Sore menjelang. Burung-burung mulai hinggap di kabel listrik, dan langit berubah warna oranye lembut. Kiwi muncul di depan pagar rumah Melon sambil membawa keranjang rotan kecil berisi buah-buahan segar. Penampilannya rapi, memakai kaus polo warna pastel dan celana pendek santai. Di tangan kirinya, ada satu kotak kecil berisi roti pisang.
Pagar terbuka pelan. “Permisi. Bu Melon?” panggil Kiwi sambil melongok ke dalam halaman. Jeruk berlari keluar dari arah dapur dengan mulut belepotan cokelat. “Om Kiwi datang!” Langkah kaki terdengar dari arah dalam rumah. Melon muncul sambil mengelap tangannya dengan lap dapur, daster kali ini bermotif anggur. Rambutnya diikat asal, tapi senyumnya seolah membuat sore lebih cerah. “Bawa apa lagi, Pak Kiwi? Jangan-jangan benar-benar niat kampanye.” Kiwi mengangkat keranjang buah. “Tebakan yang salah. Ini bukan kampanye, ini murni diplomasi antar tetangga. Dan, karena saya tidak tahu buah favorit Ibu, saya bawa semuanya.” Melon menatap isi keranjang itu: apel, anggur, pisang, jeruk, dan tentu saja satu buah melon yang tergeletak manis di tengah. “Luar biasa.” Melon mengangguk-angguk. “Bapak Kiwi sangat komprehensif dalam pendekatan. Bahkan bawa buah yang sama dengan nama saya.” “Biar tidak lupa,” ujar Kiwi cepat. Jeruk menyela, “Om Kiwi boleh masuk nggak? Nanti kena nyamuk.” Melon mendesah. “Baiklah. Tapi jangan lama-lama. Saya sedang masak sop tulang ayam.” Kiwi melangkah masuk. Aroma harum dari dapur langsung menyambut hidungnya. Ia menaruh keranjang di atas meja tamu, lalu duduk di kursi rotan dekat jendela. Jeruk memanjat ke pangkuannya tanpa permisi. “Om Kiwi suka nonton kartun?” “Kadang-kadang. Tapi Om lebih sering nonton berita, biar nggak ketinggalan dunia.” Jeruk menatapnya dalam. “Berarti Om sudah tua.” Kiwi terdiam. Melon tertawa dari dapur. “Maaf ya, Pak Kiwi. Anak saya memang jujur sejak kecil.” Kiwi mengangkat alis. “Berarti nanti kalau saya tanya, ‘Ibunya Jeruk suka saya nggak’, dia juga bakal jawab jujur?” Melon langsung muncul dari dapur. “Pak Kiwi suka main api, ya? Padahal rumah saya banyak bahan bakarnya.” Kiwi pura-pura berpikir. “Bahan bakar seperti... amarah janda berdaster anggur?” Melon melempar tatapan geli. “Lebih tepatnya, emosi ibu rumah tangga yang belum makan siang karena sibuk bersihin kencing Milo di karpet.” Jeruk tertawa geli. “Milo kencing lagi?!” Kiwi ikut tertawa. “Saya bisa panggilkan pelatih anjing kalau Ibu mau. Sebagai kompensasi salah tuduh kemarin.” Melon menyandarkan diri di dinding dapur. “Saya sudah maafkan sejak Ibu lihat Bapak panik dengan kardus rice cooker. Tapi saya belum lupakan ekspresi Bapak saat tahu nama saya Melon.” “Saya belum bisa lupakan sampai sekarang. Apalagi setelah tahu anaknya Jeruk. Saya takut besok ketemu Nona Sirsak atau Bayi Pepaya.” Jeruk berteriak, “Aku mau punya adik namanya Semangka!” Melon melotot. “Jeruk!” Kiwi langsung menutup mulut dengan kedua tangan, menahan tawa sekuat tenaga. “Wah, usulan yang sangat visioner.” Melon menggeleng sambil masuk ke dapur. “Kalau Bapak masih bercanda terus, saya tambahkan cabai rawit ke sop tulang ini.” “Saya tahan pedas,” sahut Kiwi mantap. Jeruk menatap Kiwi dengan serius. “Om Kiwi tahan pedas. Ibu juga galak. Cocok, ya?” Kiwi dan Melon sama-sama terdiam. Lalu, tawa pecah di antara mereka bertiga. Hangat, sederhana, dan entah kenapa terasa seperti awal dari rumah yang lebih dari sekadar tempat tinggal. Malam tiba. Lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu, menandakan aktivitas mulai bergeser ke dalam ruangan. Kiwi masih duduk di ruang tamu rumah Melon, kini memegang mangkuk sop tulang panas buatan tangan sang janda daster anggur. Aroma rempah dan kaldu memenuhi udara, membuat perutnya kembali berbunyi meski sudah menghabiskan dua potong roti pisang tadi. “Kalau saya tahu sopnya seenak ini, saya sudah pindah ke kompleks ini sejak tiga tahun lalu,” ujar Kiwi sambil menyeruput kuah. Melon menyendok tulang ayam ke piringnya tanpa menoleh. “Kalau saya tahu tetangga depan rumah suka muji sambil ngabisin, saya pasti pasang CCTV dari dulu.” Jeruk yang duduk di antara mereka, menatap Kiwi dengan mata bulat. “Om Kiwi tinggal sendirian?” “Sendiri banget. Bahkan kulkas saya isinya cuma air mineral, kecap, dan satu telur yang sudah retak sejak Lebaran kemarin.” Melon menahan tawa. “Itu sih bukan hidup, itu bertahan dengan keajaiban.” “Makanya saya datang ke sini. Butuh inspirasi dari dapur Ibu.” Jeruk menyodorkan tulang ke arah Kiwi. “Ini susah dimakan. Tolongin dong.” Kiwi dengan sigap membantu mengupas daging sisa di tulang itu. “Kamu tahu, Jeruk, kamu ini anak hebat. Usianya baru lima, tapi udah bisa makan sop tulang kayak orang dewasa.” Melon menyela, “Enam. Tahun ini. Dan dia sudah bisa menilai pria mana yang bisa dipercaya.” Jeruk mengangguk-angguk. “Om Kiwi bisa dipercaya. Soalnya Om nggak takut sama Milo.” “Eh, siapa bilang? Saya masih trauma. Kalau Milo datang lagi, saya yang duluan naik pagar.” Melon tertawa keras. “Berarti Bapak Kiwi cocoknya dikasih anjing boneka dulu.” “Saya lebih cocok dikasih kucing. Lebih jinak, lebih manja... dan nggak gigit tamu.” Jeruk menatap Kiwi, lalu menoleh ke ibunya. “Ibu juga suka kucing kan?” Melon mengangkat bahu. “Dulu. Sekarang lebih suka... hidup tenang.” Kiwi meletakkan mangkuknya, lalu duduk lebih tegak. “Kalau tenang itu artinya nggak ada yang ngajak ngobrol tiap malam, saya bisa bantu.” Melon menoleh cepat. “Pak Kiwi, ini rumah saya, bukan program cari jodoh.” “Saya tahu.” Kiwi menatap serius. “Tapi saya juga tahu, kalau tiap kali saya ngobrol sama Ibu, hidup saya rasanya nggak selucu biasanya. Ada... yang bikin saya pengin balik lagi.” Sunyi sejenak. Jeruk, yang sejak tadi memotong wortel di mangkuknya dengan sendok, tiba-tiba berkata, “Kalau Om Kiwi nikah sama Ibu, aku jadi punya dua piring sop.” Melon mendelik. “Siapa bilang Ibu mau nikah lagi?” Jeruk menjawab polos, “Tapi Om Kiwi bisa buka toples tanpa kesulitan. Beda sama Ibu.” Kiwi menepuk dada. “Toples, botol galon, atau hati Ibu. Semuanya siap saya buka kalau diizinkan.” Melon berdiri cepat. “Saya bikin teh dulu. Biar kepala saya dingin.” Kiwi berbisik ke Jeruk, “Ibumu ini kuat, ya. Satu-satunya wanita yang bisa bikin saya gugup cuma dia.” Jeruk mengangguk mantap. “Ibu bisa bikin semua orang gugup. Kecuali Milo.” Dari arah dapur, terdengar suara Melon, “Saya dengar itu!” Kiwi hanya tertawa, bahagia. Di rumah kecil berdaster motif buah, dia menemukan kehangatan yang belum pernah dia rasakan di apartemen megah mana pun. Pintu dapur bergoyang sedikit, lalu terbuka. Melon muncul dengan nampan berisi tiga gelas teh manis dan sepiring pisang goreng panas. Aromanya menggoda, mengepul ringan di atas meja ruang tamu. “Teh manis. Tanpa racun, sayangnya,” ujar Melon sambil duduk. Kiwi menerima gelasnya dengan senyum sumringah. “Kalau Ibu racuni saya, nanti siapa yang bantu buka toples garam?” Melon menatapnya datar. “Saya bisa beli toples baru. Yang tutupnya lebih bersahabat.” Jeruk menunjuk pisang goreng. “Om Kiwi harus cobain ini. Ibu nggak pernah bikin banyak kecuali lagi senang.” Melon melempar pandangan tajam. “Jeruk.” “Apa? Kan bener?” jawab Jeruk polos sambil menggigit gorengan. Kiwi mengunyah satu pisang goreng, lalu mengangguk penuh penghormatan. “Ini luar biasa. Renyah di luar, lembut di dalam, dan... ada kehangatan batin di tiap gigitan.” Melon berdehem. “Bapak Kiwi ini kalau nggak jadi arsitek, pasti cocok jadi bintang iklan makanan.” “Sayangnya iklan saya hanya tayang di satu saluran: hati Ibu.” Jeruk menatap Kiwi, lalu menoleh ke ibunya. “Om Kiwi suka flirting, ya?” Melon terbatuk. Kiwi menepuk-nepuk punggung Jeruk yang tidak batuk, tapi ikut terhibur. “Om Kiwi cuma sedang jujur,” kata Kiwi kalem. “Bapak terlalu jujur,” balas Melon cepat. “Saya belum sampai tahap bisa digombali tanpa refleks ingin menyiram orang.” “Tapi Ibu sudah mau bikin teh dan pisang goreng. Itu progres signifikan.” “Saya bikin karena lapar.” “Dan karena saya di sini.” Melon mengangkat alis. “Pede sekali.” Kiwi meminum teh pelan. “Kalau saya nggak pede, saya nggak bakal duduk di sini dengan Milo berkeliaran di bawah meja.” Jeruk menunduk dan melihat Milo tengah tidur lelap. “Milo suka Om Kiwi sekarang.” Kiwi pura-pura terharu. “Akhirnya saya diterima seekor anjing dan seorang anak. Sekarang tinggal... satu target utama.” Melon menatapnya tajam. “Pak Kiwi, saya ini janda satu anak. Mantan saya bukan orang biasa. Saya bisa garuk kaca pakai tatapan.” “Saya juga bukan orang biasa. Saya bisa rebus air cuma pakai tekad.” Tiba-tiba suara bel rumah berbunyi. Semua menoleh. Melon berdiri cepat. “Siapa malam-malam begini?” Kiwi berdiri juga. “Mungkin saya dikejar karma karena terlalu banyak bercanda.” Jeruk berbisik, “Kalau yang datang mantan Ibu, aku ambil popok lama buat lempar.” Melon menuju pintu dan membuka sedikit. Seorang perempuan muda dengan rambut panjang rapi berdiri di luar pagar sambil membawa map cokelat. “Ibu Melon, ya?” tanya perempuan itu sopan. “Iya. Ada apa?” “Saya dari kantor notaris. Kami ingin membicarakan surat warisan dari almarhumah Tante Lusi...” Melon membeku seketika. Kiwi dan Jeruk yang mendengar dari dalam langsung saling menatap. “Warisan?” gumam Melon. Perempuan itu tersenyum kecil. “Rumah ini salah satunya. Tapi... sepertinya ada satu nama tambahan yang cukup mengejutkan.” Jeruk langsung menoleh ke Kiwi. “Jangan-jangan nama Om ada di situ juga?” Kiwi mengangkat tangan. “Saya baru pindah minggu lalu. Saya bahkan belum sempat bayar iuran keamanan.” Melon menarik napas panjang. “Masuk dulu, Mbak. Kalau bawa kejutan, sekalian bawa camilan juga.” Kiwi menatap ke arah pintu yang kembali tertutup. Rasa penasaran langsung memenuhi kepalanya. Sop tulang, pisang goreng, dan teh manis mendadak berubah rasa: dari hangat jadi penuh tanda tanya. Dan sepertinya, malam itu akan jauh dari tenang.Pagi itu udara terasa cerah, matahari bersinar malu-malu di balik awan tipis. Melon dan Jeruk baru saja selesai sarapan. Meja makan telah dirapikan, dan Jeruk sibuk merapikan ransel untuk berangkat sekolah. “Ibu, aku masuk siang hari ini, ya,” kata Jeruk sambil membuka jadwal pelajaran. “Katanya guru lagi rapat dulu.” Melon mengangguk. “Kalau begitu, kita sempatin ke toko buku dulu, kamu kan mau beli pensil warna baru.” Jeruk berseru, “Yay!” Setelah berganti pakaian dan siap, Melon menggandeng tangan Jeruk keluar rumah. Mereka berjalan santai ke arah jalan utama kompleks. Tapi baru lima langkah dari gerbang, seseorang menghentikan langkah mereka. “Melon?” Melon menoleh. Di depannya berdiri seorang perempuan muda dengan dandanan modis dan riasan tipis. Rambutnya dicat cokelat lembut dan kulitnya tampak terawat. Senyumnya ramah, tapi matanya menyiratkan maksud yang tidak ringan. “Lele?” tanya Melon pelan. Lengkuasa Astari—atau Lele—mengangguk. “Akhirnya kita ketemu juga.” Melon
Sore mulai turun perlahan, cahaya matahari melembut di antara sela pepohonan. Melon duduk di dapur rumah Bu Rika bersama dua ibu tetangga lainnya—Bu Rumi dan Bu Leli. Tangan mereka sibuk membungkus lumpia dengan isian rebung dan wortel, tapi obrolan yang mengalir justru jadi hiburan paling segar. “Melon ini, ya,” kata Bu Rumi sambil tertawa. “Baru ditinggal cowok sebentar aja, langsung bangkit kayak bunga yang disiram pupuk super.” “Kalau bukan karena niat sendiri, nggak bakal bisa, Bu,” sahut Melon sambil melipat lembaran kulit lumpia dengan rapi. “Soalnya kalau berharap orang lain terus, ya capek.” Bu Leli yang dari tadi lebih banyak diam, ikut menimpali, “Aku dengar-dengar, si Kiwi itu anak orang berada, ya? Ibunya sering pakai kalung mutiara ke pengajian?” Melon tertawa kecil. “Entahlah, Bu. Yang jelas, kalungnya bukan jaminan hatinya bersih dari keraguan.” Ketiga ibu itu tertawa serempak. Setelah lumpia selesai dibungkus, mereka mulai menggoreng bersama. Aroma harum memenuh
Pagi itu udara terasa lebih segar dari biasanya. Melon membuka jendela dapur, membiarkan semilir angin membawa aroma hujan semalam yang masih tertinggal di tanah. Sinar matahari yang lembut menyusup masuk, menyentuh wajahnya yang kini tampak lebih tenang. Tak ada lagi suara notifikasi pesan yang terus-menerus dari ponselnya. Kiwi tak menghubunginya sejak pesan terakhir yang ia kirim kemarin. Melon menyeduh teh untuk dirinya sendiri dan menyusun bekal untuk Jeruk. Sambil memotong roti dan menyiapkan buah-buahan kecil dalam kotak, ia bersenandung pelan lagu anak-anak. Di wajahnya, ada kedamaian baru. Bukan karena tak ada luka, tapi karena luka itu sudah ia pilih untuk tidak lagi dipegang erat. Jeruk masuk ke dapur dengan rambut acak-acakan dan wajah setengah mengantuk. “Ibu... hari ini aku bawa bekal pastel, nggak?” “Enggak, hari ini kita ganti menu. Roti isi dan potongan semangka. Mau?” jawab Melon sambil tersenyum. Jeruk mengangguk. “Aku suka semangka. Tapi... Ibu udah nggak sedi
Matahari pagi menembus tirai rumah Melon, menerangi ruang tamu yang biasanya hangat dengan suara tawa, kini terasa lengang. Meja makan sudah tertata rapi: dua piring nasi goreng, dua gelas susu, dan sepiring kerupuk. Jeruk duduk sambil menggoyang-goyangkan kakinya, mulutnya sibuk mengunyah.Melon duduk di seberangnya, mengenakan blus putih dan celana jeans, wajahnya cantik tapi dingin. Tak ada lagi senyum tipis setiap kali ponselnya berbunyi. Bahkan saat ponselnya bergetar berkali-kali sejak tadi pagi—ia tak melirik sedikit pun.Jeruk melirik layar ponsel di meja. “Om Kiwi nelepon, Bu.”Melon menyendok nasi goreng, mengunyahnya pelan, lalu menelan. “Biarin aja.”Jeruk terdiam sesaat, lalu melanjutkan makannya. “Ibu marah ya?”“Nggak,” jawab Melon datar. “Ibu cuma belajar untuk nggak peduli sama orang yang juga nggak tahu caranya menjaga perasaan orang lain.”Jeruk menatap ibunya sebentar. Lalu pelan-pelan, ia mendorong selembar gambar ke arah Melon. “Aku gambar Om Kiwi tadi pagi. Tapi
Malam itu hujan turun rintik-rintik, membasahi jalanan kompleks yang sepi. Di dalam rumah Melon, suara Jeruk terdengar riang dari kamar, menonton kartun sambil ngemil biskuit. Sementara di ruang tamu, Kiwi dan Melon duduk berdampingan, membahas rencana Kiwi yang akan mengajak mereka piknik ke luar kota akhir pekan nanti. Namun ketenangan itu terganggu ketika ponsel Kiwi berdering. Melon melirik sekilas—nama yang muncul di layar itu tidak asing. Lengkuasa Astari. Gadis perjodohan itu. Kiwi refleks mematikan nada dering dan membalikkan ponsel. “Nggak penting,” katanya cepat. Tapi Melon terlanjur melihat nama yang tertera. “Lele?” tanyanya tenang, namun jelas suaranya berubah dingin. Kiwi menggaruk tengkuknya. “Dia cuma nanya kabar tadi siang, aku belum bales.” “Kenapa dia masih bisa hubungi kamu?” “Karena... waktu itu aku terlalu sopan buat langsung block.” Melon menyilangkan tangan. “Sopan ke mantan calon istri, tapi ngegantung perempuan yang kamu bilang seriusin? Menarik.” Ki
Langit mulai merona jingga ketika Kiwi memacu motornya menuju rumah Melon. Angin sore menerpa wajahnya, namun pikirannya jauh lebih bergejolak dari sekadar terpaan udara. Kata-kata Lele terus terngiang di kepalanya: “Kamu kejar perempuan itu, sebelum dia mikir kamu bukan pria yang layak diperjuangkan.” Begitu sampai di depan rumah Melon, Kiwi menghela napas panjang. Tangannya sempat ragu mengetuk pagar. Tapi sebelum ia bisa bergerak, suara anak kecil terdengar dari dalam halaman. “Om Kiwi!” Jeruk berteriak girang sambil berlari menghampiri pagar. Ia membuka gerbang tanpa ragu dan langsung memeluk kaki Kiwi. “Om kemarin nggak jadi datang, Ibu masak pastel banyak banget loh!” Kiwi berjongkok, memeluk Jeruk erat. “Maaf ya, Sayang. Om ada urusan penting waktu itu.” Jeruk cemberut. “Lebih penting dari pastel?” Kiwi terkekeh. “Nggak ada yang lebih penting dari pastel Ibu kamu.” Melon muncul dari ambang pintu dengan ekspresi datar. Ia mengenakan kaus lengan panjang dan celana santai, r