Di tengah tanah lapang, Jasper berlutut di tanah, tubuhnya penuh luka dan darah.Pakaiannya robek di beberapa tempat, menampakkan luka bakar yang masih berasap. Wajahnya yang biasanya angkuh kini dipenuhi memar dan luka gores, namun matanya masih menyala dengan kebencian dan hasrat.Mengelilinginya dalam lingkaran besar, puluhan anggota Klan Stormhowl berdiri dengan wajah mengejek. Mereka bersorak dan bertepuk tangan setiap kali Jasper terkena serangan, seolah menikmati tontonan gladiator yang kejam.Di hadapan Jasper, dua sosok berdiri dengan angkuh. Yang pertama, pria tua bertubuh kekar dengan rambut dan janggut abu-abu, mata kuningnya berkilat kejam di bawah alis tebal.Di sampingnya, pria yang lebih muda namun tidak kalah mengintimidasi, dengan bekas luka panjang melintang di wajahnya dan tangan yang diselimuti api biru."Patriark Lothian dan Wakil Ketua Ranale," bisik Chen, mengenali kedua pemimpin Klan Stormhowl.Kiran mengangkat tangannya, memberi isyarat pada yang lain untuk t
Jasper tersenyum lemah, darah masih mengalir dari sudut bibirnya. "Aku harus melakukannya," bisiknya. "Untuk keluargaku. Untuk klanku.""Dan hampir mati karenanya," Chen menggelengkan kepalanya, tangannya masih memancarkan energi penyembuh ke luka-luka Jasper. "Beberapa luka ini sangat dalam. Butuh waktu untuk pulih sepenuhnya."Mereka terus bergerak, meninggalkan Hutan Cemara dan menuju ke arah timur, ke Hutan Ek Hitam—hutan lebat dengan pohon-pohon ek kuno yang batangnya hampir hitam karena usia.Hutan ini terkenal angker, dihindari oleh kebanyakan penduduk Kota Shanggu karena rumor tentang roh-roh yang menghantui di antara pepohonannya."Kita akan aman di sini untuk sementara," ucap Pigenor saat mereka mencapai tepi Hutan Ek Hitam. "Tidak banyak yang berani masuk ke hutan ini, bahkan manusia serigala."Mereka menemukan tempat berlindung di bawah pohon ek besar yang akarnya membentuk semacam gua alami. Chen segera melanjutkan pengobatan Jasper, sementara yang lain berjaga bergantian
Daun-daun kering berderak di bawah langkah kaki mereka. Napas Kiran membentuk uap tipis di udara dingin saat ia memimpin kelompoknya melalui rimbunnya pepohonan.Tiga hari telah berlalu sejak mereka berhasil lolos dari kejaran tentara Qingchang. Tiga hari penuh kewaspadaan, bersembunyi di siang hari dan bergerak hanya saat malam tiba."Berapa lama lagi kita harus berjalan seperti ini?" tanya Jasper, suaranya serak karena jarang digunakan. Wajahnya yang biasanya penuh semangat kini tampak lelah dengan lingkaran hitam di bawah matanya.Kiran berhenti sejenak, mengeluarkan peta pemberian Lila dari dalam jubahnya.Peta itu sudah kusut di bagian lipatannya, namun tanda-tanda dan rute yang digambarkan masih jelas terlihat. "Menurut peta ini, kita masih perlu menyeberangi dua hutan lagi sebelum mencapai Kota Begonia.""Tujuh hari perjalanan lagi, kalau kita beruntung," tambah Pigenor, mata elfnya yang tajam menelusuri jalur di depan mereka. Rambutnya yang keperakan berkilau lembut di bawah s
Reruntuhan kuil itu berdiri menyeramkan di tengah kegelapan malam. Pilar-pilar batu yang retak menyangga atap yang sebagian telah runtuh.Dinding-dindingnya penuh ukiran kuno yang sebagian terhapus oleh waktu dan perang. Altar batu di tengah ruangan tertutup lumut tebal, dan patung-patung dewa yang sudah tidak utuh berdiri seperti penjaga sunyi."Kuil Angin Utara," kata Pigenor setelah mengamati ukiran-ukiran di dinding. Jemarinya yang panjang menelusuri simbol-simbol kuno dengan penuh penghormatan. "Dibangun oleh Suku Devahari sebelum Kekaisaran Hersen menguasai wilayah ini.""Suku Devahari?" Mata Kiran melebar. "Suku yang kita cari di Zolia?"Pigenor mengangguk. "Ya. Mereka pernah menjelajahi seluruh Benua Ayax sebelum Perang Besar. Kuil-kuil seperti ini adalah bukti kehadiran mereka.""Apakah aman untuk bermalam di sini?" tanya Emma, matanya menyapu area sekitar dengan waspada."Lebih aman daripada di luar," jawab Jasper, sudah mulai mengumpulkan ranting-ranting kering untuk membua
Angin malam bertiup dingin, membawa aroma daun basah dan tanah lembab. Bulan purnama mengintip di balik awan-awan gelap, menyinari medan pertempuran yang akan segera tercipta.Kiran menatap Eve Whitehouse yang berdiri congkak di atas kapal roh megah berlambang naga perak. Jubah hitamnya berkibar ditiup angin, mata violetnya berkilat penuh kebencian. Ribuan pemanah telah mengepung mereka dari segala arah, anak panah siap dilepaskan.Kiran mengeratkan genggamannya pada Crimson Dawn—pedang yang baru ditemap. Permata merah di pangkalnya berdenyut lemah, seolah merasakan kemarahan pemiliknya."Kita tidak punya pilihan," ucap Kiran dengan suara rendah, aura keemasan mulai menyelimuti tubuhnya. "Kita bertarung."Jasper—manusia serigala dari klan Silverback—mengangguk di sampingnya. Matanya berkilat keemasan dalam kegelapan, taringnya mulai memanjang. "Sudah waktunya berhenti berlari."Tanpa peringatan lebih lanjut, Kiran melompat ke depan dengan kecepatan yang mengejutkan. Kakinya mendorong
Di atas tembok, pertarungan Kiran semakin sengit. Cambuk apinya bergerak dalam pola rumit seperti tarian kuno para Penguasa Api, menangkis serangan demi serangan dengan presisi sempurna.Jejak keemasan tertinggal di udara setiap kali cambuknya bergerak, menciptakan pola indah yang mematikan. Namun, melawan lima penyihir tingkat tinggi sekaligus bukanlah pertarungan yang seimbang, bahkan untuk seseorang dengan kekuatan seperti Kiran.Pengendali air—wanita bertopeng perak dengan rambut biru bergelombang—mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Rune-rune air bersinar di pergelangan tangannya."Aqua Titanius!" serunya, suaranya bergema seperti ombak menerjang karang.Gelombang raksasa terbentuk dari udara lembab, meninggi hingga sepuluh meter sebelum melesat ke arah Kiran dengan kecepatan mengerikan. Gelombang itu hampir menyapu Kiran dari tembok, dindingnya setinggi dan sekuat baja cair.Kiran berhasil menghindarinya dengan melompat tinggi, tubuhnya berguling di udara dengan keanggunan
Di atas kapal roh itu berdiri sosok yang membuat jantung Kiran seolah berhenti berdetak—Lila, teman lamanya yang memberikan peta jalur rahasia di Pasar Hantu Alphawork tiga bulan lalu. Rambut hitamnya yang panjang berkibar dalam angin malam, matanya yang berwarna merah anggur menatap tajam ke medan pertempuran."Lila?" bisik Kiran, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Tidak mungkin..."Di bawah, Emma melihat ke atas di tengah pertarungannya dan terkesiap. Tangannya yang sedang membentuk mantra air terhenti di udara."Lila! Jadi dia yang mengkhianati kita!""Aku sudah menduganya," geram Jasper, matanya menatap tajam ke arah kapal roh keenam sementara cakarnya menebas seorang prajurit Eve. Darah menodai bulu keabuannya."Dia satu-satunya yang tahu tentang jalur rahasia ini. Baunya selalu mencurigakan."++++Langit malam di atas Tembok Perbatasan kini dipenuhi dengan cahaya dari berbagai sihir yang bertabrakan. Api keemasan Kiran beradu dengan air, angin, petir, dan besi dari para
Di bawah tembok perbatasan yang menjulang, pertarungan semakin sengit. Emma mulai kewalahan, lingkaran-lingkaran rune biru di pergelangan tangannya berkedip lemah saat sihir airnya melemah seiring dengan stamina yang terkuras.Jubah birunya yang basah menempel di tubuhnya, robek di beberapa bagian akibat serangan musuh. Chen, sang tabib berbakat, terus mengirimkan gelombang energi penyembuhan keemasan dari telapak tangannya, namun ia juga mulai tampak pucat dan lelah, keringat dingin membasahi dahinya."Kita tidak bisa bertahan lebih lama lagi!" teriak Emma, tubuhnya berguling ke samping dengan gerakan anggun untuk menghindari serangan dari tiga pemanah sekaligus. Anak-anak panah api menancap di tanah, meninggalkan bekas terbakar yang mendesis.Pigenor, sang Elf pemanah yang biasanya tenang dan terkendali, kini terlihat khawatir. Jari-jarinya yang panjang dan elegan meraba wadah anak panahnya yang hampir kosong.Busur kayunya yang diukir dengan rune-rune kuno berkilau lemah di bawah c
Pigenor terkejut. Wanita ini mengenalnya."Siapa kau?" tanyanya lembut, sambil memeriksa luka-luka di tubuh wanita itu."Lila," bisik wanita itu, suaranya nyaris tak terdengar. "Letnan... Kekaisaran..."Ingatan Pigenor berputar cepat, mencari nama itu dalam benaknya. Lila... nama itu terasa familiar, tapi ia tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Terlalu banyak wajah, terlalu banyak nama yang ia temui selama perjalanan bersama Kiran."Kau terluka parah," kata Pigenor, melihat luka bakar hitam di bahu Lila yang semakin melebar. Api hitam Ifrit, ia mengenalinya. Api yang membakar jiwa, bukan hanya daging."Aku akan membantumu."Dengan gerakan cepat, Pigenor merogoh kantung kecil di pinggangnya, mengeluarkan sebutir pil berwarna keperakan. Pil Bulan Perak, obat langka yang hanya dimiliki oleh kaum Elf Putih, mampu menyembuhkan luka paling parah dan bahkan mengembalikan seseorang dari ambang kematian."Telan ini," perintahnya, memasukkan pil itu ke mulut Lila dengan lembut.Lila menelan pi
Pigenor kembali ke penginapan kecilnya dengan hati yang lebih ringan dari berminggu-minggu sebelumnya. Ia mengemas barang-barangnya yang sedikit, menyiapkan ramuan dan jimat perlindungan yang tersisa.Besok, ia akan meninggalkan Xianyang. Besok, ia akan satu langkah lebih dekat dengan teman-temannya.Malam berikutnya tiba dengan cepat. Pigenor menunggu di balik bayangan Gerbang Selatan, jubah hitamnya menyamarkan sosoknya dalam kegelapan. Tepat saat bulan berada di puncak langit, sebuah karavan kecil muncul.Lima kereta barang dengan lambang dagang Farouk, ditarik oleh kuda-kuda kuat."Naiklah ke kereta terakhir," bisik Farouk saat melewati Pigenor. "Tetap tersembunyi sampai kita melewati perbatasan."Pigenor menyelinap ke kereta terakhir, bersembunyi di antara tumpukan kain sutra dan rempah-rempah. Perjalanan dimulai dalam keheningan, hanya suara roda kereta dan langkah kuda yang terdengar di jalanan sepi.Mereka melakukan perjalanan selama tiga hari, melewati desa-desa kecil dan hut
Angin malam berbisik di antara pepohonan, membawa aroma daun basah dan tanah lembap.Pigenor bergerak tanpa suara, setiap langkahnya seringan sentuhan kupu-kupu pada kelopak bunga. Kulitnya yang pucat berkilau samar dalam kegelapan, hampir transparan saat ia memanipulasi cahaya di sekitarnya untuk menyatu dengan bayangan hutan.Sudah tiga minggu berlalu sejak pertempuran di tembok perbatasan Qingchang dan Zolia. Tiga minggu sejak kelompok mereka tercerai-berai seperti daun-daun kering tertiup badai musim gugur.Tiga minggu sejak ia terakhir melihat Kiran, Emma, Jasper, dan Chen.Pigenor menghela napas panjang, merasakan beban kesedihan dan kekhawatiran yang semakin berat di pundaknya. Sebagai Elf Putih, ia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki teman-temannya.Kemampuan untuk menyatu dengan alam, berkamuflase hingga menjadi tak terlihat bagi mata biasa, dan menyelinap melewati penghalang yang bahkan dijaga ketat oleh penyihir-penyihir kuat.Kemampuan itulah yang membuatnya berhasil ke
Chen merasakan tubuhnya terhempas melalui ruang dan waktu. Sensasi seperti ditarik dan ditekan dari segala arah, membuatnya tidak bisa bernapas. Dunia berputar dalam kecepatan yang tidak masuk akal, dan kesadarannya mulai memudar."Lila!" teriaknya, tapi suaranya tertelan oleh kekosongan di sekitarnya. Ia berusaha melawan kekuatan teleportasi, berusaha kembali ke tempat Lila berdiri menghadapi kematian, tapi sia-sia. Talisman itu telah mengunci tujuannya, dan tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang.Cahaya putih membutakan berubah menjadi berbagai warna yang berputar cepat, lalu mendadak gelap total. Chen merasakan tubuhnya jatuh, jatuh, dan terus jatuh, hingga akhirnya menghantam sesuatu yang keras dan dingin.Rasa sakit menyebar ke seluruh tubuhnya seperti gelombang, dan kegelapan segera menelannya sepenuhnya.+++Suara burung-burung berkicau perlahan menarik Chen kembali ke kesadaran. Matanya terbuka dengan berat, menyipit melawan cahaya matahari yang menembus dedaunan di atas
Eve memejamkan mata sejenak, dan ketika ia membukanya kembali, mata itu telah berubah menjadi merah menyala seperti darah segar. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, dan mulai merapalkan mantra dalam bahasa kuno yang bahkan Chen tidak kenali.Tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar. Retakan-retakan muncul, dan dari dalamnya, keluar asap merah yang panas. Asap itu berputar di sekitar Eve, semakin tebal hingga nyaris menutupi sosoknya."Apa yang dia lakukan?" tanya Chen, panik mulai menguasainya."Mantra pemanggilan tingkat tinggi," jawab Lila, wajahnya pucat pasi. "Dia memanggil Ifrit, iblis api dari dimensi lain."Tameng kristal Chen akhirnya pecah berkeping-keping saat naga api terakhir menghantamnya dengan kekuatan penuh.Chen terhempas ke belakang, punggungnya menghantam dinding kereta dengan keras. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, dan ia bisa merasakan darah mengalir dari hidungnya, tanda bahwa ia telah mendorong batas kemampuan sihirnya terlalu jauh.Asap merah
"Berhenti! Kereta itu membawa pelarian!"Suara teriakan itu membekukan darah dalam pembuluh Chen. Ia dan Lila bertukar pandang penuh kengerian saat kereta mereka terhenti mendadak.Kuda-kuda meringkik ketakutan, seolah merasakan bahaya yang mendekat."Siapa itu?" bisik Chen, suaranya nyaris tidak terdengar.Lila mengintip dari jendela kecil kereta, wajahnya seketika memucat. "Eve Whitehouse," jawabnya dengan suara bergetar. "Penyihir pemanggil api Kekaisaran Hersen."Chen merasakan jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat. Eve Whitehouse.Nama itu dikenal di seluruh perbatasan sebagai salah satu penyihir paling mematikan. Pengendali api dengan kemampuan sihir pesona tingkat empat, mampu membakar seluruh desa hanya dengan satu mantra.Bahkan mereka pernah bertarung melawan kelompoknya."Bagaimana dia bisa tahu?" tanya Chen, mencengkeram jubah tabibnya hingga buku-buku jarinya memutih."Dia penyihir detektor terkuat," Lila menjawab, matanya liar mencari jalan keluar. "Mantra ilusi tida
"Kiran bisa diajak bicara," Chen bersikeras. "Dan jika kau benar-benar menyesal...""Tidak semudah itu, Chen," Lila memotong lembut. "Beberapa kesalahan tidak bisa dimaafkan begitu saja."Keheningan kembali menyelimuti kereta. Chen ingin membantah, ingin mengatakan bahwa pengampunan selalu mungkin, tapi ia tahu Lila benar. Pengkhianatan adalah luka yang sulit disembuhkan, bahkan oleh waktu.Setelah hampir satu jam perjalanan melalui hutan, kereta mulai melambat. Di kejauhan, siluet Tembok Sihir menjulang tinggi, berkilau kebiruan dalam kegelapan. Benteng raksasa itu membelah daratan seperti bekas luka pada kulit bumi, memisahkan Kekaisaran Qingchang dari Kerajaan Zolia."Kita hampir sampai," Lila berbisik, matanya waspada mengamati jalan di depan. "Pos penjagaan perbatasan ada di belokan berikutnya."Chen menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. "Apa rencanamu?""Aku akan menggunakan otoritasku untuk melewati pos," jawab Lila."Jika ditanya, aku sedang dalam misi rahasia ke Zolia.
Roda kereta berderit pelan melawan jalanan berbatu Kota Begonia. Dua ekor kuda hitam melangkah dengan irama stabil, napas mereka mengepul dalam udara malam yang dingin.Cahaya bulan sabit nyaris tak mampu menembus awan kelabu yang menggantung rendah, menjadikan malam itu lebih gelap dari biasanya.Kereta itu bergerak perlahan, hampir tanpa suara selain detak sepatu kuda dan gemeretak roda kayu. Lambang Kekaisaran terukir di sisi kereta, berkilau samar dalam keremangan.Seorang kusir berjubah tebal duduk di depan, wajahnya tersembunyi di balik tudung yang ditarik rendah.Jalanan kota tampak kosong. Jam malam telah diberlakukan sejak matahari terbenam, memaksa penduduk mengunci diri di rumah-rumah mereka yang rapuh.Hanya sesekali terlihat bayangan prajurit patroli dengan obor di tangan, memeriksa sudut-sudut gelap dengan tatapan waspada.Kereta berbelok ke jalan utama yang mengarah ke gerbang kota. Di sana, sebuah pos penjagaan berdiri dengan obor-obor menyala terang. Enam prajurit ber
Lila!Si Pengkhianat yang menyebabkan penangkapannya. Pengkhianat yang memisahkannya dari teman-temannya. Pengkhianat yang bekerja sama dengan Kekaisaran untuk menjebak Kiran dan kelompoknya di perbatasan.Darah Chen mendidih.Tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia ingin berteriak, ingin melemparkan mantra paling mematikan yang ia tahu. Tapi ia menahan diri, menunggu dengan sabar seperti predator mengintai mangsanya.Lila berjalan melalui barisan pasien, sesekali berhenti untuk berbicara dengan para penyihir terluka. Wajahnya menunjukkan keprihatinan yang tampak tulus, tapi Chen tahu lebih baik. Ia telah melihat topeng itu sebelumnya, telah mempercayainya, dan telah membayar harganya yang mahal.Saat Lila mendekat ke arahnya, Chen berbalik dan berjalan cepat menuju ruang obat di belakang balai. Ia tidak bisa menghadapinya sekarang, tidak di depan semua orang. Ia membutuhkan waktu, tempat, dan kesempatan yang tepat.Kesempatan itu datang saat senja mulai turun.Ch