Hanna menyeringai penuh kemenangan saat menyadari bahwa raut wajah Putra dan selingkuhanya itu nampak menegang.
“Hanna, jangan bertindak bodoh,” pinta suaminya dengan nada memohon. “Dengan menyebarkan rekaman itu kamu sama saja menyebar aib suami sendiri.”
Rasanya Hanna ingin tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
“Menyebarkan aib? Aku bahkan bisa menyeret kalian berdua ke penjara dengan pasal perzinahan,” tandas Hanna. “Tapi kurasa aku hanya akan minta cerai darimu, Mas. Dan menyebarkan video ini supaya karir kalian berdua hancur!”
“Dasar wanita sialan…” geram Marcella. Wanita itu tertatih-tatih bergerak mendekat ke Putra.
“Wanita sialan?” Ulang Hanna. “Yang sialan itu dirimu, Marcella. Wanita perusak rumah tangga orang.”
Tiba-tiba saja, Putra menghambur ke arah Hanna, bersimpuh di kedua kaki istrinya.
Hanna agak terkesiap. Namun, genggaman tangan Putra yang begitu erat melingkar di sekitar kakinya, membuat Hanna kesulitan bergerak.
“Hanna… maafkan aku,” punggung Putra mulai berguncang. “Aku khilaf… aku… aku enggak bisa melepasmu. Aku mencintaimu, Hanna. Plis, jangan tinggalkan aku…”
Marcella geram mendengarnya. Bukan ini yang dia harapkan. Dia ingin Putra membelanya, melepas istrinya yang tak berguna begitu saja.
“Lepaskan aku, Mas. Berbahagialah dengan wanita itu,” Hanna melempar tatapan sinis pada Marcella yang kini juga menatapnya dengan tatapan yang sama. “Kurasa dia bisa membahagiakanmu, iya kan? Enggak seperti diriku yang hanya jadi beban bagimu.”
Tetapi Putra bergeming.
“Aku enggak akan melepasmu sampai kamu memaafkan aku, Hanna…” suara Putra terdengar parau.
Hanna menarik napasnya dalam-dalam. “Baiklah, aku maafkan semua ini.”
“Benarkah?” Putra menengadah tidak percaya.
Saat dekapan Putra melonggar, Hanna langsung bergerak menjauh.
“Tapi aku akan tetap menyerahkan rekaman ini ke pengadilan, Mas,” ucap Hanna tegas.
“Kamu hanya akan menghancurkanku, Hanna! Menghancurkan hidupku!” Tiba-tiba suara Putra meninggi. “Benar kata Marcella, kamu memang wanita sialan! Kamu wanita yang enggak berguna, yang bahkan enggak bisa melahirkan anak untukku!”
Dada Putra nampak naik turun.
“Seharusnya, aku menuruti kata-kata ibuku untuk menceraikanmu. Kamu memang beban! Parasit! Aku yakin enggak akan ada pria manapun yang rela jadi suamimu, Hanna. Kamu enggak berguna,” Putra melesatkan pandangan tajam ke arah Hanna.
Kedua rahang Hanna gemetar.
Hatinya seperti dihujam ribuan jarum yang tajam. Dia bahkan tak mampu membalas perkataan suaminya lagi. Lidahnya mendadak kelu.
Putra beringsut bangkit. Tubuhnya yang tegap itu kini menjulang di hadapan Hanna.
“Sebarkan saja video itu. Aku tidak peduli,” tandas Putra dingin. “Aku sudah enggak mencintaimu lagi. Aku akan hidup bahagia dengan Cella, wanita yang seribu kali jauh lebih baik darimu.”
Air mata kembali jatuh dari ekor mata Hanna.
Apakah dia masih mencintai Putra, sehingga omongan pria itu terdengar begitu menyakitkan di telinganya?
Apapun itu, pada akhirnya Hanna harus bersikap tegar, menegakkan punggungnya dan membalas tatapan suaminya.
“Baiklah, semoga kalian bahagia,” tandas Hanna dengan suara yang gemetar.
Hanna memutar tubuhnya, berlari keluar dari rumah yang menyesakkan ini.
***
“Kamu gila, Mas!” Marcella terheran. “Kamu membiarkan wanita itu menyebarkan video kita?!”
“Mau bagaimana lagi?” Putra mengedikkan bahunya pasrah.
“Karir kita bakalan hancur! Kamu tahu kan kalau pemilik Beauty Inc. itu enggak akan mentolerir hal yang seperti ini? Moral di atas segalanya. Itu salah satu semboyan perusahaan mereka,” Marcella mengingatkan sambil membenarkan posisi kaosnya.
“Kita bisa mencari pekerjaan baru,” balas Putra.
“Tidak semudah itu! Video kita akan beredar, Mas! Video mesum kita!”
“Marcella, tenang, Sayang…” Putra merengkuh kedua bahu wanita kesayangannya. “Aku akan mencari jalan keluarnya.”
“Apa?” Desak Marcella. “Dia itu gila, Mas! Gila!”
Putra hanya menghela napas pelan. Sebenarnya, dia juga tak bisa membayangkan kalau sampai video itu tersebar ke publik. Bisa-bisa ibunya kena serangan jantung.
“Kita susul dia,” Marcella mendahului Putra yang mematung di ruang tengah.
“Apa?”
“Kita susul istrimu yang gila dan enggak berguna itu!”
“Untuk apa, Cella?”
“Untuk apa kek?! Buat kesepakatan? Entahlah! Yang penting kita harus mencegahnya! Cepat, Mas. Mana kunci mobilmu?!”
“Tapi, Cella–”
“Mas!” Mata Marcella melotot sambil meminta kunci mobil Putra.
“Baiklah, kita susul dia,” balas Putra pada akhirnya.
***
Hanna masih sesenggukan saat melajukan motor bebek milik Andin di jalanan yang sepi.
Bayangan suaminya bercinta dengan wanita sialan itu masih saja menggantung di benaknya. Ucapan Putra yang menyakitkan semakin menambah rasa sakit hatinya.
Dia menyesal mencintai pria itu sepenuh hatinya, sampai harus mengorbankan karirnya. Namun, Hanna masih saja menyalahkan dirinya.
Apa mungkin dia memang tak berguna karena sulit hamil?
Apa benar tak akan ada pria manapun yang mau dengannya kalau tahu kondisi dirinya yang sebenarnya?
Kenapa? Kenapa semua terjadi padanya?
Embusan angin malam tak membuat air matanya mengering. Dadanya semakin sesak dan berat.
Rasanya dia ingin mati saja. Dia tak berguna, tak menarik, bahkan Putra sampai tidur dengan wanita lain.
Tanpa Hanna sadari, laju motornya semakin kencang menembus malam.
“Tidak, aku enggak boleh mati. Aku harus balas dendam dan menghancurkan hidup mereka!” Jeritannya seolah membelah malam yang pekat.
Tapi suara Hanna tertelan udara malam yang dingin.
Lambat laun, kesedihan itu segera tergantikan dengan dendam.
Rekaman ini adalah kartu AS-nya. Hanna tak akan membiarkan Putra dan selingkuhannya bersenang-senang di atas rasa sakit hatinya.
Saat dia sedang menyusun rencana di kepalanya, tiba-tiba saja bagian belakang motor yang dikendarainya seperti dihantam benda yang begitu keras.
BRAK!
Motor Hanna oleng dan tubuh wanita itu pun terlempar beberapa meter sampai akhirnya mendarat di aspal yang keras.
BRUK!
Pandangan Hanna berkunang-kunang. Dia meringis, meminta pertolongan namun suaranya seperti tertahan di kerongkongan.
Kini tubuhnya dilingkupi rasa sakit yang luar biasa.
Bau amis pun tercium, dan sayup-sayup dia mendengar suara deru kendaraan yang melewatinya.
Sekelebat cahaya putih menyergap, membuat Hanna kehilangan kesadarannya.
Marcella mematung di tempat. Kalimat yang barusan meluncur dari mulut suaminya itu masih menggantung di kepalanya. Namun sebagian dari dirinya berusaha untuk tak mempercayainya.“Ha-Hanna? Kamu bilang kamu dijebak oleh Hanna?” Marcella tercekat.Putra mengangguk dengan sorot mata yang tak tergoyahkan.Satu alis Marcella naik sebelah. “Tapi kamu bahkan menyangkal kalau Hanna masih hidup, Mas.”“Awalnya memang begitu, tapi…”“Tapi apa?” Desak Marcella.“Tapi sekarang aku yakin kalau Hanni adalah Hanna. Dia masih hidup, Cella. Dan dia sedang merencanakan sesuatu pada kita,” Putra memicingkan matanya tajam.***Marcella menutup pintu ruangannya. Dirinya langsung melempar tasnya ke atas meja.“Lantas, apa yang harus kita lakukan?” Wanita itu menyugar rambutnya.Putra berjalan sambil bersedekap menuju ke jendela. Matanya memandang ke hamparan langit biru.“Untuk saat ini, kita harus berhati-hati pada wanita itu. Hanni–atau Hanna,” tandas Putra. “Dan juga Erik.”“Erik?”Putra lantas mencerit
“Katakan, Cella. Apa kamu ada hubungannya dengan penyekapan Hanni?” Desak Putra tajam.Dengan satu gerakan cepat, Marcella melepaskan dirinya dari cengkraman Putra.Wanita itu mendengus keras, mendongakkan dagunya sambil memandang suaminya dengan tatapan tak percaya.“Pelecehan? Penyekapan Hanni??” Kedua alis Marcella bertautan. “Aku bahkan enggak mengerti dengan ucapanmu. Tapi satu yang pasti, kamu sudah berbohong, Mas. Ternyata kamu membuntuti wanita sialan itu! Hah, kamu bahkan menuduhku yang enggak-enggak!”“Aku yakin seratus persen pria itu adalah teman SMA-mu. Aku ingat betul, Cella.”“Lantas?” Kedua bola mata Marcella melebar, menantang ucapan suaminya tadi. “Jika memang pria itu temanku, bukan berarti aku terlibat, Mas!”Marcella tertawa sinis. “Jangan-jangan, semalam kamu tidur dengan wanita sialan itu kan? Oh, astaga! Ternyata seleramu memang rendahan, Mas…”Putra hanya mematung. Kenapa Hanni tega mengirim foto-foto itu pada istrinya, pikir Putra. Untuk apa wanita itu menje
“Ayo, buka pakaian dalammu, Hanna. Boleh kan aku memanggilmu dengan sebutan itu?” Sepasang mata Putra menyorot penuh gairah ke arah tubuh indah itu.Lantas, Hanna berjalan ke arah Putra, mendorong tubuh pria itu.“Tapi sebelumnya,” tangan Hanna bergerak pelan membuka satu per satu kancing kemeja Putra, “kamu juga harus menanggalkan pakaianmu.”Putra menyeringai begitu Hanna mulai melempar kemejanya ke sembarang arah, lalu lanjut melepas ikat pinggangnya.Hanna melirik nakal, melihat sesuatu yang menyembul di antara kedua kaki Putra.“Apa istrimu enggak pernah melakukan ini?” Tanya Hanna, menarik celana Putra. “Apa dia kurang menarik di atas ranjang?”“Sebenarnya dia cukup liar, tapi akhir-akhir ini kami sering bertengkar. Hubungan kami jadi dingin,” napas Putra mulai terdengar berat.Seketika, Putra menguap lebar. Sementara Hanna merangkak naik ke atas pangkuan Putra.Dada Hanna berdebar begitu kencang sekarang. Dia hanya bisa berharap obat tidur itu segera bekerja.“Duh, kok aku jadi
Suara sorak sorai serta tepukan yang meriah dari para tamu terdengar begitu, Hanna dan Putra berciuman setelah sah menjadi suami istri.Hanna tak bisa menyembunyikan pipinya yang merona saat ciuman manis itu usai.Putra yang berdiri di depannya, menatap Hanna hangat. Raut wajah bahagia terpancar karena akhirnya dia sah memiliki Hanna sepenuhnya.“Istriku…” panggil Putra pelan. “Akhirnya kamu menjadi istriku, Hanna.”Hanna menyunggingkan senyumnya, mengangguk. Dadanya berdebar bahagia. Bagi Hanna, menikah dengan Putra adalah impiannya.Dia sangat mencintai pria ini. Di matanya, Putra adalah sosok yang sempurna, pekerja keras dan penyayang.Tiga tahun mereka pacaran, banyak rintangan yang harus dilalui, termasuk penolakan keras dari ibunya Hanna, Lidya.Tapi kini rintangan itu sudah mereka lewati. Sambil memegang buku nikah, mereka akan mengarungi hidup baru yang menyenangkan.“Sekarang, hadap ke kamera ya. Buku nikahnya tunjukkin,” titah fotorgrafer itu. “Jangan lupa senyum. Satu, dua,
Erik menggeram kesal.Sudah seminggu setelah kejadian itu, tetapi pihak berwajib belum juga menemukan keberadaan Jordan.Yang membuat Erik tambah naik pitam adalah kemungkinan besar keterlibatan salah satu anak buahnya, Marcella.“Haruskah kita menyewa orang sendiri untuk mencari keberadaan pria sialan itu?” Erik melempar kedua tangannya ke udara. “Atau aku akan introgasi Marcella?”“Jangan, Erik.” Sergah Hanna. “Biarkan Marcella merasa bahwa dirinya aman, sampai Jordan tertangkap dan menyeret namanya.”“Tapi aku bahkan enggak tahan untuk melabraknya, Hanna,” geram Erik. “Dan plis, Hanna. Selalu beri tahu aku kalau kamu punya rencana. Aku enggak mau hal seperti ini terjadi.”“Maafkan aku, Erik…”Erik menghela napas pelan, berdiri di depan wanita itu. “Aku mencemaskamu. Apa… aku batalkan saja perjalananku kali ini?”“Hei!” kedua mata Hanna melebar. “Ini perjalanan dinas penting, Erik. Lagian, aku baik-baik saja kok.”“Tapi kalau aku enggak ada, kamu harus pulang-pergi sendiri. Gimana k
“Uh..” Jordan mendesah pelan. “Aku enggak menyangka tubuhmu seindah ini, Hanni…”Sebelum menarik turun pakaian dalam bagian bawah itu, ujung hidung Jordan menyentuh paha Hanna menyesap tubuh wanita itu dalam-dalam.Mau tak mau, Hanna menggeliat takut.“Pantas saja Marcella cemburu padamu…” tukasnya lagi. “Kamu tenang saja, Hanni. Aku akan memperlakukanmu dengan lembut kok. Aku ahli dalam hal ini.”Jordan mendongak sambil melempar senyum nakal ke arah Hanna.Hanna terus saja terisak, berharap keajaiban datang.Jordan mengecup pinggul Hanna, menjilatnya pelan. “Hanni, Sayang… kamu enggak akan menyesal, karena aku akan membuatmu melayang…”Dada Hanna terasa begitu sesak. Napasnya tersengal berat saat merasakan pakaian dalam bagian bawah itu perlahan turun.Pipinya benar-benar basah sekarang.Sampai tiba-tiba…BRAK!Suara pintu yang mendobrak keras itu terdengar.‘Erik!’ Kedua mata Hanna membelalak penuh harap. “Hei! Brengsek!!!” Suara lelaki itu menggelegar.Jordan tersentak dan langsun