Namun teriakannya tak digubris. Samuel dan Satrio masih saling menghantam, masing-masing diliputi amarah yang sudah lama terpendam.Pukulan demi pukulan mendarat brutal, membuat beberapa karyawan hanya bisa terpaku, tak berani ikut campur.Adelia panik. Ia menoleh ke arah para karyawan pria yang berdiri kebingungan di dekat pintu."Kalian kok diam saja sih? Cepat pisahkan mereka!" serunya lantang, matanya nyalang, penuh kecemasan.Barulah beberapa staf pria tersadar dan segera bergerak. Mereka berhamburan masuk, mencoba memisahkan dua bersaudara itu yang sudah tampak babak belur. Samuel meronta, Satrio masih mencoba melepaskan diri dari pegangan."Lepaskan!" teriak Samuel, masih ingin menyerang lagi.Adelia maju, berdiri di tengah mereka. "Cukup!" suaranya tegas, "Berhenti! Kalian ini saudara kandung, kenapa malah berkelahi!"Satrio melangkah mundur sedikit, menegakkan tubuhnya sambil mengelap darah di sudut bibirnya dengan punggung tangan. Ia menatap Samuel dengan tajam.“Aku rasa su
Dua bulan kemudian, Jakarta."Ini baru namanya pembuktian. Aku nggak salah waktu kirim kamu ke Jerman," ucap Jusuf sambil meletakkan dokumen itu di meja.Satrio berdiri tegak di depan meja, tangan disilangkan rapi di depan badan. Ia menunduk sedikit, sopan."Saya cuma jalankan tugas, Papa. Kliennya punYa kekhawatiran, saya dengarkan, lalu tawarkan solusi. Kebetulan mereka cocok."Jusuf mengangguk pelan, matanya menyipit menilai anak sulungnya itu. "Kamu bikin pendekatan yang beda dari Samuel, dan itu berhasil. Papa bangga."Satrio hanya tersenyum tipis. "Terima kasih, Pa. Tapi semua juga karena kerja tim. Saya nggak bisa jalan sendiri."Proyek senilai puluhan miliar yang semula digarap tim Samuel—gagal di negosiasi akhir. Tanpa banyak bicara, Satrio mengambil alih, menyusun ulang strategi, dan berhasil menarik klien besar itu untuk menandatangani kontrak langsung.Jusuf menoleh kepada sekretaris. "Pastikan bonus bulan ini disesuaikan. Satrio harus dapat yang pantas."Semua mata di rua
Samuel menarik napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jendela. “Kak Satrio pintar bicara, pintar tampil. Tapi di balik itu—dia punya sisi gelap yang pelan-pelan mulai kelihatan.”Adelia mengerutkan dahi. “Maksud Mas...?”“Siska... datang lagi dan sekarang dia bekerja di kantor Papa.”Adelia terkejut, matanya membesar. “Datang lagi?”Samuel mengangguk pelan. “Aku juga kaget waktu tahu. Tapi dia menyapaku dengan sangat akrab, seolah-olah semua yang terjadi dulu tidak pernah ada. Lama-kelamaan, aku pun mulai membuka diri dan akrab lagi seperti dulu dengan Siska.”"Lalu kamu dan dia pacaran lagi sama dia?"Samuel mengangguk pelan.Adelia cemberut, melipat tangan di dada, menahan kesal.“Hei, jangan ngambek dulu, belum selesai ceritanya. Jangan cemburu,” Samuel tertawa, menepuk-nepuk pundak istrinya. Mencoba mencairkan suasana.Samuel melanjutkan ceritanya. “Awalnya semuanya berjalan lancar. Apalagi kami satu kantor, aku bisa bertemu dia hampir setiap hari. Hatiku kembali berdebar-d
“Namanya Siska,”Adelia menoleh perlahan, mendengarkan."Kami dekat sejak SMA. Dia berbeda dari perempuan lain yang pernah aku kenal. Dia punya cara untuk membuatku merasa nyaman. Saat itu, dia bukan hanya pacar... dia adalah tempatku berlabuh, tempat hatiku merasa pulang."Samuel menarik napas panjang. Mengepalkan kedua tangannya, “Akhirnya aku memberanikan diri menyatakan cinta, akhirnya kita pacaran tiga bulan. Sejak itu dia sering main ke rumah. Ngobrol sama ibu, akrab juga dengan Kak Satrio, kita bertiga jadi sering main bareng, Siska tak segan sering minta kak Satrio anterin dia pulang kalau aku lagi latihan basket.”Sekilas Samuel tersenyum pahit, “Sampai suatu sore... aku pulang lebih awal dari latihan. Rumah kebetulan sepi. Mama, Papa, dan Selly lagi ke luar negeri. Kukira cuma Kak Satrio yang ada di rumah.”Nada suaranya mulai berubah. Ada ketegangan yang merayap perlahan. Rahangnya mengeras, dan sorot matanya tampak kosong.“Aku naik ke lantai atas, niatnya cuma mau nyapa a
“Yang ini lucu,” ujar Samuel dengan antusias yang dibuat-buat, menunjuk gantungan kunci berbentuk penyu biru yang menurutnya cukup menggemaskan—walau sebenarnya cuma basa-basi untuk memancing reaksi dari istrinya.Adelia tidak menanggapi. Ia hanya membenarkan posisi gendongan Isabella di dadanya, lalu berbalik arah tanpa sepatah kata, berjalan menjauh menuju rak oleh-oleh lainnya. Samuel mengekor di belakangnya.Mereka menyusuri lorong toko di Ubud, sibuk mencari oleh-oleh sebelum besok pagi harus terbang kembali ke Jakarta.Samuel berkali-kali melirik istrinya, mencoba membaca situasi.“Yang ini juga bagus,” katanya, menunjuk gantungan kunci lain. Kali ini bentuknya bintang laut. Lebih norak. Sengaja, buat memohon perhatian.Adelia tetap diam. Wajahnya datar, ia berpindah rak dan mulai melihat-lihat magnet kulkas.Beberapa pengunjung toko memandangi mereka dengan senyum-senyum kecil. Mungkin mengira ini pasangan muda yang lagi debat lucu. Tapi kenyataannya: ya, mereka memang lagi ber
“Kamu mau membelanya?” tanyanya pelan, seolah tak percaya.Adelia menarik napas panjang, “Aku bukan membela siapa-siapa. Tapi Mas juga tahu, kalau bukan karena kak Satrio, kita bisa kehilangan Isabella.”Samuel tidak langsung menanggapi. Rahangnya mengeras. Ia menatap Adelia, lalu Satrio bergantian, sorot matanya tak bisa menyembunyikan kekecewaan.Hening sejenak, lalu tiba-tiba terdengar suara kecil yang bening, memecah ketegangan.“Mamam,” gumam Isabella, matanya polos menatap ketiga orang dewasa di depannya.Samuel dan Adelia sontak menoleh. Adelia segera kembali ke dapur, menyiapkan sarapan untuk putrinya. “Sebentar ya sayang, mama bikinin ya...”Sambil membawa mangkuk, Adelia menggendong Isabella membawanya ke halaman belakang Villa.Setelah Adelia dan Isabella menghilang di balik pintu dapur, hanya tinggal dua orang pria di ruang tamu. Satrio akhirnya angkat bicara.“Aku nggak datang ke sini buat cari ribut, Sam. Aku cuma mau memulai hubungan baik denganmu dan keluargamu, aku in