Jelita Maharani menatap tumpukan kertas yang berserakan di hadapannya dengan pandangan kesal. Sesekali jari tangannya memijat dahi dan keningnya. Kacamatanya tampak sesekali dinaikkan, bukan karena tidak sesuai dengan ukuran wajah tapi karena perasaan gelisah yang tanpa sadar membuatnya melakukan gerakan itu.
Jelita adalah seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan namun wajahnya nampak lebih muda dari usia sebenarnya. Masih terlihat cantik dan menawan. Ia juga memiliki aura kelembutan dan ketegasan yang terpancar seperti dua medan magnet yang sebenarnya saling bertolak belakang tapi bisa disatukan dalam diri wanita itu.
Sebagai seorang pemimpin sebuah perusahaan yang bergerak di bidang bahan pangan bernama PT. Pangan Cakrawala yang memiliki berbagai macam jenis usaha yang meliputi restaurant, penjualan daging mentah sampai wine mahal, Jelita harus mampu berpikir kreatif dan bertindak tepat dan tegas karena kalau tidak, perusahaannya tidak akan mampu bertahan sampai sejauh ini.
Dulu, semasa suaminya masih hidup, ia masih bisa berbagi tanggung jawab meski porsi paling besar tetap dipegang Jelita, karena suaminya, Cahyo Kusuma, lebih sibuk dengan olahraga golf nya dibanding mengurusi perusahaan.
Setelah Cahyo meninggal tahun lalu dikarenakan penyakit jantung yang tiba-tiba menyerang ketika sedang bermain golf, otomatis semua kendali perusahaan dipegang oleh Jelita. Tidak lagi ada orang yang bisa ia percayai seratus persen untuk berbagi tanggung jawab itu saat ini. Tidak juga anak semata wayangnya, Dimas Kusuma.
Jelita mengangkat telepon yang ada di mejanya untuk kemudian menghubungi Rani, sekretarisnya yang berada di ruangan lain.
“Ran, tolong panggilkan Dimas masuk ke ruangan saya. Tadi saya call ke ruangannya tidak diangkat.”
“Baik bu.” Suara di ujung sana menjawab dengan hormat.
Tidak berapa lama kemudian, pintu ruangan diketuk. Sosok pria setengah baya dengan perawakan agak kurus masuk ke dalam ruangan. Wajahnya yang berkacamata nampak lesu dan pucat.
“Kenapa Ma?”
“Sini kamu, duduk.” Suara Jelita tegas.
Dengan sedikit ragu, Dimas duduk di hadapannya.
“Kamu sudah baca surat dari legal kita yang di Malaysia soal pembukaan kedai baru kita di sana?”
“Belum.”
“Nih, kamu baca dulu.” Jelita memberikan kertas-kertas yang tadi berserakan ke tangan Dimas.
Dimas membacanya dengan seksama. Dahinya terlihat berkerut.
“Legal Malaysia bilang kalau data-data yang diberikan ke mereka tidak sesuai dengan permintaan Kementrian, ini sudah ketiga kalinya data yang diberikan salah dan kita jadinya harus menunda lagi pembukaan kedai. Kamu tahu kan ini harus secepatnya dibuka,” Jelita mencecar Dimas yang hanya diam menunduk.
“Mama cuma minta kamu urus ini aja kok susah sekali sih. Kamu kalau kerja harus fokus, Mas.”
“Iya Ma, nanti aku minta Pak Hadi…”
Belum selesai Dimas berbicara, Jelita sudah memotong.
“Mama kan suruh kamu yang urus, kenapa kamu malah suruh Pak Hadi?”
Dimas hanya terdiam membisu.
“Kamu harus lebih bertanggung jawab lagi. Kalau ada apa-apa sama Mama, ini perusahaan kan bakal kamu yang pegang. Kalau soal ini aja kamu gak becus, gimana mau running perusahaan?”
“Kamu juga tahu kan, kalo ini gak beres-beres dan kita gak bisa buka, acara Datuk Imran pasti pindah ke tempat lain dan dia bakal kecewa sama Mama yang udah ngejanjiin bakal bisa bikin acara di kedai kita nantinya.”
“Hubungan Mama sama Datuk nanti bakal bermasalah dan kita bakal susah berbisnis di Malaysia nantinya karena udah gak dipercaya.”
Jelita mengeluarkan segala isi hatinya saat itu ke Dimas. Kekesalannya sungguh memuncak. Ini semua terjadi karena sejak kecil Dimas selalu dimanja oleh ayahnya, akibatnya Dimas bertumbuh menjadi seorang laki-laki yang kurang bisa bertanggung jawab serta gampang menyerah oleh keadaan.
“Iya Ma, nanti aku urus.”
“Sekarang juga kamu rapikan semua dokumen yang salah, pesan tiket ke Malaysia dan urus di sana. Mama mau dalam minggu ini semua harus sudah beres dan tidak ada kesalahan lagi.”
Dimas mengangguk pelan kemudian berdiri dan melangkah gontai menuju pintu.
Di belakangnya, Jelita menatap punggung anaknya itu dengan tatapan tajam.
***********
Pria itu menatap nomor telepon yang masuk ke dalam telepon genggamnya. Ia kemudian segera mengangkat.
“Halo Boss.”
“Gua minta paket sayur satu dong, cepet ya.”
“Dikirim kemana Boss?”
“Hotel yang biasa, kamar nomor 405, tapi sorean aja, sekitar jam 6.”
“Yang di Jakarta Selatan itu kan?”
“Iya, bener.”
“Siap Boss. Pembayarannya gimana?”
“Biasa, tar gua transfer.”
“Siap Boss.”
Telepon ditutup.
*************
Dimas segera merapikan semua data-data yang diminta oleh legal di Malaysia. Laporan barang, bahan baku, sampai cash flow telah diperiksanya berkali-kali dengan teliti supaya tidak ada kesalahan lagi. Setelah yakin ia kemudian mencetak semuanya di mesin printer dan dikumpulkan bersama dengan dokumen lainnya.
Kemudian, ia segera berjalan menuju ke meja Rani yang berada tidak jauh dari ruangannya.
“Ran, tolong pesenin tiket ke Malaysia buat besok pagi ya, sekitar jam 8 atau 9.”
“Baik Pak.” Rani mengangguk.
“Nanti kalau sudah ada e-tiketnya, kamu email ke saya aja.”
“Nanti saya harus confirm ke Bapak lagi gak untuk jam keberangkatannya?”
“Gak usah, pokoknya sekitaran jam segitu lah, tadi saya sempet cek di webnya sih ada, pakai pesawat yang biasa saya pakai itu Ran.”
“Baik Pak.”
Dimas segera kembali ke ruangannya. Ia kemudian duduk dengan perasaan gelisah. Kepalanya mulai kembali berdenyut-denyut dan jantungnya seperti berdetak tidak beraturan. Ia segera mengambil segelas air putih dan meminumnya.
Setelah merasa sedikit tenang, Dimas kemudian mengambil telepon genggam yang tergeletak di depannya. Ia lalu mencari nomor telepon genggam Amel, istrinya.
Setelah menunggu cukup lama, Amel akhirnya mengangkat telepon.
“Lagi dimana Mel?”
“Lagi di rumah Sherly nih, abis Zumba. Kenapa Mas?”
“Nanti aku pulangnya rada telat soalnya ada masalah di Malaysia, aku mau meeting sama BOD sebentar. Besok juga aku harus ke Malaysia, disuruh Mama.”
“Oke, jadi kamu gak dinner di rumah kan?”
“Gak, aku dinner nanti pas abis meeting aja.”
“Oke, jangan pulang terlalu malam Mas.”
“Iya Mel.”
Dimas segera menutup telepon genggamnya.
Terdengar suara ketukan di pintu.
“Masuk.”
Rani membuka pintu ruangan Dimas dan segera masuk.
“Pak, saya sudah booking tiket besok pagi jam 9.45, sudah di email juga ke Bapak.”
“Oke, Terima kasih Ran. Ibu masih ada di ruangannya?”
“Ibu baru saja pulang Pak, katanya tidak enak badan.”
“Oke.”
Setelah Rani keluar dari ruangannya, Dimas buru-buru merapikan semua dokumen yang hendak dibawa besok. Semoga semua berjalan baik, harapnya dalam hati.
Dengan langkah cepat, Dimas segera keluar dari ruangannya. Ia menatap jam di tangannya dan tersenyum lega. Masih ada waktu cukup lama untuk bisa sampai ke tempat tujuannya nanti, jadi ia bisa menyetir mobil dengan tenang sambil menikmati perjalanan.
Mobil Mercedez Benz berwarna silver milik Dimas terparkir tidak jauh dari pintu utama gedung perkantoran PT. Pangan Cakrawala. Ia segera masuk ke dalamnya dan menyalakan musik Jazz berirama lembut. Ia sedikit tersenyum, hatinya merasa sudah tidak sabar.
Mobil itu kemudian keluar dari komplek perkantoran dan melaju di jalanan kota yang ramai, menuju ke sebuah hotel di bilangan Jakarta Selatan.
“Lu jadi ikut gak?”Sherly menatap jam dinding di tembok ruangan. Waktu menunjukkan pukul 03.30 sore.“Ya udah, gue ikut deh, tapi nanti gak apa-apa sama si Adrian kan?”Amel menggeleng.“Gak lah, kita cuma mau party bentar kayak biasa, gak lama juga, laki gue bisa curiga kalo gue pulang terlalu malem.”“Barusan laki lu telpon kan?”“Iya, ngabarin kalo dia ada meeting. Adrian juga baru kirim pesen, party nya mulai jam 6 di hotel biasa.”Sherly mengangguk.“Ya udah, gue mandi dulu deh.”Sementara Sherly menghilang di pintu kamar mandi, Amel membereskan pakaian senamnya dan memasukkannya ke dalam tas olahraga berwarna biru cerah. Beberapa perempuan menyapanya sebelum pergi beranjak dari ruangan itu.Amel dan Sherly adalah teman sejak masa SMA dulu. Mereka memiliki kegemaran yang sama yaitu olahraga. Berbagai macam olah
Dimas menghabiskan seporsi nasi goreng kambing kesukaannya dengan lahap. Setelah meeting dengan beberapa direktur anak perusahaan PT.Pangan Cakrawala, membuat tenaga dan pikirannya seperti tercurah habis. Ada beberapa masalah yang akhirnya bisa diselesaikan di dalam meeting itu. Dimas bersyukur.Hotel Ribza yang terletak di kawasan Jakarta Selatan ini memang kerap digunakannya untuk mengadakan meeting. Ia merasa nyaman dengan suasana dan pelayanannya. Terlebih lagi, salah satu pemilik hotel bintang lima ini adalah temannya semasa SMA dulu sehingga ia bisa mendapatkan harga khusus pada saat mengadakan kegiatan di sana.Setelah meeting selesai, biasanya dilanjutkan dengan acara makan malam bersama di restaurant dalam hotel ini. Makanan yang disajikan sungguh luar biasa enak, menurut Dimas. Terkadang, ia juga sering makan di sana, bersama keluarganya atau sendiri. Ia lalu melihat ke jam di tangannya. Waktu menunjukkan puku
Kedai kopi milik Rendy terletak tidak jauh dari pusat perbelanjaan yang ada di jalan Braga. Tempat yang dipakai untuk membuka kedai itu dulunya juga merupakan sebuah kedai kopi. Karena pemilik sebelumnya hendak pindah ke luar Bandung, maka ia menyewakan tempat itu dan menjual seluruh isinya. Suatu hari, Rendy melihat kertas yang ditempel di jendela kedai itu dengan tulisan DISEWA beserta nomor yang bisa dihubungi di bawahnya. Kebetulan, Rendy juga sedang mencari tempat untuk membuka kedai kopi. Tanpa berlama-lama, ia pun menghubungi si pemilik tempat. Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya kesepakatan tercapai dan secara resmi Rendy menjadi penyewa tempat itu serta membeli seluruh isi nya yang kebetulan juga sesuai dengan keinginan Rendy. Jadi ia tidak perlu repot mencari ke sana ke mari barang-barang yang dibutuhkan karena semua sudah tersedia lengkap di tempat itu. JaRe adalah nama yang dipilih Rendy untuk kedai kopinya. Singkatan dari Janji Rendy, sebuah komitm
“Saudara Rama, saya Briptu Sularso.”Rama menyambut uluran tangan Briptu Sularso, seorang pria yang terlihat masih muda, berambut cepak dan berbadan tegap. Sedari tadi Rama melihat Briptu Sularso dan satu orang temannya terus berada di kamar tempat Amel dirawat, meminta keterangan dari Dimas sehingga membuatnya menyingkir sejenak ke ruang tunggu.“Bisa saya meminta keterangan saudara? Mengenai Ibu Amel.”“Bisa, bisa pak.” Jantung Rama masih berdetak kencang. Ia belum pernah berurusan dengan aparat kepolisian. Ini adalah yang pertama kali dan sudah cukup membuat Rama seperti hendak dipenjara.“Apakah saudara pernah melihat Ibu Amel minum minuman keras?”Rama terdiam sejenak. Ia nampak berpikir.“Sepertinya tidak Pak. Apakah mama saya mabuk?”“Ibu Amel tidak dalam kondisi mabuk kok, ini hanya pertanyaan umum saja.”Rama mengangguk.“Kami sedang c
Tepat jam lima sore, Dino menjemput Rama di lobby Rumah Sakit Flamboyan tempat Amel di rawat. Mobil berjenis minibus itu kemudian langsung tancap gas masuk ke dalam jalan tol menuju ke kota Bandung.Rama memang bersahabat erat dengan Dino. Selain karena satu jurusan di bangku kuliah, ada banyak persamaan di antara mereka, salah satunya adalah mereka berdua sangat menyukai musik. Bagi Rama dan Dino, hidup tanpa musik itu ibarat makan sayur tanpa garam, hambar rasanya.Dino bukan asli Jakarta, keluarganya lama bermukim di Bandung sebelum memutuskan pindah ke Jakarta karena ayahnya mendapat promosi dari tempatnya bekerja untuk menjadi kepala cabang perusahaannya yang berada di Jakarta.Awalnya Dino menolak pindah ke Jakarta, ia lebih memilih tinggal bersama kakek dan neneknya di Bandung, lagipula ia juga sudah dua tahun menjalani perkuliahannya di sebuah universitas ternama di kota ini. Tapi, karena bujuk rayu ayah dan ibunya juga Rio, adiknya, akhirn
Zalma mengompres lebam di wajah Juni dengan perlahan, sesekali tangannya membersihkan sisa-sisa darah yang masih terlihat mengalir di ujung bibirnya dengan selembar tissue untuk kemudian diberikan obat luka. Sandra sedang membuatkan teh manis hangat di dapur sementara Juli sibuk menginterogasi Juni.“Gimana ceritanya sih Jun sampai lu bisa babak belur kayak gini?”Juni nampak meringis, lukanya terasa perih setelah diberikan obat oleh Zalma.“Tar aja deh gue baru cerita, masih sakit ini.”“Tapi lu tahu kan siapa yang mukulin lu? Maksud gue, lu kenal kan sama orangnya?”“Gue sih gak terlalu kenal sama orangnya.”“Loh kok bisa gak kenal terus dipukul? Lu nyenggol mobil dia? Apa lu nyalip dia?” Juli masih pantang menyerah.Sandra yang baru keluar dari dapur segera menyahut. “Dipukul sama Rama, Jul.”“Rama? Rama siapa?” Juli terlihat bingung, setahun
“Sebenarnya waktu itu kamu lagi di The Body atau di rumah Sherly sih?” tanya Dimas, tidak sabar. Rasanya ingin sekali ia membelah kepala Amel dan melihat isinya. Ia ingin tahu apa yang terjadi saat kecelakaan waktu itu. Ia tidak sabar melihat Amel yang sepertinya agak malas bercerita, apalagi saat ini Briptu Sularso kembali datang ke rumah sakit ingin bertanya kepadanya. Dimas hanya tidak mau kecelakaan ini membawa pengaruh buruk terhadap keluarga dan bisnisnya. Maka dari itu, ia ingin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.“Sabar Pak, mungkin Ibu Amel masih belum pulih ingatannya,” kata Briptu Sularso, mencoba menenangkan Dimas.Amel merengut melihat Dimas yang terus bertanya kepadanya tanpa henti. Seharusnya kan polisi yang lebih pantas menanyai aku, kenapa dia yang ngotot sih, polisinya aja biasa-biasa aja tuh, sungut Amel di dalam hati.“Iya Pak.” Dimas memilih menuruti kemauan Briptu Sularso. Ia tidak mau terlihat terlal
Selasa, sore itu.Sudah sejak semingguan badan Putri merasa tidak enak. Terkadang mual dan disertai muntah tidak terkendali membuat teman-teman di kampusnya merasa ada yang tidak beres. Putri bersikeras bahwa ia hanya masuk angin biasa dan sudah minum obat herbal namun kondisinya tidak juga membaik, malah semakin parah.Andrea, teman akrabnya di kampus menyarankan agar ia segera memeriksakan diri ke dokter tapi Putri menanggapinya dengan malas. Ia enggan meminum obat-obatan kimia hanya untuk sekedar masuk angin saja.Suatu ketika, Andrea bertanya kepadanya pertanyaan yang mengejutkan.“Lu main sama Hadi pake kondom kan?”Putri tersentak. Ia teringat saat melakukan hubungan yang terakhir, Hadi minta izin darinya untuk tidak mengenakan kondom, lebih enak sensasinya, katanya saat itu dan Putri yang sedang terbakar gelora asmara mengiyakannya. Tanpa berpikir panjang lagi.Putri dan Hadi sudah berpacaran selama enam bula