MasukTak sadar jika dirinya sedang bersandar di dada Ramli, Vina nampak begitu nyaman, seolah dirinya lupa jika sedang bersama seorang pelayan. Perlahan Ramli mengusap lengan wanita itu, memberikannya kenyamanan karena ia tahu jika Vina sama seperti dirinya. Terpaksa melakukan itu demi sebuah hal yang sangat mereka sayangi.
Sadar jika dirinya berada di pelukan pelayan itu, Vina segera mengangkat wajahnya dan sedikit menjauh dari Ramli. "Ma-maaf, aku tadi tidak bermaksud...!" "Tidak apa-apa, Bu. Bagaimana kalau kita minum dulu. Setelah itu kita mulai. Waktu kita cuma sebentar, kata Pak Rangga hanya dua jam tidak lebih!" potong Ramli sambil menuangkan bir ke dalam sebuah gelas. "Maaf, aku tidak minum bir!" sahut Vina menolak. "Dicoba sedikit, Bu. Nggak seburuk yang Bu Vina kira. Saya juga kurang terlalu suka jika berlebihan. Paling cuma dua gelas saja untuk menghangatkan tubuh. Tapi, Bu Vina nggak minum juga tidak apa-apa, toh nanti saya yang akan menghangatkan ibu!" kata Ramli tanpa dosa. Vina memutar bola matanya saat mendengar ucapan pelayan itu. Wanita itu melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah delapan. Rangga memberikan waktu sampai jam sembilan malam. Tentu saja masih ada waktu satu setengah jam untuk adaptasi sebelum melakukan aktivitas utama. Sejenak Vina melihat wajah Ramli yang kali ini aura gagahnya sangat terlihat. Ternyata pelayan yang biasa bekerja di rumahnya itu tidak terlalu buruk rupa. Ia melihat pria itu meneguk segelas bir dengan santainya seolah rasa minuman itu biasa-biasa saja seperti air putih. "Bu Vina mau? Jangan bengong lihatin saya terus, ah saya jadi malu. Kalau mau biar saya ambilkan!" tawar Ramli ketika ia melihat Vina yang sedang menatapnya. Setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya Vina mencoba sedikit minuman beralkohol itu. Siapa tahu bisa membuat pikirannya rileks sebelum dieksekusi oleh sang pelayan. "Boleh, tapi sedikit saja, jangan banyak-banyak!" jawab Vina. Ramli tersenyum senang, lalu pria itu menuangkan bir ke dalam gelas dengan takaran sebanyak seperempat gelas. Setelah itu, Vina menerimanya dan berusaha untuk meminumnya meskipun ia ragu. Sejenak ia mencium aroma alkohol yang cukup kuat. Sedikit ia memalingkan wajahnya karena ia tidak terbiasa dengan minuman seperti itu. "Baunya gini amat, kayak bau kencing kuda!" gerutu Vina. Ramli tertawa kecil mendengar ucapan sang majikan. "Memang seperti itu, Bu. Dicoba saja pelan-pelan, nanti juga akan terbiasa!" kata Ramli. Vina kembali mendekatkan bibir gelas itu pada bibirnya. Aroma alkoholnya memang sangat menyengat. Vina menahan napas ketika ia hendak meminumnya. Sedangkan Ramli, pria itu tampak tersenyum melihat bagaimana majikannya belajar minum bir. Ramli sendiri juga heran, wanita sosialita seperti dia bagaimana bisa tidak suka dengan minuman seperti itu. Perlahan namun pasti, Vina berusaha untuk meminum bir tersebut. Sambil memejamkan matanya dan menahan napas, wanita itu mulai memasukkan minuman beralkohol itu ke dalam mulutnya. Baru saja seteguk, Vina merasa mulutnya sangat getir dan pahit. Wanita itu spontan menyemburkannya tepat di depan Ramli. Sehingga membuat baju pria itu basah oleh semburan bir dari mulut Vina. "Hah, maaf! Aku nggak sengaja, rasanya nggak enak banget, cuih!" Vina sontak melihat baju Ramli yang basah karena ulahnya sambil mengusap mulutnya dengan tisu. "Tidak apa-apa, Bu. Saya bisa maklum!" Ramli melihat bajunya yang basah separuh. Pria itu terpaksa melepas kemejanya yang basah. Melihat Ramli yang sudah bertelanjang dada, wanita itu tercengang kala melihat bentuk badan pria itu nyaris sempurna bak dewa Yunani. "Oh my god! Dia cuma pelayan, tapi badannya bisa sehat bugar seperti itu. Nggak kayak badan Mas Rangga yang perutnya buncit. Ramli badannya kokoh banget, udah pasti tenaganya juga nggak kaleng-kaleng!" gumam Vina yang hampir saja terhipnotis oleh pesona sang pelayan. "Nggak, nggak! Aduhhh, ngapain juga mikirin tuh pelayan. Pelayan ya tetap akan menjadi pelayan, nggak ada yang bisa nandingi Mas Rangga! Astaga, bagaimana bisa aku hamil anak pria ini, terus nanti gimana hasil cetak muka anakku, bisa sial kalau muka dan kulitnya kayak dia!" Vina merutuki dirinya sendiri yang hampir tergoda dengan kegagahan Ramli. Setelah Ramli melepaskan pakaiannya, pria itu sekalian melepaskan celananya, mengingat waktunya cuma sebentar. Sontak, apa yang dilakukan pria itu membuat Vina terperanjat. "Ramli, kenapa celananya dilepas juga?" sahut wanita itu sambil memalingkan wajahnya. Bagaimana tidak, kini Ramli hanya mengenakan celana dalam model sederhana. Bak binaraga yang sedang berdiri menampilkan otot-ototnya yang kekar. Vina menelan ludahnya susah-susah saat tubuh atletis itu berdiri nyata di hadapannya. Perut kotak-kotak bak roti sobek serta otot-otot di tubuhnya yang sangat seksi. Menunjukkan pesona Ramli yang gagah dan sangat menggairahkan. Dengan santainya, Ramli menjawab pertanyaan Vina. "Waktu kita tidak banyak, Bu. Kita belum pemanasan, masa ujug-ujug langsung dimasukin, nanti Bu Vina menjerit kesakitan, saya tidak mau itu terjadi. Sebisa mungkin saya akan membuat Bu Vina merasa nyaman dan juga keenakan!" Jawaban Ramli yang serius dan konyol lagi-lagi membuat Vina membulatkan matanya. "Heh, keenakan ya...!" Vina mulai gugup setelah Ramli berbicara demikian. Ramli kembali tersenyum, lalu pria itu berjalan mendekati istri majikannya. "Bukan cuma keenakan, Bu Vina bisa minta request kenikmatan yang seperti apa, mau berteriak nikmat, kejang-kejang enak, atau berkali-kali klimaks? Semuanya saya bisa!" Tawaran Ramli sangat-sangat menggiurkan dan makin membuat jantung Vina berdetak semakin kencang. BERSAMBUNG"Loh, ada apa, Pak?" tanya sang sopir saat melihat Ramli yang sudah berada di luar mobil sambil memeriksa ban mobil yang tiba-tiba kempis. Untung saja mereka sudah selesai sebelum sopir datang, tapi herannya kenapa ban mobil tiba-tiba kempis.Ramli langsung berdiri, menoleh pada sang sopir lalu menjawabnya, "Eh, untung pak sopir sudah datang. Nggak tahu nih, Pak, kenapa ban mobilnya bisa kempis, ya?" kata Ramli sambil melihat ke arah dalam di mana Vina sedang merapikan baju dan rambutnya setelah pergumulan yang cukup menantang itu.Wanita itu melirik ke arah sang pelayan dengan ekspresi datar, lalu dengan cepat ia memalingkan wajahnya. Entah malu atau apa, yang jelas ia sedang tidak ingin melihat wajah Ramli saat sedang memperhatikannya.Ramli sendiri juga nampak salah tingkah, majikannya yang biasa ia layani sambil menundukkan kepalanya, kini wanita itu menyerahkan seluruh jiwa raganya tanpa marah-marah atau memotong gajinya, justru wanita itu memberikan imbalan yang sangat besar dan
Tanpa ragu dan penuh semangat, Ramli menanggapi ucapan Vina. "Dengan senang hati, Bu!" jawab pria itu, lalu dengan cepat, segala jurus dan kemampuan yang dimilikinya ia keluarkan saat itu juga. Kedua tangannya meremas pantat Vina sambil menggerakkan naik turun. Ia memompa tubuh Vina dari bawah. Rasanya tetap sama, enak dan sangat candu.Vina sendiri merasakan tubuhnya bergetar hebat, wanita itu menjadi sangat terbuai dengan setiap manuver yang dilakukan oleh sang pelayan. Sesekali mulut Ramli mengulum ujung bulatan payudara Vina yang berwarna pink cerah. Menambah hasrat Vina yang makin membara."Hah Ramli, ini sangat gila, aku belum pernah merasakan nikmat seperti ini!" Vina terus meracau tak karuan. Hal gila ini sudah membuatnya semakin suka. Keperkasaan sang pelayan sudah membuat wanita itu sangatlah menggila.Hal yang sama juga dirasakan oleh Ramli. Pria yang biasanya patuh oleh perintah majikannya itu, kini ia menjadi joki atas percintaan terlarang mereka. Ia sudah menguasai penuh
Ramli menurut sesuai perintah Vina, meskipun dirinya harus menahan sebisa mungkin hasratnya untuk menjamah sang majikan lebih dalam. Ia tak mau mengingkari kata-katanya sendiri yang sudah ia ucapkan sungguh-sungguh.Tapi entah kenapa, justru yang terjadi semakin dalam. Kedua kaki Vina reflek merenggang dan terbuka sedikit demi sedikit. Ramli yang awalnya duduk menghadap ke arah depan, kini pria itu duduk menghadap ke arah samping di mana Vina sedang meletakkan kakinya lurus ke arah dirinya.Namun, Ramli sendiri harus hati-hati, di dalam taksi itu bukan cuma mereka berdua saja, tapi ada sang sopir yang duduk di kursi depan. Tapi sepertinya sopir itu sibuk menyetir karena di luar cuaca sedang tidak mendukung.Meskipun cuaca sedang ekstrim, tapi tidak bagi Vina dan Ramli. Justru mereka mulai digoda untuk menikmati kembali momen-momen indah waktu di hotel beberapa jam yang lalu.Kedua mata Ramli mulai nakal, pria yang setiap hari bergelut dengan pekerjaan rumah, dari potong rumput sampai
Vina pulang dengan membawa amarah, emosi dan kekecewaan. Ia pulang bersama Ramli dengan menaiki sebuah taksi. Biarkan saja Rangga bersama perempuan itu di hotel. Perasan Vina sudah hancur dan kecewa. Sepertinya mereka sudah kenal dekat. Terlalu bodoh kah dirinya yang begitu mencintai Rangga, sampai-sampai ia melakukan hal tergila dengan bercinta dengan pembantunya sendiri di rumah.Ramli yang duduk di samping Vina, pria itu melihat wajah istri majikannya memang sedang bersedih. Bukan kali pertama ia melihat wajah Vina marah plus bersedih, tapi sering. Vina dan Rangga sering sekali bertengkar dan membuat Vina menangis. Tapi kali ini, aura kesedihan wanita itu tampak berbeda dari biasanya. Seolah ada gurat kekecewaan yang teramat besar di sana."Bu Vina, apa Bu Vina ingin minum? Tadi saya sempat beli air mineral dari hotel, maklum saya tidak bisa jauh-jauh dari air putih. Silahkan jika Bu Vina minum!" Ramli menawarkan segelas air mineral yang ia bawa. Vina cuma meliriknya tanpa mengambi
Ramli tersenyum mendengar permintaan sang majikan. Rupanya Vina mengingkari kata-katanya sendiri. Entah apa yang membuat Vina memutuskan untuk melakukannya lagi dengan sang pelayan."Bu Vina ingin lagi?" jawab Ramli yang masih berdiri memunggungi Vina. Sambil menyandarkan kepalanya pada bahu Ramli, wanita itu menjawabnya dengan jelas."Hmmmm, kenapa? Apa kamu sudah tidak sanggup lagi? Mumpung kita belum selesai mandi, tak apa jika kita nambah satu lagi, bisa, kan? Cuma sepuluh menit saja!" jawab Vina dengan tangannya bergerak menuruni perut Ramli, menyentuh milik Ramli yang sudah mengacung sejak Vina memeluk dirinya.Tangan Vina meremas dan bergerak naik-turun pada batang kejantanan Ramli. Membuat si empunya meringis menikmati nikmatnya tangan sang majikan yang sedang membangkitkan gairahnya."Tapi kita sudah terlambat, Bu. Pak Rangga pasti sudah menunggu Bu Vina!" jawab Ramli lagi."Tidak masalah, biar aku yang urus. Tetaplah patuh dan ingat! Aku sudah membayarmu mahal untuk membuatk
Ucapan Ramli tentu saja langsung membuat Vina menutup kedua pahanya, dengan ekspresi malu bercampur kesal, Vina meminta Ramli untuk diam. "Mending kamu diem. Ini juga gara-gara kamu bisa kek gini, kegedean sih. Masih untung nggak nyampe tenggorakan!" sungut Vina sambil memeragakan lehernya yang seolah seperti sedang tercekik. Mendengar itu, tampak Ramli garuk-garuk tengkuknya sembari melihat miliknya yang sudah lemas bin teler. Meskipun dalam kondisi tidur, milik Ramli terlihat masih besar dan cukup membuat Vina menghela napas panjang. "Ya saya juga nggak tahu gimana bisa segede ini, kata Emak waktu hamil saya, dulu suka makan pisang tanduk dan lihat sapi kawin, sejak lahir burung saya jadi ukurannya paling gede dari bayi-bayi yang lainnya. Mungkin bayi lain, ukurannya normal segede jari kelingking, kalau punya saya beda, udah segede jempolan bapak saya!" Kata-kata Ramli seketika membuat Vina melongo. Sejenak ia membayangkan bayi yang baru lahir ukuran burungnya sebesar jempol ora







