Pagi hari di kompleks Tropica Garden biasanya tenang. Tapi hari ini, suasana mendadak kacau gara-gara suara jeritan dari rumah nomor tujuh belas.
“Hei! Siapa yang nyuruh buka pagar rumah ini?! Anjing siapa yang barusan kejar-kejar anak saya?!” Kiwi Arsenio, pemilik baru rumah itu, terlonjak dari dalam garasi sambil membawa kardus rice cooker. Wajahnya penuh kebingungan dan sedikit panik. “Maaf? Ada apa ya?” tanya Kiwi cepat. Seorang wanita berambut cepol acak-acakan berdiri di luar pagar sambil menggendong anak kecil yang menangis kencang. Daster pink bermotif buah naga yang dikenakannya berkibar terkena angin kipas angin portable yang digantung di stroller anaknya. “Anjing! Masuk dari pagar rumah ini dan kejar anak saya yang lagi main sepeda roda tiga! Lalu jatuh, kakinya lecet! Bapak pemilik rumah ini?” suara wanita itu tegas seperti guru BK zaman sekolah. “Eh, iya. Saya Kiwi. Baru pindah pagi ini. Tapi saya belum punya anjing. Bahkan belum sempat kenalan sama tetangga sekitar.” Wanita itu menatap tajam. “Jadi anjing siapa itu? Warnanya cokelat muda, lidahnya panjang, dan pakai kalung warna biru. Dia keluar dari pagar ini. Anak saya trauma sekarang!” Kiwi menoleh ke dalam rumah. Kemudian ia menoleh lagi ke wanita itu dengan ekspresi menyesal. “Mungkin... itu anjing tetangga yang ikut-ikutan pindah? Atau mungkin... nyasar?” “Nyasar? Kalau nyasar, kenapa keluar dari rumah Bapak? Pagar rumah ini terbuka, dan anjing itu keluar dari sini!” Kiwi memandang pagar rumahnya. Benar, terbuka sedikit. Tapi dia yakin tidak pernah membukanya. “Tunggu. Saya baru buka kunci pagi tadi, tapi langsung menutup kembali. Mungkin tukang ekspedisi yang tadi datang?” Wanita itu mendengus. “Ya sudah, kalau begitu nanti saya kirim tagihan salep luka dan susu cokelat buat anak saya.” “Saya bersedia mengganti, sungguh. Tapi... saya belum kenal Ibu. Boleh tahu nama Ibu siapa?” “Melon. Melon Zavira.” Kiwi tercengang. “Melon? Seperti buah itu?” Melon mengangkat alis. “Ada masalah dengan nama saya?” “Tidak, tidak. Justru... unik. Saya suka melon. Maksud saya, buahnya. Eh, maksud saya... ya ampun, saya ngomong apa sih.” Melon mendelik. “Bapak sepertinya belum sarapan. Jadi bicara tidak karuan.” Kiwi nyengir. “Mungkin karena grogi. Jarang-jarang dimarahi ibu-ibu berdaster buah naga.” Melon mendecak. “Kalau Bapak tidak bisa jaga pagar, minimal jaga mulut.” Sepersekian detik kemudian, seekor anjing cokelat muda berlari dari arah rumah seberang dan langsung duduk manis di kaki Melon. Melon menunduk. “Milo? Kamu dari mana?!” Kiwi menahan tawa. “Jadi, ini... anjing Ibu sendiri?” Melon diam sejenak. Matanya berkedip cepat. Anaknya yang tadi menangis, kini malah tertawa melihat Milo menggoyang-goyangkan ekor. “Milo... kabur lagi, ya?” gumam Melon pelan. Kiwi menundukkan kepala sedikit. “Berarti, saya boleh minta maafnya sekarang?” Melon tidak menjawab. Ia menatap Kiwi dari ujung kepala sampai kaki. Lalu dengan suara datar, ia berkata, “Saya malu.” Kiwi tertawa kecil. “Saya sih senang. Akhirnya tahu siapa tetangga heboh saya di kompleks ini.” Melon mengangkat dagu. “Dan saya tahu siapa tetangga yang terlalu tampan untuk punya rice cooker di kardus.” Kiwi tersenyum lebar. “Jadi kita imbang, ya?” Melon membalik badan. “Besok, pastikan pagar rumah Bapak benar-benar tertutup.” “Siap, Bu Melon. Saya juga akan pastikan Milo tidak menyamar jadi anjing misterius lagi.” Dan sejak saat itu, Kiwi yakin: pindah ke rumah itu bukan sekadar takdir biasa. Ada janda berdaster buah naga yang akan mengubah segalanya. Satu jam setelah insiden anjing dan rice cooker, Kiwi memutuskan untuk jalan-jalan kecil keliling kompleks. Selain untuk cari udara segar, dia juga berharap tidak bertemu lagi dengan Melon dalam waktu dekat. Harga dirinya baru saja dibanting oleh seekor anjing bernama Milo. Namun harapan tinggal harapan. Baru belok di tikungan, Kiwi nyaris tabrakan dengan seseorang yang sedang jongkok di depan pot bunga sambil mengangkat selang air. “Maaf! Saya nggak lihat!” seru Kiwi cepat sambil menahan diri agar tidak menginjak kaktus hias yang berdiri gagah di depan kaki wanita itu. Melon mendongak pelan. Kali ini, dasternya berganti. Sekarang motif semangka. Lengkap dengan bijinya. “Lagi-lagi Bapak?” tanya Melon tanpa ekspresi. Kiwi mengangkat kedua tangannya. “Saya cuma mau jalan-jalan. Sungguh, bukan niat stalking.” “Siapa yang bilang Bapak stalking?” Melon berdiri sambil menepuk-nepuk lututnya. “Saya malah curiga, jangan-jangan rumah Bapak sebenarnya penuh kamera tersembunyi.” “Kalau iya, saya pasti tahu lebih dulu bahwa Ibu punya koleksi daster buah yang sangat... konsisten.” Melon mendecak. “Komentar soal daster tidak membuat saya terkesan, Pak Kiwi.” Kiwi tertawa. “Jangan-jangan Ibu memang menyiapkan satu daster untuk setiap buah yang ada di minimarket.” “Memangnya kenapa? Saya suka buah, suka motifnya, dan suka harga diskonnya.” Kiwi mengangguk-angguk. “Berarti kalau suatu hari saya lihat Ibu pakai daster durian, saya harus ekstra hati-hati.” Melon menyipitkan mata. “Bapak bisa saja kena tusuk lidi dari semangka ini.” “Tunggu, memang semangka pakai lidi?” “Kalau semangka ini dari saya, bisa.” Kiwi terdiam. Lalu tertawa kecil. “Ibu termasuk kategori wanita yang tidak bisa ditebak, ya.” “Tentu saja. Saya sudah janda, punya anak, dan tetap bisa bikin pria tampan kehilangan kata-kata di tengah jalan kompleks.” Kiwi tertawa lebih keras. “Aduh. Tolong, Bu Melon. Saya menyerah.” Tiba-tiba, anak Melon—si kecil yang tadi menangis—berlari dari arah rumah sambil membawa sepeda kecilnya. Ia berhenti tepat di samping Kiwi, lalu memandang pria itu lama sekali. “Om... tadi Om bikin aku jatuh ya?” Kiwi langsung jongkok. “Wah, enggak dong. Om malah pengin minta maaf karena Om enggak bisa tangkap anjing nakal itu.” Anak itu menatap Kiwi lama. “Namaku Jeruk.” Kiwi melongo. “Jeruk?” Melon menjawab dari belakang. “Nama lengkapnya Jeruk Valencia Zafiero. Masalah?” Kiwi berdiri perlahan. “Tidak, tidak. Sama sekali tidak masalah. Saya suka jeruk. Sangat.” Jeruk tersenyum. “Kalau Om suka buah, berarti cocok main ke rumah kami. Ibu punya banyak daster buah juga.” Melon langsung menepuk dahinya. “Jeruk... ayo masuk.” “Tapi aku suka Om Kiwi.” Kiwi tersenyum senang. “Saya juga suka kamu, Jeruk.” Melon menarik napas panjang. “Om Kiwi, tolong jangan racuni anak saya dengan pesona palsu.” Kiwi tertawa. “Kalau pesona ini palsu, berarti saya perlu izin khusus buat datang besok dengan buah tangan.” Melon diam sejenak. Lalu berkata, “Boleh saja. Asal buahnya asli, bukan modus.” Kiwi mengangguk mantap. “Janji. Nanti saya bawakan... melon.” Melon memutar bola mata. Jeruk tertawa keras. Dan pagi yang kacau itu berubah menjadi awal dari sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh logika—mungkin cinta, mungkin bencana. Tapi yang pasti, tidak ada yang bisa menolak pesona seorang janda berdaster semangka.Sore itu, langit berwarna jingga pucat saat Melon dan Kiwi duduk di bangku taman, masing-masing memegang es krim rasa favorit. Jeruk bermain di ayunan tak jauh dari mereka, tertawa-tawa bersama anak-anak lain. Awalnya, suasana begitu nyaman. Kiwi bercerita tentang pekerjaannya, Melon menimpali dengan candaan, lalu tertawa bersama. Namun, ketika Kiwi mulai berbicara serius, nada suaranya berubah. “Aku sempat dengar dari Jeruk... kamu ketemu mantan di mal, ya?” Melon yang sedang menjilat es krim vanila tiba-tiba diam. Ia menoleh perlahan. “Iya. Kenapa?” Kiwi mencoba tersenyum, tapi senyumnya canggung. “Cuma nanya, kok. Tapi kenapa kamu nggak cerita?” Melon mengangkat alis. “Itu cuma ketemu biasa. Dia cuma nyapa, terus aku tinggalin. Bukan hal penting.” Kiwi menoleh ke arah Jeruk, lalu kembali menatap Melon. “Tapi buat aku, itu cukup penting buat diceritain. Biar aku nggak denger dari orang lain.” Melon menghela napas. “Kiwi, kamu bukan pacarku. Kita nggak punya kewajiban lapor-lap
Siang itu, Mall Citrus Square cukup ramai. Musik pop kekinian mengalun dari speaker, terdengar samar di antara hiruk pikuk orang berlalu-lalang. Melon melangkah santai di koridor, matanya menyapu etalase butik yang memajang diskon besar-besaran. Ia mengenakan blouse putih sederhana, celana jeans high-waist dan sling bag cokelat muda yang serasi dengan sneakers-nya. Wajahnya santai, matanya ceria. “Astaga, masker buy 2 get 3? Ini sih rezeki anak janda!” bisiknya sambil nyengir sendiri, lalu segera masuk ke toko skincare dengan langkah penuh semangat. Beberapa menit kemudian, setelah berhasil memborong sheet mask dan satu lip tint yang sebenarnya tidak ia butuhkan, Melon keluar dari toko sambil membuka ponselnya—niatnya cuma cek saldo. Tapi langkahnya mendadak terhenti begitu suara berat, sangat dikenal, memanggil dari arah samping. “Melon?” Langkahnya beku. Seolah namanya tadi dipanggil oleh masa lalu yang terlalu tajam untuk diulang. Ia menoleh pelan. Dan benar saja. Di sana, be
Malam semakin larut. Lampu ruang makan menyala temaram, menciptakan bayangan hangat di dinding. Melon dan Kiwi masih duduk berdampingan, tangan mereka bertaut di atas meja, tapi tak ada kecanggungan. Hanya keheningan nyaman yang menggantung di antara mereka. Kiwi menguap kecil sambil meregangkan lengan. “Aduh, kalau ngobrol sama kamu, waktu kerasa kayak sepuluh menit. Padahal tahu-tahu udah hampir tengah malam.” Melon tersenyum. “Kalau kamu ngantuk, pulang aja. Jangan sampai besok telat kerja gara-gara nemenin janda insecure.” Kiwi memiringkan kepala, matanya menyipit dramatis. “Tuh kan, mulai lagi... janda insecure. Udah saya bilang, kamu jangan panggil diri kamu gitu. Kamu tuh janda rasa premium.” Melon tertawa kecil, geleng-geleng. “Rasa premium?” “Ya. Kalau kamu itu buah, pasti masuk golongan langka, manis, mahal, dan cepet habis kalau diburu orang,” jelas Kiwi sambil memainkan gelas airnya. “Makanya saya buru duluan sebelum diserbu yang lain.” “Kalau kamu, buahnya apa
Angin sore mulai berembus pelan, mengibaskan rambut Melon yang kini duduk bersandar di pohon, napasnya sedikit terengah setelah "perang buah" kecil yang mereka lakukan. Jeruk tertidur pulas di atas tikar, dengan Milo yang meringkuk di sampingnya seperti penjaga setia. Pipinya belepotan bekas semangka, tapi ia tetap terlihat damai. Kiwi duduk di dekat mereka, mencoba mengelap pipinya dengan tisu sambil mencuri pandang ke arah Melon yang kini diam, memandangi langit dengan pandangan kosong. Kiwi menyenggol lengannya pelan. “Kok jadi diam? Kalah perang, ya?” Melon mengerjap, lalu tersenyum. “Enggak. Cuma mikir.” “Serius banget. Sampai nggak berkedip.” Melon menghela napas. “Aneh aja. Saya nggak nyangka bisa ketawa-tawa lagi kayak tadi. Apalagi sama orang baru yang...,” ia berhenti sejenak, menatap Kiwi dengan tatapan geli, “...nama ibunya Bu Nangka.” Kiwi tertawa. “Itu pertanda Tuhan masih sayang sama kamu. Kalau kamu bisa ketawa hari ini, berarti Tuhan kasih kamu izin buat b
Matahari siang menyinari taman kota dengan hangat, tidak terlalu terik, hanya cukup membuat daun-daun pohon berkilau. Anak-anak berlarian di antara ayunan dan perosotan, sesekali terdengar suara tertawa dan teriakan gembira. Kiwi berjalan santai di samping Melon, membawa dua gelas es kelapa muda yang baru dibeli dari gerobak pinggir jalan. Jeruk berjalan di depan mereka sambil menarik Milo dengan tali kekang. Anjing itu tampak lebih jinak hari ini—mungkin karena diberi sosis sebelum berangkat. “Kalau Milo nyeret tali lagi, aku langsung naik ke pundak Om Kiwi!” teriak Jeruk sambil setengah berlari. Kiwi menjawab dengan suara nyaring, “Om siap, tapi pundak Om bukan angkot!” Melon menggeleng pelan. “Kamu ini ya, selalu bikin suasana kayak film kartun.” Kiwi menyodorkan satu gelas es kelapa ke Melon. “Minum dulu. Biar nggak sewot terus, Bu Janda Ceria.” Melon men
Kiwi menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia menggeser gelas tehnya yang sudah kosong, lalu menghela napas panjang. “Sepertinya saya harus pamit. Kalau kelamaan di sini, bisa-bisa saya dikira pengontrak baru,” ucapnya sambil berdiri, merapikan kemejanya yang sedikit kusut karena duduk terlalu santai. Melon mengangguk tanpa menoleh. Ia masih duduk di sofa, memegang map cokelat dari notaris yang tadi datang. Wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya. “Terima kasih ya, sudah mampir. Maaf, jadi nggak bisa ngobrol lebih lama,” ujarnya datar, tapi masih sopan. Kiwi tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Urusan warisan memang nggak bisa disambi dengan lelucon gombal.” Jeruk mendekati Kiwi, lalu memeluk pinggang pria itu dengan satu tangan mungilnya. “Om Kiwi nanti main lagi, ya. Tapi jangan malam-malam, biar Ibu nggak deg-degan.” Kiwi terkekeh. “Siap, Komandan Jeruk. Lain kali saya datang bawa perisai, siapa tahu Milo lagi bad mood.” Milo mendongak se