Home / Romansa / Kedai Juni & Juli / Bab 6. Sang Pewaris

Share

Bab 6. Sang Pewaris

last update Last Updated: 2021-08-07 18:56:53

Jelita Maharani menatap tumpukan kertas yang berserakan di hadapannya dengan pandangan kesal. Sesekali jari tangannya memijat dahi dan keningnya. Kacamatanya tampak sesekali dinaikkan, bukan karena tidak sesuai dengan ukuran wajah tapi karena perasaan gelisah yang tanpa sadar membuatnya melakukan gerakan itu.

Jelita adalah seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan namun wajahnya nampak lebih muda dari usia sebenarnya. Masih terlihat cantik dan menawan. Ia juga memiliki aura kelembutan dan ketegasan yang terpancar seperti dua medan magnet yang sebenarnya saling bertolak belakang tapi bisa disatukan dalam diri wanita itu.

Sebagai seorang pemimpin sebuah perusahaan yang bergerak di bidang bahan pangan bernama PT. Pangan Cakrawala yang memiliki berbagai macam jenis usaha yang meliputi restaurant, penjualan daging mentah sampai wine mahal, Jelita harus mampu berpikir kreatif dan bertindak tepat dan tegas karena kalau tidak, perusahaannya tidak akan mampu bertahan sampai sejauh ini.

Dulu, semasa suaminya masih hidup, ia masih bisa berbagi tanggung jawab meski porsi paling besar tetap dipegang Jelita, karena suaminya, Cahyo Kusuma, lebih sibuk dengan olahraga golf nya dibanding mengurusi perusahaan.

Setelah Cahyo meninggal tahun lalu dikarenakan penyakit jantung yang tiba-tiba menyerang ketika sedang bermain golf, otomatis semua kendali perusahaan dipegang oleh Jelita. Tidak lagi ada orang yang bisa ia percayai seratus persen untuk berbagi tanggung jawab itu saat ini. Tidak juga anak semata wayangnya, Dimas Kusuma.

Jelita mengangkat telepon yang ada di mejanya untuk kemudian menghubungi Rani, sekretarisnya yang berada di ruangan lain.

“Ran, tolong panggilkan Dimas masuk ke ruangan saya. Tadi saya call ke ruangannya tidak diangkat.”

“Baik bu.” Suara di ujung sana menjawab dengan hormat.

Tidak berapa lama kemudian, pintu ruangan diketuk. Sosok pria setengah baya dengan perawakan agak kurus masuk ke dalam ruangan. Wajahnya yang berkacamata nampak lesu dan pucat.

“Kenapa Ma?”

“Sini kamu, duduk.” Suara Jelita tegas.

Dengan sedikit ragu, Dimas duduk di hadapannya.

“Kamu sudah baca surat dari legal kita yang di Malaysia soal pembukaan kedai baru kita di sana?”

“Belum.”

“Nih, kamu baca dulu.” Jelita memberikan kertas-kertas yang tadi berserakan ke tangan Dimas.

Dimas membacanya dengan seksama. Dahinya terlihat berkerut.

“Legal Malaysia bilang kalau data-data yang diberikan ke mereka tidak sesuai dengan permintaan Kementrian, ini sudah ketiga kalinya data yang diberikan salah dan kita jadinya harus menunda lagi pembukaan kedai. Kamu tahu kan ini harus secepatnya dibuka,” Jelita mencecar Dimas yang hanya diam menunduk.

“Mama cuma minta kamu urus ini aja kok susah sekali sih. Kamu kalau kerja harus fokus, Mas.”

“Iya Ma, nanti aku minta Pak Hadi…”

Belum selesai Dimas berbicara, Jelita sudah memotong.

“Mama kan suruh kamu yang urus, kenapa kamu malah suruh Pak Hadi?”

Dimas hanya terdiam membisu.

“Kamu harus lebih bertanggung jawab lagi. Kalau ada apa-apa sama Mama, ini perusahaan kan bakal kamu yang pegang. Kalau soal ini aja kamu gak becus, gimana mau running perusahaan?”

“Kamu juga tahu kan, kalo ini gak beres-beres dan kita gak bisa buka, acara Datuk Imran pasti pindah ke tempat lain dan dia bakal kecewa sama Mama yang udah ngejanjiin bakal bisa bikin acara di kedai kita nantinya.”

“Hubungan Mama sama Datuk nanti bakal bermasalah dan kita bakal susah berbisnis di Malaysia nantinya karena udah gak dipercaya.”

Jelita mengeluarkan segala isi hatinya saat itu ke Dimas. Kekesalannya sungguh memuncak. Ini semua terjadi karena sejak kecil Dimas selalu dimanja oleh ayahnya, akibatnya Dimas bertumbuh menjadi seorang laki-laki yang kurang bisa bertanggung jawab serta gampang menyerah oleh keadaan.

“Iya Ma, nanti aku urus.”

“Sekarang juga kamu rapikan semua dokumen yang salah, pesan tiket ke Malaysia dan urus di sana. Mama mau dalam minggu ini semua harus sudah beres dan tidak ada kesalahan lagi.”

Dimas mengangguk pelan kemudian berdiri dan melangkah gontai menuju pintu.

Di belakangnya, Jelita menatap punggung anaknya itu dengan tatapan tajam.

***********

Pria itu menatap nomor telepon yang masuk ke dalam telepon genggamnya. Ia kemudian segera mengangkat.

“Halo Boss.”

“Gua minta paket sayur satu dong, cepet ya.”

“Dikirim kemana Boss?”

“Hotel yang biasa, kamar nomor 405, tapi sorean aja, sekitar jam 6.”

“Yang di Jakarta Selatan itu kan?”

“Iya, bener.”

“Siap Boss. Pembayarannya gimana?”

“Biasa, tar gua transfer.”

“Siap Boss.”

Telepon ditutup.

*************

Dimas segera merapikan semua data-data yang diminta oleh legal di Malaysia. Laporan barang, bahan baku, sampai cash flow telah diperiksanya berkali-kali dengan teliti supaya tidak ada kesalahan lagi. Setelah yakin ia kemudian mencetak semuanya di mesin printer dan dikumpulkan bersama dengan dokumen lainnya.

Kemudian, ia segera berjalan menuju ke meja Rani yang berada tidak jauh dari ruangannya.

“Ran, tolong pesenin tiket ke Malaysia buat besok pagi ya, sekitar jam 8 atau 9.”

“Baik Pak.” Rani mengangguk.

“Nanti kalau sudah ada e-tiketnya, kamu email ke saya aja.”

“Nanti saya harus confirm ke Bapak lagi gak untuk jam keberangkatannya?”

“Gak usah, pokoknya sekitaran jam segitu lah, tadi saya sempet cek di webnya sih ada, pakai pesawat yang biasa saya pakai itu Ran.”

“Baik Pak.”

Dimas segera kembali ke ruangannya. Ia kemudian duduk dengan perasaan gelisah. Kepalanya mulai kembali berdenyut-denyut dan jantungnya seperti berdetak tidak beraturan. Ia segera mengambil segelas air putih dan meminumnya.

Setelah merasa sedikit tenang, Dimas kemudian mengambil telepon genggam yang tergeletak di depannya. Ia lalu mencari nomor telepon genggam Amel, istrinya.

Setelah menunggu cukup lama, Amel akhirnya mengangkat telepon.

“Lagi dimana Mel?”

“Lagi di rumah Sherly nih, abis Zumba. Kenapa Mas?”

“Nanti aku pulangnya rada telat soalnya ada masalah di Malaysia, aku mau meeting sama BOD sebentar. Besok juga aku harus ke Malaysia, disuruh Mama.”

“Oke, jadi kamu gak dinner di rumah kan?”

“Gak, aku dinner nanti pas abis meeting aja.”

“Oke, jangan pulang terlalu malam Mas.”

“Iya Mel.”

Dimas segera menutup telepon genggamnya.

Terdengar suara ketukan di pintu.

“Masuk.”

Rani membuka pintu ruangan Dimas dan segera masuk.

“Pak, saya sudah booking tiket besok pagi jam 9.45, sudah di email juga ke Bapak.”

“Oke, Terima kasih Ran. Ibu masih ada di ruangannya?”

“Ibu baru saja pulang Pak, katanya tidak enak badan.”

“Oke.”

Setelah Rani keluar dari ruangannya, Dimas buru-buru merapikan semua dokumen yang hendak dibawa besok. Semoga semua berjalan baik, harapnya dalam hati.

Dengan langkah cepat, Dimas segera keluar dari ruangannya. Ia menatap jam di tangannya dan tersenyum lega. Masih ada waktu cukup lama untuk bisa sampai ke tempat tujuannya nanti, jadi ia bisa menyetir mobil dengan tenang sambil menikmati perjalanan.

Mobil Mercedez Benz berwarna silver milik Dimas terparkir tidak jauh dari pintu utama gedung perkantoran PT. Pangan Cakrawala. Ia segera masuk ke dalamnya dan menyalakan musik Jazz berirama lembut. Ia sedikit tersenyum, hatinya merasa sudah tidak sabar.

Mobil itu kemudian keluar dari komplek perkantoran dan melaju di jalanan kota yang ramai, menuju ke sebuah hotel di bilangan Jakarta Selatan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kedai Juni & Juli   Bab 62. Awal Baru

    Dimas tengah serius membaca laporan rugi laba PT. Pangan Cakrawala ketika mendadak telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja berbunyi.Ternyata Briptu Sularso.“Ya, halo Larso.”“Selamat siang Pak, Ibu Jelita bersama Bapak?”“Tadi kayaknya keluar Larso, ada apa?”“Saya coba telpon Ibu tapi gak diangkat-angkat.”“Memang ada apa Larso?”“Saya tahu siapa pembunuh Putri….”Dimas yang saat itu sedang minum hampir saja tersedak.“Siapa Larso?”“Pak Dimas tolong tanyakan ke sekretaris Ibu kemana beliau pergi, kita susul.”“Maksudnya?”“Saya jemput Pak Dimas, sekarang!”**************Telepon genggam di dalam tas Jelita kembali bergetar namun karena diletakkan di bangku yang kosong di sebelahnya, ia menjadi tidak tahu.“Jad

  • Kedai Juni & Juli   Bab 61. Ternyata

    Wanita muda itu menatap selembar foto yang ada di tangannya sambil tersenyum. Sesekali ia mengelus wajah seorang wanita separuh baya yang ada di foto itu.“Sebentar lagi semuanya akan selesai Bu….,” kata wanita itu pelan.Ia lalu mengambil sebuah botol kecil berisi cairan bening yang ada di atas meja. Bibirnya kembali tersenyum.“Mereka akan rasakan akibatnya.”Wanita itu lalu tertawa terbahak sambil meletakkan kembali botol itu di atas meja. Terlihat sebuah tulisan di depan botol itu yang ditempel dengan menggunakan kertas berwarna putih. Sianida.***************Kedai Juni & Juli siang hari ini terlihat ramai. Beberapa pengunjung yang berasal dari perkantoran sekitar ruko nampak makan siang di sana. Belum lagi pengunjung lainnya yang memang sengaja datang untuk bersantap dan menikmati hidangan di kedai ini.“Jun, untuk bookingan nanti sore yang acara ulang tahun it

  • Kedai Juni & Juli   Bab 60. Kembali ke Masa Lalu

    Pesta ulang tahun Abah Rudi berlangsung sangat meriah. Meski hanya dihadiri oleh keluarga dekat tapi tidak membuat suasana menjadi kaku dan membosankan. Suara gelak tawa dan canda terus menerus mewarnai pesta itu yang berlangsung dari sore sampai malam hari.Lastri menyewa sebuah villa di kawasan Lembang yang letaknya cukup jauh dari keramaian. Ini merupakan permintaan Abah dengan alasan biar bisa lebih dekat dengan keluarga. Lastri menyanggupi tanpa banyak bertanya.Briptu Sularso hadir di pesta itu tepat waktu. Sambutan yang diberikan keluarganya ketika ia menyapa di depan pintu sungguh luar biasa. Semua berebut memeluk dan menciumnya. Entah karena memang ini pertama kalinya ia bisa datang tepat waktu di acara keluarga atau karena rasa kangen yang sekian lama ditahan.Lastri melongokkan kepalanya di depan pintu sambil melihat ke kanan kiri, seperti mencari-cari. Tidak lama kemudian, senyum merekah di wajahnya.“Masuk Mas, disini kan dingin.”

  • Kedai Juni & Juli   Bab 59. Menguak Fakta

    Kamar kos itu tertata dengan rapi. Meski tidak cukup luas tapi tetap nyaman. Tidak banyak barang yang terdapat di sana, hanya ada sebuah ranjang, lemari baju, meja dan kursi kerja serta sebuah televisi ukuran 19 inch yang terletak di atas rak.Di dinding kamar itu hanya terpasang dua buah foto. Satu foto keluarga dan satu foto si penghuni kamar.Hari hampir menjelang tengah malam tapi si penghuni kamar masih tekun mendengarkan isi rekaman yang telah di dengarnya berulang kali. Sesekali ia mencatat beberapa hal yang dianggapnya penting di sebuah buku kecil.Setelah selesai mencatat, ia merenung sejenak. Mengingat kembali pertemuannya di kedai kopi apartemen Paradise Land bersama dengan Dimas dan Jelita beberapa hari yang lalu.“Siapa Zalma itu Bu?”Jelita memandang Briptu Sularso, berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaannya.“Nama lengkapnya Zalma Duni, mantan istri Cahyo, suami saya.”“Apa yang terjad

  • Kedai Juni & Juli   Bab 58. Viral

    Rani menatap layar di telepon genggamnya dengan serius, matanya mengikuti gerakan seseorang yang sedang menari dengan diiringi lagu menghentak. Sesekali tangan dan bahunya mengikuti gerakan orang tersebut. Setelah dirasa sudah bisa mengingat seluruh gerakan itu, Rani kemudian menutup telepon genggamnya sambil tersenyum. “Kur…!” Seorang laki-laki kurus dengan memakai seragam kemeja berwarna coklat muda dan celana panjang berwarna senada dengan sedikit terburu-buru menghampiri Rani. “Iya Mbak Rani.” “Meja Ibu udah diberesin belum?” “Sudah Bu.” “Meja Bapak?” “Sudah juga Bu.” “Ya udah kalo gitu. Kamu tolong beliin nasi uduk di depan kayak biasa buat saya ya,” kata Rani sambil menyerahkan uang kepada laki-laki itu. “Baik Bu.” Laki-laki yang bernama Okur itu kemudian bergegas pergi. Setelah Okur menghilang dari pandangan matanya, Rani menatap jam di dinding. Baru jam 8 pagi, masih belum ada yang datang

  • Kedai Juni & Juli   Bab 57. Pembukaan Kedai

    Juni menatap papan nama yang tergantung di atas ruko nomor 17A itu dengan rasa haru. Tidak disangka akhirnya ia dan Juli berhasil juga membuka usaha yang selama ini mereka inginkan. Sekilas ia teringat semua yang telah mereka alami selama berada di Bandung. Juni lalu tersenyum kecil. “Woy, bengong aja!” Juni tersentak kaget mendengar sebuah suara yang berteriak nyaring di dekat kupingnya. Ternyata suara Juli yang saat ini sedang berdiri di sebelahnya. “Nama kita bagus juga ya Jul kalau dipasang jadi merek gitu.” Juli menatap papan nama yang bertuliskan Kedai Juni & Juli itu sambil mengangguk. “Kayak berirama gitu ya Jun.” “Irama apaan sih maksudnya?” “Puitis gitu, kan di belakangnya huruf i semua.” “Iya juga….”, ujar Juni, “Nek Zalma, Papa sama Mama udah sampai mana Jul?” “Barusan gue telpon sih masih di jalan katanya.” Mereka berdua kemudian masuk ke dalam ruko yang telah berubah bentuk menjadi sebu

  • Kedai Juni & Juli   Bab 56. Curahan Hati

    Jelita memandang wajah Dimas yang sedang menunduk di hadapannya dengan pandangan tajam. Mereka berdua sedang duduk di luar kedai dengan ditemani dua gelas kopi yang asapnya masih terlihat mengepul.“Mama minta kamu segera tinggalkan Rahadi!” Jelita berkata tegas.Pelan-pelan Dimas mengangkat wajahnya.“Kenapa Ma?” Dimas berkata lirih.“Hubungan kalian itu aib bagi keluarga Kusuma!”“Jadi Mama udah tahu?”“Mama sudah tahu dari dulu.”“Maksud Mama? Dari dulu kapan?”“Pokoknya Mama sudah lama tahu kamu begitu sama Rahadi.”Dimas kembali menundukkan kepalanya. Rasanya ia ingin berteriak dan segera berlari meninggalkan tempat ini.“Mama sengaja diamkan dulu, karena Mama waktu itu pikir ini semua hanya sementara, hanya karena sedang ada masalah sama Amel kamu jadi begitu, tapi ternyata Mama salah…”Dimas menelan

  • Kedai Juni & Juli   Bab 55. Harapan

    Briptu Sularso memandangi foto-foto yang diambil di tempat kejadian perkara di kamar hotel tempat Putri ditusuk dengan seksama. Ia lalu memandang juga foto-foto di kamar kos tempat ditemukannya tubuh Hadi yang bermandikan darah, seperti membandingkan. Keningnya berkerut.“Dua kejadian ini sepertinya saling berhubungan,” gumam Briptu Sularso pelan.Ia teringat kecelakaan yang menimpa Amel. Kecelakaan yang sepertinya disengaja.“Pertama Amel, kemudian Hadi dan sekarang Putri.” Briptu Sularso bergumam kembali sambil tangannya mengambil spidol berwarna biru dan menuliskan beberapa hal di papan tulis putih di belakangnya.Ia menulis kata Amel lalu dilingkari, di bawahnya kata Hadi juga dilingkari, di bawahnya kata Putri juga di beri lingkaran. Setelah menulis tiga kata itu, ia lalu menatap papan tulis itu sebentar kemudian menghela nafas.“Dan sekarang, Amel ditahan karena kepemilikan obat terlarang,” kata Briptu Sula

  • Kedai Juni & Juli   Bab 54. Jalan Soreli

    “Lu tahu dari siapa sih San?” Juni kembali mengulang pertanyaannya.“Emang udah pasti itu alamat Panti Bunda Bernyanyi San?” Juli menyambung pertanyaan Juni dengan rasa penasaran.Lagi-lagi Sandra hanya tersenyum.“Kok senyum-senyum terus sih, kita penasaran nih,” kata Juli sambil memajukan tubuhnya ke depan.“Iya...gue jelasin deh. Waktu Juni cerita soal panti ini, gue inget punya tante yang tinggal di daerah Senen, namanya tante Wenny, jadi, gue tanya aja dan ternyata tante gue itu tahu.”“Wah, gak nyangka ya, untung aja gue cerita ke elu ya San,” ucap Juni dengan wajah sumringah.“Menurut tante lu itu, pantinya masih ada San?”“Dia gak yakin sih kalau pantinya masih ada Jul, soalnya udah lama pindah dari Senen, tapi dia inget alamatnya dimana, itu juga kalau nama jalannya sekarang gak berubah ya.”“Dimana alamatnya?”&ldquo

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status