“Kakak saya tidak salah! Jangan terus-terusan kalian perlakukan dia seperti ini!” ujar Amelia dengan suara lantang, dengan penuh keberanian melangkah menghadang Devina yang lagi-lagi mau memukul kakaknya.
Mata Devina berkilat tajam menatap Amelia yang berani menantangnya. "Kau pikir siapa dirimu! Kamu ini cuma anak kecil yang belum tahu apa-apa?" Amelia, seorang siswi berusia 13 tahun, mengenakan seragam sekolah SMP dan siap berangkat ke sekolah. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat kakaknya sedang diperlakukan kasar oleh mertua serta iparnya. Amelia bersekolah di salah satu sekolah negeri elit di Jakarta, berkat perjanjian yang dibuat oleh Adelia dan ayah Samuel, Jusuf Widyantara. Sebagai imbalan atas pernikahan Adelia dengan Samuel, Jusuf Widyantara setuju untuk membiayai pendidikan Amelia. "Keluarga kami hanya ingin memastikan Adelia memahami aturan di rumah ini. Tidak ada yang salah jika ia mendapatkan hukuman karena memecahkan guci antik senilai 25 juta, bukan? Apalagi, ia tidak akan mampu membayarnya," seru Selly, tertawa sinis. "Kakakku tidak bersalah! Aku sendiri yang melihat Bu Devina mendorongnya hingga kepalanya terbentur guci! Lalu kalian menyalahkan kakak dan terus membully dia!" Amelia berteriak, matanya menyala dengan kemarahan yang mendidih. Plak! Devina mengangkat tangannya dan menampar Amelia dengan keras. Suara tamparan itu menggema di ruangan, membuat semua orang terkejut. Amelia terjatuh ke lantai, tangannya memegang pipi kanan yang terasa sakit. Matanya mulai terisi air mata, tapi ia tidak menangis. Ia hanya terdiam, menatap Bu Devina dengan mata yang penuh kebencian. Adelia langsung menarik Amelia ke dalam pelukannya, melindungi adiknya dari kemarahan Bu Devina. "Kalau memang harus dihukum, hukum saya saja. Tapi jangan sakiti adik saya." ucap Adelia, suaranya terdengar lemah dan sedih. Devina tidak menjawab. Ia hanya menatap Adelia dan Amelia penuh kebencian. "Kalian berdua jangan berani melawan saya! Kalau bukan karena suami saya, saya tidak akan pernah menerima kalian berdua di rumah ini! Kalian adalah pengemis yang tidak tahu diuntung!" Adelia diam, menunduk. Tak satu pun kata keluar dari mulutnya, meski hatinya bergemuruh oleh luka dan penghinaan dari ibu mertua. “Ayah kami yang menyelamatkan Paman Jusuf dari kebakaran gudang. Tapi lihat bagaimana kalian memperlakukan kami sekarang. Kakakku menantu keluarga ini bukan pembantu!” ucap Amelia dengan lantang. “Amelia, diam,” Adelia menegur pelan. Ia memegang tangan adiknya erat. Devina tertawa sinis, "Sejak kapan aku menganggap dia sebagai menantu, kakakmu ini hanya seorang pembantu yang tidak berguna. Putra saya harusnya punya istri yang lebih muda, usia kakak kamu sudah 27 tahun, tidak cocok melahirkan keturunan, apalagi berasal dari keluarga miskin, seperti kalian!" Sekuat tenaga Adelia menahan air mata. Ia tahu dirinya bukan istri yang diinginkan keluarga Widyantara. Tapi ia harus bertahan demi masa depan Amelia. Demi pendidikan yang sudah dijanjikan. Selly mendorong Adelia dan menjambak rambutnya. Adelia meringis, tubuhnya bergetar menahan sakit. Tapi ia tidak melepaskan pelukannya pada Amelia. Tangis Amelia ikut pecah saat rambutnya ikut ditarik. Ia menjerit, tak tahu harus berbuat apa selain memeluk kakaknya lebih erat. "Tolong, kak Selly, jangan! Jangan sakiti adik saya!" Adelia terus memohon sambil menahan sakit di kulit kepala, hatinya ikut tercabik melihat Amelia yang kesakitan. "Selain kamu, adik kamu juga harus kami hukum!" Selly tertawa Selly tertawa rendah dan kejam. Tangannya kembali terangkat, siap melampiaskan kekejamannya lagi. Dengan sisa tenaga dan keberanian sebagai seorang kakak, Adelia nekat mencengkeram pergelangan tangan iparnya dan menariknya menjauh dari Amelia. “Jangan sakiti dia!” seru Adelia, suaranya bergetar namun tegas. “Sakiti aku, tapi jangan sentuh adikku lagi!” Selly terkejut sejenak, tak menyangka Adelia berani melawan, meski hanya sedikit. Tapi reaksi itu hanya membuatnya semakin marah. “Berani kamu melawan?! Sekarang kamu merasa punya nyali, ya?!” Selly bersiap menyerang lagi. Tiba-tiba, suara berat Samuel menggema di ruangan. “Cukup! Aku tidak tahan mendengar keributan ini!” Semua orang menoleh, terkejut melihat Samuel berdiri di ambang pintu. Ia tampak kesal. “Ma, Selly... Sebaiknya… Kalian kembali ke kamar.” Devina dan Selly tidak percaya bahwa Samuel tidak mendukung mereka dan malah menyuruh mereka kembali ke kamar. Akhirnya mereka mundur perlahan. Sementara itu, Adelia memapah Amelia kembali ke kamar mereka."Loh, kok Kak Adel sama Kak Samuel belum kelihatan sarapan?" tanyanya sambil melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 09.00.Amelia baru saja bangun dan turun ke ruang makan. Rambutnya masih sedikit acak-acakan, ia melihat Mbak Aminah sedang menyuapi Isabella yang tampak ceria menggoyangkan kaki di kuris bayi.Mbak Aminah tersenyum menyapa pada Amelia, sambil menyeka mulut Isabella yang belepotan bubur. "Iya, Non. Nyonya dan Tuan belum keluar kamar sejak tadi pagi."Amelia mengangkat alis, lalu tersenyum geli, seolah mengerti sesuatu. "Hmm... jangan-jangan mereka masih tidur... atau mungkin..."Ia menutup mulut sambil cekikikan sendiri, lalu mendekat ke Isabella dan mencubit pipi bayi itu gemas. "Hari ini Icha main sama aunty ya, soalnya Mama sama Papa kamu lagi asik rayain anniversary,"Isabella hanya tertawa-tawa sambil menepuk-nepuk meja makannya.*****Sementara di dalam kamar, suasana masih dipenuhi embusan napas yang berat dan teratur, menyatu dengan aroma khas pagi dan
Di atas ranjang besar ukuran king size, Adelia menggeliat pelan, masih meringkuk dalam dekapan hangat suaminya.Samuel sudah bangun, tapi ia enggan bergerak. Ia hanya memandangi wajah tidur istrinya, rambut Adelia berantakan, dan selimutnya setengah melorot. Tangan Samuel refleks, membetulkan posisi selimut di bahu Adelia, lalu mengecup keningnya pelan.Adelia mengerjap pelan. Terbangun oleh kecupan hangat di kening.Glek!Adelia menelan salivanya, tatapannya jatuh tepat ke arah tubuh Samuel yang hanya berselimut separuh pinggang. Dada bidangnya naik-turun perlahan, dan otot perutnya, mempertegas pesonanya yang tak terbantahkan."Oh tidak..." batin Adelia. Sekilas bayangan tentang semalam melintas kembali di benak Adelia, membuat jantungnya berdegup cepat. Wajahnya sontak memerah, dan dengan refleks ia menarik selimut hingga menutupi wajahnya."Loh, kok ditutup?" tawa Samuel terdengar renyah, geli melihat tingkah menggemaskan istrinya.“Pagi…” gumam Adelia dari balik selimut, suaranya
Malam semakin larut, Adelia duduk di tepi ranjang kamar barunya, rambutnya masih setengah basah setelah mandi. Ia mengenakan gaun malam berwarna merah marun, kainnya tipis, namun ketat membalut lekuk tubuhnya.Tangannya gemetar sedikit saat merapikan rambut ke belakang telinga. Meski sudah dua tahun menikah, malam ini terasa berbeda. Rumah baru, lembaran baru, dan suasana yang jauh lebih tenang dari malam-malam sebelumnya.Pintu kamar mandi terbuka perlahan. Samuel keluar hanya mengenakan handuk di pinggang, wajahnya berseri melihat Adelia yang sedang duduk menunduk malu.“Kamu seksi banget malam ini,” ucapnya pelan.Adelia mendongak, menatap suaminya dengan pipi merona. “Mas jangan ngomong gitu... aku jadi tambah grogi.”Samuel tertawa pelan, lalu duduk di sampingnya dan menggenggam tangan Adelia. “Grogi? Justru kamu yang bikin aku deg-degan dari tadi.”Adelia tersenyum malu, bibirnya bergetar sedikit. “Aku... Juga deg-degan, Mas.”“Deg-degan ya?” bisiknya pelan sambil mengusap lembu
Lima hari menjelang ulang tahun pernikahan kedua, Samuel sudah menyiapkan kejutan untuk Adelia.“Hati-hati melangkah, sayang. Ada tangga di depan,” ucap Samuel lembut sambil menutup mata Adelia dengan kain. Ia menggandeng tangan Adelia perlahan, membawa dia masuk ke sebuah rumah baru yang belum pernah Adelia lihat.“Ini di mana, Mas?” tanya Adelia penasaran, suaranya penuh harap dan sedikit gugup.“Sabar, sayang. Sebentar lagi penutup matamu aku buka,” jawab Samuel sambil terus menggandengnya.Sesaat kemudian, Samuel melepas kain penutup itu. Adelia terdiam, matanya membelalak.Di hadapannya terbentang ruang tengah yang hangat dan penuh dekorasi cantik, putih, abu-abu, dan biru—bunga segar, lampu kristal, dan furniture mahal.“Surprise!” Samuel tersenyum lebar, memandang istrinya dengan penuh cinta.Adelia masih terpaku, matanya tak lepas mengamati setiap sudut ruang rumah megah yang terasa asing di matanya.“Ini rumah siapa, Mas?” tanyanya dengan suara pelan, sedikit ragu dan penasar
Prang! Devina membanting gelas dengan wajah memerah. Dadanya naik turun menahan amarah, tak percaya apa yang baru saja ia baca di berita. "Bagaimana bisa! Niken... ditangkap?!"Tangannya gemetar saat membaca berita di layar ponselnya. Judulnya besar-besar: “Bapak Haryo atau yang dikenal sebagai Pemilik PT Sejahtera Abadi Ditangkap, Terlibat Penipuan Investasi Bodong Bernilai Miliaran Rupiah.”Nama itu... PT Sejahtera Abadi. Jantung Devina langsung berdegup keras. Ia terduduk di sofa, wajahnya pucat. "Itu perusahaan tempat aku transfer lima puluh juta..." gumamnya.“Tidak mungkin!” pekiknya matanya berkaca-kaca. Tangannya bergerak cepat membuka galeri foto, mencari bukti transfer yang diam-diam ia simpan."Rp 150.000.000," Kepada rekening atas nama perusahaan itu. Satu bulan lalu. Tanpa sepengetahuan suaminya, Jusuf.Ia berdiri di tengah kamarnya yang megahnya, matanya menyapu seisi ruangan seolah mencari seseorang untuk disalahkan. Napasnya kian memburu. Ia ingat betul bagaimana Nik
Beberapa hari kemudian, Pak Haryo, Bu Rina, dan Niken. Datang menuntut pertanggungjawaban dari Samuel."Segeralah nikahkan mereka, sebelum perut Niken mulai membesar.” pinta pak Haryo, menuntut Jusuf.Pak Jusuf, kepala keluarga Widyantara, dan Samuel sudah menduga maksud kedatangan mereka hari ini. Meski begitu, mereka tetap menyambut Pak Haryo dan Bu Rina dengan senyum hangat dan keramahan.“Jika memang harus bertanggung jawab, tentu kami akan memenuhinya. Demi menjaga nama baik keluarga Widyantara,” jawab Pak Jusuf dengan suara tenang penuh wibawa.Pak Haryo menyilangkan tangan, senyum liciknya semakin melebar. “Kalau begitu, sebelum kita bicara soal pernikahan, ada beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai menantu keluarga kami,” ucapnya penuh penekanan.Bu Rina menimpali, “Kami tak menerima Mas Kawin yang yang biasa-biasa saja. Kami menuntut nilai yang setimpal dengan ‘keadaan’ Niken sekarang," ucapnya sambil mengibaskan rambutnya.Samuel menatap tajam ke arah Bu Rina, berusaha mer
“Ugh... kepala gue kenapa ya,” Niken terbangun sambil memijat pelipis.Pandangannya menyapu kamar hotel yang sunyi. Sejenak ia menatap langit-langit, mencoba menyusun potongan ingatan. “Eh… kok gua bisa tidur di sini?” gumamnya, kali ini dengan nada panik.Matanya segera mencari ponsel. Setelah menemukannya di meja samping ranjang, ia buru-buru membuka galeri dan chat—was-was kalau ada jejak digital memalukan yang tersebar."Kosong. Aman." gumamnya lega, meski detak jantungnya belum sepenuhnya tenang.Niken bangkit perlahan. Kepalanya masih terasa berat. Ia menoleh ke meja, dan di sana—tas serta kunci apartemennya tergeletak rapi.Ia buru-buru memeriksa isi tas. Dompet, ponsel, semua masih ada. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa… ganjil.“Ya ampun, jangan-jangan semalam gue ngoceh macem-macem waktu setengah teler…”Namun Niken menepis kegelisahannya. Tanpa curiga, ia melangkah ke kamar mandi, tak menyadari bahwa keadaan perlahan bergeser—dan malam itu tak sebersih yang ia bayang
“Jangan kebanyakan minum wine. Enggak bagus buat janin kamu, kan…” ujar Samuel dengan nada sok perhatian.Niken tertawa sambil menggoyangkan gelasnya. “Ih, seneng deh kamu mulai perhatian sama anakmu. Tapi tenang aja, mamaku juga doyan wine waktu hamil aku.”Samuel mendengus. “Pantesan anaknya suka oleng.”Niken langsung menoleh cepat. “Eh? Kamu bilang apa barusan?”“Enggak, enggak… becanda. Mungkin kamu lagi ngidam wine,” jawab Samuel, tersenyum santai seolah tak ada yang terjadi.Niken terkekeh lagi, masih merasa jadi pusat semesta. Ia menyesap wine-nya pelan-pelan sambil sesekali melirik Samuel genit.Sementara itu, Samuel mengambil gelas anggurnya dengan santai. Dalam gerakan cepat, ia menyelipkan tangan ke saku jasnya dan menuangkan beberapa tetes cairan bening ke dalam gelas—obat tidur cair tanpa rasa dan bau.“Aku sengaja pesan wine mahal,” ujar Samuel sambil memutar gelasnya pelan. “Biar malam kita terasa... spesial.”Niken, yang merasa di atas angin, tak curiga sedikit pun. I
Keesokan harinya, dikantor. Samuel menatap laptopnya dengan wajah serius. Jari-jarinya mulai menari di atas keyboard, mengetik nama perusahaan yang tercantum di proposal—PT Sejahtera Abadi. Nama yang terdengar meyakinkan. Terlalu meyakinkan—dan justru itulah masalahnya. Tidak ada laman resmi. Tidak ada ulasan. Tidak tercatat di direktori usaha besar. Samuel mengetik lebih dalam, kali ini mengakses situs resmi Kementerian. Ia memasukkan nama perusahaan ke sistem pencarian legalitas badan usaha. Dan hasilnya, nihil. “Tidak terdaftar… Sudah kuduga.” gumamnya pelan. Ia bersandar, menatap layar dengan mata tajam. “Perusahaan sebesar, yang katanya, Go Internasional… investasi triliunan… tapi tidak ada satu pun catatan legalnya?” Tanda tanya mulai bermunculan. Alamat kantor yang tertulis mengarah ke sebuah ruko tua yang tak lagi beroperasi. Nomor telepon yang tidak pernah aktif. Bahkan NPWP perusahaan yang saat dicek—Berstatus tidak aktif sejak tiga tahun lalu. Samuel memejamkan ma