“Hanna… Anakku…” Tubuh Lidya, ibunya Hanna, lunglai di selasar rumah sakit.
Wanita setengah baya itu terus saja terisak, meratapi nasib putri tunggalnya yang mengenaskan.
Dini hari, Lidya dihubungi Putra, memberi tahu kabar buruk itu bahwa Hanna terlibat kecelakaan di jalanan yang sepi.
Polisi menduga ini tabrak lari. Sayangnya, tidak ada saksi mata maupun CCTV di daerah tersebut.
“Tenang, Ma…” Putra berusaha mengendalikan tangis ibu mertuanya yang semakin menjadi. “Kita berdoa saja agar semuanya berjalan baik.”
“Baik bagaimana? Putriku terbaring koma di dalam sana, Putra! Lagian, kenapa kamu bisa membiarkan istrimu pergi sendirian di tengah malam begitu, naik motor pula?!” Lidya menukas murka.
Awalnya, Putra heran dari mana istrinya mendapatkan motor itu? Tetapi akhirnya diketahui bahwa motor itu milik Andin, sahabatnya Hanna.
‘Jadi, Hanna memang sudah merencanakan semua ini,’ pikir Putra dalam hati. ‘Dia memang ingin menangkap basah diriku dengan Marcella…’
“Kamu harus bertanggung jawab kalau sampai terjadi apa-apa pada Hanna!” Air mata Lidya terus turun dari pelupuk matanya. “Seharusnya kamu bisa menjaga dia, Putra. Dia anakku satu-satunya…”
“Ma-Maafkan aku, Ma… Tapi…”
“Tapi apa?” Tanya Lidya sambil sesenggukan.
Putra terdiam sejenak sebelum akhirnya angkat bicara. “Semua ini bukan salahku. Sebenarnya… Hanna bilang di hari itu dia pergi liburan dengan sahabatnya, Andin. Jadi, aku sendiri bingung kenapa tiba-tiba dia bisa mengendarai motor itu.”
Kening Lidya nampak mengerut dalam. Dia tak mengerti apa yang dimaksud menantunya.
“Putra!”
Suara seorang wanita terdengar panik dari ujung selasar.
“Gimana keadaan Hanna?” Napas Andin begitu terengah-engah. Wajahnya terlihat pucat. “Apa yang sebenarnya terjadi pada Hanna?”
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, Ndin,” balas Putra tajam.
“Maksudmu?”
“Motor yang dipakai Hanna saat kecelakaan adalah milikmu. Untuk apa dia pinjam motormu?” desak Putra. “Dan satu lagi, dia bilang padaku bahwa di hari ini dia berlibur ke Bandung bersamamu.”
Kedua mata Andin menyipit heran. “Berlibur denganku?”
Putra mengembuskan napas pendek. “Berarti Hanna sudah berbohong padaku. Dia enggak pergi denganmu…”
“Beberapa hari ini Hanna memang meminjam motorku, tapi dia enggak menjelaskan untuk apa,” terang Andin. “Lantas, bagaimana keadaan Hanna?” Suara Andin terdengar gemetar, menatap pintu ruangan tempat sahabatnya dirawat.
“Dia kehilangan banyak darah. Tapi untungnya Hanna sudah mendapatkan transfusi darah. Hanya saja… dia masih belum sadarkan diri…” ucap Putra lirih. “Aku akan mengganti kerusakan motormu, Ndin. Tenang saja.”
Namun ucapan itu bagai angin lalu di telinga Andin.
Baginya, motor itu tidak penting. Yang terpenting adalah keselamatan sahabatnya, Hanna.
*
“Jadi, bagaimana?” Tanya Marcella cemas dari ujung telepon.
“Hanna koma,” terang Putra saat dirinya menyingkir ke kafetaria rumah sakit, membeli secangkir kopi hitam agar dirinya terjaga.
“Lantas handphone-nya?”
“Rusak parah, polisi sudah menemukannya.”
“Hah… bagus. Berarti rencana kita berjalan lancar, Sayang.”
“Kamu gila, Cella!” Desis Putra. “Kamu hampir saja membunuh Hanna!” Putra berujar dengan nada berbisik.
“Dia enggak mati, Mas.”
“Tapi dia koma!” Tekan Putra lagi sambil setengah berbisik.
“Kalau aku enggak menabrak motornya, video mesum kita bakal tersebar luas. Kamu mau hal itu terjadi, hah?!”
“Tapi bukan seperti ini caranya!” Bisik Putra lagi.
Pria itu tak habis pikir saat Marcella mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi dan menabrak motor istrinya, lalu meninggalkan Hanna yang sekarat di pinggir jalan begitu saja.
Saat itu Putra berteriak histeris, namun Marcella mengabaikannya. Wanita itu tetap melajukan mobilnya meninggalkan TKP.
“Memangnya kamu punya rencana apa? Enggak ada kan? Sudahlah, Mas. Untuk sekarang kita aman. Video itu lenyap,” tandas Marcella sambil menghela napas panjang.
“Tapi setelah Hanna sadar, dia tetap akan mengungkap perselingkuhan kita.”
Marcella mendengus cepat. “Tapi dia enggak punya bukti apa-apa, Mas. Orang enggak akan percaya begitu saja. Bilang saja dia melantur gara-gara benturan keras di kepalanya.”
“Astaga…” Putra menekan pelipisnya yang berdenyut-denyut.
“Sayangku, kita aman. Jangan sesali apa yang menimpa Hanna. Dengan keadaan Hanna yang koma, kita malah bisa bersenang-senang!”
Putra hanya termenung.
Dia merasa ini semua salah. Dia hampir saja membunuh istrinya sendiri.
“Mas?” Suara Marcella membuyarkan pikiran Putra. “Ingat, aku melakukan ini demi kita. Aku mencintaimu, Mas Putra.”
Putra hanya bisa bisa menghela napas panjang lalu memutus sambungan teleponnya begitu saja.
***
Sepuluh hari kemudian, Hanna sadar dari komanya.
Kini Hanna sudah dipindah ke ruang rawat khusus, di mana dirinya masih terbaring lemah dengan berbagai alat yang menopang kelangsungan hidupnya.
Dokter bilang Hanna mengalami kerusakan syaraf yang membuat sebagian besar tubuhnya tak bisa bergerak dengan normal, atau hampir bisa dikatakan lumpuh.
Benturan yang begitu keras juga menyisakan trauma pada Hanna, sehingga perempuan malang itu bahkan sulit untuk berbicara.
Yang Hanna bisa lakukan adalah mengedipkan matanya, tanpa bisa berbuat lebih.
Tiba-tiba saja pintu ruangan Hanna menderik terbuka.
Benturan sepatu hak terdengar mendekat ke pinggir ranjangnya.
“Selamat pagi, Hanna…” suara itu mengalun lembut namun terasa mematikan.
Marcella berdiri di sampingnya, memamerkan senyumnya yang licik.
Jemari Marcella menyentuh pipi Hanna yang dingin.
“Kasihan sekali dirimu… terbaring tak berdaya bak putri tidur. Sayangnya enggak ada pangeran yang menciummu karena pangeran itu sekarang jadi milikku…”
Detak jantung Hanna di monitor yang ada di samping ranjang bergerak cepat.
“Oh, kamu lagi marah ya?” Sahut Marcella lagi. “Detak jantungmu naik dua kali lipat.”
Lantas, wanita itu tertawa pelan. Wangi manis pun menyerbak, menusuk hidung Hanna saat Marcella mencondongkan wajahnya ke samping telinga Hanna.
“Apa yang dikatakan Putra benar. Kamu wanita enggak berguna, parasit. Masih hidup saja kamu sudah menyusahkan banyak orang. Apa kamu tahu, Putra bingung tujuh keliling mencari biaya perawatanmu di RS ini? Jadi sebaiknya kamu mati saja, Hanna…”
Kedua kelopak mata Hanna berkedip cepat.
“Dengan begitu, aku bisa hidup bahagia dengan Mas Putra-ku…”
Dada Hanna nampak kembang kempis. Jemarinya bergerak-gerak. Tapi semuanya sia-sia. Dia benar-benar akan mati di tangan selingkuhan suaminya.
“Selamat tinggal, Hanna…”
Marcella menyunggingkan bibirnya yang merah seraya satu tangannya hendak menyuntikkan cairan ke selang infus Hanna.
Di hari jadinya yang ke-30 tahun, suasana kantor Beauty Inc. memang terasa jauh berbeda dari biasanya.Balon-balon sudah menghiasi lobi utama, pita-pita emas menggantung di setiap sudut, ditambah banyaknya karangan bunga ucapan selamat yang berjejer menuju pintu masuk hall utama.Segala keriuhan ini menandakan pencapaian besar–tiga dekade perjalanan perusahaan kecantikan yang paling berpengaruh di negeri ini.Nena menggandeng tangan mungil Jordan, membuntuti Putra dan Marcella yang berjalan di depan mereka. Keadaan Nena sudah membaik dan bersikukuh ikut ke kantor Putra untuk melihat kesuksesan putra satu-satunya itu–sekalian menemani Jordan.“Wah, apa itu, Nek?” Jordan menunjuk ke sebuah sudut dengan antusias, sementara satu tangannya menggenggam mainan dinosaurus kesayangannya.“Itu playground baru, Sayang,” balas Marcella menatap kedua bola mata Jordan yang berbinar.Playground itu nampak menarik perhatian Jordan. Perosotan berwarna merah, ayunan kayu, hingga area mandi bola yang be
Pagi itu matahari baru saja naik. Sinarnya memantul ke penjuru kaca-kaca gedung pencakar langit.Putra dan Marcella menikmati pagi mereka dengan duduk-duduk di rooftop kantor sebelum memulai aktivitas yang padat hari ini.Di tangan mereka ada secangkir kopi yang asapnya masih mengepul tipis.Dari ketinggian gedung, terdengar samar-samar keriuhan jalanan dari bawah sana.Marcella sibuk memeriksa e-mail melalui ponselnya, sementara Putra nampak menikmati aroma kopi hitam yang menyergap permukaan lidahnya.Namun tiba-tiba, suasana santai mereka terusik ketika dua orang dari divisi lain duduk di belakang mereka sambil membicarakan sesuatu.“Kamu tahu nggak? Minggu depan, pas ultah perusahaan ke-30, bakal ada pengumuman besar…” suara itu terdengar pelan tapi mampu ditangkap oleh telinga Putra dan Marcella.“Aku juga dengar soal itu. Komisaris baru mau diperkenalkan. Dan gosipnya…” suara orang itu kini setengah berbisik. “Orang itu adalah anak rahasia Abraham Julianto!”Perbincangan itu mem
"Kamu seperti baru saja melihat hantu, Jordan..." Suara Hanna terdengar datar dan dingin.Namun, itu sudah cukup untuk membuat napas Jordan tercekat.Lampu jalanan yang redup dari ujung gang, memberi cukup cahaya untuk menyingkap sosok Hanna yang berdiri tegap di ambang pintu.Bayangan wajah Hanna bergoyang pelan karena cahaya lampu yang berkelap-kelip redup di kontrakan lusuh itu.“Ma-mau apa kamu ke sini, hah?” Jordan berusaha mengatur nada suaranya agar tak terdengar ketakutan. “Aku bisa saja mencelakaimu, Hanni.”Hanna mendengus sambil melempar senyum tipis. “Masih berani mencelakaiku?”“Aku bisa bertindak nekat,” sorot mata Jordan berubah nyalang.“Dan aku bisa langsung menghubungi polisi,” balas Hanna santai, memamerkan ponsel di tangannya.“Apa maumu? Kenapa kamu bisa menemukanku?” Suara Jordan nampak memelan.“Mudah bagiku untuk melacak keberadaanmu, Jordan. Aku tahu, kamu punya hubungan gelap dengan Marcella. Mengikuti Marcella sama juga mengikuti dirimu,” Hanna mengedikkan b
Brak!Marcella membanting pintu mobilnya dengan kencang. Dia melangkah tergesa dan langsung menarik lengan Jordan ke dalam mobilnya.“Brengsek!” Marcella memekik tertahan. “Ngapain kamu di sini, hah? Seharusnya kamu sembunyi! Polisi masih memburumu! Dasar bodoh!”Deru mesin mobil Marcella terdengar. Dengan cepat, dia melajukan mobilnya menjauh dari rumah.“Hei, kita mau kemana?” Jordan terdengar bingung. “Jauh-jauh aku datang ke rumahmu, Cella.”“Itu tindakan bodoh! Untung aku pulang sendirian. Gimana kalau sampai Putra tahu?! Dia bahkan mengingat wajahmu, Jordan!” Marcella menggenggam erat setir mobilnya. “Kamu bisa ditangkap polisi!”Jordan menghela napas pelan. “Tadinya aku malah ingin menyerahkan diri ke polisi.”“Apa?! Jangan bertindak bodoh!” Pekik Marcella lagi. Astaga, rasanya kepalanya mau pecah dengan masalah yang datang bertubi-tubi seperti ini. “Kamu harus segera pergi dari sini! Aku akan mengurusnya.”“Kamu nggak usah memikirkan hal itu,” lanjut Jordan sambil bersedekap.
Embusan angin malam langsung menyambut Marcella ketika wanita itu keluar dari ruang rawat inap ibu mertuanya, membiarkan Putra menemani ibunya.Saat berjalan menyusuri lorong, kepala Marcella terasa begitu berat.Hanna, Hanna, Hanna. Nama dan sosok wanita itu terus saja berkelebat di benaknya.“Sialan,” desis Marcella pelan. Seharusnya dia membunuh wanita itu sejak awal, melindasnya sekali lagi agar wanita itu benar-benar mati.Kini pikiran Marcella melanglang buana ke kejadian malam itu, di saat dia sengaja menabrak Hanna demi menghilangkan barang bukti.Andai saja Putra tak mencegahnya malam itu, pasti kesialan tak menimpa mereka sekarang ini.Sambil mengembuskan napas berat, Marcella memasuki kafetaria rumah sakit. Secangkir teh hangat setidaknya bisa menenangkan kegelisahannya untuk sementara.Saat Marcella menatap kosong ke luar jendela kafetaria, tiba-tiba saja dia menangkap sosok yang mencurigakan, yang sedang berjalan tergesa di lorong rumah sakit.Jaket abu-abu gelap itu memb
Kedua mata Nena membuka perlahan. Cahaya lampu menyorot, menusuk pandangannya yang membuatnya harus berkedip berkali-kali.Suara detak jantung dari monitor di sampingnya terdengar. Lantas Nena juga menyadari selang infus yang menggantung di pinggir ranjangnya.“Akhirnya, Ibu sadar juga…” suara Sarah langsung menyambut wanita tua itu. Sarah pun meletakkan ponselnya dan mendekat.“Astaga…” Nena berucap lirih. Kepalanya masih sedikit pening. Dia berusaha mengingat apa yang terjadi. “Jordan… di mana dia?”“Tenang, Bu,” sahut Sarah. “Sebaiknya, Ibu istirahat dulu. Jangan banyak gerak.”Namun Nena tak menghiraukan saran anaknya. Kedua bola matanya bergerak liar mencari keberadaan cucu kesayangannya.“Di mana Jordan?!” Suara Nena sedikit meninggi. Dia bakal menyalahkan dirinya seumur hidup kalau terjadi hal buruk pada Jordan.“Dia baik-baik saja, Bu. Aku menitipkannya ke tetangga sebelah. Hanya ada luka kecil di sekitar kakinya,” terang Sarah. “Mas Putra dan Mbak Marcella akan pulang malam i