Sore datang dengan langit kelabu. Melon duduk di teras rumahnya dengan rambut dikuncir asal dan setelan santai, memeluk bantal kecil di pangkuan. Di atas meja, dua gelas teh hangat mulai mendingin, dan sepiring pastel yang ia goreng sendiri masih utuh tak tersentuh. Sesekali matanya melirik ke arah gerbang, berharap motor Kiwi muncul seperti biasanya. Namun yang datang justru suara notifikasi dari ponselnya. Melon buru-buru meraih ponsel dan membuka pesan. > Kiwi: Maaf, Melon. Aku nggak bisa datang sore ini. Ada sesuatu yang harus aku urus mendadak. Maaf banget ya. Jantung Melon seolah terjatuh ke lantai. Tangannya yang tadi memegang ponsel mulai gemetar halus. Ia membaca pesan itu berkali-kali, berharap ada kalimat lain yang menyusul… tapi tidak ada. Hanya satu pesan dingin, tanpa penjelasan, tanpa janji baru. Ia mengetik balasan, lalu menghapus. Mengetik lagi, lalu menghapus lagi. Akhirnya ia hanya meletakkan ponsel ke atas meja, lalu mengambil pastel dan menggigitnya pelan—m
Sementara Melon sibuk menenangkan diri di dapur dengan membuat teh hangat, di sisi lain kota, suasana rumah Kiwi jauh dari hangat. Hening. Sepatu kerjanya masih tercecer di dekat pintu, jaket tergantung asal di sandaran kursi, dan motor yang baru saja ia kendarai terparkir miring di garasi. Kiwi duduk di sofa ruang tamu dengan baju yang belum sempat diganti. Ia menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara, memainkan ulang acara masak sore hari. Namun pikirannya tak berada di sana. Masih tertinggal di depan rumah Melon—pada tatapan hening yang tak membalas, pada ucapan yang tak sempat terlontar. Tiba-tiba, suara bel rumah terdengar nyaring, memecah keheningan. Ding-dong! Kiwi mengerjap, berdiri dengan malas, lalu berjalan ke arah pintu. Begitu pintu terbuka, ia langsung terperangah. "Ibu? Ayah?" Sang ibu, Bu Nayla, masuk lebih dulu tanpa basa-basi. “Ya ampun, rumahmu kok kayak kapal pecah, Nak!” Di belakangnya, Pak Wiryo masuk dengan langkah pelan, membawa kantong pl
Sore itu, langit berwarna jingga pucat saat Melon dan Kiwi duduk di bangku taman, masing-masing memegang es krim rasa favorit. Jeruk bermain di ayunan tak jauh dari mereka, tertawa-tawa bersama anak-anak lain. Awalnya, suasana begitu nyaman. Kiwi bercerita tentang pekerjaannya, Melon menimpali dengan candaan, lalu tertawa bersama. Namun, ketika Kiwi mulai berbicara serius, nada suaranya berubah. “Aku sempat dengar dari Jeruk... kamu ketemu mantan di mal, ya?” Melon yang sedang menjilat es krim vanila tiba-tiba diam. Ia menoleh perlahan. “Iya. Kenapa?” Kiwi mencoba tersenyum, tapi senyumnya canggung. “Cuma nanya, kok. Tapi kenapa kamu nggak cerita?” Melon mengangkat alis. “Itu cuma ketemu biasa. Dia cuma nyapa, terus aku tinggalin. Bukan hal penting.” Kiwi menoleh ke arah Jeruk, lalu kembali menatap Melon. “Tapi buat aku, itu cukup penting buat diceritain. Biar aku nggak denger dari orang lain.” Melon menghela napas. “Kiwi, kamu bukan pacarku. Kita nggak punya kewajiban lapor-lap
Siang itu, Mall Citrus Square cukup ramai. Musik pop kekinian mengalun dari speaker, terdengar samar di antara hiruk pikuk orang berlalu-lalang. Melon melangkah santai di koridor, matanya menyapu etalase butik yang memajang diskon besar-besaran. Ia mengenakan blouse putih sederhana, celana jeans high-waist dan sling bag cokelat muda yang serasi dengan sneakers-nya. Wajahnya santai, matanya ceria. “Astaga, masker buy 2 get 3? Ini sih rezeki anak janda!” bisiknya sambil nyengir sendiri, lalu segera masuk ke toko skincare dengan langkah penuh semangat. Beberapa menit kemudian, setelah berhasil memborong sheet mask dan satu lip tint yang sebenarnya tidak ia butuhkan, Melon keluar dari toko sambil membuka ponselnya—niatnya cuma cek saldo. Tapi langkahnya mendadak terhenti begitu suara berat, sangat dikenal, memanggil dari arah samping. “Melon?” Langkahnya beku. Seolah namanya tadi dipanggil oleh masa lalu yang terlalu tajam untuk diulang. Ia menoleh pelan. Dan benar saja. Di sana, be
Malam semakin larut. Lampu ruang makan menyala temaram, menciptakan bayangan hangat di dinding. Melon dan Kiwi masih duduk berdampingan, tangan mereka bertaut di atas meja, tapi tak ada kecanggungan. Hanya keheningan nyaman yang menggantung di antara mereka. Kiwi menguap kecil sambil meregangkan lengan. “Aduh, kalau ngobrol sama kamu, waktu kerasa kayak sepuluh menit. Padahal tahu-tahu udah hampir tengah malam.” Melon tersenyum. “Kalau kamu ngantuk, pulang aja. Jangan sampai besok telat kerja gara-gara nemenin janda insecure.” Kiwi memiringkan kepala, matanya menyipit dramatis. “Tuh kan, mulai lagi... janda insecure. Udah saya bilang, kamu jangan panggil diri kamu gitu. Kamu tuh janda rasa premium.” Melon tertawa kecil, geleng-geleng. “Rasa premium?” “Ya. Kalau kamu itu buah, pasti masuk golongan langka, manis, mahal, dan cepet habis kalau diburu orang,” jelas Kiwi sambil memainkan gelas airnya. “Makanya saya buru duluan sebelum diserbu yang lain.” “Kalau kamu, buahnya apa
Angin sore mulai berembus pelan, mengibaskan rambut Melon yang kini duduk bersandar di pohon, napasnya sedikit terengah setelah "perang buah" kecil yang mereka lakukan. Jeruk tertidur pulas di atas tikar, dengan Milo yang meringkuk di sampingnya seperti penjaga setia. Pipinya belepotan bekas semangka, tapi ia tetap terlihat damai. Kiwi duduk di dekat mereka, mencoba mengelap pipinya dengan tisu sambil mencuri pandang ke arah Melon yang kini diam, memandangi langit dengan pandangan kosong. Kiwi menyenggol lengannya pelan. “Kok jadi diam? Kalah perang, ya?” Melon mengerjap, lalu tersenyum. “Enggak. Cuma mikir.” “Serius banget. Sampai nggak berkedip.” Melon menghela napas. “Aneh aja. Saya nggak nyangka bisa ketawa-tawa lagi kayak tadi. Apalagi sama orang baru yang...,” ia berhenti sejenak, menatap Kiwi dengan tatapan geli, “...nama ibunya Bu Nangka.” Kiwi tertawa. “Itu pertanda Tuhan masih sayang sama kamu. Kalau kamu bisa ketawa hari ini, berarti Tuhan kasih kamu izin buat b