Sore itu, langit berwarna jingga pucat saat Melon dan Kiwi duduk di bangku taman, masing-masing memegang es krim rasa favorit. Jeruk bermain di ayunan tak jauh dari mereka, tertawa-tawa bersama anak-anak lain. Awalnya, suasana begitu nyaman. Kiwi bercerita tentang pekerjaannya, Melon menimpali dengan candaan, lalu tertawa bersama.
Namun, ketika Kiwi mulai berbicara serius, nada suaranya berubah. “Aku sempat dengar dari Jeruk... kamu ketemu mantan di mal, ya?” Melon yang sedang menjilat es krim vanila tiba-tiba diam. Ia menoleh perlahan. “Iya. Kenapa?” Kiwi mencoba tersenyum, tapi senyumnya canggung. “Cuma nanya, kok. Tapi kenapa kamu nggak cerita?” Melon mengangkat alis. “Itu cuma ketemu biasa. Dia cuma nyapa, terus aku tinggalin. Bukan hal penting.” Kiwi menoleh ke arah Jeruk, lalu kembali menatap Melon. “Tapi buat aku, itu cukup penting buat diceritain. Biar aku nggak denger dari orang lain.” Melon menghela napas. “Kiwi, kamu bukan pacarku. Kita nggak punya kewajiban lapor-laporan, kan?” Kiwi menatap Melon, kali ini lebih tajam. “Mungkin bukan pacar, tapi selama ini aku selalu ada. Aku jagain kamu dan Jeruk, dengerin curhat kamu, ikut bantu kamu bangkit... kamu kira aku cuma numpang lewat?” Melon meletakkan es krimnya di pangkuan dengan ekspresi dingin. “Aku nggak pernah anggap kamu numpang lewat. Tapi kamu juga nggak bisa nuntut lebih kalau dari awal kita nggak pernah nyepakati apa-apa.” Kiwi tersenyum miring, kecut. “Jadi aku cuma ‘teman dekat yang kebetulan rajin antar jemput anakmu’, gitu?” “Kiwi...” Melon mengusap wajahnya, frustrasi. “Aku cuma belum siap. Baru saja bertemu mantan, dihantui masa lalu, dan kamu tiba-tiba minta kejelasan seolah aku harus langsung jatuh cinta ke pelukmu.” “Aku nggak minta kamu jatuh cinta,” balas Kiwi pelan, tapi nadanya mengeras. “Aku cuma pengen tahu, aku ini siapa di hidupmu. Karena aku mulai takut... takut kamu cuma butuh kehadiranku pas butuh, tapi nggak pernah niat melibatkan aku lebih dalam.” Melon menatap Kiwi, kali ini matanya tak setenang biasanya. “Aku juga manusia, Kiwi. Aku juga punya trauma. Kamu pikir gampang buat nerima hubungan baru setelah yang kemarin? Kamu nggak tahu rasanya diceraikan pas lagi sayang-sayangnya.” Kiwi tertunduk. Jeruk berlari mendekat, wajahnya ceria, tapi langsung terdiam saat melihat wajah tegang dua orang dewasa yang biasa ia lihat bercanda. “Ibu... Om Kiwi... kenapa diam-diaman?” tanya Jeruk pelan. Melon cepat-cepat tersenyum, pura-pura tak terjadi apa-apa. “Nggak, sayang. Ibu cuma lagi ngambek karena es krimnya meleleh.” Jeruk menatap es krim ibunya yang tinggal separuh. “Ya ampun, ibu... makanya jangan banyak ngomong kalau lagi makan es krim!” Kiwi tertawa kecil, tapi tak sepenuh hati. Melon memaksakan senyum, lalu berdiri sambil menggandeng Jeruk. “Ayo pulang. Udah sore.” Kiwi berdiri, tapi tak berkata apa-apa. Mereka berjalan berdampingan, tapi tidak lagi seramah tadi. Tak ada tawa, tak ada candaan. Hanya langkah kaki yang terasa canggung, dan jeda hening yang mulai tumbuh seperti dinding tipis di antara dua hati yang tadinya hangat. Setibanya di depan rumah, suasana masih terasa kaku. Jeruk langsung masuk lebih dulu sambil membawa sepatunya, melompat ke dalam rumah tanpa beban. Sementara itu, Melon masih berdiri di depan pagar, satu tangannya memegang gagang pintu, satu lagi masih menenteng tas belanja berisi masker dan camilan Jeruk. Kiwi yang biasanya membantu membukakan pagar, kini hanya berdiri di samping motornya, menunduk sebentar, lalu mengenakan helm tanpa banyak bicara. Melon melirik ke arahnya sekilas. Tak ada senyum, tak ada kata pamit, bahkan tak ada sapa lembut seperti biasanya. Kiwi menaiki motornya dengan cepat. Suara mesin langsung menderu. Melon sempat berpikir untuk menahan, sekadar berkata, “Hati-hati,” atau “Ngopi dulu,” tapi kata-kata itu menggantung di tenggorokan, tertahan oleh gengsi dan sisa-sisa emosi yang belum reda. “Kiwi…” panggilnya pelan, tapi terlalu pelan—bahkan dirinya sendiri nyaris tak mendengarnya. Kiwi menatap ke arahnya sejenak dari balik kaca helm yang belum ia tutup. Tatapannya sendu, tapi tegas. Seolah ingin berkata banyak, tapi memilih menyerah. “Jaga Jeruk,” ucapnya pelan, lalu tanpa menunggu jawaban, motor itu melaju perlahan menjauh dari rumah. Melon hanya menggeleng pelan. Bibirnya mengerucut, matanya menatap kosong ke jalanan depan rumah. “Kalau memang kamu butuh pergi... ya pergi saja,” gumamnya datar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah, menutupnya dengan pelan. Di dalam, Jeruk sudah duduk di lantai, sibuk membuka camilan dari tas belanja. “Om Kiwi nggak masuk, Bu?” Melon tersenyum kecil, lebih ke arah menenangkan diri. “Enggak, Sayang. Mungkin dia lagi buru-buru.” Jeruk mengangguk. “Oh... tapi nggak pamit. Biasanya Om Kiwi peluk aku dulu.” Melon terdiam. Hatinya mencelos. Ia melangkah ke dapur sambil membuka bungkus masker, pura-pura sibuk. Tapi dalam hati, ia tahu: saat Kiwi pergi tanpa pamit, bukan cuma tubuhnya yang menjauh, tapi juga rasa yang selama ini perlahan tumbuh di antara tawa, obrolan, dan perhatian yang tak pernah ia minta… tapi diam-diam ia harapkan.Pagi itu udara terasa cerah, matahari bersinar malu-malu di balik awan tipis. Melon dan Jeruk baru saja selesai sarapan. Meja makan telah dirapikan, dan Jeruk sibuk merapikan ransel untuk berangkat sekolah. “Ibu, aku masuk siang hari ini, ya,” kata Jeruk sambil membuka jadwal pelajaran. “Katanya guru lagi rapat dulu.” Melon mengangguk. “Kalau begitu, kita sempatin ke toko buku dulu, kamu kan mau beli pensil warna baru.” Jeruk berseru, “Yay!” Setelah berganti pakaian dan siap, Melon menggandeng tangan Jeruk keluar rumah. Mereka berjalan santai ke arah jalan utama kompleks. Tapi baru lima langkah dari gerbang, seseorang menghentikan langkah mereka. “Melon?” Melon menoleh. Di depannya berdiri seorang perempuan muda dengan dandanan modis dan riasan tipis. Rambutnya dicat cokelat lembut dan kulitnya tampak terawat. Senyumnya ramah, tapi matanya menyiratkan maksud yang tidak ringan. “Lele?” tanya Melon pelan. Lengkuasa Astari—atau Lele—mengangguk. “Akhirnya kita ketemu juga.” Melon
Sore mulai turun perlahan, cahaya matahari melembut di antara sela pepohonan. Melon duduk di dapur rumah Bu Rika bersama dua ibu tetangga lainnya—Bu Rumi dan Bu Leli. Tangan mereka sibuk membungkus lumpia dengan isian rebung dan wortel, tapi obrolan yang mengalir justru jadi hiburan paling segar. “Melon ini, ya,” kata Bu Rumi sambil tertawa. “Baru ditinggal cowok sebentar aja, langsung bangkit kayak bunga yang disiram pupuk super.” “Kalau bukan karena niat sendiri, nggak bakal bisa, Bu,” sahut Melon sambil melipat lembaran kulit lumpia dengan rapi. “Soalnya kalau berharap orang lain terus, ya capek.” Bu Leli yang dari tadi lebih banyak diam, ikut menimpali, “Aku dengar-dengar, si Kiwi itu anak orang berada, ya? Ibunya sering pakai kalung mutiara ke pengajian?” Melon tertawa kecil. “Entahlah, Bu. Yang jelas, kalungnya bukan jaminan hatinya bersih dari keraguan.” Ketiga ibu itu tertawa serempak. Setelah lumpia selesai dibungkus, mereka mulai menggoreng bersama. Aroma harum memenuh
Pagi itu udara terasa lebih segar dari biasanya. Melon membuka jendela dapur, membiarkan semilir angin membawa aroma hujan semalam yang masih tertinggal di tanah. Sinar matahari yang lembut menyusup masuk, menyentuh wajahnya yang kini tampak lebih tenang. Tak ada lagi suara notifikasi pesan yang terus-menerus dari ponselnya. Kiwi tak menghubunginya sejak pesan terakhir yang ia kirim kemarin. Melon menyeduh teh untuk dirinya sendiri dan menyusun bekal untuk Jeruk. Sambil memotong roti dan menyiapkan buah-buahan kecil dalam kotak, ia bersenandung pelan lagu anak-anak. Di wajahnya, ada kedamaian baru. Bukan karena tak ada luka, tapi karena luka itu sudah ia pilih untuk tidak lagi dipegang erat. Jeruk masuk ke dapur dengan rambut acak-acakan dan wajah setengah mengantuk. “Ibu... hari ini aku bawa bekal pastel, nggak?” “Enggak, hari ini kita ganti menu. Roti isi dan potongan semangka. Mau?” jawab Melon sambil tersenyum. Jeruk mengangguk. “Aku suka semangka. Tapi... Ibu udah nggak sedi
Matahari pagi menembus tirai rumah Melon, menerangi ruang tamu yang biasanya hangat dengan suara tawa, kini terasa lengang. Meja makan sudah tertata rapi: dua piring nasi goreng, dua gelas susu, dan sepiring kerupuk. Jeruk duduk sambil menggoyang-goyangkan kakinya, mulutnya sibuk mengunyah.Melon duduk di seberangnya, mengenakan blus putih dan celana jeans, wajahnya cantik tapi dingin. Tak ada lagi senyum tipis setiap kali ponselnya berbunyi. Bahkan saat ponselnya bergetar berkali-kali sejak tadi pagi—ia tak melirik sedikit pun.Jeruk melirik layar ponsel di meja. “Om Kiwi nelepon, Bu.”Melon menyendok nasi goreng, mengunyahnya pelan, lalu menelan. “Biarin aja.”Jeruk terdiam sesaat, lalu melanjutkan makannya. “Ibu marah ya?”“Nggak,” jawab Melon datar. “Ibu cuma belajar untuk nggak peduli sama orang yang juga nggak tahu caranya menjaga perasaan orang lain.”Jeruk menatap ibunya sebentar. Lalu pelan-pelan, ia mendorong selembar gambar ke arah Melon. “Aku gambar Om Kiwi tadi pagi. Tapi
Malam itu hujan turun rintik-rintik, membasahi jalanan kompleks yang sepi. Di dalam rumah Melon, suara Jeruk terdengar riang dari kamar, menonton kartun sambil ngemil biskuit. Sementara di ruang tamu, Kiwi dan Melon duduk berdampingan, membahas rencana Kiwi yang akan mengajak mereka piknik ke luar kota akhir pekan nanti. Namun ketenangan itu terganggu ketika ponsel Kiwi berdering. Melon melirik sekilas—nama yang muncul di layar itu tidak asing. Lengkuasa Astari. Gadis perjodohan itu. Kiwi refleks mematikan nada dering dan membalikkan ponsel. “Nggak penting,” katanya cepat. Tapi Melon terlanjur melihat nama yang tertera. “Lele?” tanyanya tenang, namun jelas suaranya berubah dingin. Kiwi menggaruk tengkuknya. “Dia cuma nanya kabar tadi siang, aku belum bales.” “Kenapa dia masih bisa hubungi kamu?” “Karena... waktu itu aku terlalu sopan buat langsung block.” Melon menyilangkan tangan. “Sopan ke mantan calon istri, tapi ngegantung perempuan yang kamu bilang seriusin? Menarik.” Ki
Langit mulai merona jingga ketika Kiwi memacu motornya menuju rumah Melon. Angin sore menerpa wajahnya, namun pikirannya jauh lebih bergejolak dari sekadar terpaan udara. Kata-kata Lele terus terngiang di kepalanya: “Kamu kejar perempuan itu, sebelum dia mikir kamu bukan pria yang layak diperjuangkan.” Begitu sampai di depan rumah Melon, Kiwi menghela napas panjang. Tangannya sempat ragu mengetuk pagar. Tapi sebelum ia bisa bergerak, suara anak kecil terdengar dari dalam halaman. “Om Kiwi!” Jeruk berteriak girang sambil berlari menghampiri pagar. Ia membuka gerbang tanpa ragu dan langsung memeluk kaki Kiwi. “Om kemarin nggak jadi datang, Ibu masak pastel banyak banget loh!” Kiwi berjongkok, memeluk Jeruk erat. “Maaf ya, Sayang. Om ada urusan penting waktu itu.” Jeruk cemberut. “Lebih penting dari pastel?” Kiwi terkekeh. “Nggak ada yang lebih penting dari pastel Ibu kamu.” Melon muncul dari ambang pintu dengan ekspresi datar. Ia mengenakan kaus lengan panjang dan celana santai, r