Nadisa saat ini sedang duduk di kursinya; dalam ruang sekretaris direktur utama. Nadisa kemudian melirik ke arah pintu bertuliskan direktur utama yang tak jauh darinya. Pintu ruangan yang biasanya diisi oleh sang Papa.Nadisa beranjak dari posisinya, kemudian memasuki ruangan papanya.Kedua kaki berlapiskan sepatu hak tinggi milik Nadisa melangkah mendekati jendela kaca di sana. Kemudian melihat banyaknya mobil pick up yang menurunkan karangan bunga berbagai warna di area kantor Sanjaya."Hah …" Nadisa menghela napas pelan.Gadis Sanjaya itu tenggelam dalam pikirannya. Pada awalnya, Nadisa memang berangkat ke kantor untuk membuat rencana guna menghindari takdir buruknya. Akan tetapi, berhadapan langsung dengan para penyebab kehancuran hidupnya ternyata sangat sulit bagi Nadisa. Rasa takut, khawatir, juga amarah seakan meledak-ledak dalam benak Nadisa.Terutama saat melihat wajah Jevano dan Karenia.Akan tetapi, satu hal yang Nadisa tahu. Nadisa haru
Nadisa menenggak habis susu kocok rasa cokelatnya. Makan siangnya pun telah tandas tak bersisa. Membuat gadis itu berniat untuk membuang wadah makanannya dan kembali ke ruangannya, di depan ruangan direktur utama.Krieet.Suara pintu yang terbuka di ruangan Nadisa membuat gadis itu bergegas keluar dari ruangan sang Papa. Senyuman terpatri manis di wajah Nadisa."Kakak kok balik lag–"Ucapan Nadisa terhenti tatkala mendapati sosok Jevano Putra Hartono di dalam ruangannya sebagai sekretaris direktur utama. Dia. Bukan. Kakaknya. Senyuman di wajah Nadisa pun perlahan lenyap."Jevan…?" gumam Nadisa, dengan wajah bingungnya.Jevano tersenyum manis dengan kedua mata yang menyipit. Terlihat tampan juga menggemaskan di saat yang bersamaan. Sama sekali tidak menyadari perubahan ekspresi Nadisa tatkala menatapnya."Mau makan siang bersamaku, Nadisa?" tawar Jevano.Nadisa mengangkat kantung kertas yang sedang dibawanya. Pun ia berjalan ke arah Jevano, hendak
Nadisa berlari menyusuri kantornya. Dengan napas yang tersengal dan rambut kelam yang diterpa angin, selaras dengan betapa cepat langkahnya. Beberapa karyawan yang kebetulan sedang melintas pun menoleh dan memandangi Nadisa dengan keheranan. Tapi sama sekali tidak Nadisa indahkan.Suara karyawan perempuan tadi kembali mengalun di telinga Nadisa."Ha-harusnya masih ada, Nona. Tadi saat kami lihat, lelaki bernama Narendra Bagaskara itu ada di ruangan HRD."TAK! TAK! TAK!Nadisa kian mempercepat laju langkahnya. Mengabaikan kebisingan yang tercipta akibat hentakan sepatu hak tingginya dengan lantai kantor Sanjaya. Dirinya ... sangat ingin bertemu dengan Narendra Bagaskara. Penyelamatnya.***Karenia Winata beserta seluruh staf Human Resource Development sudah duduk berjejer di ruangannya. Berhadapan dengan dua kandidat karyawan baru di kantor Sanjaya."Jujur saja. Kalian berdua memiliki potensi yang sangat baik untuk menjadi staf human resource di perus
Mendengar ucapan bernada pedas dari Nadisa Tirta Sanjaya, Karenia Winata pun sukses bungkam di tempatnya. Gadis dengan rambut bergelombang itu hanya bisa menggertakkan giginya, menyalurkan emosinya.Nadisa tersenyum miring."Tunggu apa lagi? Pak Kepala departemen, tolong umumkan hasilnya." Nadisa berkata dengan nada tegasnya."B-baik, Nona," pria paruh baya berbadan gempal dengan kepala botak itu langsung beranjak dari posisi duduknya. "Dengan adanya instruksi langsung dari Nona Nadisa, maka kedua kandidat dinyatakan lolos menjadi staf di perusahaan Sanjaya. Saudari Winda Anastasia diterima sebagai staf Human Resource Development, sementara saudara Narendra Bagaskara akan menjadi asisten Nona Nadisa. Selamat atas keberhasilan kalian."Pria itu segera menjabat tangan Winda dan Narendra secara bergantian. "Selamat, ya.""Terima kasih, Pak." Narendra dan Winda menjawab dengan sopan disertai senyuman di wajah mereka.Nadisa yang awalnya berdiri di amban
Secara perlahan, Narendra Bagaskara berniat melepaskan tangannya dari Nadisa. GRET! Akan tetapi, Nadisa justru mengeratkan genggamannya. Tidak membiarkan Narendra melepasnya."Lepaskan tanganku, Jevan." Nadisa berkata pelan."Pergi bersamaku, maka tanganmu aku lepaskan," kata Jevano. Masih bersikeras mencengkram lengan Nadisa."Bukankah aku sudah bilang, aku nggak suka dipegang sembarangan." Kedua mata kelam milik Nadisa tertuju pada Jevano yang lebih tinggi darinya. Menatap lurus pada netra sang lelaki."Aku juga sudah bilang, aku akan melepas tanganmu kalau kamu mau ikut denganku," tantang Jevano. Ekor matanya melirik ke arah tautan tangan Nadisa dengan Narendra.Tanpa aba-aba, Jevano menggunakan tangannya yang bebas untuk menarik tangan Narendra. Memaksa tautan itu untuk terlepas."Nadisa tidak suka dipegang sembarangan, Gembel." Jevano berkata sinis pada Narendra. Membuat sang lelaki Bagaskara hanya bisa mengepalkan tangan, menahan emosinya.Nadi
Sean Dewa Atmoko masih duduk di lobi kantor Sanjaya. Sean memang sengaja bertahan di sana untuk bisa bertemu kembali dengan Nadisa Tirta Sanjaya. Syukur-syukur, bisa mengajak gadis itu makan siang atau sekadar mengobrol bersama. Ah, juga menanyakan apakah Nadisa menyukai cokelat pemberiannya."Nanti aku minta nomor ponselnya juga kali, ya…" gumam Sean. Lelaki berkulit putih dan bertubuh kurus tinggi itu senyam-senyum sendiri. Membayangkan bagaimana jika nanti dirinya kembali berbincang dengan sang gadis Sanjaya.Sean menyugar rambut hitamnya ke belakang. Membuat para karyawan perempuan di sana menahan napas lantaran terpesona. Wajah Sean yang khas Asia, lebih terkesan seperti orang Jepang, mampu membuat gadis-gadis memusatkan atensi padanya. Bahkan langsung jatuh cinta."Gila, dia tampan sekali.""Gayanya juga trendy. Sepertinya anak bos, ya?"Bisikan itu terus saja berkeliaran di sekitar Sean, tetapi sama sekali tidak didengar oleh sang empunya na
Tanpa menunggu waktu lama, Nadisa segera menerima sambungan telepon dari mamanya. "Halo, Mama? Ada apa, Ma? Mama butuh sesuatu ya di rumah?" cecar Nadisa. Khawatir kalau sang Mama sedang tidak baik-baik saja di kediamannya."Mama baik-baik saja, Disa. Tenanglah dulu ya, Sayang." Mama Ayu di seberang sana berkata dengan suara seraknya.Nadisa kontan menghela napas lega. Kini, ia menyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya. Sudah lebih santai dibandingkan sebelumnya."Kalau begitu, ada apa, Ma?" tanya Nadisa."Begini, Disa. Nanti malam, kamu pulang bersama Jevan anaknya Tante Jessica saja ya, Sayang?" tanya Mama Ayu.Nadisa menggembungkan pipinya. Biar ia tebak, Jevano pasti habis menghubungi mamanya. Makanya Mama Ayu sampai menelepon Nadisa."Disa naik taksi saja, Ma.""Taksi? Memangnya kakakmy ke mana, Sayang?" tanya Mama Ayu.PLUK! Tangan kiri Nadisa secara refleks menepuk dahinya. Dia keceplosan. Ah, benar-benar makin runyam!"Sayang? Jawa
Jam dinding di sudut ruangan direktur utama sudah menunjukkan pukul lima sore. Meski begitu, Nadisa Tirta Sanjaya masih saja mengobrak-abrik lemari di ruangan almarhum sang Papa untuk menemukan pakaian lain milik Jeffrey, kakaknya."Seingatku Kak Jeff masih menyimpan beberapa baju lagi di sini." Nadisa bergumam pelan, seraya berjinjit hendak memeriksa pakaian yang ada di laci atas lemari papanya."Kamu sudah memberiku tiga pakaian, Nadisa. Aku sudah sangat cukup dengan itu semua." Narendra berkata dengan hati yang tidak nyaman.Awalnya, Narendra merasa senang dengan pemberian Nadisa padanya. Akan tetapi, lama kelamaan Narendra jadi tidak enak hati untuk menerimanya. Dan lagi, Narendra baru menyadari kalau sikap Nadisa sangat berbeda dibandingkan saat kuliah dulu.Nadisa … jadi jauh lebih baik padanya. Padahal saat kuliah, Narendra seringkali mendapatkan tatapan tajam dari Nadisa tatkala tanpa sengaja Narendra mencuri pandang padanya.Narendra jadi bingung me