Home / Romansa / Kecantol Cinta Janda / Bab 8 Pertengkaran Melon dan Kiwi

Share

Bab 8 Pertengkaran Melon dan Kiwi

Author: Author Receh
last update Last Updated: 2025-06-14 21:15:51

Sore itu, langit berwarna jingga pucat saat Melon dan Kiwi duduk di bangku taman, masing-masing memegang es krim rasa favorit. Jeruk bermain di ayunan tak jauh dari mereka, tertawa-tawa bersama anak-anak lain. Awalnya, suasana begitu nyaman. Kiwi bercerita tentang pekerjaannya, Melon menimpali dengan candaan, lalu tertawa bersama.

Namun, ketika Kiwi mulai berbicara serius, nada suaranya berubah. “Aku sempat dengar dari Jeruk... kamu ketemu mantan di mal, ya?”

Melon yang sedang menjilat es krim vanila tiba-tiba diam. Ia menoleh perlahan. “Iya. Kenapa?”

Kiwi mencoba tersenyum, tapi senyumnya canggung. “Cuma nanya, kok. Tapi kenapa kamu nggak cerita?”

Melon mengangkat alis. “Itu cuma ketemu biasa. Dia cuma nyapa, terus aku tinggalin. Bukan hal penting.”

Kiwi menoleh ke arah Jeruk, lalu kembali menatap Melon. “Tapi buat aku, itu cukup penting buat diceritain. Biar aku nggak denger dari orang lain.”

Melon menghela napas. “Kiwi, kamu bukan pacarku. Kita nggak punya kewajiban lapor-laporan, kan?”

Kiwi menatap Melon, kali ini lebih tajam. “Mungkin bukan pacar, tapi selama ini aku selalu ada. Aku jagain kamu dan Jeruk, dengerin curhat kamu, ikut bantu kamu bangkit... kamu kira aku cuma numpang lewat?”

Melon meletakkan es krimnya di pangkuan dengan ekspresi dingin. “Aku nggak pernah anggap kamu numpang lewat. Tapi kamu juga nggak bisa nuntut lebih kalau dari awal kita nggak pernah nyepakati apa-apa.”

Kiwi tersenyum miring, kecut. “Jadi aku cuma ‘teman dekat yang kebetulan rajin antar jemput anakmu’, gitu?”

“Kiwi...” Melon mengusap wajahnya, frustrasi. “Aku cuma belum siap. Baru saja bertemu mantan, dihantui masa lalu, dan kamu tiba-tiba minta kejelasan seolah aku harus langsung jatuh cinta ke pelukmu.”

“Aku nggak minta kamu jatuh cinta,” balas Kiwi pelan, tapi nadanya mengeras. “Aku cuma pengen tahu, aku ini siapa di hidupmu. Karena aku mulai takut... takut kamu cuma butuh kehadiranku pas butuh, tapi nggak pernah niat melibatkan aku lebih dalam.”

Melon menatap Kiwi, kali ini matanya tak setenang biasanya. “Aku juga manusia, Kiwi. Aku juga punya trauma. Kamu pikir gampang buat nerima hubungan baru setelah yang kemarin? Kamu nggak tahu rasanya diceraikan pas lagi sayang-sayangnya.”

Kiwi tertunduk. Jeruk berlari mendekat, wajahnya ceria, tapi langsung terdiam saat melihat wajah tegang dua orang dewasa yang biasa ia lihat bercanda.

“Ibu... Om Kiwi... kenapa diam-diaman?” tanya Jeruk pelan.

Melon cepat-cepat tersenyum, pura-pura tak terjadi apa-apa. “Nggak, sayang. Ibu cuma lagi ngambek karena es krimnya meleleh.”

Jeruk menatap es krim ibunya yang tinggal separuh. “Ya ampun, ibu... makanya jangan banyak ngomong kalau lagi makan es krim!”

Kiwi tertawa kecil, tapi tak sepenuh hati. Melon memaksakan senyum, lalu berdiri sambil menggandeng Jeruk.

“Ayo pulang. Udah sore.”

Kiwi berdiri, tapi tak berkata apa-apa. Mereka berjalan berdampingan, tapi tidak lagi seramah tadi. Tak ada tawa, tak ada candaan. Hanya langkah kaki yang terasa canggung, dan jeda hening yang mulai tumbuh seperti dinding tipis di antara dua hati yang tadinya hangat.

Setibanya di depan rumah, suasana masih terasa kaku. Jeruk langsung masuk lebih dulu sambil membawa sepatunya, melompat ke dalam rumah tanpa beban. Sementara itu, Melon masih berdiri di depan pagar, satu tangannya memegang gagang pintu, satu lagi masih menenteng tas belanja berisi masker dan camilan Jeruk.

Kiwi yang biasanya membantu membukakan pagar, kini hanya berdiri di samping motornya, menunduk sebentar, lalu mengenakan helm tanpa banyak bicara.

Melon melirik ke arahnya sekilas. Tak ada senyum, tak ada kata pamit, bahkan tak ada sapa lembut seperti biasanya.

Kiwi menaiki motornya dengan cepat. Suara mesin langsung menderu.

Melon sempat berpikir untuk menahan, sekadar berkata, “Hati-hati,” atau “Ngopi dulu,” tapi kata-kata itu menggantung di tenggorokan, tertahan oleh gengsi dan sisa-sisa emosi yang belum reda.

“Kiwi…” panggilnya pelan, tapi terlalu pelan—bahkan dirinya sendiri nyaris tak mendengarnya.

Kiwi menatap ke arahnya sejenak dari balik kaca helm yang belum ia tutup. Tatapannya sendu, tapi tegas. Seolah ingin berkata banyak, tapi memilih menyerah.

“Jaga Jeruk,” ucapnya pelan, lalu tanpa menunggu jawaban, motor itu melaju perlahan menjauh dari rumah.

Melon hanya menggeleng pelan. Bibirnya mengerucut, matanya menatap kosong ke jalanan depan rumah.

“Kalau memang kamu butuh pergi... ya pergi saja,” gumamnya datar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah, menutupnya dengan pelan.

Di dalam, Jeruk sudah duduk di lantai, sibuk membuka camilan dari tas belanja. “Om Kiwi nggak masuk, Bu?”

Melon tersenyum kecil, lebih ke arah menenangkan diri. “Enggak, Sayang. Mungkin dia lagi buru-buru.”

Jeruk mengangguk. “Oh... tapi nggak pamit. Biasanya Om Kiwi peluk aku dulu.”

Melon terdiam. Hatinya mencelos.

Ia melangkah ke dapur sambil membuka bungkus masker, pura-pura sibuk.

Tapi dalam hati, ia tahu: saat Kiwi pergi tanpa pamit, bukan cuma tubuhnya yang menjauh, tapi juga rasa yang selama ini perlahan tumbuh di antara tawa, obrolan, dan perhatian yang tak pernah ia minta… tapi diam-diam ia harapkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 20 Kebahagiaan Jeruk

    Pagi hari.Matahari baru merayap naik ketika suara ketukan lembut terdengar di pintu rumah Melon. Ia sedang menyiapkan sarapan Jeruk di dapur — roti panggang kesukaan anak itu — saat suara itu membuat tubuhnya menegang.Jeruk yang duduk di kursi kecilnya langsung menegakkan tubuh. “Mama, ada orang?” tanyanya polos.Melon mengusap kepala Jeruk cepat. “Iya, sayang. Mama cek dulu.”Langkah Melon pelan, nyaris ragu, sampai akhirnya ia membuka pintu.Dan di sanalah Kiwi berdiri.Dengan hoodie abu-abu, rambut sedikit berantakan, dan mata yang terlihat kurang tidur. Kiwi menelan ludah ketika tatapannya bertemu tatapan Melon—canggung, kaget, dan sedikit gugup. Udara pagi yang dingin tidak mampu mengalahkan rasa hangat yang tiba-tiba memenuhi dadanya.“Kiwi…” Melon hampir berbisik.“Aku… cuma mau lihat Jeruk,” jawab Kiwi pelan, suaranya serak seolah ia sendiri belum yakin berdiri di situ.Sebelum Melon sempat berkata apa pun, suara kecil meluncur dari ruang tengah.“Kiwi!!!”Jeruk berlari sece

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 19 Ucapan Jeruk

    Sore itu, cahaya matahari menembus kaca besar toko buku, memantulkan warna keemasan di lantai kayu. Suasana tenang—hanya ada suara lembut halaman yang dibalik dan tawa kecil Jeruk di pojok ruangan. Melon sedang menyusun buku-buku baru di rak tengah ketika Pak Bram datang menghampiri sambil membawa selembar kertas.“Bu Melon, ini daftar buku yang baru masuk minggu depan. Kalau mau, kamu bantu pilih mana yang cocok ditaruh di rak depan,” ujarnya.Melon menerima kertas itu. “Boleh, Pak. Saya senang bisa bantu.”Pak Bram tersenyum, lalu beranjak ke ruang belakang. Melon menatap daftar buku itu lama, memperhatikan judul-judulnya: kisah keluarga, perjalanan hidup, tentang orang-orang yang bangkit dari kehilangan. Tanpa sadar, senyum kecil terbit di wajahnya. “Lucu ya,” gumamnya pelan. “Buku pun kadang tahu apa yang kita butuh baca.”“Kalimat yang bagus,” suara tiba-tiba terdengar di belakangnya.Melon menoleh. Seorang pria berdiri di dekat rak. Wajahnya tenang, berusia sekitar akhir tiga pu

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 18 Pekerjaan Baru

    Malam makin larut, tapi suasana di teras rumah Melon terasa tenang. Angin lembut mengusap kulit, membawa aroma hujan yang tertinggal di dedaunan. Di tangannya, secangkir teh yang sudah mulai dingin, tapi rasanya tetap menenangkan. Lampu-lampu jalan menyorot lembut, membuat bayangan pohon bergerak pelan di dinding rumah.“Masih bangun aja?” suara familiar terdengar dari pagar. Aruna datang membawa dua gelas plastik berisi kopi susu dingin. “Kupikir kamu udah tidur, tapi lampu terasnya nyala terus.”Melon menoleh dan tersenyum. “Kamu nggak pernah gagal baca situasi, ya? Ayo masuk. Duduk sini.”Aruna membuka pagar kecil dan duduk di kursi rotan di sebelah Melon. “Aku tadi lewat depan toko buku yang kamu ceritain. Tempatnya lucu, ya. Klasik, tapi nyaman.”“Iya,” jawab Melon pelan. “Aku dan Jeruk betah di sana. Entah kenapa, tempat kayak gitu selalu bikin aku tenang.”Aruna menatapnya sekilas. “Tenang setelah drama pagi itu, maksudmu?”Melon tersenyum samar. “Hmm. Mungkin iya. Mungkin juga

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 17 Kebaikan Aruna

    Siang mulai merambat ketika Melon dan Jeruk tiba di rumah. Matahari menyinari halaman depan, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Melon membuka pintu rumah dengan perasaan yang entah kenapa lebih ringan dari biasanya.Jeruk bergegas ke ruang tamu, meletakkan pensil warna dan buku gambarnya di meja besar. “Bu, aku gambar adegan ibu dan aku yang lagi ke toko buku, ya!”Melon tersenyum kecil. “Hmm. Coba tambahin juga satu tokoh laki-laki pakai mobil biru di belakang. Biar ceritanya lebih dramatis.”Jeruk mengerling. “Yang mukanya lagi nyesel, gitu?”“Pintar.”Jeruk terkikik sebelum duduk bersila dan mulai menggambar. Sementara itu, Melon membuka pintu kaca dapur, membiarkan udara siang masuk. Ia menyeduh teh chamomile, aroma hangatnya membungkus dapur seperti pelukan lembut.Ponselnya bergetar. Kali ini, bukan dari grup wali murid. Sebuah pesan masuk dari nomor yang ia hapal tapi berusaha untuk dilupakan.Kiwi:Aku ngerti kamu nggak mau diganggu. Tapi ka

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 16 Sindiran Melon

    Pagi itu udara terasa cerah, matahari bersinar malu-malu di balik awan tipis. Melon dan Jeruk baru saja selesai sarapan. Meja makan telah dirapikan, dan Jeruk sibuk merapikan ransel untuk berangkat sekolah. “Ibu, aku masuk siang hari ini, ya,” kata Jeruk sambil membuka jadwal pelajaran. “Katanya guru lagi rapat dulu.” Melon mengangguk. “Kalau begitu, kita sempatin ke toko buku dulu, kamu kan mau beli pensil warna baru.” Jeruk berseru, “Yay!” Setelah berganti pakaian dan siap, Melon menggandeng tangan Jeruk keluar rumah. Mereka berjalan santai ke arah jalan utama kompleks. Tapi baru lima langkah dari gerbang, seseorang menghentikan langkah mereka. “Melon?” Melon menoleh. Di depannya berdiri seorang perempuan muda dengan dandanan modis dan riasan tipis. Rambutnya dicat cokelat lembut dan kulitnya tampak terawat. Senyumnya ramah, tapi matanya menyiratkan maksud yang tidak ringan. “Lele?” tanya Melon pelan. Lengkuasa Astari—atau Lele—mengangguk. “Akhirnya kita ketemu juga.” Melon

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 15 Pesan dari Lele

    Sore mulai turun perlahan, cahaya matahari melembut di antara sela pepohonan. Melon duduk di dapur rumah Bu Rika bersama dua ibu tetangga lainnya—Bu Rumi dan Bu Leli. Tangan mereka sibuk membungkus lumpia dengan isian rebung dan wortel, tapi obrolan yang mengalir justru jadi hiburan paling segar. “Melon ini, ya,” kata Bu Rumi sambil tertawa. “Baru ditinggal cowok sebentar aja, langsung bangkit kayak bunga yang disiram pupuk super.” “Kalau bukan karena niat sendiri, nggak bakal bisa, Bu,” sahut Melon sambil melipat lembaran kulit lumpia dengan rapi. “Soalnya kalau berharap orang lain terus, ya capek.” Bu Leli yang dari tadi lebih banyak diam, ikut menimpali, “Aku dengar-dengar, si Kiwi itu anak orang berada, ya? Ibunya sering pakai kalung mutiara ke pengajian?” Melon tertawa kecil. “Entahlah, Bu. Yang jelas, kalungnya bukan jaminan hatinya bersih dari keraguan.” Ketiga ibu itu tertawa serempak. Setelah lumpia selesai dibungkus, mereka mulai menggoreng bersama. Aroma harum memenuh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status