Share

Bab 6. Sang Pewaris

Jelita Maharani menatap tumpukan kertas yang berserakan di hadapannya dengan pandangan kesal. Sesekali jari tangannya memijat dahi dan keningnya. Kacamatanya tampak sesekali dinaikkan, bukan karena tidak sesuai dengan ukuran wajah tapi karena perasaan gelisah yang tanpa sadar membuatnya melakukan gerakan itu.

Jelita adalah seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan namun wajahnya nampak lebih muda dari usia sebenarnya. Masih terlihat cantik dan menawan. Ia juga memiliki aura kelembutan dan ketegasan yang terpancar seperti dua medan magnet yang sebenarnya saling bertolak belakang tapi bisa disatukan dalam diri wanita itu.

Sebagai seorang pemimpin sebuah perusahaan yang bergerak di bidang bahan pangan bernama PT. Pangan Cakrawala yang memiliki berbagai macam jenis usaha yang meliputi restaurant, penjualan daging mentah sampai wine mahal, Jelita harus mampu berpikir kreatif dan bertindak tepat dan tegas karena kalau tidak, perusahaannya tidak akan mampu bertahan sampai sejauh ini.

Dulu, semasa suaminya masih hidup, ia masih bisa berbagi tanggung jawab meski porsi paling besar tetap dipegang Jelita, karena suaminya, Cahyo Kusuma, lebih sibuk dengan olahraga golf nya dibanding mengurusi perusahaan.

Setelah Cahyo meninggal tahun lalu dikarenakan penyakit jantung yang tiba-tiba menyerang ketika sedang bermain golf, otomatis semua kendali perusahaan dipegang oleh Jelita. Tidak lagi ada orang yang bisa ia percayai seratus persen untuk berbagi tanggung jawab itu saat ini. Tidak juga anak semata wayangnya, Dimas Kusuma.

Jelita mengangkat telepon yang ada di mejanya untuk kemudian menghubungi Rani, sekretarisnya yang berada di ruangan lain.

“Ran, tolong panggilkan Dimas masuk ke ruangan saya. Tadi saya call ke ruangannya tidak diangkat.”

“Baik bu.” Suara di ujung sana menjawab dengan hormat.

Tidak berapa lama kemudian, pintu ruangan diketuk. Sosok pria setengah baya dengan perawakan agak kurus masuk ke dalam ruangan. Wajahnya yang berkacamata nampak lesu dan pucat.

“Kenapa Ma?”

“Sini kamu, duduk.” Suara Jelita tegas.

Dengan sedikit ragu, Dimas duduk di hadapannya.

“Kamu sudah baca surat dari legal kita yang di Malaysia soal pembukaan kedai baru kita di sana?”

“Belum.”

“Nih, kamu baca dulu.” Jelita memberikan kertas-kertas yang tadi berserakan ke tangan Dimas.

Dimas membacanya dengan seksama. Dahinya terlihat berkerut.

“Legal Malaysia bilang kalau data-data yang diberikan ke mereka tidak sesuai dengan permintaan Kementrian, ini sudah ketiga kalinya data yang diberikan salah dan kita jadinya harus menunda lagi pembukaan kedai. Kamu tahu kan ini harus secepatnya dibuka,” Jelita mencecar Dimas yang hanya diam menunduk.

“Mama cuma minta kamu urus ini aja kok susah sekali sih. Kamu kalau kerja harus fokus, Mas.”

“Iya Ma, nanti aku minta Pak Hadi…”

Belum selesai Dimas berbicara, Jelita sudah memotong.

“Mama kan suruh kamu yang urus, kenapa kamu malah suruh Pak Hadi?”

Dimas hanya terdiam membisu.

“Kamu harus lebih bertanggung jawab lagi. Kalau ada apa-apa sama Mama, ini perusahaan kan bakal kamu yang pegang. Kalau soal ini aja kamu gak becus, gimana mau running perusahaan?”

“Kamu juga tahu kan, kalo ini gak beres-beres dan kita gak bisa buka, acara Datuk Imran pasti pindah ke tempat lain dan dia bakal kecewa sama Mama yang udah ngejanjiin bakal bisa bikin acara di kedai kita nantinya.”

“Hubungan Mama sama Datuk nanti bakal bermasalah dan kita bakal susah berbisnis di Malaysia nantinya karena udah gak dipercaya.”

Jelita mengeluarkan segala isi hatinya saat itu ke Dimas. Kekesalannya sungguh memuncak. Ini semua terjadi karena sejak kecil Dimas selalu dimanja oleh ayahnya, akibatnya Dimas bertumbuh menjadi seorang laki-laki yang kurang bisa bertanggung jawab serta gampang menyerah oleh keadaan.

“Iya Ma, nanti aku urus.”

“Sekarang juga kamu rapikan semua dokumen yang salah, pesan tiket ke Malaysia dan urus di sana. Mama mau dalam minggu ini semua harus sudah beres dan tidak ada kesalahan lagi.”

Dimas mengangguk pelan kemudian berdiri dan melangkah gontai menuju pintu.

Di belakangnya, Jelita menatap punggung anaknya itu dengan tatapan tajam.

***********

Pria itu menatap nomor telepon yang masuk ke dalam telepon genggamnya. Ia kemudian segera mengangkat.

“Halo Boss.”

“Gua minta paket sayur satu dong, cepet ya.”

“Dikirim kemana Boss?”

“Hotel yang biasa, kamar nomor 405, tapi sorean aja, sekitar jam 6.”

“Yang di Jakarta Selatan itu kan?”

“Iya, bener.”

“Siap Boss. Pembayarannya gimana?”

“Biasa, tar gua transfer.”

“Siap Boss.”

Telepon ditutup.

*************

Dimas segera merapikan semua data-data yang diminta oleh legal di Malaysia. Laporan barang, bahan baku, sampai cash flow telah diperiksanya berkali-kali dengan teliti supaya tidak ada kesalahan lagi. Setelah yakin ia kemudian mencetak semuanya di mesin printer dan dikumpulkan bersama dengan dokumen lainnya.

Kemudian, ia segera berjalan menuju ke meja Rani yang berada tidak jauh dari ruangannya.

“Ran, tolong pesenin tiket ke Malaysia buat besok pagi ya, sekitar jam 8 atau 9.”

“Baik Pak.” Rani mengangguk.

“Nanti kalau sudah ada e-tiketnya, kamu email ke saya aja.”

“Nanti saya harus confirm ke Bapak lagi gak untuk jam keberangkatannya?”

“Gak usah, pokoknya sekitaran jam segitu lah, tadi saya sempet cek di webnya sih ada, pakai pesawat yang biasa saya pakai itu Ran.”

“Baik Pak.”

Dimas segera kembali ke ruangannya. Ia kemudian duduk dengan perasaan gelisah. Kepalanya mulai kembali berdenyut-denyut dan jantungnya seperti berdetak tidak beraturan. Ia segera mengambil segelas air putih dan meminumnya.

Setelah merasa sedikit tenang, Dimas kemudian mengambil telepon genggam yang tergeletak di depannya. Ia lalu mencari nomor telepon genggam Amel, istrinya.

Setelah menunggu cukup lama, Amel akhirnya mengangkat telepon.

“Lagi dimana Mel?”

“Lagi di rumah Sherly nih, abis Zumba. Kenapa Mas?”

“Nanti aku pulangnya rada telat soalnya ada masalah di Malaysia, aku mau meeting sama BOD sebentar. Besok juga aku harus ke Malaysia, disuruh Mama.”

“Oke, jadi kamu gak dinner di rumah kan?”

“Gak, aku dinner nanti pas abis meeting aja.”

“Oke, jangan pulang terlalu malam Mas.”

“Iya Mel.”

Dimas segera menutup telepon genggamnya.

Terdengar suara ketukan di pintu.

“Masuk.”

Rani membuka pintu ruangan Dimas dan segera masuk.

“Pak, saya sudah booking tiket besok pagi jam 9.45, sudah di email juga ke Bapak.”

“Oke, Terima kasih Ran. Ibu masih ada di ruangannya?”

“Ibu baru saja pulang Pak, katanya tidak enak badan.”

“Oke.”

Setelah Rani keluar dari ruangannya, Dimas buru-buru merapikan semua dokumen yang hendak dibawa besok. Semoga semua berjalan baik, harapnya dalam hati.

Dengan langkah cepat, Dimas segera keluar dari ruangannya. Ia menatap jam di tangannya dan tersenyum lega. Masih ada waktu cukup lama untuk bisa sampai ke tempat tujuannya nanti, jadi ia bisa menyetir mobil dengan tenang sambil menikmati perjalanan.

Mobil Mercedez Benz berwarna silver milik Dimas terparkir tidak jauh dari pintu utama gedung perkantoran PT. Pangan Cakrawala. Ia segera masuk ke dalamnya dan menyalakan musik Jazz berirama lembut. Ia sedikit tersenyum, hatinya merasa sudah tidak sabar.

Mobil itu kemudian keluar dari komplek perkantoran dan melaju di jalanan kota yang ramai, menuju ke sebuah hotel di bilangan Jakarta Selatan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status