Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir
"Dia, aku liat mobil suamimu di jalan. Ada wanita masuk ke dalamnya. Tapi, aku enggak tau siapa wanita itu."Diandra hanya tertawa saja menanggapi ucapan kakak iparnya itu. Mereka duduk di ruang tengah rumah orang tuanya di hari Minggu yang cerah. Baru saja Diandra datang dengan membawa buah tangan untuk ibunya, Mega langsung menarik tangan adik iparnya itu agar duduk mendengarkan berita apa yang ia akan sampaikan. Memberitahu apa yang ia lihat dua hari lalu. "Enggak mungkin, Mbak. Mas Dani itu keluar kota dua hari lalu. Enggak mungkin dia ada di Jakarta." Diandra tetap tidak percaya dengan ucapan kakak iparnya itu. "Tapi, Di. Aku bisa pastikan kalau yang aku lihat itu benar-benar suamimu." Mega meyakinkan sampai bola matanya melebar. "Terserah, Mbak, aja deh. Aku enggak bisa memastikan itu benar Mas Dani apa bukan. Yang jelas, aku percaya sama suamiku. Dia kerja untuk aku dan Aqila. Keluarga kami sudah lengkap, mustahil dia bersama wanita lain, untuk apa coba?" Lama-lama Diandra
"Mas," panggil Diandra lagi. Dani yang berjalan lebih dulu karena ingin segera istirahat pun langsung menoleh ke belakang. "Iya, Sayang?" Kedua alis Dani sampai terangkat. "Mas Dani mau kasih hadiah ke mama Eni juga?" Diandra bertanya lagi karena penasaran. "Enggak.""Atau sama ibu?" Kening pria tampan itu berkerut. "Enggak, Sayang. Memangnya kenapa? Bukannya kita sudah kasih hadiah sama ibu Minggu lalu?"Diandra mengingatnya. Benar, mereka memang memberikan hadiah pada Halimah. Sebuah mesin jahit karena Halimah memang suka menjahit. Diandra tak bisa tenang. Pikirannya terus menerka-nerka untuk siapa benda di dalam kotak merah itu. Sampai akhirnya, lamunannya itu terurai karena sentuhan lembut dari suaminya. Dani mengusap wajah Diandra lalu mengajaknya ke kamar. "Mas, biarkan aku ambilkan baju ganti untukmu." Diandra menutup pintu kamar lalu berjalan menuju lemari. "Iya, Sayang. Makasih ya. Kamu memang yang terbaik. Baru juga aku mau mengambil baju." "Aku tau kamu capek, Mas."
"Apa aku bilang. Dari kemarin aja kamu enggak mau percaya," cetus Mega. Ia baru saja keluar dari kamar, dan langsung menyerobot ucapan Diandra ketika ia menceritakan apa yang terjadi semalam pada Imran, kakaknya yang juga duduk di ruang tengah.Imran menghela napas panjang. Sebenarnya ia tak mau ikut campur rumah tangga adiknya, tetapi ia juga tidak bisa melihat Dia mengadukan apa yang menjadi masalah dalam hidupnya. Sambil menatap bocah lima tahun yang tengah bermain di depan televisi bersama neneknya itu, Imran menjawab, "Cari tau aja dulu. Jangan gegabah bertanya langsung pada Dani. Khawatir dia tersinggung. Lelaki itu kalau badan capek, ditanyain hal-hal yang sensitif yang dia tidak lakukan, yang ada malah tersulut emosi.""Terus, aku harus gimana, Mas?" "Kamu udah cek handphone dia? Barangkali ada titik terang." Imran menyesap kopinya. "Udah berkali-kali. Bahkan semua kontak yang ada di sana, aku kenal. Enggak ada tanda-tanda apa pun.""Coba kamu sekali-kali ikut keluar kota s
"Siapa itu tadi, Mas?" tanya Dia, ikut berdiri. "Oh, ini. Mama." Dani menarik pundak istrinya ingin segera ke kamar. Mereka keluar dari kamar Aqila lalu berjalan bersama dengan tangan bergandengan menuju kamar mereka sendiri. Malam itu, Dia mencoba memancing keinginan suaminya. Namun, Dani sejauh itu tidak bereaksi apa-apa. Pria itu terus terpejam dan malam berlalu dengan begitu saja. Dia merasa sedikit kecewa karena sudah hampir tiga pekan, Dani tak memulai lebih dulu. Berbeda sekali dengan dirinya yang dulu. Pagi itu, setelah menyiapkan sarapan untuk suami dan putrinya, Dia teringat sesuatu. Wajahnya mendongak dan segera berjalan menuju kalender yang ada di dinding dapur. Ia lupa membalik satu lembar kalender itu karena sudah datang bulan baru. Senyum di bibir Dia terlukis manis. Wanita cantik dengan celemek Hello Kitty itu melihat lingkaran merah pada tanggal tiga bulan ini. "Kamu liat apa, Sayang?" Sentuhan dari belakang punggung membuat Dia terkejut sampai pundaknya terangk
"Bagus enggak sih?" gumam Dia sendiri. Wanita cantik itu memantapkan diri di depan cermin sambil memutar badannya. Di ruangan ganti itu, ia mencoba sebuah setelan gamis syar'i yang warnanya sangat ia sukai. Warna favorit Diandra, ungu muda. Dia keluar dari ruangan ganti lalu disambut oleh karyawati yang menemaninya tadi. "Wah, cantik sekali, Nyonya. Pak Dani pasti sangat terkejut melihatnya.""Iya, ini saya suka sekali dengan model dan warnanya." Dia tersenyum, tak sabar ingin memperlihatkan pada suaminya. "Mbak, suami saya tadi di mana ya?" Dia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan dengan pakaian-pakaian yang dipamerkan di sana. "Tadi ada, Nyonya. Beliau duduk di depan. Sebentar saya panggilkan," jawab wanita muda dengan rambut diikat di belakang itu. Ia segera berjalan ke bagian depan. Selang beberapa menit sampai Dia lelah menunggu, wanita tadi kembali dengan wajah menunduk. "Maaf, Nyonya. Pak Dani tidak ada di depan mau pun di luar. Saya sudah mencarinya dan bertanya
"Saya istrinya Dani Hilman, Sus," ucap wanita itu spontan membuat sekujur tubuh Dia kembali meremang hingga kepalanya terasa seperti tersengat sesuatu. "Tolong dahulukan saya karena anak saya lagi kritis sekarang."Wanita itu maju lebih dulu lalu suster segera memberikan sebuah kertas. Mereka terlibat pembicaraan sehingga tak melihat Diandra yang masih menatap dengan tubuh tegak bagai patung. Tangan Dia yang tadinya menyentuh meja dengan kaca pembatas itu pun langsung terjatuh dan mengayun. Kedua matanya tampak penuh dengan lingkaran bening yang akhirnya tumpah membasahi pipi sembab Dia. "Terima kasih, Sus." Wanita itu memutar badan lalu melangkah menjauh dari sana. Saat wanita itu berhenti karena ingin memasukkan sesuatu ke dalam tasnya, dari arah pintu lift yang terbuka, seorang pria yang mengenakan kemeja hitam berjalan sambil memanggil, "Dek."Ya, dia adalah Dani Hilman. Pria yang pagi itu mengajak Dia belanja dan ingin memberikan kejutan. Pria itu menghampiri wanita yang tadi m
"Dia, jangan pergi!" teriak Dani sambil mengangkat tangannya, berusaha mencegah Diandra yang memutar badan sambil menutup mulut.Perawat yang mendengar keributan di lorong itu pun lantas berlari berusaha mengamankan situasi itu. "Ada apa ini? Jangan bikin keributan di rumah sakit! Banyak pasien yang butuh istirahat," terang seorang pria. "Dia!" panggil Dani lagi. Dia berlari dan hilang dari pandangan mata saat melewati dinding. Wanita muda itu tak melihat jalan, sampai menabrak kakaknya yang tadi ingin menyusul. Wajah Dia membentur dada bidang Imran. Lelaki itu tampak bingung, dan belum sempat bertanya, Dia malah berlari lagi dengan isakan tangis yang tak pernah berhenti. Dia masuk ke dalam ruangan putrinya. Ia luruh di lantai sambil memeluk lututnya sendiri. Meredam panas dan hancur dalam hati. Begitu Imran membuka pintu lalu masuk dan berjongkok, lelaki itu menyentuh pundak adiknya. "Ada apa sebenarnya? Ceritakan, Dia!" Dengan napas yang begitu berat, dan dengan mata yang sud