Share

Kehidupan Kedua Putri Mahkota yang Teraniaya
Kehidupan Kedua Putri Mahkota yang Teraniaya
Penulis: HwaMi

Prolog

“Kau langsung menjatuhkan hukuman mati, tanpa mau mendengar penjelasanku?”

Wanita itu menatap sosok tinggi di hadapannya dengan pandangan tidak percaya. Dia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaannya saat ini. Keputusan sepihak Kaisar untuk menghukumnya dengan hukuman mati membuat Selene tidak sanggup lagi menahan luapan amarah dan kekecewaan di dalam hatinya. Dadanya terasa sangat sesak. 

Pada akhirnya, tuduhan tak berdasar yang ditujukan kepada Selene berhasil mempengaruhi Kaisar hingga pria itu tidak segan untuk menghukumnya dengan hukuman mati. Berkat tuduhan perselingkuhan dan pengkhianatan yang ditujukan padanya, kehidupan Selene yang awalnya sudah hancur, kini luluh lantak tak berbekas. 

“Pengkhianat menjijikan sepertimu sudah sepantasnya mati. Aku sudah muak melihat manusia lemah sepertimu,” ujar Kaisar dengan tatapan merendahkan.   

Selene tidak pernah sekalipun berpikir untuk mengkhianati Kaisar meski dia bisa dan dia mampu. 

Aku hanya mencoba untuk mencintaimu sepenuh hatiku. Kenapa semuanya jadi begini?!

Sejak kapan kehidupannya menjadi berantakan begini? Di mana letak kesalahannya? 

Selene pun juga tidak tahu.

Namun, satu hal yang pasti, kini tiga tahun pernikahannya akan segera berakhir setelah hukuman mati dijatuhkan padanya. Selama sepersekian detik, memorinya dipaksa kembali pada kejadian beberapa bulan lalu.

"Pengkhianat sepertinya tidak boleh dibiarkan hidup, Yang Mulia!" tunjuk Veronica, selir kesayangan Kaisar. Wanita yang sejak tadi bergelayut manja di lengan Kaisar sambil menatap Selene dengan tatapan merendahkan. 

"Kurung dia!" perintah Kaisar kepada para penjaga. Wajahnya sudah memerah menahan amarah.

Selene hanya bisa pasrah menerima segala perlakuan Kaisar kepadanya. Dia sadar betul bahwa apa pun yang dia katakan tidak akan mengubah pandangan Kaisar terhadap dirinya. Karena saat ini... hanya Veronica satu-satunya wanita yang akan didengar olehnya.

Para penjaga menyeret tubuh Selene dan menjebloskannya ke penjara bawah tanah yang gelap dan kotor. Tidak cukup dikurung, kedua tangan dan kaki Selene juga dirantai dengan rantai yang dingin dan karatan.

"Janin itu adalah hasil hubungan terlarangmu dengan pria lain. Jadi tidak ada alasan bagiku untuk mengampuninya."

"HELIOS!!!!" Amarah Selene tidak tertahan lagi.

Melihat pria yang berstatuskan suaminya tengah berdiri memeluk wanita lain dengan dirinya yang bersimpuh tidak berdaya membuatnya tidak tahan lagi.

Jika saja tangan dan kakinya tidak terikat rantai besi ini, Selene mungkin akan bangkit dan mencekik Helios hingga pria itu mati.

"Bagaimana mungkin kau tidak mengakui bayi ini sebagai anakmu?!! Aku tidak pernah tidur dengan lelaki mana pun selain denganmu! Kau sungguh tega membunuh darah dagingmu sendiri, ha!?"

Selene tidak tahu lagi bagaimana cara meluapkan amarahnya. Suara seraknya menjadi pertanda bahwa dia sudah cukup banyak bicara, tapi tidak ada satu pun kata yang masuk ke dalam telinga pria di depannya.

"Semua bukti sudah terkumpul dan membuktikan bahwa bayi itu bukanlah anakku! Kau sudah gila! Penyakit delusimu sudah tidak tertolong!" hardik Helios dengan raut jijik.

Bukti?! Bukti apa?!

Selene mengeratkan giginya penuh emosi. Jika yang dimaksud bukti adalah bukti palsu yang dibuat oleh Veronica si selir kesayangannya, maka Selene sungguh ingin mencekik kedua makhluk terkutuk di depannya itu.

Bagaimana mungkin pria itu percaya dengan bukti palsu?

Hanya karena dia dekat dengan pangeran kedua, bukan berarti mereka memiliki hubungan sejauh itu. Meskipun Helios tidak pernah mencintainya, tapi Selene tidak pernah sekali pun berniat mengkhianati pria itu. Sedalam apa pun luka yang pria itu torehkan padanya, Selene tetap setia padanya.

Selene tidak tahu bagaimana cara Veronica menghasut Helios untuk mempercayai kebohongannya. Namun, berkat kebohongan itulah Selene dihukum karena dianggap mengkhianati Kaisar dan bersekongkol dengan pangeran kedua dalam upaya melenyapkan Kaisar.

"Eksekusi dia!"

Suara lantang itu seolah menampar Selene kembali ke kenyataan. 

Pada akhirnya, tidak hanya Selene saja, namun seluruh keluarganya juga ikut dijatuhi hukuman mati. Sebelum menerima hukuman, Selene dipaksa melihat satu persatu keluarganya meregang nyawa di bawah tiang pancung. Dia dipaksa melihat adegan pembantaian keluarganya dengan latar sorakan kebahagiaan dari seluruh hadirin yang melihat eksekusi itu. 

Akhirnya semua akan segera berakhir. Kehidupan menyedihkanku ini… akhirnya akan segera berakhir. 

Tidak ada lagi yang tersisa dari dirinya. Jiwanya sudah ikut mati beberapa saat yang lalu bersama ayah dan kakaknya. Sorot sedih yang awalnya terpampang di wajahnya kini berubah menjadi sorot kosong tak terbaca. Pisau yang menggantung di atas kepalanya itu akhirnya dijatuhkan. 

Dalam hitungan detik, Selene bisa melihat tubuhnya sendiri. 

Terikat. Lusuh. Penuh luka. Tidak berdaya.

Maafkan Ibu, Nak.

Hanya untaian kata maaf untuk janin di dalam rahimnya yang sanggup dia rapalkan sebelum malaikat maut benar-benar menjemputnya.

Tidak ada lagi perasaan yang tersisa di hati Selene, selain penyesalan.

Jika saja dia bisa menyelamatkan jabang bayinya sebelum eksekusi ini… jika saja dia tidak pernah terpilih menjadi permaisuri…. Jika saja dia tidak menerima undangan seleksi putri mahkota. Mungkin kehidupannya tidak akan berakhir tragis seperti ini.

Ibu seharusnya tidak menginjakkan kaki di istana ini! 

Rasa sesal itu terus menghantuinya hingga saat-saat terakhirnya.

Bahkan di saat-saat terakhirnya, Selene tetap menerima tatapan dingin itu. Tatapan tanpa ampun yang sudah sering dia terima selama tiga tahun pernikahannya. Sebelum kepalanya menyentuh tanah, dia masih bisa melihat bagaimana raut Helios yang dipenuhi kebencian dan Veronica yang berdiri di sampingnya, menatapnya dengan senyum penuh kemenangan. 

Satu hal yang Selene pelajari dari hidup menyedihkannya ini.

Seseorang yang lemah dan terlalu baik tidak akan bertahan di dalam neraka yang mereka sebut istana ini.

Kegelapan pekat menyelimuti Selene. Udara yang dinginnya menusuk sampai ke tulang terasa sangat menyesakkan. Setelah mendengar begitu banyak umpatan dan hinaan, kini tidak ada lagi suara yang bisa Selene dengar. Semuanya hening, benar-benar sepi. Rasanya seperti tenggelam di kolam keputusasaan yang dalam. 

Ke mana jiwanya akan berlabuh setelah ini? Di mana ujung kesengsaraan ini berakhir? Selene sudah tidak peduli. Dia sudah tidak mengharapkan hidupnya lagi.

Apa aku sudah mati? Apakah akhirnya penderitaanku sudah berakhir? 

Begitu banyak pertanyaan memenuhi kepala Selene. 

Tubuhku terasa ringan. 

Tubuh Selene yang awalnya berat kini perlahan mulai terasa ringan. Dia seperti melayang, merasakan sekujur tubuhnya mengambang di ruang hampa. 

Selene masih memejamkan matanya. Tubuhnya yang merasa kedinginan, perlahan mulai merasakan kehangatan. Ujung jarinya yang kebas mulai merasakan sesuatu yang familiar, seolah sinar matahari sedang menyapanya perlahan dan menyelimuti tubuhnya dengan kehangatan. 

Ini sangat nyaman. Kuharap aku bisa merasakan kehangatan ini selamanya. 

Meskipun matanya terpejam, Selene bisa merasakan seseorang sedang memeluknya dengan erat. Kesadarannya yang mulai terkumpul meyakinkannya bahwa kehangatan yang dia rasakan berasal dari sosok yang kini merengkuhnya. Sebuah pelukan yang tidak pernah Selene rasakan selama hidupnya. 

Siapa pun ini, tolong jangan lepaskan pelukanmu. 

Nyaman. 

Selene terlarut dalam buaian semu itu. Tangannya ingin bergerak membalas pelukan hangat itu, tapi tidak ada lagi tenaga yang tersisa di dalam tubuhnya. Dia bisa merasakan hembusan nafas yang hangat menerpa tengkuknya. Sosok yang sedang memeluknya ini mendekatnya kepalanya ke samping telinga Selene. 

Harum. 

"Apa pun yang terjadi, hiduplah sesuai kata hatimu. Semoga di kehidupan ini, kau bisa mendapatkan kebahagiaanmu." 

Suara yang begitu lembut dan hangat itu menyapa indra pendengaran Selene dengan sangat sopan. Siapa suara perempuan yang sedang memeluknya ini? Kenapa rasanya begitu familiar? 

Selene berharap bisa mendengarnya lagi setelah ini. Namun, saat Selene mencoba untuk bicara, udara di sekiarnya tiba-tiba menghilang. Nafasnya tercekat saat merasakan tubuhnya seperti dihempaskan ke dalam kolam yang berisi air yang dingin. 

Tolong!!! 

Selene tidak bisa bernafas. Mulutnya terbuka, tapi tidak bisa bersuara. 

Tolong aku!! 

Di tengah keputusasaan itu, tiba-tiba mata Selene terbuka lebar. Dia mendudukkan dirinya sambil menghirup nafas dalam-dalam. Nafanya yang terengah-engah terasa perih di dadanya.

Apa ini? 

Selene mengedarkan pandangannya. Matanya menatap kondisi sekelilingnya yang terasa tidak asing. Saat nafasnya perlahan mulai normal, aroma manis seketika menyeruak menyapa indra penciumannya. 

Kamar ini. Suasana ini. Aroma ini. 

Tidak salah lagi!

"Ini kan kamar lamaku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status