“Setelah keluar dari penjara... Kenapa kamu tidak mau tanda tangan surat cerai itu? Kenapa masih memilih bertahan dengan suami seperti aku?” Ia menoleh ke arah Adelia, matanya redup. “Aku sudah terlalu banyak menyakitimu. Bertahan denganku... hanya akan membuatmu terluka lagi dan lagi.”Adelia menghela napas perlahan, menatap hamparan lautan yang seolah tak berujung.“Mas... Soal itu, kita bicarakan di villa saja, ya?”Samuel tertawa getir, “Mungkin sekarang semuanya tampak baik-baik saja, tapi setelah kita pulang dari sini... aku tahu diriku. Aku akan menyakitimu lagi.”“Mas,” Adelia menatapnya lekat, sorot matanya mantap, tanpa keraguan sedikit pun. “Kita hanya butuh waktu untuk saling mengenal… Bukankah kita sudah sepakat? Aku pun sudah dengan tulus menerima peran sebagai ibu sambung untuk Isabella.”"Kenapa kamu begitu keras kepala, kamu terlalu baik... untuk seseorang sepertiku.” gumamnya, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.Adelia meraih tangan Samuel yang gemetar, mengg
Plak! Suara tamparan yang keras menggema di ruang makan. Adelia tersungkur di lantai marmer putih dengan corak berwarna abu-abu yang elegan. Adelia mendongakkan kepala, menatap Ibu Mertuanya. Sambil memegangi pipi kiri yang memerah, ia bertanya, "Ma, kenapa Mamaー" Ibu MertuanyaーDevina Widyantara, menyela, "Apa?! Kamu mau tahu, kenapa saya menampar kamu?!" Kedua mata Devina memancarkan kilatan emosi yang tidak tertahankan. Lalu, ia menunjuk anak bungsunya yang sedang terbatuk-batuk. "Lihat Samuel!" seru Devina. Tatapan Adelia tertuju pada suaminyaーSamuel Widyantara. Ia langsung mengerti duduk perkaranya. Setelah memuntahkan telur rebus, Samuel terbatuk-batuk. Ia sudah minum air hangat untuk meredakan batuknya. Namun, rasa mualnya tidak hilang juga. Belum lagi, tenggorokannya terasa gatal dan panas sangat mengganggunya. Adelia benar-benar telah membuat kesalahan yang fatal! Devina menarik rambut panjang bergelombang Adelia. "Kenapa telur rebusnya tidak matang, hah?!"
“Kakak saya tidak salah! Jangan terus-terusan kalian perlakukan dia seperti ini!” ujar Amelia dengan suara lantang, dengan penuh keberanian melangkah menghadang Devina yang lagi-lagi mau memukul kakaknya.Mata Devina berkilat tajam menatap Amelia yang berani menantangnya. "Kau pikir siapa dirimu! Kamu ini cuma anak kecil yang belum tahu apa-apa?"Amelia, seorang siswi berusia 13 tahun, mengenakan seragam sekolah SMP dan siap berangkat ke sekolah. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat kakaknya sedang diperlakukan kasar oleh mertua serta iparnya.Amelia bersekolah di salah satu sekolah negeri elit di Jakarta, berkat perjanjian yang dibuat oleh Adelia dan ayah Samuel, Jusuf Widyantara. Sebagai imbalan atas pernikahan Adelia dengan Samuel, Jusuf Widyantara setuju untuk membiayai pendidikan Amelia."Keluarga kami hanya ingin memastikan Adelia memahami aturan di rumah ini. Tidak ada yang salah jika ia mendapatkan hukuman karena memecahkan guci antik senilai 25 juta, bukan? Apalagi, ia t
"Seandainya... Ayah masih hidup, pasti kakak nggak akan menderita begini." Amelia bergumam, suaranya parau karena menangis, tangan Amelia gemetar saat mengoleskan antiseptik ke pelipis Adelia yang terluka.Adelia hanya menatap adiknya, ia tetap tersenyum meski luka di wajahnya masih terasa perih. “Kita nggak bisa mengubah masa lalu, Amel. Ayah dan Ibu sudah tiada, tapi kita masih punya satu sama lain. Lagipula, sebelum pergi, Ayah sudah berusaha menjamin masa depan kita lewat Paman Jusuf.”Sebuah insiden kebakaran telah merenggut nyawa ayah mereka, Suherman Widodo. Sedangkan ibu merekaーLina Laraswati sudah meninggal, setelah berjuang melahirkan Amelia.Mendengar itu, Amelia menunduk, menyembunyikan rasa kecewanya. Adelia mengelus lembut puncak kepala adiknya, ia tahu, adiknya belum bisa menerima kenyataan bahwa di balik rumah besar dan tempat tidur empuk itu, tersembunyi penderitaan yang terus mereka telan dalam diam.Hari ini bukanlah kali pertama Amelia menyaksikan dirinya dianiaya.
Hari ulang tahun pernikahan mereka akhirnya tiba. Pesta yang diadakan di kediaman mewah milik mertua Adelia itu sangat megah. Semua persiapan dilakukan dengan sangat teliti dan sempurna, sehingga Adelia terkejut melihat betapa besar dan mewahnya pesta tersebut. "Benarkah ini, Kak Adel? Kakak terlihat sangat berbeda, seperti artis Hollywood!" seru Amelia dengan kagum.Sejak siang hingga sore, Adelia sibuk dengan persiapan Make-up. Samuel telah menyewakan jasa seorang Make-Up Artist (MUA) profesional untuk memastikan Adelia tampil sempurna dan mempesona di hari istimewanya.Adelia tersenyum malu-malu saat mendengar pujian dari adiknya, Amelia. Dia tidak terbiasa menerima pujian seperti itu, sehingga dia merasa sedikit tidak nyaman. "Kamu terlalu berlebihan, Mel. Aku tidak secantik itu."Adelia merasa Sangat canggung dengan pujian tersebut. Dia jasi teringat hari pernikahannya dulu, di mana dirinya hanya memakai baju dress sederhana dan make-up tipis, hanya untuk sekedar foto. Dia tidak
Tapi Samuel sama sekali tidak tergerak hatinya oleh isak tangis Adelia. Dia malah memandangnya dengan dingin dan berkata, "Aku terpaksa menikah denganmu karena permintaan ayah, tapi tidak pernah sekalipun aku tertarik padamu . Hanya Bella, dia wanita yang aku cintai, dan aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamanya."Adelia menatap Samuel dengan geram. Selama ini, dia berusaha menahan emosinya, saat disakiti dihina, dan di fitnah oleh ibu mertua dan kakak iparnya. Tapi tidak kali ini. Adelia menyuarakan isI hatinya, sebagai istri sah Samuel Dimata hukum, hanya dia yang berhak memberikan izin kepada suaminya untuk menikah lagi."Tidak akan! Tidak ada ijin dariku! Aku adalah istri sah mu. Aku adalah orang yang telah bersumpah untuk mencintaimu dan mendampingi mu selamanya," tegas Adelia. Samuel terkejut melihat ketegasan Adelia. Tidak pernah ia melihat istrinya seperti ini. Adelia selalu terlihat lemah dan penakut, tapi sekarang dia terlihat seperti singa yang baru terbangun dari tid
Tak butuh waktu lama bagi Samuel, menghalalkan hubungannya bersama Bella. Sejak pengumuman pertunangan mereka, segala sesuatunya berjalan begitu cepat, seperti tak ingin menunggu.Arabella Shevanka putri tunggal dari keluarga Wijaya, salah satu konglomerat terkemuka di Indonesia. Keluarga Wijaya dikenal memiliki berbagai bisnis besar di sektor properti, perhotelan, dan industri lainnya. Tidak mengherankan jika ayah Samuel sangat setuju menjadikan Bella sebagai menantu kedua, demi keuntungan perusahaan."Adelia! Adel!" suara Devina menggelegar di dalam kediamannya.Adelia yang sedang berkebun, tersentak dan segera meletakkan alat kebunnya, cepat-cepat ia berlari menuju pintu belakang, melangkah masuk ke dalam rumah sambil tergesa-gesa."Apa-apaan kamu ini!?" mata Devina terbelalak, pakaian Adelia kotor penuh noda tanah rambutnya kusut, wajahnya kusam.Adelia sedikit terkejut, namun ia tetap menjawab dengan tenang, "Seperti yang Mama suruh, saya sudah menanam ratusan bibit bunga mawar,
"Coba ini, Bella sayang."Arabella membuka mulutnya, "Mmm... Aku suka, ini enak!"Kemudian Arabella membalas, ia memasukkan sepotong sayuran ke dalam mulut Samuel. Mereka berdua tertawa dan berbicara dengan nada yang lembut, seolah-olah tidak ada orang lain di sekitar mereka.Adelia merasa sangat iri ketika melihat Samuel dan Arabella saling suap-suapan saat makan malam. Keromantisan mereka membuat Adelia merasa seperti sebuah bayangan yang tidak diinginkan."Kalian benar-benar romantis, pasangan yang sangat serasi," ucap Devina dengan nada yang gembira."Arabella sangat tahu caranya membuat Samuel bahagia. Jarang sekali melihat kak Samuel, bisa tersenyum saat makan malam di rumah, pasti dia sangat bahagia bisa punya istri yang cantik dan berpendidikan tinggi." tambah Selly, sengaja menyinggung Adelia.Selly menatap Adelia penuh tantangan, seolah-olah ingin melihat reaksi Adelia atas kata-katanya yang menusuk.Tapi Adelia pilih menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sedih, ia sendiri
“Setelah keluar dari penjara... Kenapa kamu tidak mau tanda tangan surat cerai itu? Kenapa masih memilih bertahan dengan suami seperti aku?” Ia menoleh ke arah Adelia, matanya redup. “Aku sudah terlalu banyak menyakitimu. Bertahan denganku... hanya akan membuatmu terluka lagi dan lagi.”Adelia menghela napas perlahan, menatap hamparan lautan yang seolah tak berujung.“Mas... Soal itu, kita bicarakan di villa saja, ya?”Samuel tertawa getir, “Mungkin sekarang semuanya tampak baik-baik saja, tapi setelah kita pulang dari sini... aku tahu diriku. Aku akan menyakitimu lagi.”“Mas,” Adelia menatapnya lekat, sorot matanya mantap, tanpa keraguan sedikit pun. “Kita hanya butuh waktu untuk saling mengenal… Bukankah kita sudah sepakat? Aku pun sudah dengan tulus menerima peran sebagai ibu sambung untuk Isabella.”"Kenapa kamu begitu keras kepala, kamu terlalu baik... untuk seseorang sepertiku.” gumamnya, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.Adelia meraih tangan Samuel yang gemetar, mengg
"Aduh panas ya, Ica," gumam Adelia sambil membetulkan topi lebar di kepala Isabella dan memakaikan kain tipis agar kulitnya tak terbakar.Langit cerah membentang luas, biru tanpa awan, dan suara debur ombak menggema lembut di antara tebing-tebing karang yang menjulang megah.Adelia menurunkan kacamata hitamnya dan tersenyum melihat pemandangan di depan mata. Samuel sedang menyiapkan stroller untuk Isabella, yang baru saja bangun dari tidurnya di mobil.Setelah turun dari mobil, Amelia langsung mengeluarkan tongsisnya. "Kak! Ayo foto-foto! Tempatnya keren banget, indah banget!" serunya sambil setengah berlari menuju batu karang besar di tepi pantai."Pelan-pelan, Amel! Nanti kepleset," serunya sambil meletakan Isabella di stroller.Samuel menyusul dengan membawa tas berisi perlengkapan bayi dan sebotol air mineral. "Kita duduk di sana saja, yuk. Dekat karang, ada tempat yang teduh," katanya sambil menunjuk ke sudut pantai yang ternaungi bayangan tebing, menawarkan sedikit perlindungan
"Mas, berat!" protes Adelia, berusaha mendorong tubuh suaminya yang terbaring demam."Jangan menolak ku, Bella. Aku sangat merindukanmu, sayang," ucap Samuel, terus memeluknya erat."Aku bukan Bella. Aku Adelia!" teriak batinnya Adelia, ingin bersuara namun suaranya tercekat di tenggorokan. Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri, namun sia-sia, tenaga Samuel jauh lebih kuat meskipun ia sedang sakit.Adelia tak menyangka, mimpi itu ternyata hanyalah cerminan dari alam bawah sadarnya—sebuah bayangan halus atas kenyataan yang tengah terjadi.Samuel mengecup bibirnya dengan lembut… hangat… nyaris seperti yang selama ini Adelia bayangkan. Ada getaran halus merambat dari bibirnya, menyusup hingga ke relung jiwa—seperti aliran listrik yang menyengat lembut, membangkitkan rasa yang lama terpendam.Setelah satu tahun lebih Adelia menanti dalam diam, dalam dingin yang tak pernah mampu ia hangatkan sendiri, akhirnya momen ini datang—begitu nyata.Itu adalah ciuman pertama Adelia. Sebuah momen
“Amel, kamu bisa bantu jagain Ica sebentar aja? Kakak takut dia ketularan Papanya,” pinta Adelia.Amelia memeluk Isabella ragu-ragu. “Aku nggak biasa gendong bayi lama-lama Kak…”“Kalau kamu pegal, taruh saja Ica di baby box, kasih dia boneka, lalu kamu temani dia sampai tidur.”"Iya, deh...""Kakak mau merawat kak Samuel, dia lagi sakit demam." Adelia menyiapkan baskom dan handuk kecil.Amelia terkekeh dari ambang pintu, menggendong Isabella yang mulai menguap mengantuk. “Ciee… jadi suster dadakan.”Adelia mendengus, pura-pura kesal, meski rona merah di pipinya tak bisa disembunyikan.Amelia menahan tawa, sorot matanya usil. Ia teringat kejadian siang tadi—saat tanpa sengaja masuk ke kamar dan mendapati pemandangan tak biasa. Adelia setengah tertimpa tubuh Samuel, keduanya tergeletak di lantai dekat ranjang.Refleks, Amelia membelalakkan mata, lalu buru-buru menutup pintu sambil cekikikan.Meski sang kakak sudah menjelaskan bahwa ia sedang membantu Samuel berdiri dan tak sengaja kehi
Adelia melangkah pelan menuju kamarnya, memastikan keadaan Isabella. Bayi mungil itu sudah tertidur pulas, wajahnya tampak damai setelah menyusu. Di atas ranjang, Samuel juga tertidur terlelap, berselimut rapi dengan napas yang tenang.Adelia tersenyum kecil, melihat ayah dan putrinya. Ia menutup pintu kamar dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apa pun agar tidak membangunkan mereka."Kak Adel, bawangnya mau berapa banyak?" suara Amelia terdengar dari arah dapur."Enam butir saja, Mel. Cukup itu," sahut Adelia sambil mengenakan celemek, siap menemani adiknya memasak makan siang.Ini hari kedua mereka di Bali. Sejak tiba kemarin, mereka memang belum sempat berpergian, hanya menikmati waktu santai di dalam villa. Meski Amelia sempat mengeluh karena ingin mengunjungi tempat-tempat hits yang sering muncul di media sosial."Telur mata sapi buatan Kak Samuel tadi pagi asin banget. Sebenarnya Amel nggak mau habisin, tapi ya udahlah... masa udah dibikinin terus dibuang,"
“Mas, ayo… kamu bisa sakit kalau terus di luar seperti ini,” ucap Adelia, terdengar pelan, kalah oleh deru hujan.Samuel akhirnya bergerak, namun langkahnya lambat, seolah masih terhanyut dalam pikirannya. Adelia menariknya memberi tanda agar ia berjalan lebih cepat menuju vila.Begitu pintu villa tertutup, udara dingin langsung menyeruak ke seluruh tubuh Adelia dan Samuel yang basah kuyup. Air hujan menetes dari rambut mereka, membasahi lantai kayu."Mas, sini... pakai handuk dulu," ucap Adelia, mengulurkan handuk besar berwarna putih ke arah Samuel.Samuel menerima handuk itu tanpa banyak bicara, mengusap rambutnya pelan. Adelia juga meraih satu lagi untuk dirinya, menyekakan air yang menetes di wajah.Sebenarnya, dalam benak Adelia ada timbul banyak pertanyaan. Apa yang kau pikirkan, Mas? Kenapa kamu di luar sana, berdiri sendiri, menantang hujan seperti itu?Tapi Adelia menahan diri. Ini bukan saatnya. Mereka sudah cukup lelah. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam, hujan belum
Malam pun tiba.Di dalam kamar yang bernuansa hangat dan harum melati, Adelia meletakkan Isabella ke boks bayi yang sudah disiapkan. Samuel duduk di ujung ranjang, memainkan ponselnya. Suasana kamar begitu hening.“Aku tahu ini aneh,” ujar Adelia pelan. “Tapi tenang saja, Mas. Aku nggak akan ganggu. Kalau kamu mau akun tidur di sofa pun tak masalah.”Samuel menurunkan ponselnya perlahan, menatap. “Kamu enggak usah tidur di sofa, tempat tidur ini cukup besar. Kita bisa tidur di sisi masing-masing," ucap Samuel.Jawaban Samuel, membuat Adelia jadi deg-degan. Bukan karena takut—lebih karena gugup. Selama ini, mereka seperti dua orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama, mengurus bayi yang sama, tanpa pernah benar-benar berbagi ruang pribadi seperti ini.Adelia jadi deg-degan mendengar ucapan Samuel. Bukan karena takut—lebih karena gugup. Selama ini, mereka seperti dua orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama, mengurus bayi yang sama, tanpa pernah benar-benar berb
"Kak, kita terbang, Kak! Kita di udara!" seru Amelia dengan mata berbinar, wajahnya menempel di jendela kecil pesawat.Sementara Amelia bersorak antusias, Adelia justru menahan napas panjang. Ia duduk di bangku pesawat dengan tubuh sedikit kaku, sambil menggendong Isabella. Ini adalah kali pertama ia dan Amelia naik pesawat terbang. "Kota jakarta jadi kelihatan kecil dari atas sini," ujar Amelia, masih menatap ke luar jendela.Isabella merengek sebentar lalu tenang dalam pelukan Adelia, namun jeda beberapa menit Isabella merengek lagi.Adelia mencoba mengayun pelan, menepuk-nepuk punggung bayi itu, tapi tak berhasil. Wajahnya mulai memerah, antara panik dan malu karena dilihat banyak orang.Samuel berdiri dan segera meraih tas bayi, mengambil empeng dan botol susu cadangan. “Sini aku bantu tenangin Ica,” bisiknya pelan.Adelia menggeleng sambil memaksakan senyum. “Nggak apa-apa kok Mas, Aku coba dulu tenangin dia dulu.”Tapi Samuel tetap meraih putrinya dengan hati-hati dari pelukan
Tiga bulan telah berlalu sejak rencana licik Devina dan Selly dimulai. Isabella kini sudah berusia lima bulan, tumbuh dengan sehat dan ceria. Adelia semakin dekat dengan Isabella, merasakan ikatan yang kuat seolah-olah dia benar-benar ibunya. Sikapnya yang berani semakin terlihat, terutama saat mengatur keperluan Samuel dan Isabella. Namun, di balik kebahagiaan yang tampak, tersembunyi perasaan cemas yang tak terlihat.Samuel belum mau membuka diri padanya. Jarak emosional antara mereka masih terasa jauh, Adelia bertanya-tanya kapan dia bisa benar-benar menjadi bagian dari keluarga ini."Samuel, ayo ke ruang kerja sebentar," panggil Jusuf, meminta putranya menemui dia. Di sana. Jusuf mempersilakan Samuel duduk di ruang kerjanya, "Samuel, Papa tahu ini bukan waktu yang mudah bagimu untuk menerima Adelia sebagai istri seutuhnya." kata Jusuf dengan nada lembut. Samuel terdiam sejenak, merenungkan kata-kata ayahnya. "Jadi, menurut Ayah, aku harus menerima Adelia sebagai bagian dari hid