Hanna dihadapkan pada kenyataan pahit kala menemukan suaminya berselingkuh dengan rekan kerjanya di kantor. Padahal, dialah yang selalu mendukung Putra, sampai rela melepas karirnya yang gemilang. Sayangnya, saat bukti sudah di tangan, Hanna justru terlibat kecelakaan fatal. Asuransi jiwanya langsung diklaim oleh kedua pengkhianat itu. Tapi, Hanna tak menyerah! Dia bahkan kembali dan siap membalaskan dendamnya dengan cara yang tak pernah mereka duga...
View More“Ugh, Mas…”
Marcella mendesah berat seraya tubuhnya yang setengah polos itu berguncang pelan di atas pangkuan Putra.
Suasana kabin mobil yang pengap tak menyurutkan kedua insan itu untuk tetap bercinta dengan panas.
Napas mereka menderu cepat saat kenikmatan datang, sampai-sampai mereka tak kuasa menjerit puas.
Masih dengan napas terengah, Putra memeluk erat tubuh Marcella, yang hanya dibalut pakaian dalam.
“Kamu benar-benar luar biasa,” puji Putra.
Marcella membalas dengan senyuman tipis karena wanita itu masih ingin menikmati ledakan-ledakan kecil yang mendera tubuhnya.
Rasanya sungguh menyenangkan, tapi sayangnya semua kenikmatan ini tak bertahan lama.
Mereka harus segera berpisah.
“Mas, bisa enggak sih kita menghabiskan waktu bersama seharian?” Marcella pindah ke kursi samping lalu mengenakan kemeja kantornya kembali.
“Yah, aku juga pengennya begitu, Cella. Tapi, kamu tahu sendiri kan, pekerjaanku lagi banyak-banyaknya,” balas Putra.
Bibir merah Marcella mengerucut kecewa.
“Kalau ngambek gitu, kamu jadi tambah imut deh, Sayang,” goda Putra sambil kembali menyosor bibir ranum Marcella.
Namun kali ini Marcella mengelak.
“Udah deh Mas, jangan mulai lagi. Kita cuma punya waktu lima belas menit sebelum istirahat makan siang selesai,” tukas Marcella.
Kini giliran Putra yang nampak kecewa.
Tiba-tiba saja ponsel Putra berdering kencang.
Nama Hana muncul di layar. Putra pun menghela napas pelan.
“Dari istriku. Jangan bicara dulu ya,” pinta Putra pada wanita di sampingnya itu.
Tak punya pilihan lain, Marcella hanya bisa bersedekap jengkel sambil memutar kedua bola matanya.
“Ya, Hanna. Kenapa kamu tiba-tiba nelpon?” Putra pun mengangkat teleponnya.
“Ada masalah apa?” tanya Marcella setelah sambungan telepon itu berakhir.
“Dia minta aku menemaninya ke dokter kandungan besok,” jawab Putra.
“Jadi, kalian benar-benar akan menjalani semacam program bayi tabung?” Tanya Marcella.
Putra memang sudah menceritakan soal keadaan istrinya yang sulit hamil karena mengidap PCOS.
“Begitulah. Sudah tiga tahun kami menikah, jadi kurasa ini saat yang tepat. Lagi pula, ibuku sangat menginginkan seorang cucu,” balas Putra.
“Kurasa aku bisa memberikanmu seorang anak,” tandas Marcella tiba-tiba.
Bola mata Putra langsung melebar. “A-apa?”
Lantas, tawa Marcella berderai.
“Astaga, Mas. Wajahmu sampai kaget begitu. Memangnya kamu enggak mau anak dariku?” Marcella mengerlingkan matanya dengan menggoda.
“Ka-kamu enggak bercanda kan? Hubungan kita hanya sebatas–”
“Kamu bisa ceraikan istrimu itu, Mas. Beres,” sela Marcella cepat.
“Cerai? Oh, enggak mungkin, Cella. Hanna istri yang baik. Enggak ada alasan bagiku untuk menceraikannya,” Putra menggelengkan kepalanya.
Tak bisa dipungkiri, mendengar Putra memuji istrinya sendiri membuat hati Marcella panas.
Wanita itu mendengus.
“Sebaik apapun istrimu itu, tetap saja dia mandul,” ucap Marcella ketus.
“Dia enggak mandul, Cella. Hanya sulit hamil,” bela Putra.
“Hah, terserahlah.” Kali ini suara Marcella terdengar kesal.
Dia segera turun dari mobil Putra dan membanting pintunya keras-keras.
“Cella, tunggu. Jangan ngambek begini dong, Sayang…”
Marcella menghempaskan tangan Putra yang hendak meraih lengannya. Wanita itu pun bergerak cepat memasuki area lobby basement, meninggalkan Putra yang hanya bisa garuk-garuk kepala dengan pasrah.
***
“Lho, Hanna? Kamu belum tidur?” Kening Putra sontak mengernyit begitu mendapati istrinya yang masih duduk di ruang tengah.
“Aku nungguin kamu, Mas.”
Jam dinding di ruangan itu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
“Seharusnya kamu enggak usah nungguin aku. Aku sudah bilang bakalan lembur kan?”
Hanna bangkit. “Aku panasin makan malamnya ya? Kita makan sama-sama.”
“Jadi, kamu belum makan malam?”
Hanna menggeleng. “Sudah kubilang aku nungguin Mas.”
“Astaga, buat apa sih, Han? Kalau maag-mu kambuh gimana? Nanti aku lagi yang repot,” Putra terdengar sedikit marah.
“Sudah lama kita enggak pernah ngobrol, Mas.”
“Sudah, sudah, enggak usah dipanasin makanannya. Aku enggak laper.”
“Tapi, Mas–”
“Aku capek, Hanna. Lembur sampai malam begini. Aku lebih milih tidur daripada harus ngobrol sama kamu.”
Putra lantas berlalu begitu saja.
Tanpa Hanna sadari air matanya jatuh. Entah kenapa, omongan suaminya tadi terdengar sangat menyakitkan di kuping Hanna.
Tiga tahun pernikahan mereka kini semua terasa begitu dingin.
Apa mungkin karena dirinya belum bisa memberikan Putra seorang anak? Ya, mungkin saja.
Tapi besok mereka akan konsultasi bayi tabung untuk yang pertama kalinya. Dan Hanna berharap semua akan berjalan lancar.
***
“Delapan puluh juta?” Kedua mata Nena membulat tidak percaya. “Kamu harus mengeluarkan uang sebanyak itu untuk punya anak?”
“Iya, Bu. Itu masih kisaran awalnya dan belum tentu juga langsung berhasil,” balas Putra saat dia dan Hanna berkunjung ke rumah ibunya di akhir pekan.
Nena menatap sekilas ke arah menantunya yang tertunduk lesu.
Hanna pun merasa bersalah. Dirinya tidak bisa dengan mudah memberi keturunan bagi Putra.
Begitu Putra keluar, Nena langsung mendekati menantunya itu.
“Delapan puluh juta itu angka yang besar lho,” ucap Nena. “Kalau kalian mulai program itu, maka Putra harus memangkas uang bulanan untuk Ibu. Kamu tahu sendiri kan, Sarah masih kuliah?”
Hanna mengangguk pelan. “Maafkan aku, Bu. Tapi itu sudah jadi kesepakatan kami. Bayi tabung ini salah satu usaha kami untuk punya anak.”
Nena berdecak pelan.
“Gini aja. Gimana kalau kamu kerja lagi, Han? Yah, hitung-hitung bantu suami kamu. Jangan terus-terusan jadi bebannya Putra,” terang Nena.
“Be-bebannya Mas Putra?” Hanna heran mendengarnya.
“Putra masih harus membiayai adiknya, Han. Kamu harus paham itu. Lagi pula, kamu ini kan lulusan sarjana. Sayang kalau gelarnya enggak dipakai. Nanti, kalau kamu punya gaji sendiri, kamu bisa membiayai program bayi tabung itu tanpa harus membebani suamimu.”
Kening Hanna mengernyit semakin dalam.
“Sejak awal menikah, Mas Putra enggak memperbolehkanku kerja. Dan Ibu tahu itu,” balas Hanna lagi.
“Yah, itu kan dulu. Ternyata sekarang kondisinya berbeda. Kamu sulit hamil, Hanna. Kalau saja dirimu baik-baik saja, Ibu enggak akan menyarankan ini.”
Hanna menelan ludahnya dalam-dalam.
Ucapan ibu mertuanya itu memang selalu menusuk hatinya.
“Jadi, pertimbangkan saran Ibu, ya? Kerja lagi sana dan jangan cuma jadi beban buat suamimu.”
Kedua bibir Hanna hanya mengatup rapat. Jujur, dia tidak tahu harus membalas apa ucapan ibu mertuanya yang tajam itu.
Marcella melangkah ke dalam rumahnya dengan sedikit gugup. Dia berharap suaminya belum pulang dari kantor.Satu tangan wanita itu menenteng kantong plastik berisi barang belanjaan yang sengaja dia siapkan sebagai alibi.“Cella, dari mana saja?” Suara Putra di ruang tengah sontak menghentikan langkahnya. Pria itu duduk di sofa sambil menatap tajam ke arah istrinya.“Kamu sudah pulang, Mas? Kupikir masih lembur,” Marcella memaksakan senyumnya walaupun jantungnya kini berdetak keras.“Aku bisa menyelesaikan pekerjaanku dengan cepat,” tandas Putra, masih memperhatikan Marcella yang kini menaruh belanjaannya di atas meja.“Oh, baguslah…”“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” sela Putra. Marcella menarik napasnya pelan. Sebisa mungkin dia memasang ekspresi wajar dan tenang. “Kamu tahu kan, ini hari terakhirku di bekerja. Jadi… yah, aku menghibur diriku sendirian, makan di restoran sekalian cuci mata. Aku juga mampir ke supermarket sebentar.”“Sampai pukul sepuluh malam?” Satu alis Putra naik
Mobil Marcella masih terparkir di pinggir jalan yang sepi.Lampu jalan yang remang mulai menyala, menerangi malam yang merayap datang.Sementara itu, Jordan memamerkan deretan giginya saat dia tertawa lepas setelah mendengar ucapan Marcella yang akan membunuhnya.“Ck, ck, ck… Marcella, sebelum kamu membunuhku, aku pastikan suamimu sudah mengetahui kebenarannya bahwa dia mandul dan Jordan ternyata anakku!”Jordan kembali tertawa, tawa melengking yang semakin membuat amarah Marcella mendidih.“Akui saja, sekarang akulah yang memegang kendali,” lanjut Jordan dengan jumawa.Marcella tertunduk dalam dengan kedua tangan yang mengepal erat. Ingin rasanya dia mencekik leher Jordan, tapi tubuh pria itu jauh lebih besar darinya.Tiba-tiba pundak Marcella berguncang sambil menutupi wajahnya dengan tangan. Terdengar isakan pelan dari mulutnya.“Jordan, tolong…” suara Marcella bergetar, nyaris tak terdengar. “Jangan ganggu kehidupan anak itu. Biarkan dia tumbuh tanpa tahu siapa ayah kandungnya. It
Mulut Marcella menganga lebar. Tangannya yang sedari tadi menggenggam setir kini gemetar saat menangkap jelas sosok di balik kaca mobilnya.“Jo-Jordan?!” Dada Marcella menggebu dalam kepanikan.Pria itu menatap tajam kedua bola mata Marcella yang membelalak. Wajahnya mengeras dengan jenggot yang menghiasi sekitar dagunya.“Buka,” titahnya.Marcella menelan ludah dalam-dalam. Dia bisa saja langsung tancap gas, tapi tidak. Bisa-bisa Jordan melakukan hal bodoh, misalnya menampakkan diri di depan Putra.Tok, tok! Kali ini Jordan mengetuk kaca mobil dengan keras dan mendesak.Mau tak mau, Marcella menurunkan kaca mobilnya. “Mau apa kamu ke sini?!” Bisik Marcella sambil celingukkan. Jordan menunduk sambil mengusap-usap dagunya. “Ada hal penting yang harus kubicarakan.”“Apa lagi?! Seharusnya kamu sudah keluar dari negara ini! Ingat, aku sudah memberimu uang, brengsek!” Mata Marcella melotot sambil berbisik. “Sekarang, cepat pergi!”Namun Jordan bergeming. Pria itu terus menatap Marcella de
Putra melemparkan pandangan penuh tantangan ke arah Hanna. Senyum licik membingkai wajah pria itu sambil hendak merobek lembaran demi lembaran gugatan cerai.“Apa yang akan kamu lakukan, kalau aku nggak mau bercerai?” Mata Putra menyipit tajam. “Kurasa sah-sah saja kan punya dua istri?”Putra tak sabar ingin melihat Hanna yang akhirnya terjebak dalam permainan kotor yang dia buat sendiri.Tetapi, bukannya terpojok, tawa Hanna malah berderai panjang. Wanita itu bersandar di kursinya sambil menatap Putra tak percaya.“Dua istri?” Hanna masih tertawa kecil. “Kamu bahkan masih berharap aku jadi istrimu, setelah apa yang sudah kamu lakukan padaku? Ingat, Putra, aku masih menyimpan video mesum kalian dengan sangat baik.”Senyum di wajah Putra mendadak hilang. Rahangnya mengeras, mengingat ancaman itu. Ya, video perselingkuhannya dengan Marcella. Dia hampir saja melupakannya.Putra lantas menghentakkan dengan kasar dokumen itu ke atas meja. Bibirnya nyaris menggertak kesal.“Aku nggak menyan
Tamparan itu sontak mengagetkan beberapa orang yang melintas di lobi.Putra yang sedang menggendong Jordan nampak tersentak tak percaya, begitu pula Nena yang kedua bola matanya kini melebar.Hanna masih berdiri tegap dengan tatapan nyalang, sementara Marcella memegang pipinya yang memanas dengan bibir yang bergetar.Butuh waktu beberapa detik bagi wanita itu untuk menyadari bahwa Hanna telah menamparnya.Lantas, bola mata Marcella membelalak. “Berani sekali kamu menamparku, dasar wanita sialan…” satu tangan Marcella hendak melayang membalas tamparan tadi.Namun, gerakan itu langsung ditepis Hanna tanpa ragu.Hanna mengcengkram pergelangan Marcella begitu erat sehingga wanita itu kini nampak sedikit meringis.“Kamu nggak ingat, Marcella? Aku sekarang atasanmu. Aku bisa memecatmu kapan saja,” Hanna berujar dengan nada rendah namun dingin.Sambil mendengus keras, Marcella menghempaskan tangannya. Kini mereka saling bertukar pandang penuh kebencian.“Kamulah wanita rendahan itu, Marcella
Lampu-lampu di hall padam, menyisakan cahaya LED yang mulai memutarkan video.Napas Hanna tertahan. Kehadiran bocah kecil itu tak ada dalam rencananya. Astaga, apa yang harus dia lakukan?! Semuanya sudah terlambat. Tak mungkin dia berlari ke belakang panggung lalu menyuruh teknisi membatalkan semuanya!Dada Hanna berdebar semakin kencang, menunggu dengan pasrah video mesum itu muncul di layar.Namun yang terjadi adalah kemunculan wajah Abraham Julianto yang tersenyum lebar saat meresmikan pabrik pertamanya, dilanjutkan dengan potongan-potongan foto dan video perjalanan Beauty Inc. dari masa ke masa.Kening Hanna mengernyit heran. Cengkraman tangannya di lengan kursi kini berangsur terkulai. Terselip rasa lega yang begitu besar di hatinya. Sebenci-bencinya dia dengan Putra dan Marcella, dia tak mungkin menyakiti bocah itu.Video lantas diakhiri dengan tatapan Abraham Julianto ke arah kamera sambil berujar, “Untuk tahun-tahun ke depan, Beauty Inc. akan terus memancarkan cahayanya!”Hall
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments