Home / Rumah Tangga / Kehidupan Setelah Perpisahan / Bab 95 Kehidupan setelah bercerai

Share

Bab 95 Kehidupan setelah bercerai

Author: Lin shi
last update Last Updated: 2025-12-09 20:31:01

Aini menatap layar ponselnya lama sekali sebelum akhirnya menekan nama Mas Amar. Jemarinya terasa dingin. Ketika panggilan tersambung, suara berat khas sang kakak langsung terdengar.

“Assalamualaikum, Ni?”

Aini menarik napas pelan.

“Waalaikumsalam, Mas… Aini mau ngomong sesuatu.”

“Ngomong apa? Kok suaramu beda? Apa si kembar sakit?"

" Alhamdulillah... Mereka sehat mas."

" Ada apa? Katakan Ni ?" desak Amar.

Aini memejamkan mata.

“Mas… Aini mau jual sawah warisan itu.”

Ada jeda beberapa detik di ujung sana, hening yang membuat jantungnya Aini ikut berhenti berdetak.

“Sawah? Kamu mau jual sawah milikmu?” suara Amar mengeras sedikit.

“Kenapa? Kamu butuh uang? Kalau butuh, bilang sama Mas. Jangan dijual. Mas masih ada tabungan."

“Bukan karena itu.” Aini menggigit bibir. “Aini… mau beli tanah di daerah Mekar Jaya.”

“Lho, terus kenapa nggak pakai uang Mas dulu? Kamu ini piye, to? Ngapain jual tanah?"

Aini menunduk pada lantai teras, meski Amar tidak melihatnya, raut wajahnya tertunduk malu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 109 Si kembar

    Rabu pagi itu, suasana di puskesmas sudah cukup ramai, dipenuhi oleh berbagai aroma khas antiseptik yang bercampur dengan tangis bayi yang bersahut-sahutan. Ruang tunggu imunisasi dipenuhi oleh para ibu yang terlihat cemas namun penuh harapan. Dina duduk di bangku panjang dekat dinding, kedua bahunya sedikit tegang, menandakan betapa besar perhatian dan kekhawatirannya terhadap ketiga buah hatinya. Di sampingnya, Aini menggendong Rayan dengan lembut, sementara Revan berada dalam gendongan Dina, terlihat mengantuk namun tetap waspada. Alya, si bungsu, terbaring tenang di dalam stroller, tertidur pulas seolah tidak terganggu oleh hiruk-pikuk di sekitarnya.“Namanya siapa, Bu?” tanya bidan yang bertugas sambil mengecek buku KIA dengan teliti. “Rayan, Revan, dan Alya, Bu,” jawab Dina dengan cepat, nada suaranya menggambarkan kebanggaan. “Kembar tiga.” Bidan itu mengangkat wajahnya, matanya membesar sesaat, lalu tersenyum lebar. “Masya Allah… kembar tiga ya, Bu. Ini jarang-jarang ter

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 108 Setelah berpisah

    Rahma menggenggam tangan Salman erat-erat saat keduanya mengikuti langkah perawat menuju ruang dokter. Setiap langkah terasa berat, seakan beban yang mereka pikul semakin menekan hati mereka. Suara sepatu mereka yang beradu dengan lantai rumah sakit menjadi pengingat akan ketidakpastian yang menghadang. Dalam benak Rahma, berbagai pikiran berputar; ia teringat tawa dan semua kenangan indah yang kini terancam lenyap. Jantungnya berdebar kencang, setiap detak seolah mengingatkannya akan risiko yang dihadapi. Di sampingnya, Salman berusaha tampak tegar, meski jelas terlihat bahwa dadanya terasa sesak, mengingat betapa pentingnya kesehatan sang ayah bagi mereka berdua.Di dalam ruangan dokter, suasana terasa dingin dan mencekam. Dinding putih yang steril dan peralatan medis yang teratur rapi seakan menambah suasana tegang. Dokter menatap mereka bergantian, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk menyampaikan berita yang mungkin sul

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 107 Keputusan

    Danu duduk berhadapan dengan mamanya, Endang, dan adiknya, Dinda, di ruang keluarga yang hangat. Suasana di sekitar mereka terasa tegang, dengan cahaya lampu yang lembut menerangi ruangan. Tangannya terkatup di atas paha, rahangnya mengeras menandakan ketegangan yang tak terhindarkan. Ia tidak langsung bicara, seolah sedang menimbang berat kata-kata yang akan keluar dari mulutnya, setiap detik terasa seperti satu tahun bagi dirinya.Endang memperhatikan putranya lekat-lekat. Ia hafal betul ekspresi itu—ekspresi seseorang yang sudah mengambil keputusan besar, keputusan yang bisa mengubah arah hidupnya. Dengan hati-hati, Danu mengalihkan pandangannya ke arah mamanya, melihat kerisauan yang terlukis di wajah wanita yang telah membesarkannya dengan penuh kasih.“Ma,” ucap Danu akhirnya, suaranya rendah namun tegas, berusaha menahan getaran yang hampir tak tertahankan. “Ada hal penting yang mau aku sampaikan.”Dinda, yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, menghentikan gerakan tangannya.

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 106 Tidak tahu malu

    Udara sore terasa sejuk, karena tanah baru saja disirami air dari langit. Ketika suara mobil berhenti di depan pagar, Aini yang sedang membereskan ruang tamu langsung menoleh ke arah suara tersebut. “Itu kayaknya Hanum,” gumamnya pelan, karena Hanum berkata ada yang mau dibicarakan mengenai acara akikah si kembar.Benar saja, Hanum turun dari mobil dengan langkah penuh semangat, ia melangkah menuju pintu rumah diikuti oleh sang suami.“Assalamualaikum,” sapa Hanum sambil melangkah masuk, suaranya hangat dan penuh kasih.“Waalaikumsalam,” jawab Aini cepat, menyambut kedatangan mereka dengan senyuman. “Masuk, Num, Seno."Mereka duduk melingkar di ruang tamu yang sederhana namun nyaman. Dari arah kamar terdengar suara kecil Rayan, Revan, dan Alya yang mulai rewel.Hanum bangkit dan melangkah ke arah kamar, ia berdiri diambang pintu dan tersenyum melihat ke dalam kamar. “Masya Allah… cepat sekali mereka besar,” katanya dengan nada penuh rasa syukur. “Rasanya baru kemarin lahir.”" Iya Ta

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 105 Menolak nikah

    Lorong ICU sunyi seperti biasanya, sesekali langkah perawat dan bunyi roda brankar melintas. Lampu-lampu putih menyala terang, memantul di lantai mengilap, menambah kesan dingin dan kaku. Di balik pintu kaca bertuliskan Intensive Care Unit, Ahmad masih terbaring dengan tubuh dipenuhi selang dan alat bantu.Sudah satu hari penuh.Namun tak ada kabar baik.Rizal berdiri mematung di depan kaca ICU. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, bahunya turun, wajahnya kusut oleh kelelahan dan penyesalan yang tak berujung. Matanya merah, bukan hanya karena kurang tidur, tapi karena rasa bersalah yang terus menghantam tanpa jeda.Monitor di dalam ruangan berbunyi pelan, ritmis, namun bagi Rizal, setiap bunyi itu seperti palu yang mengetuk dadanya.“Aku seharusnya menikah tanpa drama,” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. “Aku seharusnya paham kondisi Kakek…”Salman duduk di kursi tunggu, punggungnya bersandar lemah. Sebagai anak, ia terlihat paling rapuh hari itu. Rambutnya yang biasanya rapi

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 104 Merasa diawasi

    Hanum melangkah lebih cepat dari biasanya. Kantong belanja di kedua tangannya terasa makin berat, bukan hanya karena isinya, tapi karena perasaan tidak nyaman yang sejak tadi menggerogoti dadanya.Sejak keluar dari toko daging, ia merasa ada yang tidak beres.Awalnya hanya perasaan samar, seperti ada mata yang memperhatikannya. Ia menepisnya, menganggap mungkin hanya kelelahan. Namun ketika ia berbelok menuju rumah, langkah kaki di belakangnya terdengar ikut melambat saat ia melambat… dan terdengar cepat saat ia mempercepat langkah.Hanum berhenti mendadak.Langkah di belakangnya ikut terhenti.Jantung Hanum berdegup lebih kencang. Ia menoleh cepat ke belakang. Gang itu sepi. Hanya ada seorang pria berdiri agak jauh, pura-pura menunduk menatap ponselnya. Saat mata mereka hampir bertemu, pria itu langsung membalikkan badan, berjalan ke arah berlawanan.Hanum menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.“Cuma kebetulan,” gumamnya, berusaha meyakinkan diri sendiri.Namun rasa tidak n

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status