Mentari di langit Kota Jakarta mulai kembali ke peraduan, tatkala seorang gadis cantik bernama lengkap Nadisa Tirta Sanjaya berjalan menuju lobi kantor perusahaan milik keluarganya. Nadisa tersenyum sembari membungkuk dengan sopan, bermaksud menyapa beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Hanya formalitas tentunya, karena sebenarnya Nadisa tidak mengenal mereka. Nadisa hanya tidak ingin dicap sebagai atasan yang buruk oleh karyawan yang bekerja pada keluarganya. "Selamat sore, Nona Nadisa." Beberapa dari karyawan itu menyapa Nadisa dengan ceria. "Iya, sore." Nadisa menjawab sapaan mereka seadanya. Setelah beberapa karyawan itu berlalu, Nadisa kembali memasang wajah dinginnya. Gadis Sanjaya itu kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Akan tetapi, pandangannya yang terkunci pada pintu utama kantor Sanjaya membuat Nadisa melihat sesuatu di sana. Mengundang decakan kesal dari sang gadis Sanjaya. 'Dia lagi,' keluh Nadisa dalam hati.
Jevano Putra Hartono duduk di balik kemudinya. Di dalam sebuah mobil mewah berwarna hitam yang terparkir di depan restoran bintang lima, yang sejak beberapa saat lalu dikunjungi oleh Nadisa Tirta Sanjaya dan Narendra Bagaskara.Mata setajam elang milik Jevano langsung terfokus pada sosok Nadisa yang berjalan keluar dari restoran di depannya. Senyuman di bibir Jevano juga melebar tatkala sang gadis Sanjaya merajut langkah untuk mendekati mobilnya. Ya, Nadisa akhirnya patuh padanya.Jevano berinisiatif keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Nadisa yang merupakan calon istrinya.Nadisa sempat memandang risih pada Jevano, tetapi akhirnya tetap memasuki mobil milik lelaki itu. Pun Nadisa bergumam pelan, "Terima kasih.""Sama-sama, Nadisa." Jevano kemudian memutari mobilnya, untuk tiba di kursi kemudi. Lalu duduk dan memusatkan perhatiannya pada Nadisa. Seakan menunggu gadis cantik itu bicara.Sadar akan hal tersebut, Nadisa membuang napasnya pelan. "Aku s
Hari yang sakral itu akhirnya datang. Pada hari ini, Nadisa Tirta Sanjaya akan secara resmi melepas masa lajangnya. Lantaran dipersunting oleh Jevano Putra Hartono; lelaki tampan yang merupakan putra dari sahabat mamanya.Sang bungsu keluarga Sanjaya duduk di ruang rias pengantin. Membiarkan seorang wanita paruh baya merampungkan riasan di wajah cantiknya. Pun kini Nadisa sudah mengenakan gaun pernikahannya. Gaun putih panjang yang terlihat sangat cocok di tubuh mungil nan rampingnya."Riasannya sudah selesai, Nona Nadisa. Anda terlihat sangat cantik sekarang," puji perias pengantin tersebut. Nadisa hanya tersenyum kecil sebagai balasannya. "Saya akan segera memanggil penata rambut Nona. Tolong tunggu sebentar ya, Nona Nadisa."Maka wanita cantik itu pergi meninggalkan ruang rias pengantin. Membiarkan Nadisa hanya berdua dengan sang sahabat satu-satunya; Karenia Winata. Nadisa menolehkan kepala menuju Karenia. Memperlihatkan matanya yang sudah berkaca-kaca karena me
Resepsi pernikahan Nadisa telah resmi berakhir beberapa saat lalu. Kini, mentari telah benar-benar kehilangan sinarnya dan digantikan oleh rembulan di langit yang kelam. Pun jam dinding di kamar hotel Nadisa sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.Nadisa kini sedang berbaring di ranjang hotelnya. Dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga perut.Nadisa kini mengenakan piyama lengan panjang dan celana pendek selututnya. Sama sekali bukan pakaian yang cocok untuk malam pertama, karena memang itu bukan tujuannya.Sreeeeg! Suara pintu yang digeser dari arah kamar mandi di sudut kamar hotel itu membuat Nadisa memiringkan tubuhnya. Membelakangi Jevano yang baru saja keluar dari sana setelah membersihkan dirinya.Nadisa sama sekali tidak tertarik untuk melihat sosok suaminya.Nadisa berusaha memejamkan mata, ingin memasuki alam mimpinya. Akan tetapi, sebuah sentuhan di lengan atasnya membuat Nadisa secara refleks menghempas tangan yang menyentuhnya.Nadisa men
Malam kini telah datang. Mengusir mentari dari singgasananya, dan menggantinya dengan rembulan.Di tengah gelapnya malam, Nadisa Tirta Sanjaya duduk seorang diri di lobi kantor perusahaannya. Pekerjaannya, yang ia kira bisa selesai sore hari tadi, nyatanya membuat dirinya harus lembur malam ini.Kini, tepat saat arloji di tangannya menunjukkan pukul sebelas malam, Nadisa baru bisa merampungkan seluruh pekerjaannya. Dengan keadaan kantor yang sepi karena seluruh karyawannya sudah pulang. Pun jalanan sudah tampak lengang, tidak ada sedikit pun kendaraan umum yang lalu lalang.Nadisa menempelkan telepon genggamnya ke telinga. Menunggu seseorang yang ia hubungi mengangkat teleponnya. Tapi alih-alih menerima jawaban dari orang tersebut, Nadisa justru mendengar suara operator di seberang sana."Nomor yang anda tuju tidak menjawab--"Tut! Nadisa mematikan panggilannya untuk Jevano.Gadis Sanjaya itu menghela napas panjang, lantaran teleponnya tak kunjung diangk
Sakit. Tubuh Nadisa rasanya remuk redam. Membuat dirinya kesulitan untuk bergerak.Sesak. Sulit untuk bernapas. Rasanya seakan oksigen tidak mau memasuki paru-parunya, sekuat apa pun Nadisa berusaha.Gelap. Nadisa benar-benar dikelilingi kegelapan. Ini sebenarnya … di mana?"...ma? Disa? Bangunlah, sudah pagi."Suara berat itu berhasil menarik Nadisa dari kegelapan yang melingkupinya. Serta merta membuat dirinya membuka mata dan bangkit dari posisi tidurnya.Kedua mata Nadisa kontan membulat lantaran mendapati Mama Ayu sedang memeluk erat tubuhnya. Juga keberadaan sang Kakak, Jeffrey, yang saat ini berdiri di tepi ranjangnya. Nadisa mengerjapkan matanya beberapa kali.Bukankah … tadi Nadisa sudah mati?"Ungh…" suara erangan pelan dari Mama Ayu membuat Nadisa mengalihkan perhatian.Dapat dilihat oleh Nadisa, penampilan mamanya yang jauh dari kata baik-baik saja. Wajahnya pucat, dengan jejak air mata mengering di pipinya. Pun pakaiannya masih serba
Nadisa masih menyuap nasi goreng ke dalam mulutnya. Sementara itu, Jeffrey melirik pada arloji di tangan kirinya. Sudah pukul delapan, ternyata. Sudah waktunya Jeffrey pergi ke kantor Sanjaya."Ma, boleh Jeffrey pergi ke kantor? Ada beberapa urusan yang harus Jeffrey selesaikan," kata Jeffrey pelan. Ia sebenarnya masih khawatir pada keadaan mamanya, tapi ia tidak bisa berdiam diri di rumah terlalu lama."Tentu saja boleh, Jeff." Mama Ayu menjawab lemah.Mendengar hal itu, Nadisa pun turut buka suara."Aa, Disa juga izin ke kantor, Ma. Ada dokumen yang harus Disa bahas dengan para staf."Tentu saja itu bohong. Nadisa bahkan tidak ingat pekerjaan apa yang sedang ia garap di kantor saat ini. Nadisa hanya … tidak mau terpuruk seperti di kehidupan sebelumnya. Bagaimana pun juga, sang Papa tidak layak ditangisi terlalu lama. Lagi pula, Nadisa harus menjadi lebih kuat dan menyiapkan rencana untuk menangani semua masalah yang akan dihadapinya!Mama Ayu menganggu
Nadisa mematung di posisinya, memandangi sang Mama yang masih menangis lirih di dalam kamar. Kedua tangan Nadisa mengepal erat di sisi tubuhnya. Menahan gejolak amarah di dalam dada."Papa jahat sekali sama keluarga kita…" lirih sang Mama. "Mama salah apa sama Papa, sampai Papa tega duain Mama…"Sialan.Andai saja Nadisa kembali ke masa dimana sang Papa masih hidup, Nadisa bersumpah akan menghajar dan menyadarkan Beliau. Sayangnya, ia kembali hidup justru di saat Papa Fadli sudah meninggal dunia. Ia tidak bisa mengubah apa-apa.Nadisa mengembuskan napas panjang, berusaha untuk tenang. Gadis Sanjaya itu merogoh isi tasnya, kemudian mengeluarkan satu kemasan kertas tisu dari sana. Nadisa meletakkannya di depan pintu kamar Mama Ayu. Lalu memutuskan untuk berjalan menjauh.Dalam langkahnya menyusuri perjalanan menuju kamar, Nadisa tanpa sengaja meneteskan air mata.Sungguh, Nadisa tidak mengerti mengapa laki-laki selalu saja menyakiti hati perempuannya. Baik