Beranda / Romansa / Kecantol Cinta Janda / Bab 3 Pelanggan Centong

Share

Bab 3 Pelanggan Centong

Penulis: Author Receh
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-27 19:54:53

Kiwi menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia menggeser gelas tehnya yang sudah kosong, lalu menghela napas panjang.

“Sepertinya saya harus pamit. Kalau kelamaan di sini, bisa-bisa saya dikira pengontrak baru,” ucapnya sambil berdiri, merapikan kemejanya yang sedikit kusut karena duduk terlalu santai.

Melon mengangguk tanpa menoleh. Ia masih duduk di sofa, memegang map cokelat dari notaris yang tadi datang. Wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya.

“Terima kasih ya, sudah mampir. Maaf, jadi nggak bisa ngobrol lebih lama,” ujarnya datar, tapi masih sopan.

Kiwi tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Urusan warisan memang nggak bisa disambi dengan lelucon gombal.”

Jeruk mendekati Kiwi, lalu memeluk pinggang pria itu dengan satu tangan mungilnya. “Om Kiwi nanti main lagi, ya. Tapi jangan malam-malam, biar Ibu nggak deg-degan.”

Kiwi terkekeh. “Siap, Komandan Jeruk. Lain kali saya datang bawa perisai, siapa tahu Milo lagi bad mood.”

Milo mendongak sebentar dari bawah meja, menggonggong pelan, lalu kembali tidur. Seolah menandakan izin pulang sudah diberikan.

Kiwi berjalan ke pintu, lalu berbalik sebentar. Ia menatap Melon yang kini berdiri sambil memegangi punggung kursi.

“Bu Melon,” katanya lembut, “kalau butuh bantuan baca dokumen, atau cuma butuh teman ngeluh tentang warisan yang aneh-aneh, saya bersedia. Nggak usah sungkan.”

Melon menatapnya sebentar. “Terima kasih. Tapi saya biasa mengeluh ke bantal.”

“Kalau bantalnya capek, saya bisa gantian.”

Melon tak bisa menahan tawa kecil yang spontan keluar. Ia cepat-cepat menutup mulutnya. “Cepat pulang sebelum saya nyiram air kobokan.”

Kiwi membuka pintu dengan senyum lebar. “Selamat malam, Bu Melon. Selamat malam, Jeruk. Selamat tidur, Milo. Jangan mimpi ngejar tamu lagi, ya.”

Jeruk melambai-lambai. “Hati-hati, Om Kiwi. Jangan nyasar ke rumah janda sebelah. Nggak bisa masak, katanya.”

Kiwi tertawa sepanjang jalan menyusuri halaman rumah, lalu menutup pagar dengan hati-hati. Tapi sebelum ia benar-benar pergi, ia sempat menoleh sekali lagi ke arah jendela rumah Melon.

Di balik tirai, siluet Melon masih tampak berdiri. Dan untuk sesaat, Kiwi berpikir... rumah itu bukan hanya rumah janda biasa. Tapi rumah yang mungkin bisa membuatnya betah lebih dari sekadar mampir.

Pagi datang dengan langit cerah dan aroma wangi dari dapur rumah Melon. Di teras kecil yang dipenuhi tanaman dalam pot warna-warni, meja kayu lipat sudah dipenuhi sajian sederhana: nasi goreng kecap dengan irisan telur dadar, kerupuk, dan dua cangkir teh panas. Kiwi duduk di sana, masih mengenakan celana training dan kaus oblong bertuliskan “Sarapan Adalah Hak Asasi”.

Jeruk duduk di sebelahnya sambil menyuap nasi dengan tenang. Milo duduk manis di bawah meja, kali ini tanpa menggonggong atau menggeram. Melon muncul dari dapur membawa piring tambahan berisi potongan timun dan tomat.

“Tambah sayur biar hidup seimbang,” katanya sambil meletakkan piring di tengah meja.

Kiwi menatap Melon dengan mata berbinar. “Saya mulai curiga Ibu ini diam-diam punya catering terselubung.”

Melon duduk dan mulai makan tanpa menanggapi. Jeruk menunjuk telur dadarnya.

“Ibu tadi masaknya dua kali. Yang pertama gosong karena Om Kiwi datang terlalu pagi.”

Kiwi mengangkat tangan seperti tertangkap basah. “Saya hanya ingin balas budi atas sop tulang tadi malam. Tapi saya malah disuruh duduk dan makan.”

“Karena Ibu benci dapur berantakan. Dan saya belum cukup percaya buat kasih Om Kiwi pegang wajan,” kata Melon sambil mengunyah.

Kiwi tersenyum. “Nggak apa-apa. Saya bisa mulai dari cuci piring. Lama-lama naik level jadi pemegang centong resmi.”

Jeruk menunjuk centong di pinggir meja. “Itu centong favorit Ibu. Kalau Om Kiwi bisa pakai itu tanpa dimarahi, berarti Om diterima sepenuhnya.”

Kiwi mengambil centong itu pelan-pelan, lalu mengangkatnya seperti piala. “Saya berjanji akan menjaga martabat centong ini.”

Melon melirik. “Centong itu warisan dari dapur mertua saya dulu. Jadi jangan dijatuhin. Saya bisa langsung tarik sumpit.”

Kiwi langsung meletakkan centong itu kembali dengan hati-hati. “Noted.”

Jeruk melahap suapan terakhirnya. “Ibu, boleh aku main ke rumah Om Kiwi nanti?”

Melon menatap Jeruk. “Rumahnya belum tentu bersih, Nak.”

Kiwi langsung menjawab, “Saya bersih-bersih tadi pagi. Bahkan saya semprot pewangi ruangan dua kali. Sekarang kamar saya wangi stroberi—yang berlebihan.”

Melon mengangkat alis. “Wangi stroberi? Jadi kamu nyemprot ruangan atau nge-marinate ayam?”

Jeruk tertawa, lalu berdiri. “Aku mau kasih Milo makan dulu!”

Ia berlari kecil ke belakang rumah sambil membawa wadah makanan. Begitu Jeruk pergi, suasana teras menjadi sedikit hening.

Kiwi mengaduk tehnya perlahan. “Terima kasih ya, Bu Melon. Ini sarapan terbaik yang pernah saya rasakan. Dan bukan cuma soal rasa.”

Melon memandangi Kiwi sebentar. “Kalau kamu mulai gombal pagi-pagi, saya bisa batalin bikin kopi.”

Kiwi tertawa ringan. “Bukan gombal. Cuma jujur. Nggak semua pagi bisa sesederhana ini... dan menyenangkan.”

Melon menatap meja. Tangannya menyentuh piring kosong. “Saya juga nggak ingat kapan terakhir kali sarapan sama orang dewasa sambil ketawa.”

Kiwi tersenyum kecil. “Kalau Ibu nggak keberatan, saya bisa jadi langganan sarapan.”

Melon menatap Kiwi, diam sebentar, lalu berkata pelan, “Tapi langganan nggak boleh nunggak, ya. Harus konsisten.”

Kiwi menegakkan badan. “Saya janji datang tiap pagi. Minimal bawa kerupuk sendiri.”

Melon tertawa. “Baiklah, Pak Langganan. Tapi syaratnya satu.”

“Apa?”

“Jangan pernah tanya kenapa saya janda. Biar saya yang cerita nanti, kalau saya mau.”

Kiwi mengangguk. “Saya bisa terima itu. Saya ke sini bukan buat menggali masa lalu. Tapi kalau diizinkan, saya mau jadi bagian dari pagi-pagi Ibu yang baru.”

Melon terdiam sesaat, lalu berdiri sambil membawa piring-piring kosong. “Ya sudah. Cuci piring sana. Pembuktian calon pemegang centong.”

Kiwi langsung bangkit dan mengangkat dua piring dengan antusias. “Siap, Komandan Melon.”

Dan pagi itu, di antara piring kosong, suara tawa, dan centong tua, benih kenyamanan mulai tumbuh. Perlahan, tapi pasti.

Kiwi membuka keran dapur sambil menumpuk piring di wastafel. Ia menyingsingkan lengan kausnya, lalu mulai mencuci dengan gaya ala profesional. Sesekali ia bersenandung kecil, seolah mencuci piring adalah pertunjukan musik pribadi.

Melon berdiri di ambang pintu dapur, menyandarkan tubuh ke kusen pintu dengan tangan menyilang. Ia memperhatikan Kiwi dalam diam selama beberapa detik, sebelum akhirnya membuka suara.

“Kamu selalu nyanyi waktu cuci piring?”

Kiwi menoleh tanpa berhenti menggosok piring. “Cuma kalau airnya dingin dan nggak ada bebek karet buat nemenin.”

Melon mengangkat alis. “Saya bisa carikan sabun cuci piring rasa stroberi kalau kamu mau sekalian nyanyi duet.”

“Wah, nanti dapur kita viral,” jawab Kiwi. “Pasukan centong dan bebek karet mempersembahkan: Konser Sabun Busa.”

Melon tertawa kecil dan berjalan masuk. Ia membuka lemari, mengambil toples berisi biskuit, lalu duduk di kursi dapur sambil menggigit satu.

“Kamu tinggal sendirian, ya?” tanyanya tiba-tiba.

Kiwi mengangguk. “Sejak pindah kerja ke kota ini. Orang tua saya di luar pulau, dan adik saya di Australia. Saya doyan sarapan rame, tapi kalau tiap pagi harus ngobrol sama teko, saya bisa mulai mempertanyakan kewarasan.”

“Makanya kamu rajin main ke sini?” tanya Melon pelan, setengah menggoda.

“Bukan cuma karena nasi goreng, Melon,” jawab Kiwi serius. “Saya suka suasananya. Sederhana, tapi hangat. Kayak... tempat yang nggak ngusir orang walaupun cuma numpang ketawa.”

Melon terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Kamu tahu kan, saya nggak punya waktu buat hubungan yang... rumit.”

Kiwi membilas piring terakhir, mematikannya, lalu mengeringkan tangan. Ia menatap Melon dengan tenang.

“Kalau saya datang cuma buat bikin rumit, saya pasti udah pergi sejak Milo ngejar saya pertama kali.”

Melon memutar bola matanya. “Itu karena kamu nggak bisa lari cepat.”

Kiwi tertawa dan mendekat, lalu duduk di kursi seberang Melon. Ia membuka satu biskuit dan menggigitnya perlahan.

“Kalau saya bilang saya mulai suka sama tempat ini... sama orang-orang di dalamnya... kamu bakal usir saya?”

Melon menatapnya, tak langsung menjawab. Ia membuka satu biskuit lagi, memakannya tanpa tergesa-gesa. Lalu ia berkata pelan, hampir tak terdengar.

“Selama kamu nggak sok tahu soal luka orang lain, dan nggak pakai sepatu kotor masuk ke hati orang... silakan duduk di mana saja.”

Kiwi menatap Melon, tersenyum kecil, lalu bersandar ke kursi. “Kalau gitu, saya duduk di sini dulu. Dekat toples biskuit. Aman.”

Mereka tertawa pelan. Di luar, Milo menggonggong satu kali—entah mengingatkan waktu, atau cuma menyetujui percakapan manusia yang mulai hangat dan nyaman.

Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, keheningan di dapur bukanlah sepi, melainkan jeda antara dua orang yang mulai terbiasa saling ada.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 20 Kebahagiaan Jeruk

    Pagi hari.Matahari baru merayap naik ketika suara ketukan lembut terdengar di pintu rumah Melon. Ia sedang menyiapkan sarapan Jeruk di dapur — roti panggang kesukaan anak itu — saat suara itu membuat tubuhnya menegang.Jeruk yang duduk di kursi kecilnya langsung menegakkan tubuh. “Mama, ada orang?” tanyanya polos.Melon mengusap kepala Jeruk cepat. “Iya, sayang. Mama cek dulu.”Langkah Melon pelan, nyaris ragu, sampai akhirnya ia membuka pintu.Dan di sanalah Kiwi berdiri.Dengan hoodie abu-abu, rambut sedikit berantakan, dan mata yang terlihat kurang tidur. Kiwi menelan ludah ketika tatapannya bertemu tatapan Melon—canggung, kaget, dan sedikit gugup. Udara pagi yang dingin tidak mampu mengalahkan rasa hangat yang tiba-tiba memenuhi dadanya.“Kiwi…” Melon hampir berbisik.“Aku… cuma mau lihat Jeruk,” jawab Kiwi pelan, suaranya serak seolah ia sendiri belum yakin berdiri di situ.Sebelum Melon sempat berkata apa pun, suara kecil meluncur dari ruang tengah.“Kiwi!!!”Jeruk berlari sece

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 19 Ucapan Jeruk

    Sore itu, cahaya matahari menembus kaca besar toko buku, memantulkan warna keemasan di lantai kayu. Suasana tenang—hanya ada suara lembut halaman yang dibalik dan tawa kecil Jeruk di pojok ruangan. Melon sedang menyusun buku-buku baru di rak tengah ketika Pak Bram datang menghampiri sambil membawa selembar kertas.“Bu Melon, ini daftar buku yang baru masuk minggu depan. Kalau mau, kamu bantu pilih mana yang cocok ditaruh di rak depan,” ujarnya.Melon menerima kertas itu. “Boleh, Pak. Saya senang bisa bantu.”Pak Bram tersenyum, lalu beranjak ke ruang belakang. Melon menatap daftar buku itu lama, memperhatikan judul-judulnya: kisah keluarga, perjalanan hidup, tentang orang-orang yang bangkit dari kehilangan. Tanpa sadar, senyum kecil terbit di wajahnya. “Lucu ya,” gumamnya pelan. “Buku pun kadang tahu apa yang kita butuh baca.”“Kalimat yang bagus,” suara tiba-tiba terdengar di belakangnya.Melon menoleh. Seorang pria berdiri di dekat rak. Wajahnya tenang, berusia sekitar akhir tiga pu

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 18 Pekerjaan Baru

    Malam makin larut, tapi suasana di teras rumah Melon terasa tenang. Angin lembut mengusap kulit, membawa aroma hujan yang tertinggal di dedaunan. Di tangannya, secangkir teh yang sudah mulai dingin, tapi rasanya tetap menenangkan. Lampu-lampu jalan menyorot lembut, membuat bayangan pohon bergerak pelan di dinding rumah.“Masih bangun aja?” suara familiar terdengar dari pagar. Aruna datang membawa dua gelas plastik berisi kopi susu dingin. “Kupikir kamu udah tidur, tapi lampu terasnya nyala terus.”Melon menoleh dan tersenyum. “Kamu nggak pernah gagal baca situasi, ya? Ayo masuk. Duduk sini.”Aruna membuka pagar kecil dan duduk di kursi rotan di sebelah Melon. “Aku tadi lewat depan toko buku yang kamu ceritain. Tempatnya lucu, ya. Klasik, tapi nyaman.”“Iya,” jawab Melon pelan. “Aku dan Jeruk betah di sana. Entah kenapa, tempat kayak gitu selalu bikin aku tenang.”Aruna menatapnya sekilas. “Tenang setelah drama pagi itu, maksudmu?”Melon tersenyum samar. “Hmm. Mungkin iya. Mungkin juga

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 17 Kebaikan Aruna

    Siang mulai merambat ketika Melon dan Jeruk tiba di rumah. Matahari menyinari halaman depan, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Melon membuka pintu rumah dengan perasaan yang entah kenapa lebih ringan dari biasanya.Jeruk bergegas ke ruang tamu, meletakkan pensil warna dan buku gambarnya di meja besar. “Bu, aku gambar adegan ibu dan aku yang lagi ke toko buku, ya!”Melon tersenyum kecil. “Hmm. Coba tambahin juga satu tokoh laki-laki pakai mobil biru di belakang. Biar ceritanya lebih dramatis.”Jeruk mengerling. “Yang mukanya lagi nyesel, gitu?”“Pintar.”Jeruk terkikik sebelum duduk bersila dan mulai menggambar. Sementara itu, Melon membuka pintu kaca dapur, membiarkan udara siang masuk. Ia menyeduh teh chamomile, aroma hangatnya membungkus dapur seperti pelukan lembut.Ponselnya bergetar. Kali ini, bukan dari grup wali murid. Sebuah pesan masuk dari nomor yang ia hapal tapi berusaha untuk dilupakan.Kiwi:Aku ngerti kamu nggak mau diganggu. Tapi ka

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 16 Sindiran Melon

    Pagi itu udara terasa cerah, matahari bersinar malu-malu di balik awan tipis. Melon dan Jeruk baru saja selesai sarapan. Meja makan telah dirapikan, dan Jeruk sibuk merapikan ransel untuk berangkat sekolah. “Ibu, aku masuk siang hari ini, ya,” kata Jeruk sambil membuka jadwal pelajaran. “Katanya guru lagi rapat dulu.” Melon mengangguk. “Kalau begitu, kita sempatin ke toko buku dulu, kamu kan mau beli pensil warna baru.” Jeruk berseru, “Yay!” Setelah berganti pakaian dan siap, Melon menggandeng tangan Jeruk keluar rumah. Mereka berjalan santai ke arah jalan utama kompleks. Tapi baru lima langkah dari gerbang, seseorang menghentikan langkah mereka. “Melon?” Melon menoleh. Di depannya berdiri seorang perempuan muda dengan dandanan modis dan riasan tipis. Rambutnya dicat cokelat lembut dan kulitnya tampak terawat. Senyumnya ramah, tapi matanya menyiratkan maksud yang tidak ringan. “Lele?” tanya Melon pelan. Lengkuasa Astari—atau Lele—mengangguk. “Akhirnya kita ketemu juga.” Melon

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 15 Pesan dari Lele

    Sore mulai turun perlahan, cahaya matahari melembut di antara sela pepohonan. Melon duduk di dapur rumah Bu Rika bersama dua ibu tetangga lainnya—Bu Rumi dan Bu Leli. Tangan mereka sibuk membungkus lumpia dengan isian rebung dan wortel, tapi obrolan yang mengalir justru jadi hiburan paling segar. “Melon ini, ya,” kata Bu Rumi sambil tertawa. “Baru ditinggal cowok sebentar aja, langsung bangkit kayak bunga yang disiram pupuk super.” “Kalau bukan karena niat sendiri, nggak bakal bisa, Bu,” sahut Melon sambil melipat lembaran kulit lumpia dengan rapi. “Soalnya kalau berharap orang lain terus, ya capek.” Bu Leli yang dari tadi lebih banyak diam, ikut menimpali, “Aku dengar-dengar, si Kiwi itu anak orang berada, ya? Ibunya sering pakai kalung mutiara ke pengajian?” Melon tertawa kecil. “Entahlah, Bu. Yang jelas, kalungnya bukan jaminan hatinya bersih dari keraguan.” Ketiga ibu itu tertawa serempak. Setelah lumpia selesai dibungkus, mereka mulai menggoreng bersama. Aroma harum memenuh

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status