Mendengar ucapan bernada pedas dari Nadisa Tirta Sanjaya, Karenia Winata pun sukses bungkam di tempatnya. Gadis dengan rambut bergelombang itu hanya bisa menggertakkan giginya, menyalurkan emosinya.Nadisa tersenyum miring."Tunggu apa lagi? Pak Kepala departemen, tolong umumkan hasilnya." Nadisa berkata dengan nada tegasnya."B-baik, Nona," pria paruh baya berbadan gempal dengan kepala botak itu langsung beranjak dari posisi duduknya. "Dengan adanya instruksi langsung dari Nona Nadisa, maka kedua kandidat dinyatakan lolos menjadi staf di perusahaan Sanjaya. Saudari Winda Anastasia diterima sebagai staf Human Resource Development, sementara saudara Narendra Bagaskara akan menjadi asisten Nona Nadisa. Selamat atas keberhasilan kalian."Pria itu segera menjabat tangan Winda dan Narendra secara bergantian. "Selamat, ya.""Terima kasih, Pak." Narendra dan Winda menjawab dengan sopan disertai senyuman di wajah mereka.Nadisa yang awalnya berdiri di amban
Secara perlahan, Narendra Bagaskara berniat melepaskan tangannya dari Nadisa. GRET! Akan tetapi, Nadisa justru mengeratkan genggamannya. Tidak membiarkan Narendra melepasnya."Lepaskan tanganku, Jevan." Nadisa berkata pelan."Pergi bersamaku, maka tanganmu aku lepaskan," kata Jevano. Masih bersikeras mencengkram lengan Nadisa."Bukankah aku sudah bilang, aku nggak suka dipegang sembarangan." Kedua mata kelam milik Nadisa tertuju pada Jevano yang lebih tinggi darinya. Menatap lurus pada netra sang lelaki."Aku juga sudah bilang, aku akan melepas tanganmu kalau kamu mau ikut denganku," tantang Jevano. Ekor matanya melirik ke arah tautan tangan Nadisa dengan Narendra.Tanpa aba-aba, Jevano menggunakan tangannya yang bebas untuk menarik tangan Narendra. Memaksa tautan itu untuk terlepas."Nadisa tidak suka dipegang sembarangan, Gembel." Jevano berkata sinis pada Narendra. Membuat sang lelaki Bagaskara hanya bisa mengepalkan tangan, menahan emosinya.Nadi
Sean Dewa Atmoko masih duduk di lobi kantor Sanjaya. Sean memang sengaja bertahan di sana untuk bisa bertemu kembali dengan Nadisa Tirta Sanjaya. Syukur-syukur, bisa mengajak gadis itu makan siang atau sekadar mengobrol bersama. Ah, juga menanyakan apakah Nadisa menyukai cokelat pemberiannya."Nanti aku minta nomor ponselnya juga kali, ya…" gumam Sean. Lelaki berkulit putih dan bertubuh kurus tinggi itu senyam-senyum sendiri. Membayangkan bagaimana jika nanti dirinya kembali berbincang dengan sang gadis Sanjaya.Sean menyugar rambut hitamnya ke belakang. Membuat para karyawan perempuan di sana menahan napas lantaran terpesona. Wajah Sean yang khas Asia, lebih terkesan seperti orang Jepang, mampu membuat gadis-gadis memusatkan atensi padanya. Bahkan langsung jatuh cinta."Gila, dia tampan sekali.""Gayanya juga trendy. Sepertinya anak bos, ya?"Bisikan itu terus saja berkeliaran di sekitar Sean, tetapi sama sekali tidak didengar oleh sang empunya na
Tanpa menunggu waktu lama, Nadisa segera menerima sambungan telepon dari mamanya. "Halo, Mama? Ada apa, Ma? Mama butuh sesuatu ya di rumah?" cecar Nadisa. Khawatir kalau sang Mama sedang tidak baik-baik saja di kediamannya."Mama baik-baik saja, Disa. Tenanglah dulu ya, Sayang." Mama Ayu di seberang sana berkata dengan suara seraknya.Nadisa kontan menghela napas lega. Kini, ia menyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya. Sudah lebih santai dibandingkan sebelumnya."Kalau begitu, ada apa, Ma?" tanya Nadisa."Begini, Disa. Nanti malam, kamu pulang bersama Jevan anaknya Tante Jessica saja ya, Sayang?" tanya Mama Ayu.Nadisa menggembungkan pipinya. Biar ia tebak, Jevano pasti habis menghubungi mamanya. Makanya Mama Ayu sampai menelepon Nadisa."Disa naik taksi saja, Ma.""Taksi? Memangnya kakakmy ke mana, Sayang?" tanya Mama Ayu.PLUK! Tangan kiri Nadisa secara refleks menepuk dahinya. Dia keceplosan. Ah, benar-benar makin runyam!"Sayang? Jawa
Jam dinding di sudut ruangan direktur utama sudah menunjukkan pukul lima sore. Meski begitu, Nadisa Tirta Sanjaya masih saja mengobrak-abrik lemari di ruangan almarhum sang Papa untuk menemukan pakaian lain milik Jeffrey, kakaknya."Seingatku Kak Jeff masih menyimpan beberapa baju lagi di sini." Nadisa bergumam pelan, seraya berjinjit hendak memeriksa pakaian yang ada di laci atas lemari papanya."Kamu sudah memberiku tiga pakaian, Nadisa. Aku sudah sangat cukup dengan itu semua." Narendra berkata dengan hati yang tidak nyaman.Awalnya, Narendra merasa senang dengan pemberian Nadisa padanya. Akan tetapi, lama kelamaan Narendra jadi tidak enak hati untuk menerimanya. Dan lagi, Narendra baru menyadari kalau sikap Nadisa sangat berbeda dibandingkan saat kuliah dulu.Nadisa … jadi jauh lebih baik padanya. Padahal saat kuliah, Narendra seringkali mendapatkan tatapan tajam dari Nadisa tatkala tanpa sengaja Narendra mencuri pandang padanya.Narendra jadi bingung me
Nadisa mulai berjalan cepat untuk menjauh. Meski sesekali Nadisa menoleh ke belakang, guna memastikan keberadaan pria misterius berhoodie hitam itu.Tepat saat Nadisa menoleh, kedua matanya dapat melihat kilauan sesuatu di tangan orang itu. Tidak asing bagi Nadisa. Itu … sebilah pisau.Tanpa aba-aba, pria itu berlari ke arah Nadisa.Ini seperti de javu. Peristiwa itu terjadi lagi pada Nadisa!"TOLONG!" teriak Nadisa, tepat ketika lelaki itu menahan lengannya. Dengan satu tangan lainnya mengangkat pisau ke udara.BRUK! Tiba-tiba saja, pria misterius itu ditendang oleh seseorang dari belakang. Hingga jatuh tersungkur ke aspal dan pisau yang sebenarnya hanyalah mainan pun terpental."Ah, sialan!"Pria itu segera memperbaiki letak tudung hoodie di kepalanya, lalu mengambil langkah untuk pergi secepatnya.Peristiwa tadi berlalu dengan sangat cepat. Hingga Nadisa hanya bisa terbelalak tatkala melihat orang yang baru saja menyelamatkannya. Itu … Na
Jevano Putra Hartono adalah putra tunggal di keluarganya. Terbiasa dengan kehidupan yang sempurna dan bergelimang harta, Jevano bisa dibilang tidak pernah mengecap kegagalan semasa hidupnya. Oleh sebab itu, gagalnya sang Anak Buah yang bernama Haikal dalam mengemban tugasnya membuat Jevano langsung dikuasai kemarahan.Apalagi, berkat kegagalan Haikal, Nadisa yang seharusnya jatuh cinta pada Jevano sebagai pahlawannya kini malah makin menempel erat pada Narendra Bagaskara. Benar-benar menyebalkan.Tanpa kata, Jevano mengambil langkah mendekati anak buahnya. BUGH! Jevano mendaratkan tinjuan keras di perut Haikal. Hingga lelaki berkulit tan itu tersungkur jatuh ke tanah."A-ampun, Tuan Muda…"Jevano mendaratkan kakinya di bahu Haikal, memaksanya untuk berbaring. Lalu menekannya dengan keras. "Mana kunci motormu?" tanya Jevano."U-untuk apa, Tuan Muda? B-bukankah Anda harus segera pu–""Siapa tuannya di sini? Aku atau kamu?" tanya Jevano dengan dingin.
Gerimis yang tadi menyerang Jakarta kini telah reda. Bersamaan dengan turunnya Narendra dari bus yang ditumpanginya. Baru kemudian Narendra mengulurkan tangannya untuk Nadisa. Membantu sang dara untuk turun dari bus mereka.Tepat saat Nadisa menerima uluran tangan Narendra, sang Adam membatu selama beberapa waktu. Ia memandangi tangan Nadisa, lalu baru menyadari ada sesuatu di sana.Luka, yang sejak mereka kuliah telah ada. Ternyata hingga kini pun masih tertinggal di tangan sang gadis Sanjaya.Tap! Kedua kaki Nadisa akhirnya berhasil menjejaki tanah berlapis aspal."Ada apa, Narendra?" tanya Nadisa bingung.Narendra menggelengkan kepala dan mengulas senyuman. Pun lelaki itu melepas tautan tangan mereka. "Tidak ada apa-apa."Nadisa sempat terdiam tatkala merasakan kekosongan di tangannya. Hingga tangan yang tadi digenggam oleh Narendra itu mengepal, tanpa sepengetahuan sang Adam. Nadisa kemudian melangkahkan kakinya, menyusuri jalan yang akan membaw