Empat bulan setelah perceraian mereka, Diandra berjalan dengan tegap pada lorong menuju ruangan meeting. Ia yang menghandel perusahaan milik Zayyan ketika pria itu sedang tidak bisa datang. Dengan senyuman manis, ia membalas perlakuan baik salah seorang karyawan di sana yang membukakan pintu untuknya. Dia segera masuk. Di dalam, ia sudah ditunggu oleh banyak petinggi perusahaan untuk memberikan presentasi. Jejeran pria-pria gagah dengan jas hitam menatapnya dengan serius. Dia mulai menjelaskan dengan detil seraya menunjuk pada papan putih yang terdapat proyektor menyala dengan tampilan produk dan rencana jalannya misi bisnis mereka. Semua orang tampak mengangguk dan menyetujui apa yang Diandra ajukan. Wanita itu telah berubah menjadi seorang wanita berkelas dan terlihat wajahnya lebih segar dari waktu itu. Zayyan tersenyum di balik ruangan yang lain. Ia menyaksikan Diandra dengan kepandaiannya menyampaikan ucapannya. Lewat sebuah kamera di ruangan meeting, Zayyan menatap layar la
"Kenapa diliatin terus sih! Masih nyimpen perasaan?" sindir Dewi ketika Dani sering melamun setelah pulang dari jalan tadi, karena mereka berpapasan dengan Diandra. Dani menghela napas panjang. Ia tak menjawab sepatah kata pun. "Mas!" sentak Dewi lagi. Sambil menepuk lengan kekar Dani ketika pria itu duduk sambil termenung di dalam kamarnya. "Wi! Bisa enggak sih sehari aja enggak bikin telingaku panas? Kamu ini bisa enggak bicara pelan-pelan, lemah lembut kayak Diandra?""Dia lagi Dia lagi. Dia aja terus. Sejak kalian bercerai, aku yang jadi korban. Mas lebih sering melamun terus. Pengeluaran membengkak, aku juga yang harus bantu nutupi kebutuhan." "Ya Allah, Wi. Kalau bukan kamu siapa lagi? Jangan cuman bisanya ngabisin duit laki aja! Aku berumah tangga sama Diandra itu enggak pernah begini. Selalu dia cukup-cukupin pemberian dariku. Padahal, yang uang aku kasih ke Dia lebih sedikit dari yang aku kasih ke kamu. Bahkan dia bisa buka bisnis sendiri tanpa bantuanku.""Semua ini kan
"Bang, kita mau ke mana?" Diandra terus mengikuti pria itu masuk ke dalam. Mereka langsung disambut hangat oleh pemilik toko berlian itu. Jejeran perhiasan dengan permata mengkilau itu terpajang pada patung-patung leher di atas etalase. Juga beragam cincin dan kalung mewah di sana. "Mbak, tolong yang itu!" tunjuk Zayyan pada salah satu benda di dalam etalase.Seorang wanita berseragam keabuan dengan sanggul rambut di bawah langsung mengambilkannya untuk pria itu. Zayyan langsung memperhatikan benda mengkilau itu dengan cermat. Tanpa menunggu kata lagi, ia meraih tangan Diandra lalu memasangkan cincin berlian itu di jari manisnya. Dia sendiri pun terperanjat sampai tak bisa berkata-kata. Ia tak mendapat izin mengutarakan pertanyaannya pada pria itu. "Suka enggak?" tanya Zayyan seraya menatap Dia yang masih bingung. "Ini buat saya?" "Bukan." Zayyan mencebik. "Ya masa buat saya. Tangan aku gede, Dia. Enggak bakal muat segini.""Terus buat siapa? Kenapa saya yang disuruh nyobain, Ba
Setelah malam itu, Zayyan lebih sering mengantar dan menjemput Dia ketika ke kantor mau pun saat waktu pulang tiba. Banyak yang membicarakan mereka karena tampak lebih dekat sering bersama. Sama seperti saat ini, ketika mereka baru saja datang dan keluar dari mobil yang sama."Keren mereka. Udah Pak Zayyan-nya ganteng, dapet Bu Dia yang juga cantik," celetuk salah satu karyawati. "Tapi, aku dengar Bu Dia itu janda. Bener kan?" Karyawati yang lain ikut nimbrung. Mereka berdiri di balik dinding dengan tatapan terus mengikuti langkah Dia dan Zayyan."Memang janda. Dan kudengar beritanya itu kalau Bu Dia cerai karena suaminya selingkuh. Ada juga yang bilang kalau mereka cerai karena anaknya mati.""Astaga, mati? Kenapa matinya? Aku enggak pernah denger kalo Bu Dia punya anak. Apa Pak Zayyan tau? Jangan-jangan pake guna-guna. Mana ada jaman sekarang laki-laki yang mau sama janda beranak.""Huust, jangan kenceng-kenceng! Nanti ada yang dengar. Banyak yang mau sekarang sama janda. Karena si
Setelah beberapakali sering telat, kini Dani tak mau lagi mengulangi kesalahan yang sama. Lelaki itu datang pagi-pagi sekali. Selain itu, yang ia lakukan adalah demi mendapatkan simpati dari Diandra, mantan istrinya yang sudah ia siapkan bekal sarapan pagi. "Pagi, Pak." Satpam jaga menyapanya. Dani pun membalas dengan hal yang sama. Pria itu tersenyum lalu kembali melangkah ke dalam. Suasana kantor masih sedikit sepi karena baru jam enam pagi. Meskipun begitu, Dani masuk terlebih dahulu ke dalam ruangan Diandra. Ia meletakkan kotak makan berisi sandwich di atas meja. Setelah itu ia keluar lagi dan pergi ke kursi tempatnya bekerja. Dani tak sabar Diandra datang lalu melihat hadiah kecil yang baru sekali itu ia berikan padanya. Dari tangannya sendiri ia membuat. "Hari ini Pak Zayyan enggak masuk kantor. Mungkin juga kita pulangnya agak siangan."Dani menajamkan telinganya ketika mendengar salah seorang karyawati lewat sambil mengobrol. "Kamu diundang?" tanya seorang wanita yang dud
"Aku rasa semalam Abang kurang tidur."Zayyan tersenyum seraya memotong roti panggangnya. Ia dan Diandra pagi itu tengah menikmati sarapan pagi di hotel tempat mereka menikah kemarin. "Ternyata semalam kamu hanya pura-pura tidur saja?" tanya Zayyan balik bertanya sembari menahan senyuman dari bibirnya yang manis itu. "Enggak kok, aku tidur. Tapi Abang sudah bangun duluan. Apa Abang semalam enggak tidur?" Dia meletakkan sendok dan pisaunya. "Aku bangun lebih awal bukan berarti tidak tidur, Sayang. Aku hanya ingin lebih lama memandangimu." "Baru kali ini aku mendapati pria yang begitu pandai membuat perempuan meleleh.""Ini belum seberapa. Masih ada kejutan lagi, yang akan aku berikan padamu. Semoga kamu tidak menyesal menikah denganku yang banyak kekurangan ini.""Ini sudah jalan yang kuambil. Aku harus siap dengan segala apa pun yang akan terjadi nanti."Zayyan tersenyum seraya menggenggam tangan istrinya di atas meja. Lekas menyelesaikan sarapan pagi itu, sepasang pengantin baru
"Siapa?""Kenapa suaranya perempuan?""Mantan, Abang?""Atau ....""Mending aku pulang aja deh." Zayyan langsung ternganga dengan wajah terkejutnya. "Loh, kenapa mau pulang? Di sini kan rumah kita, Sayang.""Abang telponan sama perempuan. Suaranya mendayu begitu. Memangnya aku tidak dengar?" sungut Diandra. Rasa kesal telah menguasai dirinya. Zayyan mengulas senyuman manisnya. Ingin tertawa tapi khawatir nanti Dia semakin tersinggung. "Bukan siapa-siapa. Dia cuman ...." Belum sempat Zayyan menjelaskan, Dia sengaja menjauh. Ia tak mau didekati oleh pria itu. Mendadak pikiran buruk memenuhi ruang kepalanya. "Sayang, Abang mau jelasin dulu. Jangan marah." Zayyan menyentuh pundak Dia. Namun, wanita dengan rambut tergerai panjang itu menolak. "Dia itu adik sepupu, Dia. Bukan wanita selingkuhan." Zayyan menahan tawanya. "Aku bukan seperti mantan suami kamu. Aku dan Sinta memang dekat sejak kecil. Usianya di atasku malah. Jadi, kamu enggak perlu khawatir."Rona wajah murung Dia berubah
"Di, kamu kenapa?" Zayyan langsung berdiri dan menerima pelukan itu. Diandra menghela napas panjang. "Aku mau ngechas." Diandra berusaha menyembunyikan kenyataan. Zayyan menatap ke bawah lalu mencoba merasakan gemetar tangan istrinya itu. Tubuh Dia juga terasa bergetar. "Sayang, kamu ... habis ketemu sama Dani?""Abang kok tau?" Mereka melepas pelukan itu. Lalu Zayyan mengajaknya duduk di sofa dalam ruangan. Pria itu menatapnya dengan lekat seraya mengusap wajah panas Diandra. "Apa yang dia lakukan padamu? Apakah dia berani macam-macam?"Dia menunduk. "Katakan, Sayang! Aku tidak mau istriku disentuh oleh pria lain. Jika dia nekat, maka aku sendiri yang akan memberikan peringatan. Sudah, tidak usah menangis. Kamu diapain sama dia? Bilang sama Abang."Dia kembali memeluk. "Ya sudah kalau kamu belum bisa bilang. Seharian ini, kamu di sini saja. Semua kerjaan kamu aku serahkan Hendra saja. Aku tidak ingin istriku kerja sebenarnya. Karena aku yang harusnya kasih nafkah dari kerja.""