Share

Bab 2

Penulis: Arabita
Lima hari yang lalu, aku didiagnosis menderita kanker otak. Waktuku yang tersisa hanya seminggu lagi. Aku telah memberi tahu Owen tentang hal itu, tetapi dia tidak percaya. Dia mengatakan bahwa aku hanya meniru orang dan ingin menyindir Arina. Berhubung dia tidak percaya, aku juga tidak menjelaskannya lagi.

Rasa sakit di kepalaku membuatku tidak bertenaga. Di tengah kelinglunganku, aku mendengar ketukan di pintu. Begitu membuka pintu, aku baru tahu bahwa Owen mengirim Bi Nina untuk memberiku hadiah. Hadiah itu adalah buket mawar kering yang dilapisi emas murni dan melambangkan keabadian.

Owen bahkan meminta Bi Nina untuk menyampaikan pesannya. Dia mengatakan bahwa bunga itu adalah kompensasi atas aku yang bersedia pindah keluar dari kamar kami dan dia yang merebut putriku.

Bi Nina adalah satu-satunya orang di vila ini yang benar-benar peduli padaku.

Dia tersenyum, lalu menahan rasa jijiknya terhadap Arina dan menasihatiku, "Tuan cuma dibutakan sesaat oleh seorang wanita penggoda. Berhubung dia memberimu hadiah semahal ini sebagai kompensasi, itu berarti dia masih peduli padamu. Mungkin saja semuanya akan kembali seperti semula beberapa hari lagi. Nyonya, bersabarlah."

Dengan ekspresi datar, aku meletakkan mawar itu di sudut ruangan secara asal. Sudah ada empat buket mawar yang identik di sudut kamar.

Kemudian, aku hanya mengangguk dengan acuh tak acuh. Sejak Owen mengarang cerita untuk berbohong padaku, dia pun menyuruh Bi Nina untuk diam-diam memberiku buket mawar ini setiap hari.

Bi Nina mungkin tidak menyadarinya, tetapi aku yang telah berbagi ranjang dengannya selama tiga tahun mana mungkin tidak sadar? Owen hanya mencoba untuk menebus rasa bersalahnya dan menipu dirinya sendiri. Bahkan saat mengirim bunga pun, dia melakukannya secara diam-diam. Dia sama sekali tidak menyadari dirinya bersalah.

Aku melirik bunga-bunga di sudut ruangan itu. Hanya tersisa dua buket terakhir. Setelah genap tujuh buket, aku mungkin sudah mati. Mana mungkin masih ada keabadian bagiku?

Kanker otak benar-benar sangat menyiksa. Setelah mengalami sakit kepala hebat semalaman, aku baru tertidur saat fajar. Namun, dering ponselku membuatku terbangun.

Aku menekan pelipisku kuat-kuat, lalu menjawab panggilan dari dokter yang merawatku.

Terdengar suara Dokter Ariel yang berkata dengan gembira, "Bu Kayla, ada obat yang baru saja dirilis di luar negeri. Obat itu bisa hambat penyebaran sel kanker otak. Stoknya terbatas dan aku pakai koneksiku untuk dapatkan satu botol. Obat ini mungkin ini bisa perpanjang hidupmu untuk sesaat. Kalau kamu butuh, datanglah ke rumah sakit untuk mengambilnya."

Setelah mendengarnya, aku menangis bahagia. Meskipun hanya demi putriku, aku juga mau hidup beberapa hari lebih lama. Jadi, aku langsung setuju dan pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan obat baru tersebut.

Dokter Ariel secara khusus mengingatkanku bahwa obat baru ini sangat berharga dan perlu disimpan dengan baik. Dia mengatakan bahwa obat itu bisa membantuku melewati dua hari terakhir dan bahkan memperpanjang hidupku hingga kelompok obat berikutnya diproduksi.

Dengan berlinang air mata, aku membayar obat itu dan menggenggamnya erat-erat. Saat meninggalkan tempat pengambilan obat di rumah sakit, aku bertemu Owen dan Arina yang juga datang untuk mengambil obat.

Melihat obat di tanganku, Owen langsung menghampiriku dengan gugup, lalu meraih tanganku dan bertanya, "Kamu sakit? Kenapa kamu datang ke rumah sakit untuk ambil obat?"

Owen memutarku dan mengamatiku secara saksama untuk mencoba mencari tahu aku kenapa.

Dalam beberapa hari terakhir, dia memang bersikap layaknya orang berkepribadian ganda. Dia tidak berhenti memberi perhatian kepadaku dan Arina secara bergantian, sampai-sampai aku mengira dia masih peduli padaku.

Aku pun merasa konyol dan dengan santainya melontarkan faktanya, "Emm, kanker. Hidupku nggak lama lagi."

Setelah mendengarnya, Owen pun tertegun.

Arina yang terlebih dahulu bereaksi. Dia langsung menangis tersedu-sedu dan berujar, "Kak Kayla, kamu jelas-jelas tahu aku menderita kanker dan hidupku setiap hari sangatlah menderita, tapi kamu masih saja bercanda denganku pakai hal ini."

"Benar juga. Kalau aku mati lebih cepat, aku nggak perlu bebani Kak Owen untuk merawatku lagi. Aku memang orang berumur pendek yang pantas mati! Biarkan saja aku mati!"

Seusai berbicara, Arina hendak memanjat jendela dan melompat keluar, tetapi segera dihentikan oleh Owen.

Owen yang merasa marah dan sakit hati pun berbalik dan memarahiku, "Kayla, kenapa kamu selalu pakai perihal kanker untuk provokasi Rina? Kamu begitu sehat, apa kamu tahu betapa menyiksanya penyakit itu? Kenapa orang egois yang berpura-pura sekarat sepertimu nggak segera dijemput raja neraka saja!Dia benar-benar buta!"

Setelah memakiku, Owen merebut obat dari tanganku dan lanjut berseru marah, "Aku mau tahu penyakit fatal apa yang kamu derita!"

"Jangan sentuh obatku!"

Mengetahui betapa berharganya obat baru ini, aku pun panik dan bergegas mengambilnya. Namun, Owen malah mendorongku dan memperhatikan botol putih yang tidak memiliki keterangan itu.

Obat itu masih dalam tahap percobaan sehingga botolnya tidak diberi label.

Arina berpura-pura lemah dan mengejekku, "Kak, kalau kamu mau sandiwara kena kanker, setidaknya kamu harus tulis sesuatu di botol prop itu. Kalau kamu begitu ceroboh, mana mungkin Kak Owen percaya padamu?"

"Kak Owen, entah apa isinya. Kamu nggak boleh biarkan Kak Kayla meminumnya. Gimana kalau nyawanya melayang setelah meminumnya?"

Aku melirik Arina dingin dan berujar sambil menggertakkan gigi, "Mau aku hidup atau mati setelah meminumnya, apa ... urusanmu ...."

Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, Owen sudah mengangkat tangannya dan melempar botol itu ke luar jendela.

Jendela itu menghadap ke danau buatan!

"Owen! Itu obat penyelamatku!" seruku dengan histeris. Mataku terlihat merah padam.

Owen langsung bergidik begitu melihat mataku yang penuh amarah. Setelah menikah, aku selalu bersikap lembut dan perhatian. Meskipun dia meninggalkanku sendiri untuk melahirkan karena harus pergi dinas, aku juga tidak pernah marah padanya setelah itu.

Ini adalah pertama kalinya aku marah padanya dan kupikir dia akan merasa bersalah.

Namun, ketika tersadar kembali, Owen hanya berkata dengan acuh tak acuh, "Kenapa? Karena sudah berpura-pura begitu lama, kamu sendiri juga benar-benar percaya kamu kena kanker dan akan segera mati? Jangan bersandiwara lagi. Kamu nggak akan bisa membodohiku, Kayla. Kamu cuma akan membuatku merasa jijik!"

Hatiku langsung tenggelam.

Pada saat ini, Arina menghampiriku dan berbisik di telingaku dengan sinis, "Kayla, obatnya sudah lenyap. Kamu cuma perlu tunggu ajal menjemputmu!"

Aku benar-benar terkejut. Arina tahu aku menderita kanker?

Aku menatapnya dengan kaget. Arina tahu betapa pentingnya obat itu bagiku, makanya dia sengaja ingin menghancurkannya. Namun, Owen malah menuruti perintahnya. Apakah itu berarti Owen juga tahu?

Aku tiba-tiba merasa duniaku berputar dan jatuh terduduk ke lantai dengan lemas. Aku merasa linglung untuk waktu yang sangat panjang. Dalam kelinglunganku, kedua orang itu telah berjalan pergi, tetapi suara mereka masih terngiang jelas di telingaku.

"Kak Owen, gimana kalau Kak Kayla benar-benar sakit?"

"Kalau sakit, ya diobati. Kalau nggak bisa disembuhkan, ya mati saja ...."

Kalau sakit, ya diobati. Kalau nggak bisa disembuhkan, ya mati saja .... Ini benar-benar adalah kalimat yang diucapkan orang-orang dari zaman dahulu.

Harapanku untuk hidup sudah pupus di tangan orang yang paling kucintai. Aku merasa bagaikan sudah jatuh ke dalam gua es dan mungkin tidak akan bisa keluar lagi.

Aku awalnya mengira Tuhan telah memberiku satu kesempatan lagi supaya aku bisa hidup demi putriku. Sekarang, harapan itu sudah sirna. Aku bahkan tidak sanggup untuk melindungi sebotol obat.

Mungkin, raja neraka benar-benar menginginkan nyawaku. Dia ingin memberitahuku untuk menyerah dan sudah saatnya aku pergi.

Aku meninggalkan rumah sakit dan pergi ke firma hukum.

Aku menyelesaikan penggabungan aset tidak lancar yang kumiliki, lalu menyerahkannya kepada seorang manajer. Aku juga mengalihkan semua aset lancarku ke rekening pribadi yang kusiapkan untuk putriku. Dengan penuh kesibukan dan semangat, aku menyusun surat wasiatku.

Namun, sebelum aku meninggalkan firma hukum, Owen meneleponku. Nada suaranya terdengar serius, tetapi ada sedikit kepanikan dalam suaranya.

"Apa yang kamu lakukan di firma hukum?"
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kebohongan Suamiku Menjadi Kenyataan   Bab 9

    Owen mengkremasi mayatku, lalu membawa pulang guci berisi abuku. Tak disangka, sebelum Owen mencari Arina, Arina sudah terlebih dahulu muncul di hadapannya. Dia menatap Arina dengan tatapan yang sangat mengerikan.Arina mengenakan pakaian bergaya Chanel dan merias wajahnya sehingga dia terlihat makin cantik. Begitu melihat tatapan dingin Owen, dia langsung bergidik. Namun, dia tiba-tiba teringat sesuatu dan berlari menghampiri Owen dengan gembira.Arina meraih tangan Owen, lalu menyanjungnya, "Kak Owen, aku nggak akan nikah lagi. Aku sudah putuskan untuk nggak memisahkanmu dan Kak Kayla lagi. Mulai sekarang, aku akan melajang seumur hidup. Aku akan tunggu kamu sampai kamu berubah pikiran dan putuskan untuk menikah denganku. Ke depannya, aku akan lakukan apa pun yang kamu minta.""Apa pun yang aku minta?" Owen mengamati Arina dengan tatapan seolah-olah ingin melahapnya hidup-hidup.Namun, Arina tidak menyadarinya dan masih tersenyum berseri-seri. "Tentu saja! Aku paling patuh sama ucap

  • Kebohongan Suamiku Menjadi Kenyataan   Bab 8

    Namun, di hari pertama aku menerima diagnosisku, aku sudah langsung memberi tahu Owen. Dia yang langsung membawa Arina pulang, juga mengatakan ingin menikah dan memberi tebusan kepada Arina.Ketika aku tahu dia berselingkuh, aku pun kehilangan akal dan tidak berhenti mengatakan bahwa akulah yang akan segera mati, bukan Arina. Namun, dia malah membuatku bungkam dengan alasan dia memiliki kemampuan untuk melihat rentang hidup orang lain.Dia menuduhku berbohong dan hanya sedang meniru orang lain, juga ingin menindas Arina yang akan segera meninggal. Jelas-jelas, dia sendiri yang tidak percaya.Ketika tiba di rumah sakit dan tidak dapat menemukan aku, Owen hanya bisa berkeliling mencari dokter untuk menanyakan keberadaanku. Dia kebetulan bertemu dengan dokterku. Mendengar bahwa dokter itu mengenalku, Owen merasa sangat gembira. "Istriku ada di ruangan mana? Aku datang untuk menjenguknya."Namun, Ariel hanya menatapnya dengan bingung."Kenapa kamu baru datang sekarang?" tanya dokter itu d

  • Kebohongan Suamiku Menjadi Kenyataan   Bab 7

    Owen tiba-tiba murka dan berseru, "Begini cara kalian melayaninya? Apa kalian lupa dia itu barulah nyonya rumah asli tempat ini!"Para pembantu menunduk dan tidak berani menyahut. Hanya Bi Nina yang paling tua berbicara dengan tergagap, "Tuan, kamu yang mau Nyonya introspeksi diri. Makanya, kamu ambil semua barang-barangnya dan menyuruhnya hidup dengan standar yang paling sederhana. Kami juga cuma ikuti perintahmu."Ekspresi Owen langsung membeku dan seluruh tubuhnya gemetar. Dia menunjuk ke noda darah di dinding dan bertanya, "Kenapa ada bercak darah di dinding?"Bi Nina menghela napas dan menjawab, "Tuan, aku pernah beri tahu kamu bahwa Nyonya membenturkan kepalanya ke dinding, tapi kamu suruh kami untuk mengabaikannya."Tangan Owen yang mencengkeram kusen pintu mulai gemetar. Dia tidak berhenti menggeleng dan matanya dipenuhi kepanikan.Aku berdiri di luar kerumunan dan memperhatikan Owen yang berlagak khawatir dengan acuh tak acuh.Suasananya tiba-tiba menjadi hening. Untuk sesaat,

  • Kebohongan Suamiku Menjadi Kenyataan   Bab 6

    Ketika aku tidak sengaja mengetahui alasan Owen membohongiku, aku benar-benar mengira hatinya sudah berubah karena Arina.Waktu itu, aku merasa menyesal karena pria yang dulunya begitu lembut, perhatian, dan mencintaiku itu ternyata hanya sedang bersandiwara. Dia berpura-pura menunjukkan semua kasih sayangnya kepadaku, tetapi kenyataannya dia adalah orang yang hina dan busuk sampai ke akar-akarnya.Namun, apa yang kudengar sekarang? Ternyata, dia juga memiliki nilai moral yang normal? Ternyata, dia juga memiliki rasa malu? Ternyata, dia dengan beraninya berselingkuh di depanku karena tahu aku tidak akan meninggalkannya?Namun, dia yang jelas-jelas mengetahui perbuatannya salah, tetapi masih melakukannya justru membuatku merasa lebih jijik daripada hanya sekadar jahat. Owen mengira dia sudah menjelaskan maksudnya dengan sangat jelas, tetapi Arina tetap bersikap keras kepala."Tapi, apa kamu benar-benar mau melihatku menikahi orang lain tanpa melakukan apa-apa? Kita jelas-jelas saling m

  • Kebohongan Suamiku Menjadi Kenyataan   Bab 5

    Namun, itu hanyalah mimpi yang timbul dari obsesiku sebelum aku meninggal. Owen sama sekali tidak tahu aku telah meninggal.Setelah mati, rohku melayang keluar dari tubuhku. Aku melayang sangat lama tanpa tahu harus pergi ke mana. Saat aku berjalan tanpa tujuan, pemandangan di sekitarku tiba-tiba berubah.Aku melihat Owen yang sedang duduk di samping ranjang Arina di rumah sakit. Dia memperhatikan Arina yang perlahan-lahan siuman. Air mata menggenang di matanya dan dia tidak berhenti mengungkapkan rasa syukurnya kepada Tuhan. Owen yang terlihat berantakan dan berlinang air mata memeluk Arina. Dia terlihat seolah-olah baru saja diselamatkan dari bencana. "Syukurlah, kamu baik-baik saja. Untung saja aku nggak perlu menanggung rasa sakit karena kehilanganmu lagi, Rina."Melihat mata Owen yang berkaca-kaca, Arina membalas pelukannya dan menjawab, "Kak Owen, aku baik-baik saja. Aku masih ada di sini. Kamu nggak akan pernah kehilangan aku. Kita akan selalu bersama."TV di dalam ruangan mas

  • Kebohongan Suamiku Menjadi Kenyataan   Bab 4

    Setelah itu, Arina mengeluarkan pisau yang selalu dibawanya ke mana-mana dan menusukkannya ke bahunya. Dalam sekejap, darahnya mengucur deras. Kemudian, dia melempar pisau itu ke samping kakiku dan bergegas maju untuk mencoba merebut putriku. Kami pun saling mendorong hingga ke samping jendela.Arina berteriak, "Kak, kembalikan anak itu! Meski kamu mau bunuh diri, kamu juga nggak boleh bawa anak itu pergi bersamamu!""Apa-apaan kamu!" Aku berusaha mati-matian untuk melepaskan diri darinya.Suara pergulatan kami makin nyaring dan putriku menangis ketakutan. Melihat Arina hendak merebut putriku, aku pun mengangkat kakiku untuk menendang Arina.Namun, Owen tiba-tiba muncul dan menendangku hingga aku jatuh ke lantai sebelum merebut putriku dariku."Kayla! Beraninya kamu menyentuh Rina!"Kepalaku membentur sudut dinding dan terasa sangat sakit seperti ditekan oleh sebuah gunung. Sepertinya, ada sesuatu yang pecah. Mungkin itu adalah tumornya. Kata dokter, jika tumor itu pecah, aku akan mati

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status