MasukRahma menggenggam tangan Salman erat-erat saat keduanya mengikuti langkah perawat menuju ruang dokter. Setiap langkah terasa berat, seakan beban yang mereka pikul semakin menekan hati mereka. Suara sepatu mereka yang beradu dengan lantai rumah sakit menjadi pengingat akan ketidakpastian yang menghadang. Dalam benak Rahma, berbagai pikiran berputar; ia teringat tawa dan semua kenangan indah yang kini terancam lenyap. Jantungnya berdebar kencang, setiap detak seolah mengingatkannya akan risiko yang dihadapi. Di sampingnya, Salman berusaha tampak tegar, meski jelas terlihat bahwa dadanya terasa sesak, mengingat betapa pentingnya kesehatan sang ayah bagi mereka berdua.Di dalam ruangan dokter, suasana terasa dingin dan mencekam. Dinding putih yang steril dan peralatan medis yang teratur rapi seakan menambah suasana tegang. Dokter menatap mereka bergantian, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk menyampaikan berita yang mungkin sul
Danu duduk berhadapan dengan mamanya, Endang, dan adiknya, Dinda, di ruang keluarga yang hangat. Suasana di sekitar mereka terasa tegang, dengan cahaya lampu yang lembut menerangi ruangan. Tangannya terkatup di atas paha, rahangnya mengeras menandakan ketegangan yang tak terhindarkan. Ia tidak langsung bicara, seolah sedang menimbang berat kata-kata yang akan keluar dari mulutnya, setiap detik terasa seperti satu tahun bagi dirinya.Endang memperhatikan putranya lekat-lekat. Ia hafal betul ekspresi itu—ekspresi seseorang yang sudah mengambil keputusan besar, keputusan yang bisa mengubah arah hidupnya. Dengan hati-hati, Danu mengalihkan pandangannya ke arah mamanya, melihat kerisauan yang terlukis di wajah wanita yang telah membesarkannya dengan penuh kasih.“Ma,” ucap Danu akhirnya, suaranya rendah namun tegas, berusaha menahan getaran yang hampir tak tertahankan. “Ada hal penting yang mau aku sampaikan.”Dinda, yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, menghentikan gerakan tangannya.
Udara sore terasa sejuk, karena tanah baru saja disirami air dari langit. Ketika suara mobil berhenti di depan pagar, Aini yang sedang membereskan ruang tamu langsung menoleh ke arah suara tersebut. “Itu kayaknya Hanum,” gumamnya pelan, karena Hanum berkata ada yang mau dibicarakan mengenai acara akikah si kembar.Benar saja, Hanum turun dari mobil dengan langkah penuh semangat, ia melangkah menuju pintu rumah diikuti oleh sang suami.“Assalamualaikum,” sapa Hanum sambil melangkah masuk, suaranya hangat dan penuh kasih.“Waalaikumsalam,” jawab Aini cepat, menyambut kedatangan mereka dengan senyuman. “Masuk, Num, Seno."Mereka duduk melingkar di ruang tamu yang sederhana namun nyaman. Dari arah kamar terdengar suara kecil Rayan, Revan, dan Alya yang mulai rewel.Hanum bangkit dan melangkah ke arah kamar, ia berdiri diambang pintu dan tersenyum melihat ke dalam kamar. “Masya Allah… cepat sekali mereka besar,” katanya dengan nada penuh rasa syukur. “Rasanya baru kemarin lahir.”" Iya Ta
Lorong ICU sunyi seperti biasanya, sesekali langkah perawat dan bunyi roda brankar melintas. Lampu-lampu putih menyala terang, memantul di lantai mengilap, menambah kesan dingin dan kaku. Di balik pintu kaca bertuliskan Intensive Care Unit, Ahmad masih terbaring dengan tubuh dipenuhi selang dan alat bantu.Sudah satu hari penuh.Namun tak ada kabar baik.Rizal berdiri mematung di depan kaca ICU. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, bahunya turun, wajahnya kusut oleh kelelahan dan penyesalan yang tak berujung. Matanya merah, bukan hanya karena kurang tidur, tapi karena rasa bersalah yang terus menghantam tanpa jeda.Monitor di dalam ruangan berbunyi pelan, ritmis, namun bagi Rizal, setiap bunyi itu seperti palu yang mengetuk dadanya.“Aku seharusnya menikah tanpa drama,” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. “Aku seharusnya paham kondisi Kakek…”Salman duduk di kursi tunggu, punggungnya bersandar lemah. Sebagai anak, ia terlihat paling rapuh hari itu. Rambutnya yang biasanya rapi
Hanum melangkah lebih cepat dari biasanya. Kantong belanja di kedua tangannya terasa makin berat, bukan hanya karena isinya, tapi karena perasaan tidak nyaman yang sejak tadi menggerogoti dadanya.Sejak keluar dari toko daging, ia merasa ada yang tidak beres.Awalnya hanya perasaan samar, seperti ada mata yang memperhatikannya. Ia menepisnya, menganggap mungkin hanya kelelahan. Namun ketika ia berbelok menuju rumah, langkah kaki di belakangnya terdengar ikut melambat saat ia melambat… dan terdengar cepat saat ia mempercepat langkah.Hanum berhenti mendadak.Langkah di belakangnya ikut terhenti.Jantung Hanum berdegup lebih kencang. Ia menoleh cepat ke belakang. Gang itu sepi. Hanya ada seorang pria berdiri agak jauh, pura-pura menunduk menatap ponselnya. Saat mata mereka hampir bertemu, pria itu langsung membalikkan badan, berjalan ke arah berlawanan.Hanum menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.“Cuma kebetulan,” gumamnya, berusaha meyakinkan diri sendiri.Namun rasa tidak n
Hampir satu minggu berlalu sejak terakhir kali Alma menginjakkan kaki di rumah Dina, dan selama waktu itu, kesibukan kantor benar-benar menyedot seluruh waktunya. Setiap pagi, ia berangkat dengan penuh semangat, berusaha untuk tetap fokus meski pikiran tentang sahabat dan keponakannya terus menghantuinya. Malam harinya, saat pulang, ia merasa lelah dan tertekan, membuat niat untuk berkunjung hanya tersimpan sebagai wacana di kepala, seolah-olah ada tembok tak terlihat yang memisahkan mereka.Hari itu, setelah sekian lama menunggu, akhirnya Alma datang juga. Ia merasa sedikit bersemangat dan rindu dengan suasana hangat di rumah Dina, tempat di mana tawa dan canda selalu mengisi setiap sudut.Begitu pintu rumah terbuka, Dina langsung menyambutnya dengan senyum lebar yang penuh kehangatan. Senyum itu seakan menjadi penanda bahwa persahabatan mereka tetap kuat meski terhalang oleh kesibukan masing-masing.“Masya Allah… akhirnya muncul juga,” goda Dina sambil menyilangkan tangan di dada, e







