Setelah semua ketegangan yang terjadi, malam demi malam mereka lewati dengan hati yang lebih tenang. Hubungan Adelia dan Samuel kini kembali terjalin erat, seperti sedia kala.Devina masih di rawat di rumah sakit, dalam tahap pemulihan setelah bangun dari pingsannya.Sejak namanya di coret dari daftar pewaris, Samuel tidak lagi bekerja di perusahaan hari-hari ia habiskan di rumahnya."Kayaknya aku nggak bisa terus jadi pengangguran begini. Mau sampai kapan aku cuma berharap Papa akan berubah pikiran? Sudah saatnya aku cari jalan sendiri.""Aku akan tetap sabar, apapun yang terjadi."Samuel menghela nafas. "Tadi malam aku sempat chat sama Andre suaminya Selly. Dia sekarang punya perusahaan konsultan keuangan yang lumayan berkembang. Dia bilang butuh orang untuk bagian pengembangan bisnis. Aku mau coba kerja disana.""Itu kabar bagus, Mas. Kamu pasti bisa. Aku selalu percaya sama kemampuan kamu."Samuel mengusap tengkuknya pelan, seolah sedikit canggung menyampaikan bagian selanjutnya.
"Bagaimana kondisi Mama saya, Dok?"Dokter menghela napas. "Sebenarnya ini serangan jantung ringan, karena aliran darah sempat terhambat sebagian. Tekanan darah ibu Anda sangat tinggi, 200 per 120 mmHg. Angka ini jauh di atas batas normal. Tekanan darah setinggi itu telah memaksa jantungnya bekerja lebih keras secara mendadak."Devina dibawa masuk ke ruang perawatan darurat. Samuel menatap ibunya yang terbaring dengan wajah pucat, napasnya pendek-pendek, sementara monitor detak jantung mulai menampilkan grafik yang tak stabil.Samuel mengernyit,, "Ini semua salahku, gara-gara aku Mama jadi..."Adelia yang sedari tadi berdiri di sampingnya, segera meraih tangan suaminya, menggenggam erat."Mas... jangan berkata seperti itu. Kondisi Mama bukan salah Mas. Semua ini di luar kendali kita," Ucap Adelia penuh kelembutan.Namun Samuel menggeleng pelan. Matanya berkaca-kaca, rahangnya mengeras menahan emosi. "Aku... aku terlalu banyak berdebat dengannya tadi. Harusnya aku bisa lebih bisa sabar
"Sam! Kamu jangan buta... perempuan kotor seperti ini gak pantas kamu cintai!" bentak Devina, Matanya melotot, wajahnya memerah menahan amarah.Devina tak mampu menerima kenyataan bahwa Samuel begitu mencintai istrinya—wanita yang dulu dinikahkan secara terpaksa demi menjaga nama besar keluarga Widyantara. Baginya, Adelia hanyalah noda, duri dalam daging keluarga.Adelia menunduk menahan rasa perih di hatinya. Tangisnya tercekat di tenggorokan. Ingin rasanya membela diri, namun kalimat mertuanya Samuel menusuk terlalu dalam.Samuel melangkah maju, menarik Adelia, dan berdiri kokoh melindungi istrinya di belakang."Cukup, Ma! Adelia istri saya. Dia tetap akan jadi istri saya, apapun yang Mama katakan dan ceritakan." Suara Samuel sedikit bergetar, tapi tegas.Devina menggeleng, "Kamu terlalu bodoh, Samuel! Wanita ini cuma menumpang hidup dari hartamu! Dia masuk ke keluarga kita cuma karena belas kasihan! Kau lupa siapa dia? Anak yatim piatu yang tidak punya latar pendidikan yang baik! D
Setiap kata yang keluar dari mulut Devina, bagaikan pisau yang menusuk hatinya perlahan.Adelia meremas ujung bajunya. Ia menahan sesak. Tapi Adelia berusaha tetap tersenyum ramah menyambut mertua cabeknya. "Silakan masuk, Ma. Aku akan buatkan teh."Devina langsung mengangkat tangan, menolak dengan gerakan halus tapi tegas."Tidak butuh. Kita bicara langsung saja di sini. Aku tidak mau lama-lama ataupun menikmati teh buatanmu. Aku memang sengaja datang pagi-pagi, hanya untuk berbicara empat mata denganmu," ucap Devina dingin."M-ma… sebenarnya ada apa?"Devina menyilangkan kedua tangannya di depan dada, ekspresinya penuh kemenangan."Aku tahu... kamu pasti lelah, Adel. Setelah semua yang terjadi, setelah aib itu... Jadi aku hanya ingin memastikan kamu mengambil keputusan yang tepat. Demi kebaikan semua pihak.""Aib...?" tanya Adelia, mengerutkan keningnya."Kamu pikir aku tidak tahu? Soal hari itu, apa yang terjadi antara kamu dan Satrio… aku tahu segalanya."Wajah Adelia seketika mem
Hari sudah berganti. Matahari pagi tadi terbit dan kini mulai merambat ke senja, namun Samuel tak bergeming dari kamarnya.Pintu kamar itu tetap tertutup rapat sejak semalam. Samuel terduduk di sudut tempat tidurnya. Rambutnya kusut, kemejanya masih pakaian semalam, wajahnya penuh dengan bayangan lelah. Di sebelahnya, beberapa kaleng bir kosong berserakan.Malam terasa begitu berat bagi Samuel. Pikirannya berkecamuk—bercampur antara amarah, kesedihan, dan keputusasaan."Mulai hari ini, aku mencabut segala hak warismu, Samuel. Aku tak bisa lagi percaya pada anak yang berani menodai keluarganya sendiri. Kau bukan lagi putra kebanggaanku."Ucapan ayahnya itu terus terngiang, berputar-putar di kepalanya. Semua ini ulah siapa?Satrio. Kakak kandungnya sendiri. Dan puncaknya… Adelia.Wanita yang selama ini menjadi sandarannya, tiba-tiba tanpa alasan jelas meminta cerai."Maaf, Mas… aku nggak pantas jadi istrimu. Aku ingin pisah." Suara Adelia, masih terngiang jelas di telinganya. Tanpa pe
*Flashback."Bawa dia ke kamar." perintah Satrio dengan suara datar.Pria bertubuh tegap, seorang karyawan hotel yang sudah disuap Satrio hari itu.Tanpa banyak bicara, pria itu mengangkat tubuh Adelia yang sudah tak sadarkan diri, menuju lantai suite room.Satrio merogoh kantong jasnya. Sebuah amplop tebal berisi uang disodorkannya pada pria yang membantunya."Ambil ini. Kau sudah bekerja dengan baik."Pria itu tersenyum menatap amplop di tangannya, kemudian mengangguk cepat."Tidak akan ada yang tahu, Pak. Aman." ucapnya.Cekrek...Pintu kamar hotel di tutup rapat.Satrio langsung menyungging senyum, tanda puas karena apa yang akan ia perbuat siang ini."Zzz...Zzz." Adelia mendengkur dalam tidurnya.Satrio berdiri di sisi ranjang, menatapnya dengan sorot mata gelap penuh hasrat. Dadanya naik turun menahan gejolak. Tangannya perlahan menjulur ke arah bahu Adelia, menyentuh permukaan kulit halus yang dingin karena pendingin ruangan.Merasa aman, Satrio mendekatkan wajahnya mengendus a