Rendy berdiri di tengah medan yang hancur, napasnya masih berat. Darah mengalir dari luka di bahunya, tetapi sorot matanya tetap tajam. Jian Cheng mungkin telah mundur, tetapi ancaman ini jauh dari selesai. Hembusan angin malam membawa aroma tanah yang hangus dan energi Qi yang tersisa di udara. Pedang Kabut Darah di tangannya bergetar pelan, seolah mengingatkan Rendy akan bahayanya."Pertarungan tadi hanyalah permulaan," gumamnya, menggenggam pedang itu lebih erat. Ia memandang jauh ke depan, ke arah hutan gelap tempat Jian Cheng menghilang. Dalam hatinya, ia tahu musuhnya tidak akan menyerah begitu saja.Saat Rendy mencoba mengatur napas, sebuah aura dingin tiba-tiba menyelimuti sekitarnya. Udara berubah menjadi lebih berat, seolah-olah waktu itu sendiri melambat. Dari bayang-bayang pepohonan, seorang pria muncul, mengenakan jubah hitam panjang dengan pola naga perak yang bersinar samar di bawah cahaya bulan."Hebat sekali," pria itu berkata dengan suara rendah dan penuh ironi. "Kau
Rendy melangkah keluar dari ruang kerja Katrin dengan pikiran yang berkecamuk. Informasi yang baru saja ia terima mengguncang dirinya. Ancaman yang ia pikir datang dari lingkup kecil, kini meluas ke level yang lebih berbahaya. Bukan hanya Sekte Pedang Dewa atau musuh lokal yang mengincar Jade Dragon, tetapi juga seorang figur legendaris dari belahan dunia barat: Alan Smith, keluarga kultivator tertinggi yang sudah lama menjadi mitos bagi sebagian besar kultivator di timur.Rendy berhenti sejenak di tempat parkir, menatap skuter tuanya yang terlihat lusuh di tengah-tengah kerumitan dunia kultivasi yang kini ia hadapi. Sebuah aura berat menghantui langkahnya. Bagaimana bisa seorang seperti Alan Smith, yang dikabarkan telah mencapai ranah Half Immortal, tertarik pada Jade Dragon? Apa yang sebenarnya tersembunyi dalam patung giok itu selain Nisan Pedang Spiritual, hingga sang pemilik Excalibur, pedang legendaris Raja Arthur, ikut turun tangan?Saat ia memasang helmnya, suara langkah cepat
Malam merayap perlahan di Kota Buitenzorg, membalut jalanan sepi dengan kabut tipis yang menggantung di udara. Rendy Wang mengendarai skuternya melewati gang-gang yang gelap, matanya terus awas, menelisik setiap sudut kota yang terasa terlalu sunyi. Angin malam menyelinap di balik kerah jaketnya, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan samar-samar bau logam. Langit yang muram seperti menahan hujan, memberi firasat buruk yang semakin mencengkeram batinnya.Pikirannya penuh dengan suara Katrin yang terus terngiang.“Alan Smith… Half Immortal… Excalibur…”Tiga kata itu terpatri dalam benaknya seperti mantra. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Katrin, Rendy tahu bahwa ia sedang menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perburuan Jade Dragon.Saat skuter berhenti di tikungan yang remang-remang, hawa dingin tiba-tiba merayap di kulitnya—bukan sekadar dingin malam biasa, melainkan tekanan yang mengerikan, menekan dadanya hingga napasnya terasa berat. Jantungnya berdetak c
Kabut merah pekat berputar di sekitar tubuh Rendy Wang, membentuk pusaran energi yang seakan memiliki nyawa sendiri. Pedang Kabut Darah dalam genggamannya berdenyut, pancaran aura merahnya menari liar, menciptakan ilusi duri-duri tajam yang mengelilinginya. Hawa panas menyebar dari bilah pedangnya, menghanguskan rerumputan yang ia pijak, meninggalkan jejak hangus di tanah yang retak.Darah segar masih menetes dari sudut bibirnya, mengalir perlahan melewati dagunya, tetapi ia tidak peduli. Sorot matanya membara, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Lawannya, Alan Smith, berdiri tegap di kejauhan, tubuhnya dibalut sinar emas dari Excalibur yang ia genggam dengan kepercayaan mutlak. Cahaya pedang legendaris itu begitu terang hingga menghapus bayang-bayang di sekitarnya, seperti manifestasi kehendak ilahi yang menolak keberadaan kegelapan.Alan menyipitkan matanya, suaranya rendah tetapi penuh tekanan. “Rendy Wang,” ujarnya, nada bicaranya seolah memancarkan kewibawaan seorang dewa pe
Langit di atas arena pertempuran bergetar hebat. Riak energi menyebar seperti gelombang pasang, memancarkan cahaya keemasan yang membakar udara di sekitarnya. Suatu kejadian yang tak biasa telah terjadi—kekuatan Qi Alan Smith yang sangat tinggi meresap ke dalam tanah yang telah menyaksikan ratusan duel dahsyat. Namun, kali ini, sesuatu yang lebih besar bangkit dari kedalaman pertempuran.Tiba-tiba, medan energi berdenyut keras. Jade Dragon, patung giok naga milik Rendy, mulai bergetar hebat seolah-olah merespons kekuatan yang tak kasat mata.Di Lembah Roh Kultivator yang terdapat di dalam Jade Dragon juga bergetar hebat. Beberapa batu mistik tampak melayang dengan warna-warni yang indah. Satu per satu, batu-batu mistik yang mengelilingi Nisan Pedang Spiritual ikut terguncang, hingga akhirnya—BOOM!Ledakan besar mengguncang tanah. Salah satu Nisan Pedang Spiritual, yang kesembilan, bergemuruh hebat sebelum meledak berkeping-keping. Pecahan-pecahan batu beterbangan, berkilauan di bawah
Alan Smith mengayunkan Excalibur dengan kekuatan dahsyat. Bilah legendaris itu bersinar dengan cahaya biru menyilaukan, membelah udara dengan kecepatan mengerikan. Angin yang terbawa sabetan pedangnya merobek tanah, menciptakan celah-celah menganga yang berdenyut dengan kilatan petir.Namun, Rendy Wang sudah siap. Pedang Naga Dewa bergetar di tangannya, memancarkan aura keemasan yang berkilau seperti api naga yang baru terbangun dari tidurnya. Saat Excalibur menerjang dengan kekuatan membelah gunung, Rendy mengangkat senjatanya, bilahnya bersinar seperti matahari yang menusuk kabut kelam.CLANG!Benturan dua senjata suci itu menciptakan ledakan sonik yang mengguncang tanah dan langit. Ombak energi berwarna biru dan emas bertabrakan, menghempaskan bebatuan dan menghancurkan pepohonan di sekitar mereka. Getaran dahsyat merambat ke tanah, meretakkan arena seperti retakan halus di kaca yang siap pecah kapan saja. Cahaya dari titik pertemuan bilah mereka berkobar, menusuk langit yang kelam
Dalam kilatan cahaya yang memancar dari serangan terakhir, langit yang murung tampak seolah mengingatkan bahwa tak ada yang bisa menghindari nasib mereka. Rendy Wang dan Alan Smith berdiri tegak di medan pertempuran yang hancur, kedua sosok mereka bersinar dengan aura yang begitu mengerikan, seolah-olah kekuatan semesta sedang berperang melalui mereka. Mereka adalah manifestasi dari energi yang tak bisa dibendung, dua pejuang agung yang bertarung untuk membuktikan siapa yang pantas menguasai kekuatan legendaris.Rendy Wang, dengan Pedang Naga Dewa di tangannya, kini dikelilingi oleh lingkaran api keemasan yang berputar-putar di sekeliling tubuhnya. Aura naga yang berkobar itu seolah mengalir melalui setiap pori tubuhnya, menciptakan medan pelindung yang hampir tak terjamah. Dalam sekejap, ia menundukkan tubuhnya, merendahkan posisi pedangnya, dan mengalirkan seluruh energi kultivasinya ke dalam bilah yang bersinar."Jurus Naga Emas Menerjang Langit!" teriak Rendy kembali menggunakan j
Kemenangan Rendy Wang atas Alan Smith tidak hanya menggemparkan arena, tetapi juga menggetarkan seluruh dunia kultivasi. Berita tentang pertarungan ini tersebar cepat, membawa kabar bahwa Pedang Naga Dewa kini telah kembali ke tangan yang tepat. Namun, meskipun Rendy berhasil mengalahkan musuhnya, di balik kemenangan tersebut tersimpan misteri yang jauh lebih dalam.Ketika debu pertempuran mulai mereda, dan roh-roh kultivator dari Nisan Pedang Spiritual perlahan menghilang, termasuk pria tua dari Nisan Pedang Spiritual Kesembilan yang tadinya akan mengajarinya Magis Pedang Dewa."Kemana semua roh kultivator ini pergi? Apakah mereka kembali ke Lembah Roh Kultivator karena kekuatan Pedang Naga Dewa?" batin Rendy dengan perasaan tak menentu.Rendy menatap Pedang Naga Dewa dengan penuh perasaan. Meski merasa bangga, hatinya masih dipenuhi dengan keraguan. Ia tahu, kekuatan yang dimilikinya saat ini belumlah sempurna. Pedang Naga Dewa adalah senjata legendaris yang hanya bisa dikendalikan
Bara Sena menarik napas panjang, lalu melemparkannya dalam pekikan perang yang menggetarkan langit-langit balairung.“AARRRGHHH!!!”Kedua tangannya bersatu di depan dada, dan seketika api melonjak liar, melingkar membentuk mandala raksasa berwarna merah keemasan yang menyelubungi tubuhnya. Api itu berkilau dengan pola-pola kuno yang menari seperti cap naga, masing-masing garisnya seperti ditulis dengan darah para leluhur.“Api Leluhur Andalas!” raungnya.Langit-langit Balairung Matahari berdetak dengan gema mantra yang terpatri di ukiran-ukiran dinding. Pilar-pilar tua yang menopang bangunan itu tiba-tiba bersinar terang, garis-garis sihir purba menyala, mengalirkan kekuatan suci dari akar sejarah Andalas. Aura mereka menyalakan seluruh balairung, menyulut langit dalam ruangan itu menjadi nyala abadi yang mendesis pelan.Api itu bukan hanya panas—ia menyengat jiwa, menusuk kesadaran, membawa kilasan ribuan tahun sejarah dan darah yang telah tertumpah demi kerajaan ini. Bara Sena kini t
Benturan pertama mengguncang dunia seakan langit dan bumi menolak keberadaan pertarungan itu. Lantai kayu Balairung Matahari retak dalam pola menjalar seperti akar pohon purba, suara kayu pecah menggemuruh dari bawah kaki mereka. Getarannya menjalar hingga ke pilar-pilar penyangga yang mulai bergoyang pelan, menebarkan debu yang turun seperti hujan abu dari langit-langit.Bara Sena, dengan tubuh kekarnya yang dipenuhi tato suci, menghantam pusaran kabut merah yang membungkus tubuh Rendy. Tinju apinya menyala menyilaukan, semburan panasnya membuat udara di sekeliling bergetar seperti fatamorgana di tengah gurun.Namun, dari balik kabut merah itu, seekor naga merah transparan meraung—raungan panjang dan purba yang menggema ke seluruh penjuru ruangan. Nafasnya menguarkan hawa panas bercampur aroma darah dan belerang. Pusaran kabut berubah menjadi pusaran angin liar yang meliuk, membelokkan hantaman Bara Sena seolah waktu itu sendiri membelanya.Bara Sena menyeringai, giginya menyeringai t
Seruni duduk tegak, tubuhnya bersandar pada kursi kayu yang tebal. Wajahnya terpelintir sedikit, matanya menyipit tajam menatap Rendy yang berdiri di hadapannya. Di udara, terasa ketegangan yang mencekam, seperti listrik yang siap meledak. Perlahan, ia menggumamkan kata-kata yang terdengar seperti peringatan, namun dibalut dengan rasa penasaran.“Elemental Naga Baru?” Suaranya serak, nyaris tak terdengar, seolah kata-kata itu berat dan penuh beban. “Kau tahu, Rendy, gelar itu bukan sekadar sebutan. Itu berarti mengguncang seluruh Andalas—menyentuh setiap sudut dunia ini.”Rendy menatapnya tanpa berkedip, setiap helaan napasnya semakin dalam, menyusup ke dalam dadanya yang berdenyut. “Aku tahu,” jawabnya dengan suara penuh tekad yang menggetarkan udara. “Dan aku tahu, aku tidak akan mendapatkan persetujuan itu hanya dengan kata-kata.”Dengan langkah perlahan namun penuh keyakinan, ia berdiri tegak. Ketegangan yang terbangun begitu kental, terasa seolah waktu berhenti sejenak. Tangan ka
Perempuan itu menghentikan kudanya beberapa meter di depan Rendy. Udara di antara mereka seolah menjadi lebih berat. Kenangan akan masa lalu—pertarungan sengit di Horizon City, perdebatan tentang kehormatan dan tujuan, dan kekaguman diam-diam yang tak pernah sempat diutarakan—kembali mengapung di udara."Kau datang sendiri, Rendy?" Seruni akhirnya berbicara, suaranya rendah namun penuh tekanan. "Apa kau pikir aku akan lupa bahwa kau pernah hampir mengalahkanku di Horizon City?"Rendy tersenyum tipis. "Aku tidak lupa... dan aku juga tidak datang untuk mengulang masa itu. Aku datang membawa kabar yang bisa menyelamatkan Andalas—atau membinasakannya jika diabaikan."Seruni turun dari kudanya, lalu berjalan mendekat dengan langkah penuh percaya diri. Srikandi Andalas tetap berjaga di belakang, tangan mereka sudah menyentuh gagang senjata, bersiap untuk segala kemungkinan."Jika kau datang dengan niat baik," ucap Seruni sambil menatap lurus ke dalam mata Rendy, "mengapa tidak mengirim utus
Angin pagi membelai rambut panjang Sheila Tanoto saat ia berdiri di tepi landasan bandara jet pribadi di pinggiran Dark City. Suasana masih gelap karena waktu baru menunjukkan pukul 02.00 pagi. Matahari buatan masih mati digantikann oleh bulan buattan yang memiliki energi gravitasi bulan seperti di Khatulistiwa. Di belakangnya, lampu-lampu kota berkelip seperti bintang jatuh, sementara deru mesin pesawat pribadi Rendy menggeram pelan, siap untuk lepas landas. Bau logam dan bahan bakar memenuhi udara, menambah ketegangan yang terasa seperti benang halus yang siap putus kapan saja.Wajah Sheila disinari remang lampu bandara, menunjukkan keraguan yang dalam di matanya."Aku akan segera menyusulmu ke Khatulistiwa," ucapnya, suaranya tenang namun mengandung kekhawatiran. "Dan aku akan memerintahkan Empat Penjuru Angin untuk menemanimu ke Negeri Andalas. Setidaknya, mereka bisa menjadi pelindungmu dari pengkhianatan yang tak terduga."Rendy menoleh, siluetnya tegap dalam bayang pesawat. Mat
Udara di apartemen terasa berat, hampir pekat, seolah setiap molekul udara merapat, menahan napas mereka dalam pusaran hasrat yang menggetarkan. Di antara gemuruh jantung yang berdetak terlalu keras, tubuh Rendy dan Sheila melebur dalam tarikan naluriah—sebuah pencarian yang tak membutuhkan kata, hanya desakan naluri yang tak terbantahkan.Sheila, dengan mata berkilat dalam cahaya remang, meraih tangan Rendy. Genggamannya kecil, namun panasnya menembus kulit hingga ke nadi. Tanpa sepatah kata pun, ia menariknya melewati ruang tamu menuju kamar tidur.Pintu kamar terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan luas dengan jendela kaca setinggi langit-langit, menghadap langsung ke hamparan Dark City yang bermandikan cahaya malam. Lampu-lampu kota berkedip seperti bintang patah yang jatuh ke bumi, menciptakan lukisan malam yang sendu sekaligus memabukkan.Langkah-langkah mereka terhenti di tepi ranjang. Sheila berbalik perlahan. Rambut hitamnya berkilau di bawah lampu gantung, mengalir seperti ti
Mata Sheila menyipit, bibirnya membentuk senyum penuh misteri. "Oh begitu? Jadi... kamu sudah tahu semua tentang tubuhku, ya?" Nadanya melengking manis, tapi ada sesuatu yang membuat udara di antara mereka mendadak terasa lebih panas. "Apa kita pernah... bercinta di sana?"Uhuk!Rendy tersedak kopi, buru-buru menahan batuknya dengan tisu. Wajahnya memerah, entah karena panas kopi atau pertanyaan lugas yang sama sekali tidak ia duga."Hihihi..." Sheila terkikik geli, menatapnya dengan tatapan jahil. Ia menyender santai di sofa, memperlihatkan leher jenjangnya dengan sangat disengaja. "Kenapa? Kaget mendengar pertanyaanku? Bukankah aku... kekasihmu?" godanya dengan suara manja, hampir berbisik."A-aku..." Rendy berusaha menguasai diri, tapi lidahnya terasa kelu. Matanya berusaha fokus ke cangkir di tangan, tidak berani menatap langsung ke mata Sheila yang berbinar penuh rasa ingin tahu.Melihat Rendy gugup justru membuat Sheila semakin bersemangat. Ia mendekat sedikit, memperkecil jarak
Gemuruh sorak-sorai membahana di seluruh penjuru Dark City. Malam itu, langit Negeri Malam seolah terbakar oleh kembang api yang menghujam ke udara, meledak dalam semburat warna merah darah dan biru keunguan. Udara dipenuhi aroma manis dari bunga-bunga yang dihiasi sepanjang jalan, bercampur dengan bau hangat makanan yang dibakar di setiap sudut festival.Kemenangan atas Azerith — Sang Pewaris Malam yang selama ini menjadi duri dalam upaya Sheila untuk membangun negeri ini — terasa seperti beban besar yang akhirnya terangkat dari dada semua orang. Negeri Malam, untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, merasakan apa itu kebebasan.Renata dan Jessy berdiri di tengah kerumunan, senyum mereka merekah di bawah cahaya lentera. Kilatan kebahagiaan di mata mereka membuat keduanya tampak lebih muda dari biasanya. Rencana untuk kembali ke Negeri Khatulistiwa pun mereka tangguhkan tanpa ragu, terpikat oleh atmosfer penuh sukacita ini.“Aku rasa... kita memang harus tinggal lebih lama,” ujar Je
The Killer berdiri di tengah medan, darah hitam menetes dari lengannya, menodai tanah Negeri Malam yang retak. Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, ia merasakan tekanan—bukan dari satu musuh, tapi dari kekuatan bersatu.Jessy menggenggam erat pedang lebarnya yang bergetar karena energi spiritual. Napasnya berat, tapi matanya penuh keyakinan. Di sisi lain, Renata mengaktifkan mode serangan penuh dari Nova-Core, tubuhnya dilapisi armor spiritual tipis berkilau biru muda. Kupu-kupu logam di belakangnya mulai berubah, mengepakkan sayap berbentuk bilah tajam, siap menghujani The Killer kapan saja.Sementara itu, Rendy, walau masih berlutut dan tubuhnya gemetar, membuka matanya perlahan. Cahaya keemasan samar mulai berkedip di dalam irisnya — tanda bahwa sebagian kecil energi Naga Perang mulai bangkit kembali.The Killer menggeram rendah, suaranya seperti dua dimensi bertabrakan.“Aku... tidak akan berakhir di sini...”Dengan satu gerakan memutar, tubuhnya membelah menjadi sepuluh baya