Setelah beberapakali sering telat, kini Dani tak mau lagi mengulangi kesalahan yang sama. Lelaki itu datang pagi-pagi sekali. Selain itu, yang ia lakukan adalah demi mendapatkan simpati dari Diandra, mantan istrinya yang sudah ia siapkan bekal sarapan pagi. "Pagi, Pak." Satpam jaga menyapanya. Dani pun membalas dengan hal yang sama. Pria itu tersenyum lalu kembali melangkah ke dalam. Suasana kantor masih sedikit sepi karena baru jam enam pagi. Meskipun begitu, Dani masuk terlebih dahulu ke dalam ruangan Diandra. Ia meletakkan kotak makan berisi sandwich di atas meja. Setelah itu ia keluar lagi dan pergi ke kursi tempatnya bekerja. Dani tak sabar Diandra datang lalu melihat hadiah kecil yang baru sekali itu ia berikan padanya. Dari tangannya sendiri ia membuat. "Hari ini Pak Zayyan enggak masuk kantor. Mungkin juga kita pulangnya agak siangan."Dani menajamkan telinganya ketika mendengar salah seorang karyawati lewat sambil mengobrol. "Kamu diundang?" tanya seorang wanita yang dud
"Aku rasa semalam Abang kurang tidur."Zayyan tersenyum seraya memotong roti panggangnya. Ia dan Diandra pagi itu tengah menikmati sarapan pagi di hotel tempat mereka menikah kemarin. "Ternyata semalam kamu hanya pura-pura tidur saja?" tanya Zayyan balik bertanya sembari menahan senyuman dari bibirnya yang manis itu. "Enggak kok, aku tidur. Tapi Abang sudah bangun duluan. Apa Abang semalam enggak tidur?" Dia meletakkan sendok dan pisaunya. "Aku bangun lebih awal bukan berarti tidak tidur, Sayang. Aku hanya ingin lebih lama memandangimu." "Baru kali ini aku mendapati pria yang begitu pandai membuat perempuan meleleh.""Ini belum seberapa. Masih ada kejutan lagi, yang akan aku berikan padamu. Semoga kamu tidak menyesal menikah denganku yang banyak kekurangan ini.""Ini sudah jalan yang kuambil. Aku harus siap dengan segala apa pun yang akan terjadi nanti."Zayyan tersenyum seraya menggenggam tangan istrinya di atas meja. Lekas menyelesaikan sarapan pagi itu, sepasang pengantin baru
"Siapa?""Kenapa suaranya perempuan?""Mantan, Abang?""Atau ....""Mending aku pulang aja deh." Zayyan langsung ternganga dengan wajah terkejutnya. "Loh, kenapa mau pulang? Di sini kan rumah kita, Sayang.""Abang telponan sama perempuan. Suaranya mendayu begitu. Memangnya aku tidak dengar?" sungut Diandra. Rasa kesal telah menguasai dirinya. Zayyan mengulas senyuman manisnya. Ingin tertawa tapi khawatir nanti Dia semakin tersinggung. "Bukan siapa-siapa. Dia cuman ...." Belum sempat Zayyan menjelaskan, Dia sengaja menjauh. Ia tak mau didekati oleh pria itu. Mendadak pikiran buruk memenuhi ruang kepalanya. "Sayang, Abang mau jelasin dulu. Jangan marah." Zayyan menyentuh pundak Dia. Namun, wanita dengan rambut tergerai panjang itu menolak. "Dia itu adik sepupu, Dia. Bukan wanita selingkuhan." Zayyan menahan tawanya. "Aku bukan seperti mantan suami kamu. Aku dan Sinta memang dekat sejak kecil. Usianya di atasku malah. Jadi, kamu enggak perlu khawatir."Rona wajah murung Dia berubah
"Di, kamu kenapa?" Zayyan langsung berdiri dan menerima pelukan itu. Diandra menghela napas panjang. "Aku mau ngechas." Diandra berusaha menyembunyikan kenyataan. Zayyan menatap ke bawah lalu mencoba merasakan gemetar tangan istrinya itu. Tubuh Dia juga terasa bergetar. "Sayang, kamu ... habis ketemu sama Dani?""Abang kok tau?" Mereka melepas pelukan itu. Lalu Zayyan mengajaknya duduk di sofa dalam ruangan. Pria itu menatapnya dengan lekat seraya mengusap wajah panas Diandra. "Apa yang dia lakukan padamu? Apakah dia berani macam-macam?"Dia menunduk. "Katakan, Sayang! Aku tidak mau istriku disentuh oleh pria lain. Jika dia nekat, maka aku sendiri yang akan memberikan peringatan. Sudah, tidak usah menangis. Kamu diapain sama dia? Bilang sama Abang."Dia kembali memeluk. "Ya sudah kalau kamu belum bisa bilang. Seharian ini, kamu di sini saja. Semua kerjaan kamu aku serahkan Hendra saja. Aku tidak ingin istriku kerja sebenarnya. Karena aku yang harusnya kasih nafkah dari kerja.""
"Kayaknya memang harus ditegasin si Dani." Zayyan menekan pedal gas sambil bicara. Dia yang mendengarnya pun lantas menghela napas berat. Persiapan berat tengah ia hadapi. Tak mudah memberi pengertian pada pria itu. "Abang, maaf ya. Jadi ngerepotin Abang. Abang jangan tersinggung kalau dia ngomong yang ngaco." Zayyan tersenyum tipis. "Aku sudah paham orang seperti Dani itu. Dia terlena dengan godaan wanita. Setelah merasakan kepahitan, dia memintamu lagi." Zayyan menggeleng kepala. "Dia harus disadarkan. Biar enggak ngejar kamu terus.""Iya, Bang. Cuman gimana ngasih tau dia? Dia itu laki-laki. Susah dikasih tau. Apalagi kalau aku yang bicara. Dia sudah pasti ngeyel.""Enggak usah mikirin dia lagi deh, Di. Kita pikirin yang lain aja. Kita mampir makan aja. Biar kamu enggak perlu masak buat nanti malam.""Abang mau ngajak makan ke mana?" "Bagaimana kalau kita makan seafood? Aku lagi pengen makan kerang. Kamu apa?""Boleh juga." Keduanya lantas berhenti di depan restoran Padang. Me
Akhirnya taksi sampai juga di depan rumah. Setelah menyelesaikan pembayaran, Dia bergegas masuk ke dalam rumah. Kebetulan satpam dan pembantu memang mudik. Hujan malam itu membuat Dia semakin ngeri. Kilatan putih yang menyambar-nyambar menambah suasana horor malam itu. Dia menutup pintu rumahnya lalu menyandarkan punggungnya di sana sambil mengatur napas. Namun, beberapa detik berlalu, ia mendengar suara ketukan yang membuatnya terlonjak kaget. Tubuh gemetar, ia menahan tangannya agar pintu tak terbuka. Ketika ingin mengunci pintu itu, ia lupa, kunci masih menempel di luar. Belum sempat ia tarik tadi. Suara ketukan pun kembali terdengar. Semakin kencang dan semakin sering, Dia bingung. Apa yang bisa ia gunakan untuk mencegah pintu agar tidak terbuka. "Dia!" Wanita itu terdiam sesaat. Ia memutar kembali ingatkan tentang suara itu. "Dia, buka!" "Siapa?" teriak Diandra. "Ini aku.""Aku siapa!""Aku, Dia."Diandra semakin panik. Apalagi saat pintu terasa terdorong. Dia mencegah sek
Kening Zayyan berkerut mencoba melihat siapa yang datang. Saat gerbang baru dia dorong untuk mengeluarkan sepeda motornya, keluarlah dari dalam mobil seorang wanita dengan kacamata hitam. Zayyan tak bereaksi ketika melihat Dewi datang. Wanita itu langsung melepas kacamatanya. "Maaf, apa Diandra ada di dalam?" tanya Dewi. "Ada. Kenapa ya? Apa kami melakukan kesalahan? Saya sudah mencoba mengabari kalian, keluarganya Dani. Tapi ....""Tapi apa? Aku tidak banyak waktu. Istriku sudah menunggu di dalam.""Mas Dani ingin bicara dengan Diandra. Dia ingin Diandra ke rumah sakit menemuinya. Aku tidak bohong. Percayalah!" Dewi memohon. Saat Zayyan melihat mata wanita itu, ia yakin bahwa Dewi memang sungguh-sungguh. "Oke. Nanti kami akan ke sana."Dewi mengangguk dengan bibirnya terlipat. Ia segera masuk ke dalam mobil lagi. Mobil melaju, di dalam sana Zayyan melihat seorang pria yang mengendalikan setir. Pria tampan itu pun tak segera masuk, ia keluar dari rumah mencari apa yang Dia minta
Setelah mengantar Zayyan pergi meeting sampai di lobi, Dia memutar badan untuk kembali ke ruangannya. Namun, ia mengurungkan niat karena teringat ibunya yang sudah beberapa hari tak memberi kabar. Dia pun segera meraih kunci mobilnya di dalam tas lalu menyalakan smart lock. Ia masuk ke dalam lalu keluar dengan mobil itu menuju rumah Halimah yang kebetulan memang jaraknya tak begitu jauh. Selama mengemudi, Dia menatap sekeliling pinggiran jalan. Ia ingin membeli sesuatu untuk ibunya. Halimah sangat menyukai roti isi. Dia pun berhenti tepat di depan toko roti langgananya. Setelah keluar dari mobil, wanita itu langsung masuk ke dalam. Ia memilih beberapa bungkus roti untuknya dan juga untuk buah tangan nanti. Saat ingin membayar, Dia melihat wanita kasir itu tak lain adalah Dewi. Betapa terkejut keduanya. Dewi menunduk dan diam, tak berani menatap mantan madunya itu. "Berapa?" tanya Dia. "Tiga ratus ribu," balas Dewi dengan singkat. Lalu memberikan struk pembelian beserta kartu ATM