saja. Lagian, kamu lagi masak air kan? Aku juga agak sedikit capek.”

“Baiklah, Mas,” ucap Mira berusaha sambil menahan kekecewaannya.

Malamnya, Bima malah tidur lebih cepat dan membiarkan Mira yang sudah bersiap diri dengan baju tidurnya yang seksi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status