LOGIN"Seandainya... Ayah masih hidup, pasti kakak nggak akan menderita begini." Amelia bergumam, suaranya parau karena menangis, tangan Amelia gemetar saat mengoleskan antiseptik ke pelipis Adelia yang terluka.
Adelia hanya menatap adiknya, ia tetap tersenyum meski luka di wajahnya masih terasa perih. “Kita nggak bisa mengubah masa lalu, Amel. Ayah dan Ibu sudah tiada, tapi kita masih punya satu sama lain. Lagipula, sebelum pergi, Ayah sudah berusaha menjamin masa depan kita lewat Paman Jusuf.” Sebuah insiden kebakaran telah merenggut nyawa ayah mereka, Suherman Widodo. Sedangkan ibu merekaーLina Laraswati sudah meninggal, setelah berjuang melahirkan Amelia. Mendengar itu, Amelia menunduk, menyembunyikan rasa kecewanya. Adelia mengelus lembut puncak kepala adiknya, ia tahu, adiknya belum bisa menerima kenyataan bahwa di balik rumah besar dan tempat tidur empuk itu, tersembunyi penderitaan yang terus mereka telan dalam diam. Hari ini bukanlah kali pertama Amelia menyaksikan dirinya dianiaya. Pada malam pengantinnya, Amelia juga menyaksikan bagaimana Adelia diusir dengan kasar oleh suaminya, Samuel. Sejak malam itu, Adelia terpaksa tidur bersama Amelia. Kamar kecil dekat dapur yang disediakan oleh keluarga Samuel, bukan di kamar utama tempat seorang istri seharusnya berada. "Kak, lebih baik kita pergi saja! Aku nggak peduli soal sekolah, asal aku masih punya Kakak!" Amelia memeluk Adelia erat, satu-satunya keluarga yang ia miliki. Adelia terdiam. Ia mengerti apa yang dirasakan Amelia. Bagaimana mungkin adiknya yang masih remaja harus terus melihat kakaknya disakiti? Tapi ada kenyataan pahit yang tak bisa dihindari. "Tidak bisa, Amel. Kakak sudah menikah." ucap Adelia pelan, penuh keputusasaan bukan tak ingin pergi, tapi karena dirinya sudah terikat oleh janji dan pengorbanan. Amelia menatapnya, bingung dan terluka. “Tapi… Kak, suami kakak nggak pernah melindungi ataupun membela Kakak saat dianiaya seperti tadi…” Adelia memaksakan senyum walau hatinya luka. “Bukan soal suami kakak baik atau tidak. Tapi kakak yang sudah memilih jalan ini… demi kamu. Jadi Kakak harus bertahan.” Amelia menggenggam tangan kakaknya erat. Ia ingin marah, tapi melihat wajah tenang Adelia, kata-kata itu jadi tertahan di tenggorokan. Seketika terdengar ketukan di pintu. Tok... Tok... Tok.... Tiba-tiba salah seorang pelayan mengetuk kamar mereka. "Masuk," seru Adelia, sembari mengusap airmata yang jatuh di pipi. Pelayan itu masuk dan berdiri di ambang pintu, ia membawa bingkisan kecil berbalut kain sutra merah. "Tuan Samuel mengirimkan ini untukmu,” katanya dengan nada ketus, seraya meletakkan bingkisan di atas meja dekat ranjang. Tanpa memberi waktu bagi Adelia untuk berbicara, pelayan itu pergi begitu saja. Adelia terkejut, setelah setahun menikah, ini pertama kalinya aia menerima hadiah dari suaminya. "Kak, apa itu?" tanya Amelia penasaran. Adelia memandang bingkisan dengan hati berbunga-bunga. "Aku tidak tahu, Amel... Tapi sepertinya ini sebuah gaun pesta." Amelia menatap bingkisan itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Gaun pesta? Tumben sekali suami kakak, tiba-tiba kasih gaun pesta, bukankah ini aneh?" Amelia mengerutkan keningnya, merasa sangat curiga. Adelia tak ingin berpikiran negatif, langsung saja ia membuka bingkisan itu. Lalu mengangkat gaun mewah berwarna biru gelap yang terbuat dari bahan satin halus. Gaun itu tampak sangat elegan, dengan sentuhan bordir indah di bagian pinggang dan bahu. Bahkan, ada aksen payet yang berkilauan di sepanjang lengan gaun. Amelia terdiam saat melihat gaun mewah itu. "Wow, Kak! Gaun ini... indah sekali. Sepertinya kak Samuel tahu selera kakak." Adelia tersenyum menatap gaun itu. Ia merasa sangat terharu, suaminya yang dingin bisa memikirkan sesuatu yang indah seperti ini. "Kak, lihat! Ada catatan di dalam bungkusnya." seru Amelia memberikan catatan kecil itu. Adelia terdiam sejenak, lalu membaca catatan kecil dari suaminya yang bertuliskan 'Pakai gaun ini di pesta hari jadi kita, berdandanlah yang cantik.' Hatinya terenyuh, karena Samuel ternyata masih mengingat hari jadi pernikahan mereka. Padahal, pernikahan mereka sendiri tidak pernah dirayakan dengan pesta. Bagaimana bisa tiba-tiba ia diingatkan seperti ini? "Tidak kusangka, dia akan mengingatnya dan ingin merayakannya juga!" ucapnya lirih, matanya berkaca-kaca, sembari memeluk gaun pemberian suaminya. Sekali lagi, Adelia menatap gaun itu penuh kekaguman, lalu membayangkan dirinya mengenakan gaun mewah ini dan berdansa dengan suaminya saat di pesta hari jadi mereka."Di mana suamiku?!" seru Devina lantang, membuat resepsionis yang bertugas hari itu di perusahaan suaminya, terkejut bukan main, hampir saja menumpahkan kopi diatas meja.Semua karyawan yang berada di lobby perusahaan Jusuf menoleh padanya. Bagaimana tidak, Devina masuk dengan wajah merah padam, rambut dan make up-nya berantakan, membuat para karyawan merasa takut, tak berani menegur. “P–Pak Jusuf sedang tidak di kantor, Nyonya. Hanya ada Pak Satrio di ruangannya.” Sang resepsionis menjawab dengan suara gemetaran."Hah! Bisa-bisanya dia pergi tanpa ijin dariku," gumam Devina kesal, ia melangkah tanpa peduli pada tatapan heran para karyawan yang sedang memperhatikannya. Devina berjalan menuju lift, lalu menekan tombol lift berulangkali, sampai pintu lift terbuka.Ting!Lift berhenti dilantai 4, tempat Satrio, Devina langsung melangkah keluar dari lift, berjalan cepat melewati lorong. Wajahnya tampak tegang, ada amarah yang ia pendam sejak kemarin, dan pagi ini nyaris meledak.Brak!P
“Sayang, ayo buka mulutnya, Aaa—”Satu sendok bubur berhasil masuk, tapi setengahnya malah menempel di pipi si kecil.Isabella menyandarkan kepala di lengan Adelia sambil memasang wajah manja, “Mama, aku mau disuapin juga…”Adelia menghela napas panjang, senyum lelah tapi hangat terukir di wajahnya. “Ica kan sudah besar, ayo makan sendiri, ya? Mama lagi repot sama adikmu.”Gadis kecil itu manyun, menatap Arya yang sedang disuapi dengan wajah cemberut.“Kalau gitu, suruh Arya makan sendiri juga, dong…” protesnya dengan nada kesal khas anak manja.“Arya kan belum bisa makan sendiri, pegang sendok saja masih sering jatuh,” jawab Adelia lembut sambil mengusap kepala putrinya.Isabella manyun, pipinya menggembung. “Pokoknya Ica mau makan kalau disuapin Mama!”Adelia berusaha tetap sabar, walau keningnya sudah berkerut.Arya, yang sejak tadi asyik memainkan piring plastik, tiba-tiba ikut celoteh, “Acik... Mamam nyuapin Ayaya…”Ica langsung menatap adiknya dengan wajah kesal. “Eh! Arya beran
“Mas… jangan dulu, ya. Arya masih kecil, aku belum siap kalau sampai hamil lagi…” protes Adelia saat Samuel hendak membuka pakaiannya.Samuel terdiam sejenak, menatap istrinya dengan mata penuh harap. Lalu ia tersenyum nakal, menunduk mendekati telinganya. “Tenang saja, sayang. Aku nggak minta anak sekarang. Aku cuma minta… jatah dari istriku.” bisiknya penuh goda.“Mas! Kamu ini ya… kalau ngomong bikin gemas.” Wajah Adelia kian memerah, bukannya menolak, ia hanya takut kebablasan.Samuel tertawa pelan, lalu kembali merengkuh istrinya lebih erat. “Aku janji, satu ronde. Aku cuma mau dekat sama kamu malam ini.”Adelia memutar malas bola matanya sambil menarik selimut menutupi tubuhnya. “Mulutmu manis, Mas… katanya satu ronde. Nyatanya nanti malah sampai pagi. Mas ini nggak ada kapok-kapoknya, selalu begitu…” gumamnya pura-pura sebal.Samuel terkekeh, menarik selimut dari tubuh istrinya, “Kamu selalu jadi candu buat aku. Gimana mau kapok?”Samuel menunduk, menempelkan bibirnya ke leher
“Mama! Papa!” seru Isabella, berlarian mengenakkan piyama kelinci, langsung lompat memeluk Adelia erat-erat.Tak lama kemudian, Arya yang baru berusia satu tahun juga merangkak cepat, di temani baby sitter yang berjalan dibelakangnya."Pap... Ma..." celoteh Arya merengek minta digendong."Hei, jagoan ayah belum tidur." Samuel mengangkat putranya ke dalam pelukan. Begitu tubuh mungil itu merapat, senyum tipis merekah di wajah Samuel."Ma... Lihat ini, tadi aku gambar tokoh kartun kesukaanku," seru Isabella riang, menyodorkan kertas beraroma krayon. Tergambar sosok gadis memakai baju pink bersayap kupu-kupu."Gambar kamu bagus sekali, kami makin pintar sayang, hasil belajar sama Tante Amelia, ya." Adelia pun tersenyum, membelai rambut Isabella dengan lembut."Hehe, iya Ma…” Ica terkekeh kecil, senyumnya merekah menampakkan gigi depannya yang ompong.wajah ceria Arya dan Isabella, seakan mampu menghapus segala rasa lelah dan emosi batin, di hati Samuel dan Adelia.Malam sudah larut. Sete
"Devina!” seru Jusuf terperanjat, berdiri dari kursinya. Wajahnya pucat, matanya membelalak. “Bagaimana bisa… kamu….” Suaranya tercekat, tak sanggup merangkai kata.Devina melangkah masuk dengan senyum sumringah, seolah-olah kedatangannya adalah hal yang wajar.Adelia gemetar hebat, tubuhnya terasa dingin. Ia menggenggam tangan Samuel erat-erat di bawah meja, mencari pegangan. Samuel menoleh padanya, lalu mengangkat pandangannya pada sosok wanita ibunya—tatapannya sinis, penuh kebencian.Namun Satrio langsung berdiri dan menghampiri ibunya, “Ma… selamat datang kembali di rumah.”Devina melangkah, meraih Satrio ke dalam pelukannya. Ia mendekap putra sulungnya erat-erat, seakan tak ingin melepaskan lagi. “Akhirnya… Mama bisa pulang,” ucapnya lirih namun penuh emosi.Selly pun tampak berkaca-kaca, senyum lembut terukir di bibirnya.“Selly, Nak… Ibu sudah pulang….” ucap Devina, mengulurkan tangan, memanggil anak perempuannya.Air mata Selly pecah begitu saja, membasahi pipinya. Rasa rindu
"Sudah lama aku menantikan momen berharga seperti ini,” ucap Jusuf dengan suara lantang. Ia mengangkat gelasnya tinggi, senyum terukir di wajahnya.“Lengkap sudah, seluruh anak-anakku akhirnya berkumpul di satu meja hari ini.” ucapnya lantang. Pandangannya berkeliling ke seluruh anak-anaknya yang kini duduk rapi di meja makan keluarga.“Betul, Pa! Rasanya senang sekali bisa berkumpul lagi seperti ini. Apalagi aku… sekarang nggak cuma hadir berdua sama suamiku, tapi juga dengan calon bayi kami.” Selly yang duduk di samping suaminya ikut menimpali dengan senyum ceria. Tangannya sesekali bergerak mengelus perutnya yang tengah mengandung lima bulan.Samuel mendengus pelan, jelas terlihat ketidaksenangan si wajahnya, beberapa kali menatap kakaknya Satrio dengan pandangan sinis.Ia sungguh tak menyangka, Satrio berani pulang setelah diusir. Hatinya semakin memberontak ketika ayahnya dengan mudah menerima kembali kakaknya itu bekerja di perusahaan, seolah melupakan begitu saja perbuatan terc







