Diandra harus menerima kenyataan bahwa suaminya bahwa setelah pulang dari perjalanan jauh, pria itu membawa dua kado di dalam kopernya. Wanita itu hanya diminta mengambil hadiah di dalam kotak biru, sementara yang ia temukan adalah kotak merah. Untuk siapa sebenarnya hadiah berbalut kotak merah tersebut?
Voir plusBrak!!
Suara pintu kamar hotel yang ditutup kencang membuat Nova berjengit kaget. Dari cermin meja rias Nova menyambut kedatangan sosok pria yang masih setia dengan setelan jas lengkap meski acara resepsi sudah berakhir dua jam lalu.
"Mas Angga? Kamu dari mana, mas? Aku sudah menunggu kamu di sini sejak tadi," ucap Nova seulas senyum Nova pamerkan di hadapan suaminya.
Meski Nova tak mencintai sosok yang kini menjadi suaminya, tuntutan orang tua tak bisa dielak. Nova tak memiliki kuasa untuk menolak pernikahan yang tak diinginkan. Nama baik yang ia coreng tak sebanding dengan pengorbanan yang ia lakukan saat ini.
Angga menatap Nova dengan sorot tajam, "Seorang pembunuh sepertimu tidak pantas berpura-pura baik," ujar Angga sarkas sambil berdesis licik. Nova tidak mengerti kemana Angga akan membawa topik pembicaraan ini.
"A-apa maksudmu?" Nova gelagapan. Tubuhnya membeku saat Angga menatapnya dalam, bahkan penuh dendam.
Kekehan Angga sama sekali tidak menjawab kebingungan Nova . Ketukan sepatu pantofel memecah keheningan di kamar hotel yang dihiasi oleh ornamen-ornamen romantis. Namun, apalah arti keindahan itu jika Nova justru dihadapkan dengan sosok penuh misteri.
Angga yang Nova hadapi sekarang sangat berbeda dengan Angga yang ia temui satu bulan lalu. Tidak ada senyuman hangat ataupun sapaan lembut yang sempat membuat Nova terpesona di pertemuan pertama mereka.
"Kamu pikir, setelah kamu berhasil membunuh Andre, kamu bisa hidup bahagia?"
Tubuh Nova mundur selangkah demi selangkah. Seiringan dengan Angga yang mengikis jarak. Napasnya tercekat saat nama Andre keluar dari mulut pria itu. Berbagai pertanyaan mulai bermunculan di kepala, namun sikap Angga terus mendesaknya untuk memberikan sebuah pengakuan yang tak Nova ketahui.
“Bagaimana kamu bisa mengenal Andre? Siapa kamu sebenarnya?” susah payah Nova mengucapkan kalimat itu di tengah-tengah aura intimidasi Angga untuknya. Kilas balik masa lalu mulai bermain di memori ingatan Nova, bagaikan kaset film yang sedang diputar ulang.
Bukannya menjawab, Angga menjulurkan tangannya meraih tangan Nova secara paksa. Nova terkejut dengan sikap kasar Angga yang berani menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, tidak peduli sekarang Nova telah berstatus sebagai istri sahnya.
"Tolong lepaskan aku, Angga!" Teriakan Nova melolong kencang ketika Angga mengunci kedua tangannya di atas kepala tanpa ampun.
Namun, sekeras apapun Nova memohon pertolongan, pria di atasnya tetap mencekal tubuh Nova dengan kejam. Wajah Angga memerah tanda emosinya siap meluap kapan saja.
"Kamu tidak akan bisa lepas dengan mudah, Nova. Kamu adalah penyebab kematian Adikku, dan sudah seharusnya nyawa dibalas dengan nyawa," desisan kalimat di telinga Nova membuat bulu roma di sekujur tubuhnya meremang.
Sebuah fakta baru saja terungkap dan sukses membuat darah di sekujur tubuh Nova berhenti mengalir. Kulit putih mulus itu memucat disambut dengan seringaian licik Angga yang menakutkan.
Nova tidak pernah menyangka ia akan terjebak dalam dendam yang sedang menyelimuti sosok pria asing ini. Pria yang tiba-tiba ditakdirkan menjadi suaminya lewat perjodohan paksa dari orang tua.
Perpaduan hawa panas yang menjalar dan keringat dingin sebesar biji jagung sudah cukup menyiksa Nova saat ini. Dalam kungkungan tangan kekar pria pemilik rahang tegas itu, Nova mempertahankan dinding pembatas yang sudah ia bangun antara dirinya dengan Angga saat ini.
"Aku bukan pembunuh Andre, tolong percayalah."
"Untuk apa aku percaya pada pembohong berkedok wanita polos sepertimu, hah?! Mulai malam ini, kamu akan membayar semua dosa yang kamu perbuat atas kematian adikku!" ucap Angga tegas. Kedua matanya menyorot tajam bagaikan bilah mata pisau yang baru diasah.
Belum sempat Nova mencerna maksud pria yang telah resmi menjadi suaminya ini–lebih tepatnya suami paksaan–kesabaran Nova diuji oleh jemari kekar Angga yang kembali bergerayang di atas tubuh polos Nova. Jangan tanya kemana jubah mandi yang sebelumnya Nova kenakan. Kekuatan Angga sangat mampu untuk menghempaskan benda itu dalam sekali tarikan dari tubuh Nova.
"Mmpphh!!" Sebelah tangan Angga mengunci mulut Nova hingga tenggorokannya tercekat. Nova meraung di balik bekapan tangan Angga memohon ampun namun berujung sikap abai.
"Diamlah! Semakin kamu memberontak, semakin besar ambisiku untuk menghancurkan masa depanmu!" Mata Nova terpejam erat, telinganya berdengung saat Angga membentaknya.
Hati Nova rasanya pilu. Malam pertama yang seharusnya menjadi penantian setiap pengantin baru adalah malam paling mengenaskan dan meninggalkan luka trauma dalam benaknya.
Kini Angga sudah mengunci semua akses Nova untuk bergerak. Sekuat apapun Nova memberontak, tenaganya kalah jauh dengan sang suami.
Angga menatapnya dengan tatapan penuh dendam. Baru kali ini Nova melihat sorot mata penuh kebencian dari seseorang yang tidak pernah sekalipun Nova kenal sebelumnya.
Tuntutan orang tuanya untuk menjaga nama baik keluarga berujung petaka. Sosok pria yang tiba-tiba datang dengan segala pesona dan kata-kata manisnya kini berubah menjadi serigala buas yang siap menerkam mangsanya di atas ranjang.
Sorot kebencian itu berubah dalam sepersekian detik saat melihat tubuh polos Nova, "aku tidak menyangka kamu memiliki tubuh yang indah. Ternyata aku tidak salah mengambil keputusan."
"Kamu tidak perlu khawatir, aku akan memperlakukanmu dengan sangat baik setelah ini. Tentu hanya di depan banyak orang," bisik Angga di telinga Nova. Hembusan napasnya menderu mengenai leher hingga wanita itu bergidik geli.
Angga telah sepenuhnya menguasai tubuhnya dengan leluasa. Bahkan Angga sangat lihai memainkan perannya sebagai figur suami untuk memenuhi nafkah batin Nova sebagai seorang istri.
Namun, siapa yang menyangka jika pernikahan yang sebelumnya Nova pikir akan membawanya kepada kebahagiaan setelah ditinggalkan oleh mendiang Andre–sang mantan kekasih–setelah kasus pembunuhan itu, justru berujung petaka. Nova terjebak bersama sosok yang tidak akan pernah melepaskan dirinya dalam kebahagiaan.
“Bersiaplah, sayang. Aku akan memberikan kenikmatan yang tidak pernah bisa kamu dapatkan dari lelaki manapun. Anggap saja malam ini adalah malam perkenalan kita. Satu bulan saling menyapa tidak menjamin kamu mengenalku dengan baik, bukan?” Angga menyeringai, senyum miringnya telah mendoktrin Nova bagaimana perangai asli pria itu di balik sikap ramah dan label CEO muda dermawan yang dibanggakan banyak orang.
Angga melepaskan satu per satu kancing kemeja dengan sebelah tangan. Begitu mahir mendominasi suasana dengan kekuasaannya.
“Mpph!! Lephas kan aku!” Nova rasa ia sudah mengeluarkan hampir seluruh tenaga yang ia punya untuk mengucapkan itu, namun, tangan Angga terlalu kuat untuk meredam suaranya.
“Kamu cukup keras kepala rupanya. Tidak masalah, aku tertarik dengan wanita yang suka memberi tantangan. Bersiaplah, kamu akan melahirkan penerusku dengan kualitas terbaik,” ucap Angga lalu merapatkan tubuhnya menindih Nova yang terus memberontak tak terima.
Malam pertama pernikahannya akan menjadi mimpi buruk yang tak pernah Nova bayangkan sebelumnya. Nova bersumpah, ia tak akan melupakan malam yang sudah membuat seluruh dunianya direnggut paksa oleh penderitaan tak berujung.
Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir
"Mas, aku kok khawatir ya, sama baby Al." Aruna menyentuh lengan suaminya. "Wajar begitu, Sayang. Namanya juga ibunya. Nanti setelah sampai bandara, kita video call." Zain menjawab dengan santai. Mereka saat ini berada di atas awan, di dalam pesawat yang menuju ke sebuah kota sejuk di mana orang-orang menyebutnya kota apel. Begitu pesawat landing, mereka Oun segera melangkah keluar. Menuju hotel untuk menginap. Dua koper besar masuk ke dalam taksi, mereka langsung menuju ke tempat wisata itu sekaligus menikmati waktu bulan madu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sampai di hotel, Aruna menghela napas panjang. Ia langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Sementara Zain yang baru masuk, langsung menahan senyuman. Seisi ruang kepalanya mulai berkenalan, Zain tertawa. Pintu kamar hotel ia tutup. Pria itu melepas sepatu, lalu jaket hitamnya. Kemudian ia ikut merebahkan diri di sana. Memeluk tubuh Aruna dengan erat dan rasa bahagia. "Mas," panggil Aruna. "Hem. Kamu capek
"Besok Mas bicara sama dia. Kalau kamu yakin, Mas akan bertindak tegas." Aruna mengangguk. Ia segera memeluk suaminya lagi. Lalu malam berlalu begitu cepat. Paginya, Aruna mendadak malas bangun. Ia sengaja tiduran di atas ranjang sejak setelah Subuh. Tentunya bersama baby Al yang sudah bangun lebih awal. Bayi kecil itu kini mulai bersuara riang. Entah apa yang ingin ia ucapkan, yang jelas ia sangat lucu. "Sayang, kamu enggak bangun?" Zain baru saja masuk ke kamar. Ia baru saja keluar untuk mengambil air minum. "Males. Lagi pengen tidur-tiduran. Perutku mual lagi, Mas."Zain mendekat. Ia kembali mengusap kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu. Lalu mencium kening Aruna yang wangi. "Kangen lagi? Barusan mandi," sindir Zain sambil meringis. "Iya, males mandi juga. Masa belum ada sejam udah mandi lagi. Rajin banget.""Maklumin dong, Yang. Kan namanya juga pengantin baru. Enggak ada istilah liburnya." Kali ini pria itu tertawa lepas. "Hem. Dasar laki-laki. Ke sana terus pikirannya."
Aruna segera mengetik pesan untuk suaminya saat di kamar. "Baru juga hidup tenang, ada aja yang ganggu. Iseng banget," gumamnya sendiri. ["Mas, aku takut."]["Takut kenapa?"]["Ada yang melempar boneka serem ke halaman setelah Mas berangkat tadi."]["Hah. Serius?"]["Iya lah, masa aku bohong. Enggak lucu juga. Lagian tadi pas Mas berangkat ada mobil berhenti di depan rumah."]["Mobil tetangga kali. Itu palingan yang ngelempar orang gila. Suka ada orang gila masuk komplek kali satpam depan ngantuk."]["Mas aneh banget, sih. Orang ini pagi-pagi. Mana mungkin satpam ngantuk? Kan gantian yang jaga semalam sama pagi ini."]["Ya udah, pokoknya hati-hati aja kalo di rumah. Jangan keluar kalo gitu. Mama udah dikasih tau?"]["Enggak. Aku enggak enakan ngasih taunya."]["Ya biar hati-hati juga. Ya udah, aku ada pasien lagi, Sayang. Kamu nikmati hari di rumah, ya! Mau dibawakan apa nanti kalo pulang?"]["Apa aja deh, Mas. Yang penting Mas pulang dengan selamat."]["Ciee, so sweet banget. Kayak
"Sayang, jangan marah dong. Aku enggak kayak gitu. Please!" Zain memohon dengan kaki berjongkok di depan istrinya. "Mas jahat. Nuduh aku sama mama kayak orang-orang di cerita itu, kan? Aku emang bukan anak mama. Aku emang bukan menantu yang baik bahkan bukan dari keluarga kaya. Tapi aku sama mama tetap baik-baik aja." Sambil mengusap wajah, Aruna melengos. "Iya, aku minta maaf. Aku udah buat kamu salah paham. Maafin, ya.""Apa aku pergi aja? Enggak tinggal di sini lagi. Biar Mas enggak menduga-duga kalo aku sama mama lagi enggak enakan.""Kenapa buntutnya jadi panjang gini, sih? Aku enggak ada maksud bilang begitu, Sayang." Zain tampak stres membujuk Aruna yang tak kunjung paham. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri. "Aku capek lah, Run. Kamu enggak mau ngalah. Aku udah ngalah, udah ngejelasin panjang lebar, juga udah segalanya. Bujuk kamu gimana pun, tetap saja kamu begitu. Terserah lah." Zain merebahkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan di belakang kepala. Ia langsung meme
Dua bulan sudah mereka menjalin hubungan suami istri. Kehidupan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai tiba saat Zain baru bangun tidur siang di hari liburnya, ia melihat ke samping. Ada Aruna yang berselimut sampai kepalanya. Baby Al yang menangis di dalam keranjang tidur pun tak dihiraukan. Zain bergegas bangkit lalu meraih putra sambungnya itu lalu mengajaknya keluar dari kamar. Zain meminta pembantu mengajak putranya itu, lalu ia kembali ke kamar karena curiga. Pikirannya tertuju pada sang istri yang sejak tadi tak merespon apa pun. "Yang, kamu enggak apa-apa?" Pria itu menatap istrinya setelah duduk di tepi ranjang. "Yang," panggilnya lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Disentuhnya kening sang istri, ternyata dan ia terkejut saat merasakan kening Aruna terasa panas. "Yang, kamu demam?" Zain langsung membuka selimut tebal itu, lalu menyentuh tubuh istrinya juga. "Ya Allah, kamu sakit?" Ia pun kembali menyelimuti tubuh Aruna lagi. Karena tak menjawab, Zain makin panik. Aruna seperti
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires