Share

Bab 8

Penulis: Lilis
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-07 19:15:41

Lembah Pelatihan dan Luka Pertama

Setelah makan malam yang hangat, Lin Yue dan Qingyan kembali ke kamar kecil mereka. Di bawah cahaya lentera, suasana terasa tenang. Kini, tubuh Lin Yue telah sepenuhnya pulih—berkat energi suci burung Fenghuang, racun mematikan yang dulu menggerogoti tubuhnya kini benar-benar lenyap.

Namun, bagi Lin Yue, ini baru permulaan.

Setiap siang dan malam, ia melatih cara mengendalikan kekuatan yang mulai bangkit dalam dirinya. Rasa asing menyelimuti tubuh barunya, namun ia tahu—ia tidak boleh lengah. Dunia ini keras, dan ia tak ingin menjadi lemah lagi.

Hari itu, Fenghuang memintanya untuk pergi ke sebuah gua—tempat pertama kali mereka bertemu. Lin Yue mengangguk dan menyusulnya diam-diam, tanpa sepengetahuan Qingyan.

Di dalam gua yang lembap dan remang-remang, Fenghuang menunjuk ke sebuah batu besar di tengah ruangan. “Duduklah di sana dan mulai berkultivasi. Tempat ini menyimpan energi murni yang akan mempercepat perkembanganmu,” ucapnya lembut.

Lin Yue segera duduk bersila. Ia menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata, dan mulai menyerap energi spiritual di sekelilingnya. Fenghuang berdiri di samping, berjaga-jaga.

Waktu berlalu…

Tubuh Lin Yue mulai bergetar. Keringat dingin mengucur deras membasahi tubuh dan pakaiannya. Rasa sakit menyebar di seluruh dantian-nya. Namun ia menggigit bibir, menahan semuanya. Ia tidak ingin berhenti.

Fenghuang mengerutkan kening. Ia tak menyangka bahwa prosesnya akan berlangsung secepat ini. “Luar biasa… dia sudah mencapai tahap Pembentuk Inti Roh,” gumamnya dalam hati.

> Pembentuk Inti Roh adalah tahap penting dalam kultivasi. Seorang kultivator akan mulai membentuk inti energi murni di dalam tubuhnya—inti ini menjadi sumber kekuatan utama mereka. Sebelumnya, energi hanya dialirkan. Kini, energi itu dimampatkan menjadi sebuah Inti yang kokoh, menjadi fondasi kekuatan sejati.

Tubuh Lin Yue berpendar samar. Energi spiritual melingkupi sekujur tubuhnya, membentuk pusaran tipis di sekitarnya. Ia menggertakkan gigi—menahan rasa sakit dan perubahan dalam tubuhnya.

“Hah… Tubuhku terasa berbeda… seperti lebih ringan dan kuat,” desah Lin Yue, membuka matanya yang kini berkilau tajam.

“Benar. Kau memang berbakat,” kata Fenghuang, namun ekspresinya tetap serius. “Tapi jangan besar kepala. Di luar sana, banyak yang mati karena kesombongan. Sembunyikan kekuatanmu, jangan tunjukkan sebelum waktunya.”

Sementara itu, Qingyan tengah berlatih seorang diri di bagian hutan yang lebih jauh. Di tengah sunyi malam, ia mengayunkan pedangnya perlahan, mengasah teknik dan kekuatan rohnya. Ia tahu, dirinya harus cukup kuat untuk melindungi sang nona.

Kini ia telah mencapai tingkatan Penguasa Jiwa Menengah. Bagi pelayan sepertinya, itu sudah sangat luar biasa. Namun dalam hatinya, kekuatan itu masih belum cukup. Ia harus terus tumbuh.

Saat ia pulang, Qingyan mendapati Lin Yue tertidur lelap, wajahnya tenang namun tubuhnya sedikit gemetar.

Pagi harinya.

Lin Yue terbangun oleh aroma lezat yang menggoda. Di luar, Qingyan tengah memanggang ikan hasil buruannya.

“Qingyan! Kau berburu ikan tanpa mengajakku? Aku juga ingin menangkap ikan,” protes Lin Yue dengan wajah cemberut.

“Kau terlalu lelah semalam. Aku tidak tega membangunkanmu,” jawab Qingyan lembut sambil menyodorkan ikan bakar yang garing di bagian luar dan empuk di dalam.

“Hmm… Enak sekali. Kau berbakat jadi koki,” kata Lin Yue sambil tersenyum lebar.

Setelah makan, mereka berlatih pedang di halaman kecil di samping rumah. Menggunakan pedang kayu, mereka saling bertukar serangan ringan. Tubuh Lin Yue kini lebih kuat dan tidak pucat lagi—dia mulai bisa menahan tekanan fisik saat berlatih.

Qingyan memperhatikan nona-nya dengan bangga. “Teruslah bertambah kuat, nona. Agar tidak ada lagi yang berani menyakitimu…”

Tak terasa, hari-hari berlalu. Waktu mereka ke istana semakin dekat. Lin Yue harus menguasai kekuatannya sebelum kembali menghadapi musuh-musuh dari masa lalu.

Sore hari.

Latihan mereka meningkat intensitasnya. Keringat membasahi tubuh Lin Yue. Nafasnya memburu. Namun ia tidak mau berhenti.

“Aargh…!” tubuh Lin Yue terpental, menghantam pohon tumbang.

“Nona!” seru Qingyan panik, segera melesat ke arah Lin Yue yang meringis menahan rasa sakit.

“Aku… aku tidak apa-apa. Ayo kita lanjutkan,” ucap Lin Yue dengan napas tersengal, meski pakaiannya robek dan luka di tangan serta kakinya menganga.

“Sudahlah, kita lanjutkan besok. Nona sudah melampaui batas. Aku khawatir,” kata Qingyan sambil memegangi bahunya.

“Ini hanya luka kecil,” jawab Lin Yue keras kepala, mencoba berdiri. Namun langkahnya goyah.

Beberapa langkah kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah.

“Nona!” Qingyan membopongnya dengan panik. “Kau terlalu memaksakan tubuhmu sendiri… Aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi!”

Di bawah langit malam yang mulai gelap, Qingyan membawa Lin Yue kembali ke rumah—dalam pelukannya, sang nona yang keras kepala itu pingsan, namun dalam hati keduanya tahu…

Waktu pembalasan sudah dekat.

Dan mereka tidak akan memberi ampun.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kebangkitan Sang Putri Terbuang   Bab 21

    “TIDAAK...!!!” Teriakan Qingyan memecah keheningan malam, menggema menyayat langit yang gelap.Panah itu melesat cepat—cepat sekali—dan menancap tepat di dada Lin Yue. Tepat di atas jantungnya.Darah merah pekat menyembur deras, membasahi kain putih di tubuhnya. Setetes demi setetes jatuh di lantai kayu yang bersih, menciptakan irama kematian yang menakutkan. Aroma bunga lili yang semula memenuhi ruangan, kini tergantikan bau anyir darah yang menyengat.Putri Ronghua berdiri dengan tawa lepas, tubuhnya sedikit gemetar karena euforia kemenangan. “HAHAA! KAU AKAN MATI! INI AKHIRMU, LIN YUEXI!”Namun, Lin Yue tidak mengindahkan suara itu. Matanya tetap menatap ke arah jendela, mencari siluet bertudung yang telah menembakkan panah dan langsung menghilang di kegelapan.Dengan suara setipis bisikan tapi setegas perintah raja, ia berkata pada Fenghuang yang melayang di dekat pundaknya, “Kejar dia... cari tahu siapa dia. Dan... siapa yang membayarnya.”Fenghuang langsung mengepakkan sayap, me

  • Kebangkitan Sang Putri Terbuang    Bab 20

    Bab: Warisan Sang IbuAroma bunga lili menyeruak lembut saat Lin Yue melangkah masuk ke dalam paviliun yang dulu menjadi tempat tinggal ibunya. Waktu boleh bergulir, namun kehangatan ruangan itu tetap abadi—menyelimuti hati dengan damai yang membuat dada sesak oleh rindu. Tirai sutra bergoyang pelan ditiup angin malam, membawa harum manis yang seketika menghidupkan kembali memori pelukan sang ibu—hangat, menenangkan, dan penuh cinta.Langkahnya perlahan, seolah takut mengusik kenangan yang tertinggal. Jemarinya menyusuri dinding kayu, berhenti di sebuah lukisan besar di dekat meja rias. Sosok perempuan dalam lukisan itu menatapnya dengan mata teduh—anggun, lembut, tapi menyimpan kekuatan yang tak terbantahkan.Lin Yue menatapnya lama, senyum samar mengembang, namun di balik senyum itu, matanya menyimpan luka. Luka lama... yang kini menjadi bara kecil dalam hatinya."Ini... Ibu Putri Lin Yuexi," bisiknya, nyaris tak terdengar.Tangannya menyentuh kanvas. Lembut, terawat. Aroma khas itu

  • Kebangkitan Sang Putri Terbuang   Bab 19

    Di dalam aula istana—Kaisar duduk kaku di atas singgasananya. Udara di ruangan itu terasa berat, seolah menanti badai yang tak terelakkan. Para pejabat menunduk dalam diam, namun lirikan mereka sesekali tertuju pada sang putri yang berdiri tegak di sisi aula—penuh percaya diri, seolah istana ini sudah kembali berada dalam genggamannya.Suara Kaisar akhirnya memecah keheningan. Dalam satu kalimat, ia menjatuhkan petir:> “Mulai hari ini, Selir Agung harus angkat kaki dari Paviliun Angin Timur. Paviliun itu secara hukum adalah milik Putri Lin Yue.”Wajah Selir Agung langsung menegang. Matanya melebar, dadanya naik-turun menahan gejolak. Ia melirik ke arah Lin Yue, seolah hendak menerkam. Tapi yang ia dapati hanyalah senyuman tipis yang penuh ejekan.Lin Yue melangkah maju, langkahnya mantap, matanya tak berkedip. Suaranya dingin, nyaring, dan tajam bagai cambuk. “Selir Agung, telingamu masih sehat, bukan? Maka tak perlu ku ulang perintah Kaisar. Angkat kakimu dari paviliun ku. Sekaran

  • Kebangkitan Sang Putri Terbuang   Bab 18

    Qingyan mondar-mandir gelisah di depan pintu, memeluk kedua tangannya yang dingin diterpa angin malam. Langit telah menggantungkan bintang-bintangnya, namun sang nona belum juga kembali. Jantungnya berdegup tak karuan."Nona... cepatlah kembali. Jika ketahuan kau keluar malam-malam begini, habislah aku... nyawaku taruhannya," gumamnya sambil menatap langit dengan resah.Tiba-tiba terdengar suara dari luar.“Qingyan.”Suara tenang itu membuat Qingyan tersentak. Ia segera membuka pintu dan mendapati Lin Yue berdiri di ambang. Pakaiannya berdebu, namun sorot matanya setajam pedang yang baru diasah.“Nona! Dari mana saja?! Putri Ronghua tadi datang mencarimu! Ia murka bukan main!”“Untuk apa dia datang kemari?” tanya Lin Yue dingin.“Seperti biasa... mencaci, memaki, lalu pergi setelah puas mempermalukan nona.”“Kau bilang aku pergi keluar?”“Tidak! Aku bilang nona sedang sakit parah... tak bisa diganggu siapa pun.”Lin Yue mengangguk puas. "Bagus."Ia menyerahkan bungkusan makanan, lalu

  • Kebangkitan Sang Putri Terbuang   Bab 17

    Malam yang MencobaKedai tua itu ramai oleh suara tawa, obrolan, dan dentingan gelas. Namun di sudut paling tenang, Lin Yue duduk santai, menikmati teh hangat yang mengepul di cangkir tanah liat. Matanya menatap kosong ke luar jendela, tapi telinganya tajam menangkap obrolan para pengunjung di belakangnya."Kompetisi antar kultivator akan digelar minggu depan," kata seorang pria paruh baya. "Kali ini terbuka untuk umum. Hadiahnya besar."Lin Yue menoleh pelan, mengangkat satu alis. Ia menyeka uap teh yang menempel di bibir cangkir."Kompetisi, ya...? Cocok untuk menguji seberapa jauh aku berkembang..." batinnya. Suara pria itu memudar seiring pikirannya melayang ke latihan panjang di hutan, ke rasa sakit saat tulangnya retak karena tekanan Qi, dan ke senyum khawatir Qingyan setiap kali ia jatuh pingsan karena memaksakan diri.Tehnya habis. Seolah menjawab pikirannya, seorang pelayan mendekat sambil membawa nampan besar.“Tuanku, ini makanannya. Apakah sudah sesuai?”Lin Yue mengangguk

  • Kebangkitan Sang Putri Terbuang   Bab 16

    Sebentar lagi ulang tahun Putri Ronghua akan diselenggarakan dengan meriah. Istana dipenuhi kesibukan—para pelayan berlari-lari kecil membawa baki perhiasan, kasim sibuk menyampaikan perintah, dan para selir berlomba-lomba mempersiapkan penampilan serta hadiah terbaik demi menyenangkan sang Putri dan tentu saja, menarik perhatian Kaisar.Namun, di satu sudut istana yang dingin dan sepi, suasananya kontras. Kediaman Putri Lin Yuexi tetap sunyi, tenang, dan tidak tersentuh euforia pesta. Tidak ada pelayan yang sibuk menyiapkan pakaian, tidak ada kasim yang mengatur jadwal latihan tari atau pilihan perhiasan. Hanya suara angin yang sesekali meniup tirai tipis, menggesek lantai batu dengan lembut.Di dalam ruangan, Lin Yuexi duduk santai sambil menyeruput teh hangat, ditemani Qingyan yang berdiri setia di sampingnya. Sesekali mereka tertawa kecil membahas hal remeh, hingga langkah cepat seorang kasim memecah ketenangan.“Putri Lin Yuexi… Anda diundang untuk memeriahkan pesta ulang tahun P

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status