Lembah Pelatihan dan Luka Pertama
Setelah makan malam yang hangat, Lin Yue dan Qingyan kembali ke kamar kecil mereka. Di bawah cahaya lentera, suasana terasa tenang. Kini, tubuh Lin Yue telah sepenuhnya pulih—berkat energi suci burung Fenghuang, racun mematikan yang dulu menggerogoti tubuhnya kini benar-benar lenyap. Namun, bagi Lin Yue, ini baru permulaan. Setiap siang dan malam, ia melatih cara mengendalikan kekuatan yang mulai bangkit dalam dirinya. Rasa asing menyelimuti tubuh barunya, namun ia tahu—ia tidak boleh lengah. Dunia ini keras, dan ia tak ingin menjadi lemah lagi. Hari itu, Fenghuang memintanya untuk pergi ke sebuah gua—tempat pertama kali mereka bertemu. Lin Yue mengangguk dan menyusulnya diam-diam, tanpa sepengetahuan Qingyan. Di dalam gua yang lembap dan remang-remang, Fenghuang menunjuk ke sebuah batu besar di tengah ruangan. “Duduklah di sana dan mulai berkultivasi. Tempat ini menyimpan energi murni yang akan mempercepat perkembanganmu,” ucapnya lembut. Lin Yue segera duduk bersila. Ia menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata, dan mulai menyerap energi spiritual di sekelilingnya. Fenghuang berdiri di samping, berjaga-jaga. Waktu berlalu… Tubuh Lin Yue mulai bergetar. Keringat dingin mengucur deras membasahi tubuh dan pakaiannya. Rasa sakit menyebar di seluruh dantian-nya. Namun ia menggigit bibir, menahan semuanya. Ia tidak ingin berhenti. Fenghuang mengerutkan kening. Ia tak menyangka bahwa prosesnya akan berlangsung secepat ini. “Luar biasa… dia sudah mencapai tahap Pembentuk Inti Roh,” gumamnya dalam hati. > Pembentuk Inti Roh adalah tahap penting dalam kultivasi. Seorang kultivator akan mulai membentuk inti energi murni di dalam tubuhnya—inti ini menjadi sumber kekuatan utama mereka. Sebelumnya, energi hanya dialirkan. Kini, energi itu dimampatkan menjadi sebuah Inti yang kokoh, menjadi fondasi kekuatan sejati. Tubuh Lin Yue berpendar samar. Energi spiritual melingkupi sekujur tubuhnya, membentuk pusaran tipis di sekitarnya. Ia menggertakkan gigi—menahan rasa sakit dan perubahan dalam tubuhnya. “Hah… Tubuhku terasa berbeda… seperti lebih ringan dan kuat,” desah Lin Yue, membuka matanya yang kini berkilau tajam. “Benar. Kau memang berbakat,” kata Fenghuang, namun ekspresinya tetap serius. “Tapi jangan besar kepala. Di luar sana, banyak yang mati karena kesombongan. Sembunyikan kekuatanmu, jangan tunjukkan sebelum waktunya.” Sementara itu, Qingyan tengah berlatih seorang diri di bagian hutan yang lebih jauh. Di tengah sunyi malam, ia mengayunkan pedangnya perlahan, mengasah teknik dan kekuatan rohnya. Ia tahu, dirinya harus cukup kuat untuk melindungi sang nona. Kini ia telah mencapai tingkatan Penguasa Jiwa Menengah. Bagi pelayan sepertinya, itu sudah sangat luar biasa. Namun dalam hatinya, kekuatan itu masih belum cukup. Ia harus terus tumbuh. Saat ia pulang, Qingyan mendapati Lin Yue tertidur lelap, wajahnya tenang namun tubuhnya sedikit gemetar. Pagi harinya. Lin Yue terbangun oleh aroma lezat yang menggoda. Di luar, Qingyan tengah memanggang ikan hasil buruannya. “Qingyan! Kau berburu ikan tanpa mengajakku? Aku juga ingin menangkap ikan,” protes Lin Yue dengan wajah cemberut. “Kau terlalu lelah semalam. Aku tidak tega membangunkanmu,” jawab Qingyan lembut sambil menyodorkan ikan bakar yang garing di bagian luar dan empuk di dalam. “Hmm… Enak sekali. Kau berbakat jadi koki,” kata Lin Yue sambil tersenyum lebar. Setelah makan, mereka berlatih pedang di halaman kecil di samping rumah. Menggunakan pedang kayu, mereka saling bertukar serangan ringan. Tubuh Lin Yue kini lebih kuat dan tidak pucat lagi—dia mulai bisa menahan tekanan fisik saat berlatih. Qingyan memperhatikan nona-nya dengan bangga. “Teruslah bertambah kuat, nona. Agar tidak ada lagi yang berani menyakitimu…” Tak terasa, hari-hari berlalu. Waktu mereka ke istana semakin dekat. Lin Yue harus menguasai kekuatannya sebelum kembali menghadapi musuh-musuh dari masa lalu. Sore hari. Latihan mereka meningkat intensitasnya. Keringat membasahi tubuh Lin Yue. Nafasnya memburu. Namun ia tidak mau berhenti. “Aargh…!” tubuh Lin Yue terpental, menghantam pohon tumbang. “Nona!” seru Qingyan panik, segera melesat ke arah Lin Yue yang meringis menahan rasa sakit. “Aku… aku tidak apa-apa. Ayo kita lanjutkan,” ucap Lin Yue dengan napas tersengal, meski pakaiannya robek dan luka di tangan serta kakinya menganga. “Sudahlah, kita lanjutkan besok. Nona sudah melampaui batas. Aku khawatir,” kata Qingyan sambil memegangi bahunya. “Ini hanya luka kecil,” jawab Lin Yue keras kepala, mencoba berdiri. Namun langkahnya goyah. Beberapa langkah kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah. “Nona!” Qingyan membopongnya dengan panik. “Kau terlalu memaksakan tubuhmu sendiri… Aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi!” Di bawah langit malam yang mulai gelap, Qingyan membawa Lin Yue kembali ke rumah—dalam pelukannya, sang nona yang keras kepala itu pingsan, namun dalam hati keduanya tahu… Waktu pembalasan sudah dekat. Dan mereka tidak akan memberi ampun.Sedangkan di sisi lain, Lin Yue sedang mencari nama yang pas untuk mereka. Para budak itu tidak memiliki nama setelah dibeli oleh majikannya, jadi Lin Yue harus berpikir keras bagaimana cara memanggil mereka dengan mudah. Setelah berpikir keras, akhirnya dia memiliki satu ide, yaitu membagi mereka menjadi beberapa kelompok. Di halaman latihan yang luas, tanah berdebu bergetar oleh suara ratusan kaki yang berbaris serentak. Dua ratus lima puluh budak yang selama ini hanyalah bayangan di istana, kini berdiri tegak di hadapan Lin Yue. Mata mereka menatap ke depan, campuran antara gugup dan haus akan arah baru. Lin Yue melangkah maju. Angin sore menyingkap jubah hitamnya, memberikan wibawa yang tak bisa dipungkiri. Suaranya tegas, menembus udara yang hening. “Mulai hari ini, kalian bukan lagi budak. Kalian adalah pasukan elit Lin Yue. Kalian akan ditempa hingga baja, sampai nama kalian cukup untuk mengguncang istana dan dunia luar.” Bisikan kecil terdengar, tapi seketika terhenti ket
Ruang emas megah bermandikan cahaya mentari yang menembus jendela-jendela tinggi. Pilar-pilar berlapis emas berkilauan, memantulkan cahaya ke seluruh ruangan, sementara permadani merah membentang di lantai, seolah menegaskan kekuasaan yang tak tergoyahkan. Di tengah ruangan, Lin Yuexi berdiri tegak di hadapan singgasana Kaisar. Punggungnya lurus, matanya menatap tajam Kaisar Lin, yang duduk dengan tenang di belakang meja marmernya. Keheningan memenuhi ruangan, hanya dipecah oleh detak jam pasir dan napas teratur Lin Yuexi. Kaisar menatapnya dengan senyum tipis yang misterius, seolah sudah mengetahui maksud kedatangannya. "Lin Yuexi," suara Kaisar memecah keheningan, lembut namun setajam pedang, "kudengar kabar tentang Pangeran Mo. Aku ingin kau memohon agar pernikahan ini dibatalkan." Lin Yuexi menarik napas dalam, namun tetap tenang. Matanya tetap dingin, penuh kendali. Ia melangkah maju, tatapannya menembus setiap pikiran Kaisar. "Memohon, Yang Mulia?" suara Lin Yuexi tenang
Tubuh Qingyan merosot, napasnya tersengal, seolah lilin kecil yang kehabisan sumbu. Lin Yue dengan sigap meraih botol penawar, meneteskan cairan bening ke bibir pelayannya yang pucat. Namun, racun itu begitu ganas, menjalar terlalu cepat untuk dihentikan hanya dengan penawar biasa."Tidak cukup," desis Lin Yue, wajahnya memutih, namun matanya berapi-api penuh tekad. "Aku harus memaksa racun itu keluar."Ia memejamkan mata sejenak, mengumpulkan energi jiwanya. Dengan telapak tangan yang gemetar, ia menekan dada Qingyan, lalu jarum perak berkilauan menusuk titik-titik vital dengan presisi seorang ahli. Uap kehijauan merembes keluar dari pori-pori Qingyan, tipis namun mematikan. Aroma menusuknya membakar tenggorokan Lin Yue, membuat matanya berair, namun ia tak bergeming."Bertahanlah, Qingyan," bisiknya, suaranya tercekat. "Jangan berani meninggalkanku!"Tangan mungil itu bergetar hebat, namun ia terus menyalurkan energi. Tiba-tiba, tubuh Qingyan tersentak, wajahnya memerah sebelum kemb
Di tengah hiruk pikuk pasar, aroma tanah basah bercampur dengan wangi rempah kering. Dua pedagang sayur berbisik-bisik, suara mereka nyaris tenggelam oleh tawa dan teriakan orang-orang yang menawar harga. Tangan mereka sibuk menimbang timun, namun tatapan mata tidak pernah benar-benar tertuju pada jarum timbangan. "Eh, dengar tidak?" bisik Pedagang A, matanya melirik gelisah ke sekeliling, memastikan tak ada telinga asing yang menangkap kata-katanya. "Putri Lin Yuexi… katanya akan dinikahkan dengan pangeran Mo yang katanya gila dari negeri seberang." Tangan Pedagang B yang memegang timbangan refleks terhentak. Beberapa timun menggelinding jatuh ke tanah. "Apa? Benarkah? Putri sah itu? Bukankah dia sudah lama diasingkan?" "Justru karena itu!" sahut Pedagang A cepat, suaranya merendah hingga nyaris tak terdengar. "Kaisar ingin lepas tangan. Siapa lagi yang mau dengan pangeran gila itu kalau bukan dia?" Beberapa orang yang lewat menoleh. Langkah mereka melambat, telinga menajam. Tak
Balairung Naga Emas dipenuhi cahaya obor, namun hawa dingin menusuk membuat setiap bisikan terdengar seperti ejekan tajam. Semua tatapan tertuju pada Lin Yuexi—merendahkan, menilai, bahkan menunggu kejatuhannya. “Cukup!” Suara Kaisar Lin meledak, bergema di pilar-pilar emas. Seketika, selir dan pejabat yang tadinya berbisik menundukkan kepala. Sorot mata Kaisar tajam, tapi tak sepenuhnya berpihak. “Ingat, dia adalah darah sah dari Permaisuri Lin Yulan. Siapa pun yang berani menistakannya… berarti menistakan keluarga kerajaan.” Bisik-bisik terputus, tawa kecut hilang. Bukan pembelaan penuh, tapi cukup untuk menahan mereka dari tertawa terang-terangan. Lalu, tanpa memberi waktu, Kaisar menambahkan“Bulan depan, istana akan mengadakan pernikahan kerajaan. Putri Lin Yuexi akan dipersatukan dengan Pangeran Mo.” Sejenak hening. Kemudian balairung meledak dalam riuh rendah tawa. “Hahaha! Dengan pangeran gila itu?” “Kasihan sekali, dijodohkan dengan orang yang berbicara dengan
Pagi itu, kondisi Lin Yue jauh membaik. Ramuan dari Qingyan dan perawatan Yueya berhasil meredakan luka dalamnya. Meski masih terasa perih di dada, wajahnya tidak lagi pucat. Dengan tatapan mantap, ia bangkit dari ranjang. Belum sempat ia menghela napas lega, suara kasim terdengar dari luar paviliun. "Putri Lin Yue, Yang Mulia Kaisar memanggil Anda ke aula utama." Qingyan menoleh cemas, "Nona, tubuhmu belum sepenuhnya pulih. Bagaimana jika kita menunda—" Lin Yue tersenyum tipis, sorot matanya tajam, "Aku sudah cukup kuat, dan inilah saatnya menghadapi mereka." Ia melangkah keluar. Pakaian putihnya berkilau diterpa cahaya pagi. Yueya, dalam wujud kucing putih keperakan, berjalan anggun di sampingnya, ekornya bergoyang perlahan. Aula utama dipenuhi orang. Para menteri duduk dengan wajah serius, para selir berkumpul dengan tatapan licik, sementara para pangeran dan putri kerajaan duduk angkuh di kursi mereka. Begitu Lin Yue masuk, suasana ruangan terasa berat. Tatapan iri, takut, d