Beranda / Romansa / Kecantol Cinta Janda / bab 2 Kejahilan Kiwi dan Jeruk

Share

bab 2 Kejahilan Kiwi dan Jeruk

Penulis: Author Receh
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-27 19:49:56

Sore menjelang. Burung-burung mulai hinggap di kabel listrik, dan langit berubah warna oranye lembut. Kiwi muncul di depan pagar rumah Melon sambil membawa keranjang rotan kecil berisi buah-buahan segar. Penampilannya rapi, memakai kaus polo warna pastel dan celana pendek santai. Di tangan kirinya, ada satu kotak kecil berisi roti pisang.

Pagar terbuka pelan.

“Permisi. Bu Melon?” panggil Kiwi sambil melongok ke dalam halaman.

Jeruk berlari keluar dari arah dapur dengan mulut belepotan cokelat. “Om Kiwi datang!”

Langkah kaki terdengar dari arah dalam rumah. Melon muncul sambil mengelap tangannya dengan lap dapur, daster kali ini bermotif anggur. Rambutnya diikat asal, tapi senyumnya seolah membuat sore lebih cerah.

“Bawa apa lagi, Pak Kiwi? Jangan-jangan benar-benar niat kampanye.”

Kiwi mengangkat keranjang buah. “Tebakan yang salah. Ini bukan kampanye, ini murni diplomasi antar tetangga. Dan, karena saya tidak tahu buah favorit Ibu, saya bawa semuanya.”

Melon menatap isi keranjang itu: apel, anggur, pisang, jeruk, dan tentu saja satu buah melon yang tergeletak manis di tengah.

“Luar biasa.” Melon mengangguk-angguk. “Bapak Kiwi sangat komprehensif dalam pendekatan. Bahkan bawa buah yang sama dengan nama saya.”

“Biar tidak lupa,” ujar Kiwi cepat.

Jeruk menyela, “Om Kiwi boleh masuk nggak? Nanti kena nyamuk.”

Melon mendesah. “Baiklah. Tapi jangan lama-lama. Saya sedang masak sop tulang ayam.”

Kiwi melangkah masuk. Aroma harum dari dapur langsung menyambut hidungnya. Ia menaruh keranjang di atas meja tamu, lalu duduk di kursi rotan dekat jendela.

Jeruk memanjat ke pangkuannya tanpa permisi. “Om Kiwi suka nonton kartun?”

“Kadang-kadang. Tapi Om lebih sering nonton berita, biar nggak ketinggalan dunia.”

Jeruk menatapnya dalam. “Berarti Om sudah tua.”

Kiwi terdiam. Melon tertawa dari dapur. “Maaf ya, Pak Kiwi. Anak saya memang jujur sejak kecil.”

Kiwi mengangkat alis. “Berarti nanti kalau saya tanya, ‘Ibunya Jeruk suka saya nggak’, dia juga bakal jawab jujur?”

Melon langsung muncul dari dapur. “Pak Kiwi suka main api, ya? Padahal rumah saya banyak bahan bakarnya.”

Kiwi pura-pura berpikir. “Bahan bakar seperti... amarah janda berdaster anggur?”

Melon melempar tatapan geli. “Lebih tepatnya, emosi ibu rumah tangga yang belum makan siang karena sibuk bersihin kencing Milo di karpet.”

Jeruk tertawa geli. “Milo kencing lagi?!”

Kiwi ikut tertawa. “Saya bisa panggilkan pelatih anjing kalau Ibu mau. Sebagai kompensasi salah tuduh kemarin.”

Melon menyandarkan diri di dinding dapur. “Saya sudah maafkan sejak Ibu lihat Bapak panik dengan kardus rice cooker. Tapi saya belum lupakan ekspresi Bapak saat tahu nama saya Melon.”

“Saya belum bisa lupakan sampai sekarang. Apalagi setelah tahu anaknya Jeruk. Saya takut besok ketemu Nona Sirsak atau Bayi Pepaya.”

Jeruk berteriak, “Aku mau punya adik namanya Semangka!”

Melon melotot. “Jeruk!”

Kiwi langsung menutup mulut dengan kedua tangan, menahan tawa sekuat tenaga. “Wah, usulan yang sangat visioner.”

Melon menggeleng sambil masuk ke dapur. “Kalau Bapak masih bercanda terus, saya tambahkan cabai rawit ke sop tulang ini.”

“Saya tahan pedas,” sahut Kiwi mantap.

Jeruk menatap Kiwi dengan serius. “Om Kiwi tahan pedas. Ibu juga galak. Cocok, ya?”

Kiwi dan Melon sama-sama terdiam. Lalu, tawa pecah di antara mereka bertiga. Hangat, sederhana, dan entah kenapa terasa seperti awal dari rumah yang lebih dari sekadar tempat tinggal.

Malam tiba. Lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu, menandakan aktivitas mulai bergeser ke dalam ruangan. Kiwi masih duduk di ruang tamu rumah Melon, kini memegang mangkuk sop tulang panas buatan tangan sang janda daster anggur. Aroma rempah dan kaldu memenuhi udara, membuat perutnya kembali berbunyi meski sudah menghabiskan dua potong roti pisang tadi.

“Kalau saya tahu sopnya seenak ini, saya sudah pindah ke kompleks ini sejak tiga tahun lalu,” ujar Kiwi sambil menyeruput kuah.

Melon menyendok tulang ayam ke piringnya tanpa menoleh. “Kalau saya tahu tetangga depan rumah suka muji sambil ngabisin, saya pasti pasang CCTV dari dulu.”

Jeruk yang duduk di antara mereka, menatap Kiwi dengan mata bulat. “Om Kiwi tinggal sendirian?”

“Sendiri banget. Bahkan kulkas saya isinya cuma air mineral, kecap, dan satu telur yang sudah retak sejak Lebaran kemarin.”

Melon menahan tawa. “Itu sih bukan hidup, itu bertahan dengan keajaiban.”

“Makanya saya datang ke sini. Butuh inspirasi dari dapur Ibu.”

Jeruk menyodorkan tulang ke arah Kiwi. “Ini susah dimakan. Tolongin dong.”

Kiwi dengan sigap membantu mengupas daging sisa di tulang itu. “Kamu tahu, Jeruk, kamu ini anak hebat. Usianya baru lima, tapi udah bisa makan sop tulang kayak orang dewasa.”

Melon menyela, “Enam. Tahun ini. Dan dia sudah bisa menilai pria mana yang bisa dipercaya.”

Jeruk mengangguk-angguk. “Om Kiwi bisa dipercaya. Soalnya Om nggak takut sama Milo.”

“Eh, siapa bilang? Saya masih trauma. Kalau Milo datang lagi, saya yang duluan naik pagar.”

Melon tertawa keras. “Berarti Bapak Kiwi cocoknya dikasih anjing boneka dulu.”

“Saya lebih cocok dikasih kucing. Lebih jinak, lebih manja... dan nggak gigit tamu.”

Jeruk menatap Kiwi, lalu menoleh ke ibunya. “Ibu juga suka kucing kan?”

Melon mengangkat bahu. “Dulu. Sekarang lebih suka... hidup tenang.”

Kiwi meletakkan mangkuknya, lalu duduk lebih tegak. “Kalau tenang itu artinya nggak ada yang ngajak ngobrol tiap malam, saya bisa bantu.”

Melon menoleh cepat. “Pak Kiwi, ini rumah saya, bukan program cari jodoh.”

“Saya tahu.” Kiwi menatap serius. “Tapi saya juga tahu, kalau tiap kali saya ngobrol sama Ibu, hidup saya rasanya nggak selucu biasanya. Ada... yang bikin saya pengin balik lagi.”

Sunyi sejenak.

Jeruk, yang sejak tadi memotong wortel di mangkuknya dengan sendok, tiba-tiba berkata, “Kalau Om Kiwi nikah sama Ibu, aku jadi punya dua piring sop.”

Melon mendelik. “Siapa bilang Ibu mau nikah lagi?”

Jeruk menjawab polos, “Tapi Om Kiwi bisa buka toples tanpa kesulitan. Beda sama Ibu.”

Kiwi menepuk dada. “Toples, botol galon, atau hati Ibu. Semuanya siap saya buka kalau diizinkan.”

Melon berdiri cepat. “Saya bikin teh dulu. Biar kepala saya dingin.”

Kiwi berbisik ke Jeruk, “Ibumu ini kuat, ya. Satu-satunya wanita yang bisa bikin saya gugup cuma dia.”

Jeruk mengangguk mantap. “Ibu bisa bikin semua orang gugup. Kecuali Milo.”

Dari arah dapur, terdengar suara Melon, “Saya dengar itu!”

Kiwi hanya tertawa, bahagia. Di rumah kecil berdaster motif buah, dia menemukan kehangatan yang belum pernah dia rasakan di apartemen megah mana pun.

Pintu dapur bergoyang sedikit, lalu terbuka. Melon muncul dengan nampan berisi tiga gelas teh manis dan sepiring pisang goreng panas. Aromanya menggoda, mengepul ringan di atas meja ruang tamu.

“Teh manis. Tanpa racun, sayangnya,” ujar Melon sambil duduk.

Kiwi menerima gelasnya dengan senyum sumringah. “Kalau Ibu racuni saya, nanti siapa yang bantu buka toples garam?”

Melon menatapnya datar. “Saya bisa beli toples baru. Yang tutupnya lebih bersahabat.”

Jeruk menunjuk pisang goreng. “Om Kiwi harus cobain ini. Ibu nggak pernah bikin banyak kecuali lagi senang.”

Melon melempar pandangan tajam. “Jeruk.”

“Apa? Kan bener?” jawab Jeruk polos sambil menggigit gorengan.

Kiwi mengunyah satu pisang goreng, lalu mengangguk penuh penghormatan. “Ini luar biasa. Renyah di luar, lembut di dalam, dan... ada kehangatan batin di tiap gigitan.”

Melon berdehem. “Bapak Kiwi ini kalau nggak jadi arsitek, pasti cocok jadi bintang iklan makanan.”

“Sayangnya iklan saya hanya tayang di satu saluran: hati Ibu.”

Jeruk menatap Kiwi, lalu menoleh ke ibunya. “Om Kiwi suka flirting, ya?”

Melon terbatuk. Kiwi menepuk-nepuk punggung Jeruk yang tidak batuk, tapi ikut terhibur.

“Om Kiwi cuma sedang jujur,” kata Kiwi kalem.

“Bapak terlalu jujur,” balas Melon cepat. “Saya belum sampai tahap bisa digombali tanpa refleks ingin menyiram orang.”

“Tapi Ibu sudah mau bikin teh dan pisang goreng. Itu progres signifikan.”

“Saya bikin karena lapar.”

“Dan karena saya di sini.”

Melon mengangkat alis. “Pede sekali.”

Kiwi meminum teh pelan. “Kalau saya nggak pede, saya nggak bakal duduk di sini dengan Milo berkeliaran di bawah meja.”

Jeruk menunduk dan melihat Milo tengah tidur lelap. “Milo suka Om Kiwi sekarang.”

Kiwi pura-pura terharu. “Akhirnya saya diterima seekor anjing dan seorang anak. Sekarang tinggal... satu target utama.”

Melon menatapnya tajam. “Pak Kiwi, saya ini janda satu anak. Mantan saya bukan orang biasa. Saya bisa garuk kaca pakai tatapan.”

“Saya juga bukan orang biasa. Saya bisa rebus air cuma pakai tekad.”

Tiba-tiba suara bel rumah berbunyi. Semua menoleh.

Melon berdiri cepat. “Siapa malam-malam begini?”

Kiwi berdiri juga. “Mungkin saya dikejar karma karena terlalu banyak bercanda.”

Jeruk berbisik, “Kalau yang datang mantan Ibu, aku ambil popok lama buat lempar.”

Melon menuju pintu dan membuka sedikit. Seorang perempuan muda dengan rambut panjang rapi berdiri di luar pagar sambil membawa map cokelat.

“Ibu Melon, ya?” tanya perempuan itu sopan.

“Iya. Ada apa?”

“Saya dari kantor notaris. Kami ingin membicarakan surat warisan dari almarhumah Tante Lusi...”

Melon membeku seketika. Kiwi dan Jeruk yang mendengar dari dalam langsung saling menatap.

“Warisan?” gumam Melon.

Perempuan itu tersenyum kecil. “Rumah ini salah satunya. Tapi... sepertinya ada satu nama tambahan yang cukup mengejutkan.”

Jeruk langsung menoleh ke Kiwi. “Jangan-jangan nama Om ada di situ juga?”

Kiwi mengangkat tangan. “Saya baru pindah minggu lalu. Saya bahkan belum sempat bayar iuran keamanan.”

Melon menarik napas panjang. “Masuk dulu, Mbak. Kalau bawa kejutan, sekalian bawa camilan juga.”

Kiwi menatap ke arah pintu yang kembali tertutup. Rasa penasaran langsung memenuhi kepalanya. Sop tulang, pisang goreng, dan teh manis mendadak berubah rasa: dari hangat jadi penuh tanda tanya.

Dan sepertinya, malam itu akan jauh dari tenang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 8 Pertengkaran Melon dan Kiwi

    Sore itu, langit berwarna jingga pucat saat Melon dan Kiwi duduk di bangku taman, masing-masing memegang es krim rasa favorit. Jeruk bermain di ayunan tak jauh dari mereka, tertawa-tawa bersama anak-anak lain. Awalnya, suasana begitu nyaman. Kiwi bercerita tentang pekerjaannya, Melon menimpali dengan candaan, lalu tertawa bersama. Namun, ketika Kiwi mulai berbicara serius, nada suaranya berubah. “Aku sempat dengar dari Jeruk... kamu ketemu mantan di mal, ya?” Melon yang sedang menjilat es krim vanila tiba-tiba diam. Ia menoleh perlahan. “Iya. Kenapa?” Kiwi mencoba tersenyum, tapi senyumnya canggung. “Cuma nanya, kok. Tapi kenapa kamu nggak cerita?” Melon mengangkat alis. “Itu cuma ketemu biasa. Dia cuma nyapa, terus aku tinggalin. Bukan hal penting.” Kiwi menoleh ke arah Jeruk, lalu kembali menatap Melon. “Tapi buat aku, itu cukup penting buat diceritain. Biar aku nggak denger dari orang lain.” Melon menghela napas. “Kiwi, kamu bukan pacarku. Kita nggak punya kewajiban lapor-lap

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 7 Bertemu Lemonta

    Siang itu, Mall Citrus Square cukup ramai. Musik pop kekinian mengalun dari speaker, terdengar samar di antara hiruk pikuk orang berlalu-lalang. Melon melangkah santai di koridor, matanya menyapu etalase butik yang memajang diskon besar-besaran. Ia mengenakan blouse putih sederhana, celana jeans high-waist dan sling bag cokelat muda yang serasi dengan sneakers-nya. Wajahnya santai, matanya ceria. “Astaga, masker buy 2 get 3? Ini sih rezeki anak janda!” bisiknya sambil nyengir sendiri, lalu segera masuk ke toko skincare dengan langkah penuh semangat. Beberapa menit kemudian, setelah berhasil memborong sheet mask dan satu lip tint yang sebenarnya tidak ia butuhkan, Melon keluar dari toko sambil membuka ponselnya—niatnya cuma cek saldo. Tapi langkahnya mendadak terhenti begitu suara berat, sangat dikenal, memanggil dari arah samping. “Melon?” Langkahnya beku. Seolah namanya tadi dipanggil oleh masa lalu yang terlalu tajam untuk diulang. Ia menoleh pelan. Dan benar saja. Di sana, be

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 6 Gombalan Kiwi

    Malam semakin larut. Lampu ruang makan menyala temaram, menciptakan bayangan hangat di dinding. Melon dan Kiwi masih duduk berdampingan, tangan mereka bertaut di atas meja, tapi tak ada kecanggungan. Hanya keheningan nyaman yang menggantung di antara mereka. Kiwi menguap kecil sambil meregangkan lengan. “Aduh, kalau ngobrol sama kamu, waktu kerasa kayak sepuluh menit. Padahal tahu-tahu udah hampir tengah malam.” Melon tersenyum. “Kalau kamu ngantuk, pulang aja. Jangan sampai besok telat kerja gara-gara nemenin janda insecure.” Kiwi memiringkan kepala, matanya menyipit dramatis. “Tuh kan, mulai lagi... janda insecure. Udah saya bilang, kamu jangan panggil diri kamu gitu. Kamu tuh janda rasa premium.” Melon tertawa kecil, geleng-geleng. “Rasa premium?” “Ya. Kalau kamu itu buah, pasti masuk golongan langka, manis, mahal, dan cepet habis kalau diburu orang,” jelas Kiwi sambil memainkan gelas airnya. “Makanya saya buru duluan sebelum diserbu yang lain.” “Kalau kamu, buahnya apa

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 5 Bijaknya Kiwi

    Angin sore mulai berembus pelan, mengibaskan rambut Melon yang kini duduk bersandar di pohon, napasnya sedikit terengah setelah "perang buah" kecil yang mereka lakukan. Jeruk tertidur pulas di atas tikar, dengan Milo yang meringkuk di sampingnya seperti penjaga setia. Pipinya belepotan bekas semangka, tapi ia tetap terlihat damai. Kiwi duduk di dekat mereka, mencoba mengelap pipinya dengan tisu sambil mencuri pandang ke arah Melon yang kini diam, memandangi langit dengan pandangan kosong. Kiwi menyenggol lengannya pelan. “Kok jadi diam? Kalah perang, ya?” Melon mengerjap, lalu tersenyum. “Enggak. Cuma mikir.” “Serius banget. Sampai nggak berkedip.” Melon menghela napas. “Aneh aja. Saya nggak nyangka bisa ketawa-tawa lagi kayak tadi. Apalagi sama orang baru yang...,” ia berhenti sejenak, menatap Kiwi dengan tatapan geli, “...nama ibunya Bu Nangka.” Kiwi tertawa. “Itu pertanda Tuhan masih sayang sama kamu. Kalau kamu bisa ketawa hari ini, berarti Tuhan kasih kamu izin buat b

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 4 Ibu Nangka

    Matahari siang menyinari taman kota dengan hangat, tidak terlalu terik, hanya cukup membuat daun-daun pohon berkilau. Anak-anak berlarian di antara ayunan dan perosotan, sesekali terdengar suara tertawa dan teriakan gembira. Kiwi berjalan santai di samping Melon, membawa dua gelas es kelapa muda yang baru dibeli dari gerobak pinggir jalan. Jeruk berjalan di depan mereka sambil menarik Milo dengan tali kekang. Anjing itu tampak lebih jinak hari ini—mungkin karena diberi sosis sebelum berangkat. “Kalau Milo nyeret tali lagi, aku langsung naik ke pundak Om Kiwi!” teriak Jeruk sambil setengah berlari. Kiwi menjawab dengan suara nyaring, “Om siap, tapi pundak Om bukan angkot!” Melon menggeleng pelan. “Kamu ini ya, selalu bikin suasana kayak film kartun.” Kiwi menyodorkan satu gelas es kelapa ke Melon. “Minum dulu. Biar nggak sewot terus, Bu Janda Ceria.” Melon men

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 3 Pelanggan Centong

    Kiwi menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia menggeser gelas tehnya yang sudah kosong, lalu menghela napas panjang. “Sepertinya saya harus pamit. Kalau kelamaan di sini, bisa-bisa saya dikira pengontrak baru,” ucapnya sambil berdiri, merapikan kemejanya yang sedikit kusut karena duduk terlalu santai. Melon mengangguk tanpa menoleh. Ia masih duduk di sofa, memegang map cokelat dari notaris yang tadi datang. Wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya. “Terima kasih ya, sudah mampir. Maaf, jadi nggak bisa ngobrol lebih lama,” ujarnya datar, tapi masih sopan. Kiwi tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Urusan warisan memang nggak bisa disambi dengan lelucon gombal.” Jeruk mendekati Kiwi, lalu memeluk pinggang pria itu dengan satu tangan mungilnya. “Om Kiwi nanti main lagi, ya. Tapi jangan malam-malam, biar Ibu nggak deg-degan.” Kiwi terkekeh. “Siap, Komandan Jeruk. Lain kali saya datang bawa perisai, siapa tahu Milo lagi bad mood.” Milo mendongak se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status