Kiwi menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia menggeser gelas tehnya yang sudah kosong, lalu menghela napas panjang.
“Sepertinya saya harus pamit. Kalau kelamaan di sini, bisa-bisa saya dikira pengontrak baru,” ucapnya sambil berdiri, merapikan kemejanya yang sedikit kusut karena duduk terlalu santai. Melon mengangguk tanpa menoleh. Ia masih duduk di sofa, memegang map cokelat dari notaris yang tadi datang. Wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya. “Terima kasih ya, sudah mampir. Maaf, jadi nggak bisa ngobrol lebih lama,” ujarnya datar, tapi masih sopan. Kiwi tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Urusan warisan memang nggak bisa disambi dengan lelucon gombal.” Jeruk mendekati Kiwi, lalu memeluk pinggang pria itu dengan satu tangan mungilnya. “Om Kiwi nanti main lagi, ya. Tapi jangan malam-malam, biar Ibu nggak deg-degan.” Kiwi terkekeh. “Siap, Komandan Jeruk. Lain kali saya datang bawa perisai, siapa tahu Milo lagi bad mood.” Milo mendongak sebentar dari bawah meja, menggonggong pelan, lalu kembali tidur. Seolah menandakan izin pulang sudah diberikan. Kiwi berjalan ke pintu, lalu berbalik sebentar. Ia menatap Melon yang kini berdiri sambil memegangi punggung kursi. “Bu Melon,” katanya lembut, “kalau butuh bantuan baca dokumen, atau cuma butuh teman ngeluh tentang warisan yang aneh-aneh, saya bersedia. Nggak usah sungkan.” Melon menatapnya sebentar. “Terima kasih. Tapi saya biasa mengeluh ke bantal.” “Kalau bantalnya capek, saya bisa gantian.” Melon tak bisa menahan tawa kecil yang spontan keluar. Ia cepat-cepat menutup mulutnya. “Cepat pulang sebelum saya nyiram air kobokan.” Kiwi membuka pintu dengan senyum lebar. “Selamat malam, Bu Melon. Selamat malam, Jeruk. Selamat tidur, Milo. Jangan mimpi ngejar tamu lagi, ya.” Jeruk melambai-lambai. “Hati-hati, Om Kiwi. Jangan nyasar ke rumah janda sebelah. Nggak bisa masak, katanya.” Kiwi tertawa sepanjang jalan menyusuri halaman rumah, lalu menutup pagar dengan hati-hati. Tapi sebelum ia benar-benar pergi, ia sempat menoleh sekali lagi ke arah jendela rumah Melon. Di balik tirai, siluet Melon masih tampak berdiri. Dan untuk sesaat, Kiwi berpikir... rumah itu bukan hanya rumah janda biasa. Tapi rumah yang mungkin bisa membuatnya betah lebih dari sekadar mampir. Pagi datang dengan langit cerah dan aroma wangi dari dapur rumah Melon. Di teras kecil yang dipenuhi tanaman dalam pot warna-warni, meja kayu lipat sudah dipenuhi sajian sederhana: nasi goreng kecap dengan irisan telur dadar, kerupuk, dan dua cangkir teh panas. Kiwi duduk di sana, masih mengenakan celana training dan kaus oblong bertuliskan “Sarapan Adalah Hak Asasi”. Jeruk duduk di sebelahnya sambil menyuap nasi dengan tenang. Milo duduk manis di bawah meja, kali ini tanpa menggonggong atau menggeram. Melon muncul dari dapur membawa piring tambahan berisi potongan timun dan tomat. “Tambah sayur biar hidup seimbang,” katanya sambil meletakkan piring di tengah meja. Kiwi menatap Melon dengan mata berbinar. “Saya mulai curiga Ibu ini diam-diam punya catering terselubung.” Melon duduk dan mulai makan tanpa menanggapi. Jeruk menunjuk telur dadarnya. “Ibu tadi masaknya dua kali. Yang pertama gosong karena Om Kiwi datang terlalu pagi.” Kiwi mengangkat tangan seperti tertangkap basah. “Saya hanya ingin balas budi atas sop tulang tadi malam. Tapi saya malah disuruh duduk dan makan.” “Karena Ibu benci dapur berantakan. Dan saya belum cukup percaya buat kasih Om Kiwi pegang wajan,” kata Melon sambil mengunyah. Kiwi tersenyum. “Nggak apa-apa. Saya bisa mulai dari cuci piring. Lama-lama naik level jadi pemegang centong resmi.” Jeruk menunjuk centong di pinggir meja. “Itu centong favorit Ibu. Kalau Om Kiwi bisa pakai itu tanpa dimarahi, berarti Om diterima sepenuhnya.” Kiwi mengambil centong itu pelan-pelan, lalu mengangkatnya seperti piala. “Saya berjanji akan menjaga martabat centong ini.” Melon melirik. “Centong itu warisan dari dapur mertua saya dulu. Jadi jangan dijatuhin. Saya bisa langsung tarik sumpit.” Kiwi langsung meletakkan centong itu kembali dengan hati-hati. “Noted.” Jeruk melahap suapan terakhirnya. “Ibu, boleh aku main ke rumah Om Kiwi nanti?” Melon menatap Jeruk. “Rumahnya belum tentu bersih, Nak.” Kiwi langsung menjawab, “Saya bersih-bersih tadi pagi. Bahkan saya semprot pewangi ruangan dua kali. Sekarang kamar saya wangi stroberi—yang berlebihan.” Melon mengangkat alis. “Wangi stroberi? Jadi kamu nyemprot ruangan atau nge-marinate ayam?” Jeruk tertawa, lalu berdiri. “Aku mau kasih Milo makan dulu!” Ia berlari kecil ke belakang rumah sambil membawa wadah makanan. Begitu Jeruk pergi, suasana teras menjadi sedikit hening. Kiwi mengaduk tehnya perlahan. “Terima kasih ya, Bu Melon. Ini sarapan terbaik yang pernah saya rasakan. Dan bukan cuma soal rasa.” Melon memandangi Kiwi sebentar. “Kalau kamu mulai gombal pagi-pagi, saya bisa batalin bikin kopi.” Kiwi tertawa ringan. “Bukan gombal. Cuma jujur. Nggak semua pagi bisa sesederhana ini... dan menyenangkan.” Melon menatap meja. Tangannya menyentuh piring kosong. “Saya juga nggak ingat kapan terakhir kali sarapan sama orang dewasa sambil ketawa.” Kiwi tersenyum kecil. “Kalau Ibu nggak keberatan, saya bisa jadi langganan sarapan.” Melon menatap Kiwi, diam sebentar, lalu berkata pelan, “Tapi langganan nggak boleh nunggak, ya. Harus konsisten.” Kiwi menegakkan badan. “Saya janji datang tiap pagi. Minimal bawa kerupuk sendiri.” Melon tertawa. “Baiklah, Pak Langganan. Tapi syaratnya satu.” “Apa?” “Jangan pernah tanya kenapa saya janda. Biar saya yang cerita nanti, kalau saya mau.” Kiwi mengangguk. “Saya bisa terima itu. Saya ke sini bukan buat menggali masa lalu. Tapi kalau diizinkan, saya mau jadi bagian dari pagi-pagi Ibu yang baru.” Melon terdiam sesaat, lalu berdiri sambil membawa piring-piring kosong. “Ya sudah. Cuci piring sana. Pembuktian calon pemegang centong.” Kiwi langsung bangkit dan mengangkat dua piring dengan antusias. “Siap, Komandan Melon.” Dan pagi itu, di antara piring kosong, suara tawa, dan centong tua, benih kenyamanan mulai tumbuh. Perlahan, tapi pasti. Kiwi membuka keran dapur sambil menumpuk piring di wastafel. Ia menyingsingkan lengan kausnya, lalu mulai mencuci dengan gaya ala profesional. Sesekali ia bersenandung kecil, seolah mencuci piring adalah pertunjukan musik pribadi. Melon berdiri di ambang pintu dapur, menyandarkan tubuh ke kusen pintu dengan tangan menyilang. Ia memperhatikan Kiwi dalam diam selama beberapa detik, sebelum akhirnya membuka suara. “Kamu selalu nyanyi waktu cuci piring?” Kiwi menoleh tanpa berhenti menggosok piring. “Cuma kalau airnya dingin dan nggak ada bebek karet buat nemenin.” Melon mengangkat alis. “Saya bisa carikan sabun cuci piring rasa stroberi kalau kamu mau sekalian nyanyi duet.” “Wah, nanti dapur kita viral,” jawab Kiwi. “Pasukan centong dan bebek karet mempersembahkan: Konser Sabun Busa.” Melon tertawa kecil dan berjalan masuk. Ia membuka lemari, mengambil toples berisi biskuit, lalu duduk di kursi dapur sambil menggigit satu. “Kamu tinggal sendirian, ya?” tanyanya tiba-tiba. Kiwi mengangguk. “Sejak pindah kerja ke kota ini. Orang tua saya di luar pulau, dan adik saya di Australia. Saya doyan sarapan rame, tapi kalau tiap pagi harus ngobrol sama teko, saya bisa mulai mempertanyakan kewarasan.” “Makanya kamu rajin main ke sini?” tanya Melon pelan, setengah menggoda. “Bukan cuma karena nasi goreng, Melon,” jawab Kiwi serius. “Saya suka suasananya. Sederhana, tapi hangat. Kayak... tempat yang nggak ngusir orang walaupun cuma numpang ketawa.” Melon terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Kamu tahu kan, saya nggak punya waktu buat hubungan yang... rumit.” Kiwi membilas piring terakhir, mematikannya, lalu mengeringkan tangan. Ia menatap Melon dengan tenang. “Kalau saya datang cuma buat bikin rumit, saya pasti udah pergi sejak Milo ngejar saya pertama kali.” Melon memutar bola matanya. “Itu karena kamu nggak bisa lari cepat.” Kiwi tertawa dan mendekat, lalu duduk di kursi seberang Melon. Ia membuka satu biskuit dan menggigitnya perlahan. “Kalau saya bilang saya mulai suka sama tempat ini... sama orang-orang di dalamnya... kamu bakal usir saya?” Melon menatapnya, tak langsung menjawab. Ia membuka satu biskuit lagi, memakannya tanpa tergesa-gesa. Lalu ia berkata pelan, hampir tak terdengar. “Selama kamu nggak sok tahu soal luka orang lain, dan nggak pakai sepatu kotor masuk ke hati orang... silakan duduk di mana saja.” Kiwi menatap Melon, tersenyum kecil, lalu bersandar ke kursi. “Kalau gitu, saya duduk di sini dulu. Dekat toples biskuit. Aman.” Mereka tertawa pelan. Di luar, Milo menggonggong satu kali—entah mengingatkan waktu, atau cuma menyetujui percakapan manusia yang mulai hangat dan nyaman. Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, keheningan di dapur bukanlah sepi, melainkan jeda antara dua orang yang mulai terbiasa saling ada.Sore itu, langit berwarna jingga pucat saat Melon dan Kiwi duduk di bangku taman, masing-masing memegang es krim rasa favorit. Jeruk bermain di ayunan tak jauh dari mereka, tertawa-tawa bersama anak-anak lain. Awalnya, suasana begitu nyaman. Kiwi bercerita tentang pekerjaannya, Melon menimpali dengan candaan, lalu tertawa bersama. Namun, ketika Kiwi mulai berbicara serius, nada suaranya berubah. “Aku sempat dengar dari Jeruk... kamu ketemu mantan di mal, ya?” Melon yang sedang menjilat es krim vanila tiba-tiba diam. Ia menoleh perlahan. “Iya. Kenapa?” Kiwi mencoba tersenyum, tapi senyumnya canggung. “Cuma nanya, kok. Tapi kenapa kamu nggak cerita?” Melon mengangkat alis. “Itu cuma ketemu biasa. Dia cuma nyapa, terus aku tinggalin. Bukan hal penting.” Kiwi menoleh ke arah Jeruk, lalu kembali menatap Melon. “Tapi buat aku, itu cukup penting buat diceritain. Biar aku nggak denger dari orang lain.” Melon menghela napas. “Kiwi, kamu bukan pacarku. Kita nggak punya kewajiban lapor-lap
Siang itu, Mall Citrus Square cukup ramai. Musik pop kekinian mengalun dari speaker, terdengar samar di antara hiruk pikuk orang berlalu-lalang. Melon melangkah santai di koridor, matanya menyapu etalase butik yang memajang diskon besar-besaran. Ia mengenakan blouse putih sederhana, celana jeans high-waist dan sling bag cokelat muda yang serasi dengan sneakers-nya. Wajahnya santai, matanya ceria. “Astaga, masker buy 2 get 3? Ini sih rezeki anak janda!” bisiknya sambil nyengir sendiri, lalu segera masuk ke toko skincare dengan langkah penuh semangat. Beberapa menit kemudian, setelah berhasil memborong sheet mask dan satu lip tint yang sebenarnya tidak ia butuhkan, Melon keluar dari toko sambil membuka ponselnya—niatnya cuma cek saldo. Tapi langkahnya mendadak terhenti begitu suara berat, sangat dikenal, memanggil dari arah samping. “Melon?” Langkahnya beku. Seolah namanya tadi dipanggil oleh masa lalu yang terlalu tajam untuk diulang. Ia menoleh pelan. Dan benar saja. Di sana, be
Malam semakin larut. Lampu ruang makan menyala temaram, menciptakan bayangan hangat di dinding. Melon dan Kiwi masih duduk berdampingan, tangan mereka bertaut di atas meja, tapi tak ada kecanggungan. Hanya keheningan nyaman yang menggantung di antara mereka. Kiwi menguap kecil sambil meregangkan lengan. “Aduh, kalau ngobrol sama kamu, waktu kerasa kayak sepuluh menit. Padahal tahu-tahu udah hampir tengah malam.” Melon tersenyum. “Kalau kamu ngantuk, pulang aja. Jangan sampai besok telat kerja gara-gara nemenin janda insecure.” Kiwi memiringkan kepala, matanya menyipit dramatis. “Tuh kan, mulai lagi... janda insecure. Udah saya bilang, kamu jangan panggil diri kamu gitu. Kamu tuh janda rasa premium.” Melon tertawa kecil, geleng-geleng. “Rasa premium?” “Ya. Kalau kamu itu buah, pasti masuk golongan langka, manis, mahal, dan cepet habis kalau diburu orang,” jelas Kiwi sambil memainkan gelas airnya. “Makanya saya buru duluan sebelum diserbu yang lain.” “Kalau kamu, buahnya apa
Angin sore mulai berembus pelan, mengibaskan rambut Melon yang kini duduk bersandar di pohon, napasnya sedikit terengah setelah "perang buah" kecil yang mereka lakukan. Jeruk tertidur pulas di atas tikar, dengan Milo yang meringkuk di sampingnya seperti penjaga setia. Pipinya belepotan bekas semangka, tapi ia tetap terlihat damai. Kiwi duduk di dekat mereka, mencoba mengelap pipinya dengan tisu sambil mencuri pandang ke arah Melon yang kini diam, memandangi langit dengan pandangan kosong. Kiwi menyenggol lengannya pelan. “Kok jadi diam? Kalah perang, ya?” Melon mengerjap, lalu tersenyum. “Enggak. Cuma mikir.” “Serius banget. Sampai nggak berkedip.” Melon menghela napas. “Aneh aja. Saya nggak nyangka bisa ketawa-tawa lagi kayak tadi. Apalagi sama orang baru yang...,” ia berhenti sejenak, menatap Kiwi dengan tatapan geli, “...nama ibunya Bu Nangka.” Kiwi tertawa. “Itu pertanda Tuhan masih sayang sama kamu. Kalau kamu bisa ketawa hari ini, berarti Tuhan kasih kamu izin buat b
Matahari siang menyinari taman kota dengan hangat, tidak terlalu terik, hanya cukup membuat daun-daun pohon berkilau. Anak-anak berlarian di antara ayunan dan perosotan, sesekali terdengar suara tertawa dan teriakan gembira. Kiwi berjalan santai di samping Melon, membawa dua gelas es kelapa muda yang baru dibeli dari gerobak pinggir jalan. Jeruk berjalan di depan mereka sambil menarik Milo dengan tali kekang. Anjing itu tampak lebih jinak hari ini—mungkin karena diberi sosis sebelum berangkat. “Kalau Milo nyeret tali lagi, aku langsung naik ke pundak Om Kiwi!” teriak Jeruk sambil setengah berlari. Kiwi menjawab dengan suara nyaring, “Om siap, tapi pundak Om bukan angkot!” Melon menggeleng pelan. “Kamu ini ya, selalu bikin suasana kayak film kartun.” Kiwi menyodorkan satu gelas es kelapa ke Melon. “Minum dulu. Biar nggak sewot terus, Bu Janda Ceria.” Melon men
Kiwi menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia menggeser gelas tehnya yang sudah kosong, lalu menghela napas panjang. “Sepertinya saya harus pamit. Kalau kelamaan di sini, bisa-bisa saya dikira pengontrak baru,” ucapnya sambil berdiri, merapikan kemejanya yang sedikit kusut karena duduk terlalu santai. Melon mengangguk tanpa menoleh. Ia masih duduk di sofa, memegang map cokelat dari notaris yang tadi datang. Wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya. “Terima kasih ya, sudah mampir. Maaf, jadi nggak bisa ngobrol lebih lama,” ujarnya datar, tapi masih sopan. Kiwi tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Urusan warisan memang nggak bisa disambi dengan lelucon gombal.” Jeruk mendekati Kiwi, lalu memeluk pinggang pria itu dengan satu tangan mungilnya. “Om Kiwi nanti main lagi, ya. Tapi jangan malam-malam, biar Ibu nggak deg-degan.” Kiwi terkekeh. “Siap, Komandan Jeruk. Lain kali saya datang bawa perisai, siapa tahu Milo lagi bad mood.” Milo mendongak se